• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Kadar C- Reactive Protein Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil dengan Eksaserbasi di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perbandingan Kadar C- Reactive Protein Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil dengan Eksaserbasi di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

PERBANDINGAN KADAR C-REACTIVE PROTEIN PENDERITA PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK STABIL DENGAN EKSERBASI

DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN

Oleh

YANTI EVI ARLINI GULTOM

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I

DEPARTEMEN PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRASI FAKULTAS KEDOKTERAN USU/SMF PARU RSUP H. ADAM MALIK

(2)

PERBANDINGAN KADAR C-REACTIVE PROTEIN PENDERITA PENYAKIT

PARU OBSTRUKTIF KRONIK STABIL DENGAN EKSERBASI DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN

TESIS

Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Pendidikan Spesialisasi Di Bidang Pulmonologi Dan Ilmu Kedokteran Respirasi

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/ RSUP H. Adam Malik Medan

Oleh

YANTI EVI ARLINI GULTOM

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I

DEPARTEMEN PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRASI FAKULTAS KEDOKTERAN USU/SMF PARU RSUP H. ADAM MALIK

(3)

TESIS

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I DEPARTEMEN PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA / RUMAH SAKIT UMUM

HAJI ADAM MALIK MEDAN

Judul penelitian : Perbandingan Kadar C- Reactive Protein Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil dengan Eksaserbasi di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

Nama peneliti : Yanti Evi Arlini Gultom

Fakultas : Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Program Studi : Program Pendidikan Dokter Spesialis I Departemen

Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi

Jangka Waktu : 8 (delapan) bulan

Biaya Penelitian : Rp.18.000.000,-

Lokasi Penelitian : Unit Rawat Jalan Poli Paru dan Rawat Inap Paru di RS. H.Adam Malik Medan

Pembimbing : dr. Pandiaman S. Pandia, M.Ked (Paru) SpP(K)

: Dr. Amira Permatasari Tarigan, M.Ked (Paru) SpP

(4)

PERNYATAAN

Judul Penelitian : Perbandingan Kadar C- Reactive Protein Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil dengan Eksaserbasi di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar sarjana di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat orang lain yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam rujukan.

Yang menyatakan,

Peneliti

(5)

Telah diuji pada

Tanggal 08 Januari 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Prof. dr. H. Luhur Soeroso, Sp.P(K)

Prof. dr. Tamsil Syafiuddin, Sp.P(K)

dr. Hilaluddin Sembiring, Sp.P(K), DTM&H

dr. Zainuddin Amir, M.Ked (Paru), Sp.P(K)

dr. Pantas Hasibuan, M.Ked (Paru), Sp.P(K)

dr. Widirahardjo, Sp.P(K)

dr. Parluhutan Siagian, M.Ked (Paru), Sp.P(K)

dr. Bintang YM Sinaga, M.Ked (Paru), Sp.P(K)

(6)

ABSTRAK

Objektif : untuk mengetahui perbandingan kadar C- Reactive Protein penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik stabil dengan eksaserbasi di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.

Metode : penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan potong lintang pada penderita PPOK stabil dan eksaserbasi, data berasal dari data sekunder dari pasien PPOK yang berobat jalan dari periode Maret – November 2013.

Hasil : kelompok umur terbanyak dari penderita PPOK eksaserbasi dan stabil adalah sama yaitu > 70 tahun. Kelompok IB terbanyak penderita PPOK eksaserbasi dan stabil adalah dengan kelompok > 600 masing-masing. Kelompok IMT terbanyak penderita PPOK eksaserbasi dan stabil adalah dengan kelompok 18.50 – 24,99. Kelompok VEP1 terbanyak penderita PPOK eksaserbasi dan stabil adalah dengan kelompok 30% < VEP1 < 50%

prediksi. Penderita PPOK eksaserbasi memiliki kadar CRP terbanyak pada kelompok kadar > 10 mg/l dan seluruh penderita PPOK stabil adalah dengan kadar < 10 mg/l. Seluruh penderita PPOK eksaserbasi memiliki kelompok nilai CAT > 10 dan seluruh penderita PPOK stabil memiliki kelompok nilai CAT < 10. Seluruh penderita PPOK eksaserbasi memiliki kelompok nilai mMRC 0-1 dan seluruh penderita PPOK stabil memiliki kelompok nilai mMRC > 2.

(7)

lebih tinggi dibanding kondisi stabil maka kadar CRP yang tinggi ini (> 10 mg/dl) memberikan informasi sebagai prediktor terhadap eksaserbasi.

(8)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur dan terima kasih penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, sebab berkat rahmat dan kasih karuniaNya penulis dapat menyelesaikan tulisan akhir ini yang berjudul “Perbandingan Kadar C- Reactive Protein Penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronik Stabil dengan Eksaserbasi di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.” Tulisan ini merupakan persyaratan dalam penyelesaian pendidikan keahlian di Departemen Pulmonologi & Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU/SMF Paru RSUP H Adam Malik Medan. Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan penelitian ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak baik dari guru-guru yang penulis hormati, teman sejawat asisten Departemen Pulmonologi & Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU, paramedis dan non medis serta dorongan dari pihak keluarga. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

Prof. dr. H. Luhur Soeroso, Sp.P(K) sebagai Ketua Departemen Pulmonologi & Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU/ SMF Paru RSUP H Adam Malik Medan, yang tiada henti-hentinya memberikan bimbingan Ilmu Pengetahuan, arahan, petunjuk serta nasehat dalam cara berpikir, bersikap dan berprilaku yang baik selama masa pendidikan, yang mana hal tersebut sangat berguna di masa yang akan datang.

(9)

dr. H. Zainuddin Amir, Mked (Paru), Sp.P(K) sebagai Ketua TKP PPSD FK USU yang senantiasa tiada jemunya membantu, mendorong dan memotivasi serta membimbing dan menanamkan disiplin, ketelitian, berpikir dan berwawasan ilmiah serta selalu mendorong penulis dalam menyelesaikan tulisan ini.

Dr. H. Pandiaman Pandia, Mked (Paru), Sp.P(K), sebagai salah satu pembimbing dalam tesis ini yang telah banyak memberikan penulis bantuan, masukan, arahan, dorongan dan nasehat dengan penuh kesabaran memberi bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini selama penulis menjalani masa pendidikan.

Dr. Amira Permatasari Tarigan, Mked(Paru), Sp.P sebagai salah satu pembimbing dalam tesis ini maupun sebagai Ketua Program Studi Departemen Pulmonolgi & Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU/ SMF Paru RSUP H Adam Malik Medan, yang telah banyak memberikan bimbingan, bantuan, dorongan dan nasehat yang sangat berguna sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini dan selama penulis menjalani masa pendidikan.

dr. Pantas Hasibuan, Mked(Paru), Sp.P(K) sebagai Sekretaris Departemen Pulmonolgi & Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU/ SMF Paru RSUP H Adam Malik Medan, yang telah banyak memberikan penulis bantuan, masukan dan arahan kepada penulis selama penulis menjalani masa pendidikan..

dr. Widirahardjo, Sp.P(K) sebagai pembimbing akademik penulis, yang telah banyak memberikan bantuan, masukan, arahan dan dorongan sehingga penulis termotivasi dalam menyelesaikan tulisan ini dan selama penulis menjalani masa pendidikan.

(10)

Prof. Dr. Albiner Siagian, MSi sebagai pembimbing statistik yang telah banyak membantu dan membuka wawasan penulis dalam bidang statistik dan dengan penuh kesabaran memberi bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini.

Penghargaan dan rasa terima kasih juga tak lupa penulis sampaikan kepada yang terhormat dr. H. Hilaluddin Sembiring, DTM&H, Sp.P(K), dr. Parluhutan Siagian, Mked(Paru) Sp.P, dr. Bintang Y.M. Sinaga, Mked(Paru) Sp.P, dr. Setia Putra Tarigan Sp P, dr. Netty Y Damanik Sp.P, dr. Syamsul Bihar, M.Ked(Paru), Sp.P yang telah banyak memberikan bantuan, masukan dan pengarahan selama menjalani pendidikan.

Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada yang terhormat Dekan Fakultas Kedokteran USU Medan, Direktur RSUP H Adam Malik Medan, Bagian Patologi Klinik RSUP H Adam Malik Medan, yang telah memberikan kesempatan dan bimbingan kepada penulis dalam melaksanakan dan menyelesaikan penelitian ini.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada teman sejawat peserta Program Studi Pendidikan Spesialisasi Pulmonologi & Ilmu Kedokteran Respirasi, pegawai tata usaha, perawat/petugas poliklinik, ruang rawat inap, ruang bronkoskopi, instalasi perawatan intensif, instalasi gawat darurat RSUP H Adam Malik atas bantuan dan kerja sama yang baik selama menjalani masa pendidikan.

Dengan rasa hormat dan terima kasih yang tiada terbalas penulis sampaikan kepada ayahanda Abidin Gultom (alm) semoga bahagia bersama Bapa di sorga dan ibunda Asta Situmorang tercinta yang telah membesarkan, mendidik dan memberi dorongan semangat serta doa kepada penulis hingga dapat menyelesaikan pendidikan ini.

(11)

selama penulis menjalani pendidikan ini. Rasa terima kasih juga penulis sampaikan kepada abang, adik dan ipar penulis.

Demikian juga kepada suamiku tercinta Raynold Tumbo Panggalo serta anakku tersayang George Lucas Tumbo Panggalo yang selalu setia dalam suka dan duka, penuh pengertian, kesabaran dan pengorbanannya kepada penulis selama menjalani pendidikan. Tiada kata yang dapat diucapkan selain ungkapan rasa terima kasih dan penghargaan atas segala kesetiaan maupun dukungan kalian selama ini.

Akhirnya pada kesempatan ini perkenankan penulis menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya atas segala kekurangan, kekhilafan dan kesalahan yang pernah diperbuat selama ini. Semoga ilmu, keterampilan dan pembinaan kepribadian yang penulis dapatkan selama ini dapat bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa dan mendapat restu dari Tuhan Yang Maha Esa.

Medan, Januari 2014

Penulis

(12)

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Data pribadi:

Nama lengkap : dr. Yanti Evi Arlini Gultom Tempat/tgl lahir : Hutahotang/ 17 Desember 1980 Agama : Kristen Protestan

Alamat : Jalan Seroja Raya Komp PTS No. 4C Medan Permai Medan Tuntungan

Email

Riwayat pendidikan:

SD N 060914 Medan tamat 1993 SMP N 28 Medan tamat 1996 SMU N 4 Medan tamat 1999 Dokter FK USU tamat 2006

Organisasi profesi: Ikatan Dokter Indonesia

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PERSETUJUAN………. i

LEMBAR USULAN PENELITIAN……… ii

KATA PENGANTAR...……… iii

DAFTAR ISI……….……... viii

DAFTAR ISTILAH………. xi

DAFTAR TABEL……… xiv

DAFTAR GAMBAR.……….…. xv

DAFTAR LAMPIRAN..………...….…. xvi

BAB I PENDAHULUAN……….…… 1

1.1. Latar Belakang……… 1

1.2. Perumusan Masalah……… 5

1.3. Tujuan Penelitian………...………. 5

1.3.1 Tujuan Umum……….…….. 5

1.3.2 Tujuan Khusus………..….… 5

1.4 Manfaat Penelitian………...…... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA………...… 7

2.1 Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)………....…... 7

2.1.1 Defenisi PPOK………...… 7

2.1.2 Epidemiologi PPOK……….…. 7

2.1.3 Patogenesis PPOK………..…… 9

(14)

2.1.5 Patofisiologi PPOK.………..……. 16

2.1.6 Diagnosis PPOK.………...…….… 18

2.1.7 Penatalaksanaan PPOK………...…….….…. 21

2.2 C-reactive protein……...……….….……… 22

2.2.1 Struktur dan filogeni CRP………...…….. 22

2.2.2 Fungsi CRP………...……. 24

2.2.3 Kadar CRP……….…………... 26

2.2.4 Cut off CRP………...…. 28

2.2.5 Faktor – faktor yang mempengaruhi kadar CRP…...…... 29

2.3. Kerangka konsep………...…… 31

2.4 Hipotesis……….…... 31

BAB III METODOLOGI PENELITIAN………... 32

3.1 Rancangan penelitian………... 32

3.2 Tempat dan waktu penelitian………….………... 32

3.3 Subjek penelitian………... 32

3.4 Kriteria inklusi………... 32

3.5 Kriteria eksklusi.……….….…... 33

3.6 Besar sampel……….…....… 33

3.7 Kerangka operasional………....…... 34

3.8 Definisi Operasional………...…..… 34

3.9 Cara penelitian………...…... 37

3.10 Analisa Data………...…. 38

3.11 Jadwal Penelitian………....…….. 38

(15)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN…………... 39

4.1 Hasil penelitian………...….…….. 39

4.1.1. Karakteristik penelitian……….…... 39

4.1.2. Hubungan antara karakteristik penelitian……...………… 42

4.1.2. Perbedaan antara karakteristik penelitian…….……..…… 44

4.2 Pembahasan penelitian……...……….…..……... 45

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN…………... 49

5.2 Kesimpulan ...……...………..…………... 49

5.2 Saran...……...……….….…………... 50

(16)

DAFTAR ISTILAH

AECOPD : Acute Exacerbation Chronic Obstructive Pulmonary Disease BAL : Bronchoalveolar lavage

BEC : Bronchial Epithelial Cell BMI : Body Mass index

BODE : Body mass index, obstruction, dyspnoea and exercise capacity C1q : Complement 1 q

CAT : COPD Assessment Test CCR :CC chemokine receptor CD : Cluster of Differentiation CI : Confident interval CRP : C Reactive Protein CO2 : Carbon Dioxyde

CXCR :CXC chemokine receptor CXCL :CXC chemokine ligan ET : Endothelin

FEV : Force Expiratory Volume FGF : Fibroblast Growth Factor

FGFR : Fibroblast Growth Factor Receptor FVC : Force Vital capacity

(17)

IB : index brinkman

ICAM : Intercellular Adhesion Molecule IFN : Interferon

IL : Interleukin

IMT : Indeks Massa Tubuh KVP : Kapasitas Vital Paksa LTB : Leukotrin B

LDL : Low Density Lipoprotein LPS : Lipopolysacharida

MCP : Monocyte Chemoattractant Protein MHC : Mayor Histocompatibility Complex MMP : Matriks Metalloproteinase

mMRC : modified Medical Research Council MPO : Myeloperoxidase

NFkB : Nuclear Factor kappa B OR : Odd Ratio

PAH : Polyaromatic Hydrocarbons; PaO2 : Arterial oxygen tension

PCOPD : Pneumonia Chronic Obstructive Pulmonary Disease PCT : Procalcitonin

PPOK : Penyakit Paru Obstruksi kronik RA3 : Rindu A3

(18)

RS : Rumah Sakit

RS HAM : Rumah Sakit Haji Adam Malik SAA : Serum Amiloid A

SAP : Serum Amyloid P

SCOPD : Stable Chronic Obstructive Pulmonary Disease Sel T : Sel Thimus

STAT : Signal Tranducers and Activators of Transcription TGF : Tumor Growth Factor

Th : T helper

TIMP : Tissue Inhibitors of Metalloproteinase TLR : Toll Like Receptor

TNF-α : Tumor Necrosis Factor WHO : World Health Organization

VEGF : Vascular Endothelial Growth Factor VEP : Volume Ekspirasi Paksa

(19)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Pembagian hambatan aliran udara berdasarkan spirometri

setelah pemberian bronkodilator………...……… 21

Tabel 3.1. Jadwal kegiatan………... 38

Tabel 3.2. Biaya penelitian..……….. 38

Tabel 4.1. Karakteristik demografi sampel penelitian.………..……....…. 40

Tabel 4.2. Hubungan antara karakteristik penelitian...…... 42

Tabel 4.3 Nilai rata-rata CRP,VEP1, CAT, Umur, mMRC, IB, IMT... 44

(20)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Inflamasi pada PPOK……….… 11

Gambar 2.2. Inflamasi perifer di paru dapat masuk ke sirkulasi sistemik….…. 13

Gambar 2.3. Gambaran radiologi penderita PPOK….……….….. 20

Gambar 2.4. Penilaian PPOK menurut GOLD 2011..………...… 21

Gambar 2.5. CRP pada patogenesis PPOK……….…… 24

Gambar 2.6. Kerangka konsep penelitian……… 31

(21)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1. mMRC Dyspnoe scale. ... ... 57

LAMPIRAN 2. Kuisioner CAT... ... 58

LAMPIRAN 3. Penjelasan Kepada Calon Subyek Penelitian... 59

LAMPIRAN 4. Formulir Persetujuan Setelah Penjelasan…………..……... 60

(22)

ABSTRAK

Objektif : untuk mengetahui perbandingan kadar C- Reactive Protein penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik stabil dengan eksaserbasi di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.

Metode : penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan potong lintang pada penderita PPOK stabil dan eksaserbasi, data berasal dari data sekunder dari pasien PPOK yang berobat jalan dari periode Maret – November 2013.

Hasil : kelompok umur terbanyak dari penderita PPOK eksaserbasi dan stabil adalah sama yaitu > 70 tahun. Kelompok IB terbanyak penderita PPOK eksaserbasi dan stabil adalah dengan kelompok > 600 masing-masing. Kelompok IMT terbanyak penderita PPOK eksaserbasi dan stabil adalah dengan kelompok 18.50 – 24,99. Kelompok VEP1 terbanyak penderita PPOK eksaserbasi dan stabil adalah dengan kelompok 30% < VEP1 < 50%

prediksi. Penderita PPOK eksaserbasi memiliki kadar CRP terbanyak pada kelompok kadar > 10 mg/l dan seluruh penderita PPOK stabil adalah dengan kadar < 10 mg/l. Seluruh penderita PPOK eksaserbasi memiliki kelompok nilai CAT > 10 dan seluruh penderita PPOK stabil memiliki kelompok nilai CAT < 10. Seluruh penderita PPOK eksaserbasi memiliki kelompok nilai mMRC 0-1 dan seluruh penderita PPOK stabil memiliki kelompok nilai mMRC > 2.

(23)

lebih tinggi dibanding kondisi stabil maka kadar CRP yang tinggi ini (> 10 mg/dl) memberikan informasi sebagai prediktor terhadap eksaserbasi.

(24)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Pertengahan tahun 1990 pemeriksaan imunologi untuk C-reactive protein (CRP) lebih banyak digunakan untuk kelainan kardiovaskular. Minat yang luas terhadap studi mengenai penanda ini terutama terjadi di Amerika Serikat. CRP merupakan bagian dari respons fase akut yang tidak spesifik terutama terhadap berbagai bentuk inflamasi, infeksi, dan kerusakan jaringan. Nilai CRP tidak dapat digunakan sebagai alat diagnostik tunggal dan hanya dapat dipertimbangkan jika dikaitkan dengan klinis dan hasil diagnostik lainnya. CRP merupakan penyokong diagnostik yang kuat sama halnya seperti nilai temperatur pasien yang sangat berguna secara klinis dan juga merupakan parameter tidak spesifik.1

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyakit paru dengan inflamasi kronis yang kompleks dimana terdapat keterlibatan berbagai sel inflamasi dan mediator inflamasi terhadap gas ataupun partikel beracun.2 Meskipun proses inflamasi berlangsung di paru namun proses inflamasi kronik pada PPOK berdampak pada sistemik. Penanda inflamasi seperti CRP, LPS, molekul adhesi meningkat dalam sirkulasi sistemik. Sudah banyak studi yang dilakukan untuk menilai dampak manifestasi klinik inflamasi sistemik ini terhadap prognosa penderita PPOK.3

(25)

sampai dengan sangat berat, seperti Man dkk. (2006) dalam studinya mengukur kadar CRP pada 4803 penderita PPOK ringan sampai menengah. Mereka menemukan pasien yang penyebab kematiannya adalah karena penyakit kardiovaskular memiliki kadar CRP dengan RR 1,51 (95% CI 1,20 – 1,90) dan yang dikarenakan kanker dengan RR 1.85 (95% CI 1,10 – 3,13). Peningkatan kadar CRP juga berhubungan dengan penurunan VEP1 dalam 5 tahun pengamatan,

sehingga disimpulkan bahwa kadar CRP dapat menjadi penanda bagi prognosis PPOK.4

Dahl dkk. (2006) dalam studi kohort pada 1302 penderita PPOK menemukan bahwa pasien dengan kadar CRP > 3 mg/l merupakan prediktor peningkatan rawatan inap dan kematian karena PPOK dibandingkan dengan kadar CRP < 3 mg/l (p < 0,001). Setelah pengamatan 10 tahun penderita PPOK yang berusia > 70 tahun, konsumsi tembakau 15 gr/hari, VEP1 < 50 % pred, dengan

kadar CRP > 3 mg/l mengalami rawat inap sekitar 54% dan kematian sekitar 57%. Kesimpulan studi ini adalah CRP merupakan penanda yang kuat memprediksi prognosis penderita PPOK.5

Torres dkk. (2006) dalam studinya pada 130 penderita PPOK stabil dan 65 orang kontrol sehat melaporkan bahwa kadar CRP meningkat pada penderita PPOK stabil (4.1 mg/l) yang tidak mengalami eksaserbasi berulang dalam 2 bulan, terutama yang masih merokok dibanding dengan kontrol (1.8 mg/l). Dengan hasil bahwa peningkatan kadar CRP berkorelasi negatif dengan PaO2 dan

(26)

konsentrasi CRP plasma dapat berguna dalam mengkonfirmasi PPOK eksaserbasi tetapi tidak dapat memprediksikan beratnya eksaserbasi, dan respon fase akut pada eksaserbasi berhubungan dengan fungsi monosit.7

Perera dkk. (2007) dalam studi kohort pada 73 penderita PPOK mengukur kadar serum CRP dan IL-6 serta kadar IL-6 dan IL-8 pada sputum saat kondisi penderita PPOK stabil, eksaserbasi serta pada hari ke 7, 14, dan 35 setelah eksaserbasi. Hasilnya adalah 23% pasien tidak mengalami perbaikan gejala sampai hari ke 35, ternyata pasien ini memiliki kadar serum CRP yang lebih tinggi secara menetap selama periode pemulihan dibandingkan dengan pasien yang mengalami pemulihan ke kadar normal (p : 0,03). Sekitar 22% pasien yang mengalami eksaserbasi berulang pada hari ke 50 hari dari eksaserbasi sebelumnya berhubungan secara signifikan (p : 0,007) dengan tingginya kadar CRP pada hari ke 14 (8,8 mg/l) dibandingkan dengan kadar CRP pasien yang tidak mengalami eksaserbasi berulang (3,4 mg/l). Hasil ini menunjukkan bahwa kadar CRP dapat menjadi penanda penting bagi lamanya pemulihan dan berulangnya eksaserbasi serta penanda serum inflamasi merupakan penanda yang lebih baik dari pada penanda sputum.8

(27)

antara konsentrasi hsCRP dan kebiasaan merokok (p : 0,0229) yang mendukung pernyataan merokok dapat menimbulkan inflamasi sistemik.9

Sembiring (2007) dalam studinya dengan 40 sampel di Medan menemukan bahwa rerata kadar CRP pada pasien PPOK stabil di RSHAM dan Pirngadi adalah 0,23 + 0,34 mg/dl.10 Sementara itu, Parhusip (2008) dalam studinya pada 40 pasien PPOK eksaserbasi di RS HAM dan RS Pirngadi Medan menemukan kadar CRP adalah 0,68 + 0,54 mg/dl.11

Durme dkk. (2009) dalam studi kohort pada 6836 sampel tanpa PPOK, dengan hasil bahwa sampel dengan kadar hsCRP > 3 mg/l setelah pengamatan 3 tahun menunjukkan peningkatan risiko mengalami PPOK secara signifikan dibanding dengan kadar < 1 mg/l. Namun hsCRP tidak dapat dikatakan sebagai faktor risiko dalam menyebabkan PPOK tetapi dapat dianggap sebagai prediktor. Penelitian ini juga tidak menemukan hubungan antara variasi dalam gen CRP sebagai penanda perubahan kadar hsCRP dan insiden PPOK. Hasil ini menunjukkan bahwa faktor endogen atau eksogen lain memiliki peran kausal dalam hubungan antara inflamasi sistemik dan PPOK.12

Alavi dkk. (2011) dalam studi potong lintang pada 160 pasien PPOK eksaserbasi di Iran menunjukkan bahwa kadar hsCRP secara signifikan berhubungan dengan stadium penyakit PPOK sesuai dengan kriteria GOLD (rata-rata kadar hsCRP 11,65 + 15,03 mg/l).13

(28)

poli paru RS HAM Medan maka peneliti ingin melakukan penelitian mengenai perbedaan kadar CRP pada penderita PPOK eksaserbasi dan PPOK stabil di RA3 dan poli paru RS HAM Medan.

1.2 Perumusan masalah

Berdasarkan latar belakang diatas perlu diteliti mengenai adakah perbedaan kadar CRP antara penderita PPOK stabil dan eksaserbasi di RA3 dan poli paru RS HAM Medan.

1.3 Tujuan penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Untuk mengetahui perbedaan kadar CRP pada penderita PPOK stabil dan PPOK eksaserbasi.

1.3.2 Tujuan khusus

1. Untuk mengetahui karakteristik penderita PPOK eksaserbasi dan stabil. 2. Untuk mengetahui hubungan antara umur, IB, IMT, VEP1, CRP, CAT, dan

mMRC dengan penderita PPOK eksaserbasi dan stabil.

3. Untuk mengetahui hubungan antara kadar CRP dengan VEP1, IB, IMT,

CAT, dan mMRC.

4. Untuk mengetahui nilai rata-rata kadar CRP, CAT, mMRC, IMT, VEP1,

umur, dan IB pada penderita PPOK eksaserbasi dan stabil.

5. Untuk mengetahui apakah ada perbedaan kadar CRP, nilai CAT, nilai mMRC, IMT, VEP1, umur, dan IB pada penderita PPOK eksaserbasi dan

(29)

1.4 Manfaat penelitian

1. Memberikan informasi besarnya kadar CRP pada penderita PPOK stabil dan eksaserbasi, sehingga dapat diketahui bahwa proses inflamasi yang terjadi pada pasien PPOK dapat menimbulkan perubahan kadar CRP, dan dapat digunakan sebagai tanda awal terhadap penatalaksaanaan.

2. Peningkatan kadar CRP pada penderita PPOK dapat digunakan sebagai petanda untuk menentukan prognosa sehingga pemeriksaan ini harus dilakukan secara rutin bagi penderita PPOK stabil dan eksaserbasi.

3. Selama ini penilaian pasien PPOK eksaserbasi adalah dari anamnesa dan pemeriksaan klinis saja sehingga dengan adanya data kadar CRP yang meningkat dapat berguna untuk mengidentifikasi, mengkonfirmasi atau sebagai prediktor PPOK eksaserbasi.

4. Peningkatan kadar CRP pada pasien PPOK stabil maupun eksaserbasi di RSHAM Medan akan digunakan sebagai penambah data yang membuktikan bahwa pasien PPOK mengalami inflamasi yang berlangsung secara terus menerus, sehingga diperlukan terapi anti inflamasi baik inhalasi maupun sistemik pada pasien PPOK terutama penderita PPOK eksaserbasi.

5. Menambah data yang mendukung pernyataan keterlibatan mediator inflamasi sistemik yaitu CRP pada penderita PPOK.

(30)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

2.1.1 Defenisi PPOK

PPOK adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang persisten, bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun/berbahaya, disertai efek ekstraparu yang berkontribusi terhadap derajat berat penyakit.14

2.1.2 Epidemiologi PPOK

Di Indonesia tidak ditemukan data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1992 menemukan angka kematian emfisema, bronkitis kronik dan asma menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia. Pada tahun 1997 penderita PPOK yang dirawat inap di RSUP Persahabatan sebanyak 124 (39,7%), sedangkan rawat jalan sebanyak 1837 atau 18,95%. Di RSUD dr. Moewardi Surakarta ditemukan penderita PPOK rawat inap sebanyak 444 (15%), dan rawat jalan 2368 (14%).15

(31)

udara akibat pembakaran yang juga telah diidentifikasi sebagai faktor risiko PPOK.14

Menurut Raherison (2009) prevalensi PPOK diperkirakan 7,6%. Berdasarkan 38 penelitian, prevalensi bronkitis kronis diperkirakan 6,4%. Prevalensi emfisema (melalui rontgen dada) diperkirakan 1,8% berdasarkan delapan studi. Mayoritas studi (62%) menunjukkan umur pasien lebih dari 40 tahun, dengan rentang usia antara 40 dan 64 tahun. Prevalensi PPOK meningkat sesuai dengan usia, dengan peningkatan risiko menjadi lima kali lipat bagi mereka yang berusia di atas 65 tahun dibandingkan dengan pasien berusia kurang dari 40 tahun. Prevalensi PPOK meningkat sesuai dengan status merokok, tetapi perlu ditekankan bahwa prevalensi PPOK pada perokok adalah 4%, menunjukkan adanya faktor risiko lain, seperti merokok pasif, atau faktor paparan akibat kerja. PPOK terjadi pada laki-laki dua kali lebih banyak dibanding perempuan, tetapi perbedaan ini akan berkurang, mengingat fakta bahwa semakin banyak perempuan yang merokok terutama di negara berkembang, dan bahwa perempuan yang tidak merokok terkena produk hasil pembakaran dari biomass di negara berkembang.16

(32)

2.1.3 Patogenesis PPOK

Inflamasi saluran napas pada pasien PPOK merupakan amplifikasi dari respon inflamasi akibat iritasi kronik seperti asap rokok. Mekanisme untuk amplifikasi ini belum diketahui, kemungkinan dapat disebabkan faktor genetik. Pada pasien PPOK yang tidak mempunyai riwayat merokok, penyebab respon inflamasi yang terjadi belum diketahui. Inflamasi paru diperberat oleh tekanan oksidatif dan kelebihan proteinase. Semua mekanisme ini mengarah pada karakteristik perubahan patologis PPOK.14

Mikroba tidak sendirian dalam memicu sistem imunitas tubuh melainkan terdapat keterlibatan tekanan selular, kerusakan jaringan akibat dari infeksi TLR. Hasil dari sel epitel yang cedera ini dapat bertindak sebagai ligan untuk TLR4 dan TLR2 yang akan mengaktifkan NF-kB. NF-kB ini akan menginduksi sel epitel untuk memproduksi mediator peradangan. Mediator ini akan mengaktifkan makrofag dan neutrofil, yang pada gilirannya akan mensekresikan enzim proteolitik dan bersama dengan ROS akan merusak jaringan paru-paru. Pada sebagian besar perokok proses penyakit ini tidak akan berkembang jika peradangan ini diminimalkan dan peristiwa pada tahap selanjutnya tidak terjadi.18

(33)

yang menyebabkan sel T melimpah di paru-paru penderita PPOK.Selanjutnya sel T CD8+ dan CD4+ akan mengekspresikan reseptor kemokin spesifik jaringan seperti CXCR3, CCR5, dan CXCR6 dimana ekspresi dari reseptor dan ligan ini berkorelasi dengan keparahan penyakit PPOK.Kegagalan ringan dari mekanisme pengaturan ini menghasilkan GOLD derajat satu atau derajat dua, kegagalan berat menjadi GOLD derajat tiga atau tahap empat.18

Asap rokok dapat mencetuskan pelepasan sitokin inflamasi dari berbagai sel termasuk IL-6, TNFα, IL-1β, TGF-β1, dan GM-CSF. Inhalasi asap rokok juga

menyebabkan terjadinya ROS yang akan manghambat aktivitas mediator anti

protease terutama α1-antitripsin yang menyebabkan defisiensi anti protease.

Masuknya IL-8 dan netrofil ke parenkim paru akan diikuti oleh makrofag dan sel T CD8+. Makrofag akan aktif dan melepaskan sejumlah MMP (MMP1, MMP2, MMP9, MMP12 dan MMP15) yang akan mendegradasi baik elastin dan kolagen. Netrofil juga berperan menghasilkan oksidan endogen dengan konsentrasi tinggi. Oksidan ini bersama dengan sitokin masuk ke sistem vaskular.19

Efek nikotin di seluruh saluran napas diperkirakan memicu pelepasan fibronektin yang mengakibatkan terjadinya fibrosis yang dimediasi oleh IL-8 dan TGF-β1. Pada penderita PPOK terjadi apoptosis struktur sel (sel epitel dan endotel) dan sel-sel inflamasi (neutrofil polimorfik) yang tidak teratur, sehingga terjadi peningkatan IL-6 dan IL-8. Aktivasi NF-kB berkaitan dengan penghambatan apoptosis, sehingga akan memperpanjang umur netrofil dan remodeling.19

(34)

neutrofil, eosinofil, sel T CD4+ dan CD8+, dan sel B memperburuk PPOK. Pada PPOK interaksi antara kemokin CXCL10 dan CXCL9, akan meningkatkan produksi MMP-12 sehingga menyebabkan kerusakan paru-paru. Fungsi sel dendritik yang meningkat, kecenderungan genetik, dan kegagalan regulasi imunitas adaptip dan penyakit berat (GOLD tahap tiga atau tahap empat).18

Gambar 2.1. Inflamasi pada PPOK. Paparan rokok yang kronik mengakibatkan aktifasi netrofil, makrofag, sel epitel, sel dendritik, sel T, sel B, fibroblast dan sel otot polos saluran napas sehingga terjadi pengeluaran sitokin, kemokin, dan protease. Amplifikasi sinyal sangat berperan dalam hal menambah respon inflamasi yang akan mempengaruhi derajat berat PPOK.20

1. Tekanan oksidatif

(35)

sel-sel inflamasi seperti makrofag dan neutrofil, dan dapat juga terjadi penurunan antioksidan endogen pada pasien PPOK. Tekanan oksidatif menyebabkan aktifasi gen inflamasi, antiprotease menjadi tidak aktip, stimulasi sekresi mukus, dan stimulasi plasma meningkat.14

2. Ketidakseimbangan protease-antiprotease

Proteinase berperan penting dalam patogenesis PPOK. Hipotesa proteinase-antiproteinase menyatakan bahwa kerusakan paru-paru penderita PPOK terjadi jika aksi proteinase tidak lagi dikendalikan oleh antiproteinase. Ini dapat terjadi ketika ada kelainan genetik antiproteinase, seperti defisiensi α1 -antitrypsin, atau kehilangan fungsi antiproteinase dikarenakan proteolitik atau kerusakan oksidatif. Ketidakseimbangan juga dapat terjadi karena perekrutan yang berlebihan atau aktivasi proteinase.21

Proteinase diklasifikasikan sebagai serine proteinase, sistein proteinase, dan MMP. Peran MMP dalam PPOK adalah mendegradasi protein matriks,

antiproteinase seperti α1-antitipsin dan α1-antichymotrypsin, memodifikasi

sitokin dan menurunkan sejumlah protein seperti faktor adhesi dan substansi P.21

3. Remodeling saluran napas kecil

(36)

berlebihan dari IL-1β menginduksi fibrosis peribronkial. Pada kultur trakea tikus, asap rokok menyebabkan peningkatan regulasi TGF-β1.22

Sinyal faktor pertumbuhan fibroblast dan reseptor FGF (FGFR) tampaknya terkait dengan saluran napas dan remodeling pembuluh darah pada bronkitis kronis. Studi imunohistokimia jaringan paru-paru dari pasien PPOK menunjukkan bahwa FGF-1 dan reseptor FGFR-1 terdeteksi dalam otot polos pembuluh darah dan saluran napas serta sel epitel saluran napas. Dasar FGF/FGF -2 terlokalisasi di sitoplasma, inti epitel saluran napas, otot polos pembuluh darah dan sel endotel.22

(37)

sputum dan di darah tidaklah erat, sehingga keterlibatan faktor lain diperkirakan berperan dalam proses ini. Akibat dari keterbatasan aliran udara yang progresif menimbulkan aktivitas fisik menjadi tidak aktif, hal ini merupakan faktor penting dalam mencetuskan beberapa penyakit penyerta, seperti kelemahan otot rangka, osteoporosis, dan penyakit kardiovaskular.23

PPOK mencakup proses inflamasi dan aterosklerosis diketahui berperan penting sebagai komponen inflamasi kronik, CRP yang merupakan petanda inflamasi sistemik dan indikator penting pada penyakit kardiovaskular ditemukan juga meningkat pada pasien PPOK dan berkontribusi terhadap progresivitas aterosklerosis. Hal ini menjadikan sebagian ahli memandang bahwa proses inflamasi di paru adalah salah satu bagian dari manisfestasi atau ekspresi proses inflamasi sistemik pada penderia PPOK. Akibat perbedaan konsep ini maka berbeda pula cara pandangnya terhadap penanganan PPOK, dimana konsep pertama menekankan terapi pada paru sedangkan pada konsep yang kedua lebih menekankan pengendalian inflamasi sistemik.24

2.1.4. Patologi PPOK

1. Saluran napas sentral

(38)

pada jumlah CD45+ (leukosit total), CD3+ (Limfosit T), CD25+ (aktivasi awal), sel VLA-1+ (akhir aktivasi) dan makrofag. Selain itu, ada juga laporan terdapatnya eosinofilia pada bronkitis kronis, khususnya selama eksaserbasi. Sitokin IL-10 berperan dalam mengurangi respon inflamasi dan kadarnya menurun dalam dahak perokok dengan PPOK, sitokin IL-8 berperan merangsang kemotakis neutrofil, sitokin TNF-α berperan mengaktifkan molekul adhesi, dimana kadar ketiga sitokin ini mengalami peningkatan. Peningkatan regulasi terhadap molekul adhesi E-selektin dan ICAM-1 pada subepitel pembuluh darah dan epitel bronkus pada perokok dengan bronkitis kronis mengarahkan pada mekanisme pengambilan neutrofil dari sirkulasi dan bermigrasi ke lumen saluran napas melalui epitelium.25

2. Saluran napas perifer

Pada perokok hambatan aliran udara yang terkait dengan perubahan patologis lebih lanjut di saluran napas perifer termasuk remodeling saluran napas (fibrosis dan hipertrofi otot polos) dan inflamasi. Selain itu, peradangan dinding saluran napas dapat berkontribusi terhadap kerusakan dinding alveolar yang melekat pada saluran napas yang memungkinkan kerusakan dinding saluran napas dan penyempitan lumen.25

(39)

hiperplasia sel goblet berhubungan dengan peningkatan jumlah neutrofil. Sebagaimana neutrofil elastase adalah penghasil sekresi mediator inflamasi yang sangat potensial, lokasi neutrofil dalam epitel dapat berperan penting untuk mengaktifkan fungsi sekresi sel goblet.25

3. Parenkim paru

Komponen yang paling penting dari definisi emfisema adalah proses destruksi. Tergantung pada bagaimana asinus hancur, emfisema dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis: (1) emfisema sentriasinar / sentrilobular), yang ditandai dengan kehancuran terbatas pada bronkiolus dan bagian tengah dari asinus, dikelilingi oleh parenkim paru-paru normal, dan (2) emfisema panasinar / panlobular), di mana keseluruhan asinus terlibat.25

2.1.5. Patofisiologi PPOK

Saat ini telah diketahui dengan jelas tentang mekanisme patofisiologis yang mendasari PPOK sampai terjadinya gejala yang khas, misalnya penurunan VEP1 yang disebabkan peradangan dan penyempitan saluran napas perifer,

sementara transfer gas yang menurun terjadi akibat kerusakan parenkim paru pada emfisema.14

1. Keterbatasan aliran udara dan hambatan udara

(40)

merupakan gejala yang khas pada PPOK, obstruksi jalan napas perifer ini menyebabkan udara terperangkap dan mengakibatkan hiperinflasi.14

Hiperinflasi mengurangi kapasitas inspirasi seperti peningkatan kapasitas residual fungsional, khususnya selama latihan (kelainan ini dikenal sebagai hiperinflasi dinamis), yang terlihat sebagai sesak napas dan keterbatasan kapasitas latihan. Hiperinflasi yang berkembang pada awal penyakit merupakan mekanisme utama timbulnya sesak napas pada aktifitas. Bronkodilator yang bekerja pada saluran napas perifer mengurangi hambatan udara, sehingga mengurangi volume residu dan gejala serta meningkatkan keterbatasan kapasitas latihan.14

2. Mekanisme pertukaran gas

Pada PPOK yang lanjut kombinasi dari obstruksi saluran napas perifer, destruksi parenkim dan kelainan pembuluh darah pulmonal mengurangi kapasitas paru untuk pertukaran gas, menyebabkan hipoksemia pada tahap lanjut penyakit juga menyebabkan hiperkapnia. Korelasi antara tes fungsi paru rutin dan gas darah arteri memburuk. Hipoksemia biasanya terjadi jika melakuan aktifitas, tetapi jika penyakit terus berlangsung juga akan timbul pada saat istirahat.26

Ketidaksamaan rasio ventilasi/perfusi merupakan mekanisme utama yang menyebabakan hipoksemia pada PPOK, dengan tanpa melihat tingakatan penyakit. Hiperkapnia kronik biasanya menunjukkan disfungsi otot inspirasi dan hipoventilasi alveolar.26

(41)

polos dan hiperplasia. Adanya respons inflamasi dalam pembuluh darah sering terlihat di saluran napas dan merupakan bukti dari disfungsi sel endotel. Jika hipertensi pulmonal terus berlangsung dapat menyebabkan hipertropi ventrikel kanan dan biasanya menjadi gagal jantung kanan.14

3. Eksaserbasi

Eksaserbasi merupakan peningkatan lebih lanjut respons inflamasi dalam saluran napas pasien PPOK. Keadaan ini dapat dipicu oleh infeksi bakteri atau virus atau polusi lingkungan. Mekanisme inflamasi yang mengakibatkan eksaserbasi PPOK masih banyak yang belum diketahui. Pada eksaserbasi ringan dan sedang terdapat peningkatan netrofil, beberapa studi lainnya juga menemukan eosinofil dalam sputum dan dinding saluran napas. Hal ini berkaitan dengan peningkatan konsentrasi mediator tertentu, termasuk TNF-α, LTB4 dan IL-8, serta peningkatan biomarker stress oksidatif.14

Pada eksaserbasi berat masih banyak hal yang belum jelas, meskipun salah satu penelitian menunjukkan peningkatan neutrofil pada dinding saluran napas dan peningkatan ekspresi kemokin. Selama eksaserbasi terlihat peningkatan hiperinflasi dan terperangkapnya udara, dengan pengurangan aliran ekspirasi, sehingga terjadi peningkatan sesak napas. Terjadi juga perburukan yang mengakibatkan hipoksemia berat.14

2.1.6 Diagnosis PPOK

(42)

oksidatif, gen, tumbuh kembang paru, sosial ekonomi. Risiko PPOK pada perokok tergantung dari dosis rokok yang dihisap, usia mulai merokok, jumlah batang rokok pertahun dan lamanya merokok (IB). Tidak semua perokok berkembang manjadi PPOK secara klinis, karena dipengaruhi oleh faktor resiko genetik pada setiap individu. Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanda dan gejala ringan hingga berat. Gejala klinis yaitu berupa:

1. Sesak napas yang progresif dan bertambah berat seiring berjalannya waktu dan aktifitas, dan persisten

2. Batuk kronik yang hilang timbul dan mungkin tidak berdahak. 3. Batuk kronik berdahak

4. Riwayat terpajan faktor resiko berupa asap rokok, debu, bahan kimia di tempat kerja, asap dapur.27

Pemeriksaan fisis pada PPOK dini umumnya tidak dijumpai kelainan. Dari inspeksi dapat ditemukan:

1. Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup/mencucut) yaitu sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang memanjang.

2. Barrel chest (diameter anteroposterior dan transversal sebanding). 3. Penggunaan otot bantu napas.

4. Hipertrofi otot bantu napas. 5. Pelebaran sela iga.

(43)

7. Penampilan pink puffer yaitu gambaran yang khas pada emfisema, pasien kurus, kulit kemerahan dan pernapasan pursed-lips breathing, atau blue bloater yaitu gambaran khas pada bronkitis kronik, pasien gemuk sianosis, terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer.27

Pada palpasi biasanya ditemukan fremitus melemah, sela iga melebar. Perkusi pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah. Pada auskultasi terdengar suara napas vesikuler normal atau melemah dan terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa, ekspirasi memanjang, bunyi jantung terdengar jauh.27

Gambar 2.3. Gambaran radiologi penderita PPOK.28

(44)

Spirometri merupakan baku emas untuk mendiagnosa PPOK. Hasil pengukuran spirometri penderita PPOK, didapati penurunan volume ekspirasi paksa 1 detik (VEP1) dan penurunan kapasitas vital paksa (KVP). Nilai

VEP1/KVP selalu kurang dari 80% nilai normal. VEP1% merupakan parameter

yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.27

Tabel 2.1. Pembagian hambatan aliran udara berdasarkan spirometri setelah pemberian bronkodilator.14

R

Note: When assessing risk, choose the highest risk according to GOLD grade or exacerbation history

PENILAIAN PPOK MENURUT GOLD 2011

RESIKO Pasien dengan VEP1/KVP <70%

GOLD 1 Ringan VEP1≥ 80% prediksi

GOLD 2 Sedang 50 % ≤ VEP1 < 80% prediksi GOLD 3 Berat 30 % ≤ VEP1 < 50% prediksi GOLD 4 Sangat Berat VEP1< 30% prediksi

mMRC 0-1, CAT>10 mMRC 0-1, CAT<10

(45)

2.1.7. Penatalaksanaan PPOK

Tujuan penatalaksanaan PPOK adalah meliputi beberapa komponen yaitu: mengurangi gejala, mencegah progresivitas penyakit, meningkatkan toleransi latihan, meningkatkan status kesehatan, mencegah dan menangani komplikasi, mencegah dan menangani eksaserbasi, menurunkan kematian. Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi beberapa hal yaitu edukasi, berhenti merokok, obat-obatan, rehabilitasi, terapi oksigen, ventilasi mekanis, dan nutrisi.27

2.2 C-reactive protein (CRP)

CRP ditemukan oleh Tillett dan Francis pada tahun 1930, dinamai CRP karena kemampuannya untuk mengendapkan C polisakarida dari Streptococcus pneumoniae. CRP merupakan protein fase akut yang memiliki kemampuan untuk mengikat bakteri kemudian memfasilitasi pengikatan komplemen yang diperlukan untuk memfagositosis bakteri. CRP merupakan penanda sistemik yang sangat peka terhadap reaksi inflamasi dan kerusakan jaringan. Respon fase akut meliputi respon nonspesifik yang fisiologis dan biokimia terhadap berbagai bentuk kerusakan jaringan, infeksi, peradangan, dan keganasan. Protein fase akut terdiri atas penghambat proteinase, koagulasi, komplemen dan protein transport, tetapi hanya molekul protein SAA yang memiliki sensitifitas, dan kecepatan respon yang sebanding dengan CRP.1

2.2.1 Struktur dan filogeni CRP

CRP termasuk dalam famili pentraksin dari protein plasma

(46)

Molekul CRP pada manusia terdiri dari lima polipeptida yang identik, masing-masing terdiri atas 206 residu asam amino.29

Secara struktural CRP adalah molekul simetris yang terdiri dari lima protomer tidak kovalen yang berhubungan dengan promoter. Setiap protomer memiliki dua ion kalsium yang bertanggung jawab untuk pengikatan posfoklorin spesifik. Posfoklorin merupakan unsur utama dari polisakarida bakteri dan jamur dan yang paling banyak pada sel membran biologis, seperti residu posfoklorin dari C (kapsuler) polisakarida dari Streptococcus pneumoniae. Protein ini dinamakan "C-reactive" karena reaksi ini.30

Monosit memiliki reseptor untuk CRP dan selanjutnya CRP akan meningkatkan produksi sitokin. CRP berperan juga dalam proses atherogenesis. Aktifasi CRP lebih lanjut dapat mengakibatkan produksi sitokin pro-inflamasi dan diferensiasi monosit menjadi makrofag. Dengan keberadaan lipoprotein teroksidasi densitas rendah, CRP akan memfasilitasi produksi sel-sel busa yang akan menjadi plak aterosklerotik.31

2.2.2 Fungsi CRP

(47)

memonitor inflamasi akibat dari infeksi maupun tidak infeksi, dan untuk menilai kemajuan terapi.32

Nakou dkk (2008) dalam analisanya menyimpulkan CRP dapat berperan dalam menginduksi apoptosis sel otot polos pembuluh darah koroner, dapat menginduksi pelepasan IL-1 dan TNFα oleh monosit, meningkatkan pembentukan radikal oksigen dengan monosit dan netrofil, menginduksi aktivasi komplemen, menginduksi ekspresi dari molekul adhesi melalui sel endotel (ICAM-1, VCAM-1, E-selektin) dan menginduksi produksi dari tissue factor dari monosit.33

Gambar 2.5. CRP pada patogenesis PPOK. MØ: macrophage; aAT: a1-antitrypsin; END: endothelial cell.19

Gan dkk. (2004) dalam studi metaanalisanya menganalisa 14 studi original dengan membandingkan kadar serum CRP, fibrinogen, leukosit dan

TNF-α , IL-6, dan IL-8 pada pasien PPOK dan kontrol sehat. Hasilnya adalah pasien

(48)

dan TNF-α dibandingkan dengan kontrol yang sehat, yang mengindikasikan bahwa inflamasi sistemik persisten terjadi pada PPOK. Ditemukan juga bahwa pada pasien PPOK yang telah berhenti merokok terdapat bukti adanya inflamasi sistemik yang rendah. Hal ini menjelaskan bahwa ketika terjadi PPOK, berhenti merokok tidak sepenuhnya menepis proses inflamasi yang berhubungan dengan kondisi ini.34

Bagaimana dan kenapa pasien PPOK mengalami inflamasi sistemik masih belum dapat dijelaskan. PPOK dikarakteristikkan dengan proses inflamasi yang kuat pada saluran napas, parenkim, dan pembuluh darah paru. Ada kemungkinan dalam beberapa kasus bahwa proses inflamasi ini meluas ke sirkulasi sistemik yang selanjutnya menimbulkan reaksi inflamasi yang luas. Bagaimanapun mekanismenya, proses inflamasi sistemik pada PPOK telah dikaitkan dengan berbagai komplikasi seperti kehilangan berat badan, kaheksia, osteoporosis, dan penyakit kardiovaskular. Hubungan antara PPOK, peradangan sistemik, dan penyakit kardiovaskular sangat erat dimana lebih dari setengah pasien dengan PPOK meninggal karena penyakit kardiovaskular. Selain itu, selama periode eksaserbasi terjadi peningkatan secara signifikan kadar plasma CRP, fibrinogen dan kadar serum IL-6, yang selanjutnya dapat menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular pada pasien dengan PPOK.34

(49)

Laki-laki dengan kadar CRP > 0,46 mg/l mengalami penurunan VEP1 sementara

pada kadar yang sama perempuan tidak mengalami penurunan VEP1 yang

signifikan. Hubungan negatif antara CRP dan VEP1 terjadi lebih besar pada

laki-laki dibanding perempuan (p=0,04), terdapat hubungan kadar CRP dan KVP (p=0,01) pada laki-laki saja.35

Olafsdottir (2011) dalam disertasinya menyimpulkan terdapat hubungan antara kadar CRP dan gejala respirasi seperti mengi, sesak napas yang berhubungan dengan aktifitas, batuk malam hari, dimana hal ini menunjukkan bahwa penanda inflamasi sistemik tidak hanya bermanfaat sebagai penanda penyakit tahap lanjut tetapi juga untuk menilai perjalanan penyakit.36

2.2.3 Kadar CRP

Secara tradisional, kadar serum CRP dapat diukur dengan nephelometry, yang memiliki batas deteksi dari 6 sampai 10 mg/l yang disebut pemeriksaan serum CRP. Bentuk komersialnya adalah hsCRP. Pemeriksaan ini memiliki batas deteksi sesuai dengan nama dagangnya seperti metode immulite automated analyzer dengan batas deteksi pengukuran 0,10 – 500 mg/l, berdasarkan BNA nephelometer dengan batas deteksi pengukuran 0,18-115 mg/l, berdasarkan immage dengan batas deteksi pengukuran 0,2-1440 mg/l.37

(50)

plasma diproduksi oleh sel hati, terutama di bawah kontrol transkripsi sitokin IL-6, TNF-a dan IL-1 meskipun telah pernah dikemukakan kemungkinan sumber lain dapat membentuk CRP lokal.38 Broz BR dalam studinya menyatakan bahwa parenkim paru dan jaringan bronkus juga dapat mensintesa CRP.39

Hutchinson dkk. (2000) dalam studi epidemiologi menilai kadar CRP pada populasi dewasa dari Augsburg (2291 laki-laki, 2203 perempuan, usia 25-74 tahun), Glasgow (604 laki-laki, 650 perempuan, usia 25-64 tahun) dengan hasil bahwa kadar CRP hampir sama pada kedua populasi yaitu 1 mg/l pada usia muda dan 2 mg/l pada usia tua, dimana kadarnya lebih tinggi pada wanita. Rata-rata kadar CRP pada kedua populasi yaitu 0,75 - 2,40 mg/l.40

Dalam semua kondisi (baik normal ataupun dalam kondisi sedang mengalami inflamasi) maka waktu paruh plasma CRP adalah sekitar 19 jam, hal ini menunjukkan bahwa peningkatan kadar CRP dalam sirkulasi akan berkurang dalam sebanyak 50% setiap 19 jam jika individu tersebut diberi stimulus yang memperbaiki penyebab peningkatan CRP, jika dibanding dengan parameter biokimia lain (viskositas plasma atau sedimentasi eritrosit), maka kadar sirkulasi CRP lebih akurat.38

(51)

eksaserbasi, 23 orang pasien diperiksakan kembali menemukan kadar PCT, CRP dan neopterinnya satu bulan kemudian dan hasilnya bahwa kadar PCT (P=0,0788) dan CRP (p =฀ 0,0181) mengalami penurunan setelah satu bulan episode eksaserbasi (fase pemulihan) sementara kadar neopterin meningkat (p =฀

0,0325).41

Halvani dkk. (2006) dalam studi komperatif deskriptif pada 45 pasien PPOK stabil dengan jenis kelamin laki-laki tanpa penyakit jantung iskemi dan 45 orang sehat sebagai kontrol menemukan bahwa kadar hsCRP pada pasien PPOK secara signifikan (p = 0,04) berhubungan dengan derajat sesak napas dengan berdasarkan skala mMRC dimana derajat I, II, III masing - masing 22,78 ng/ml; 28,88 ng/ml dan 36.90 ng/ml. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara kadar CRP dan beratnya penyakit, episode eksaserbasi dan penggunaan kortikosteroid inhalasi. CRP merupakan marker inflamasi sistemik dan faktor utama yang menyebabkan komplikasi ekstrapulmonal.42

2.2.4 Cut off CRP

Hurst dkk. dalam studi kohort menyimpulkan bahwa cut off CRP dapat dipilih untuk memaksimalkan sensitivitas dan spesifisitas sesuai kebutuhan. Namun CRP saja tidak cukup sensitif maupun spesifik untuk mengkonfirmasi eksaserbasi.7

(52)

akut masih belum diketahui. Dalam studinya Bircan dkk. menggunakan cut off CRP 10 mg/l untuk eksaserbasi akut dengan sensitivitas dan spesifisitas 72,5% dan spesifisitas 100%. Nilai kisaran normal yang digunakan adalah 0-10 mg/l. Hasilnya yaitu rata-rata kadar CRP pada PCOPD adalah 108.1 + 61.8 mg/l, SCOPD: 3,9 + 1,4 mg/l, AECOPD: 36,8+ 43,9 mg/l, kontrol normal : 2.1+ 0.9 mg/l. Hasil ini menunjukkan tidak satupun dari kontrol yang sehat dan pasien PPOK stabil memiliki kadar CRP >10 mg/l, sementara semua pasien PPOK eksaserbasi memiliki kadar CRP >10 mg/l.43

Broekhuizen dkk (2006) dalam studinya pada 102 penderita PPOK dengan hasil penderita PPOK dengan GOLD derajat III dan IV memiliki kadar CRP yang lebih tinggi dibanding GOLD derajat II (II: 1.92 (0.36–16.00) mg/l; III: 4.43 (0.47–75.60) mg/l; IV: 4.90 (0.47–65.70) mg/l; p<0.03). Nilai cut off yang digunakan untuk membedakan kadar CRP orang normal (rata-rata 1,49 mg/l) dan yang mengalami peningkatan (rata – rata 12,50 mg/l) adalah 4,21 mg/l.44

2.2.5 Faktor – faktor yang mempengaruhi kadar CRP

Telah banyak laporan bahwa pada beberapa populasi kadar CRP pada wanita lebih tinggi dibanding pria. Data dari Ausburg juga menunjukkan demikian bahwa kadar CRP pada wanita (2,9 mg/l) secara signifikan lebih tinggi dibanding pria (1,5 mg/L) dan kebalikannya ditemukan pada populasi di Jepang.45

Alavi dkk. (2011) berdasarkan studinya menyatakan bahwa kadar hsCRP meningkat pada penderita PPOK eksaserbasi dengan IMT yang dibawah normal dan diatas normal dibandingkan dengan yang normal, pasien dengan PaCO2 yang

(53)

Sin dkk. (2004) dalam studinya mengikutsertakan 41 pasien PPOK ringan sampai sedang, menemukan efek prednisolon oral 30 mg/hari menurunkan kadar CRP 71% dan kortikosteroid inhalasi dosis tinggi (flutikason 1000 dan 2000

μg/hari) menurunkan kadar CRP 50% pada pasien PPOK ringan sampai berat.46

Pinto-plata dkk. (2006) dalam studinya mengikutsertakan 88 pasien PPOK dan 33 kontrol merokok dan 38 kontrol tidak merokok, dengan hasil bahwa kadar CRP sekitar 20% lebih rendah pada pasien yang menggunakan dosis tinggi kortikosteroid inhalasi budesonid 800-1200 μg/hari, kadar CRP lebih tinggi pada pasien PPOK (rata-rata 1,51 mg/l) dibanding orang sehat baik merokok (1,04 mg/l) maupun tidak merokok (1,04 mg/l).47

Sementara itu Karadag dkk. (2008) menemukan tidak ada perbedaan kadar serum CRP, TNF-a atau IL-6 pada pasien PPOK yang sedang ataupun yang sudah berhenti menggunakan steroid inhalasi dengan dosis medium budesonide 400-800 μg/hari. Kadar CRP juga diketahui secara signifikan lebih tinggi pada pasien PPOK dengan IMT yang rendah.48

Kherad dkk. (2010) dalam studinya memeriksa kadar CRP (86 orang) dan PCT (81orang) penderita AECOPD dengan hasil medium kadar CRP 33 mg/l dan

PCT 0,06 μg/l pada kasus yang ditemukan infeksi bakteri. Dan pada kasus yang

ditemukan infeksi virus kadar medium CRP dan PCT adalah 45 mg/l dan 0,08

μg/l, namun hasil ini tidak ada perbedaan secara signifikan dengan pasien tanpa

(54)

2.3. Kerangka konsep

Gambar 2.6. Kerangka konsep penelitian

2.4 Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah:

1) Terdapat perbedaan kadar CRP pada penderita PPOK stabil dan eksaserbasi

(55)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Rancangan penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan potong lintang.

3.2. Tempat dan waktu penelitian

Penelitian dilakukan di Poli Paru dan ruang rawat inap paru RS. H.Adam Malik Medan /Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU. Penelitian dilaksanakan mulai Maret - November 2013.

3.3. Subyek penelitian

Populasi adalah semua penderita PPOK eksaserbasi dan stabil yang berobat jalan ke Poli Paru dan yang dirawat inap di RS. H.Adam Malik Medan/Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU periode Maret - November 2013.

3.4. Kriteria inklusi

(56)

3.5. Kriteria eksklusi

1. Penderita PPOK yang masih merokok

2. Penderita PPOK dengan gangguan fungsi hati.

3. Penderita PPOK yang mengkonsumsi obat yang menurunkan kadar CRP (statin, aspirin, Vit. C, Vit. E, antibiotika, steroid sistemik)

4. Penderita penyakit menahun yang disingkirkan dengan melakukan anamnesis

5. Penyakit paru lainnya seperti bronkiektasis, tuberkulosis atau asma 6. Penderita sindroma metabolik

3.6. Besar sampel

(57)

3.7. Kerangka operasional

Gambar 3.1. Kerangka operasional penelitian

3.8. Defenisi operasional

1. Umur adalah ditentukan dari sejak pasien lahir sampai pasien tercatat (dalam hitungan waktu tahun) sebagai sampel penelitian, dikelompokkan:

- 40 - 44 tahun - 60 - 64 tahun - 45 - 49 tahun - 65 - 69 tahun - 50 - 54 tahun - > 70 tahun - 55 - 59 tahun

(58)

dijumpai hipersonor; dari auskultasi ditemukan suara napas vesikuler melemah atau normal dan ekspirasi memanjang.

3. Penderita PPOK eksaserbasi adalah subjek yang ditegakkan menderita PPOK melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, foto thoraks dan spirometri yang secara klinis sedang mengalami gejala eksaserbasi yaitu sesak bertambah, produksi sputum meningkat, perubahan warna sputum (sputum menjadi purulen).

4. Penderita PPOK stabil adalah subyek yang ditegakkan menderita PPOK melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan foto thoraks yang secara klinis jika pasien tersebut tidak mengalami eksaserbasi selama 2 bulan. Adapun kriteria stabil adalah:

- Tidak dalam kondisi gagal napas akut pada gagal napas kronik, - Dapat dalam kondisi gagal napas kronik stabil, yaitu hasil analisis

gas darah menunjukkan PH normal PCO2 > 60mmHg dan PO2 < 60

mmHg,

- Sputum tidak berwarna atau jernih

- Aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat berat PPOK (hasil spirometri)

- Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan - Tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan.

5.

CRP

adalah high sensitive C-Reactive Protein (hsCRP) yang diambil

(59)

- Normal 0,00 – 10,00 mg/L. - Tinggi > 10,00 mg/L.

6. Derajat intensitas merokok (Indeks Brinkman) dibedakan sebagai berikut:

- Ringan : 0-199 - Sedang : 200-599 - Berat : > 600

7. Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah nilai yang diambil dari perhitungan antara berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) seseorang dibagi atas:

- Berat badan kurang < 18.5% - Normal (18.5 - 24.99) - Diatas normal 25 - 29.99 - Obesitas > 30.

8. Volume Ekspirasi Paksa 1 detik (VEP1) adalah jumlah udara yang

dapat dikeluarkan dalam waktu satu detik, diukur dalam liter, dibagi atas:

- Ringan = GOLD 1= VEP1≥ 80% prediksi

- Sedang = GOLD 2 = 50 % ≤ VEP1 < 80% prediksi - Berat = GOLD 3 = 30 % ≤ VEP1 < 50% prediksi - Sangat berat = GOLD 4 = VEP1< 30% prediksi

(60)

yang didapat semakin rendah kualitas hidupnya dan dapat dipergunakan untuk menilai seluruh aspek pada penderita PPOK, dan juga meningkatkan komunikasi antara dokter-pasien. Berdasarkan GOLD 2012 dibagi atas:

- Gejala sedikit (1 – 9) - Gejala tinggi > 10

10. Skala sesak napas modified Medical Research Council (mMRC) terdiri atas lima skala (skala I-V) berdasarkan derajat berbagai aktivitas yang mencetuskan sesak napas. Berdasarkan GOLD 2012 dibagi atas: - Gejala sedikit (0 – 1)

- Gejala tinggi > 2

3.9. Cara penelitian

Seluruh subyek penelitian yang memenuhi semua kriteria inklusi dan eksklusi diperlakukan sebagai berikut:

1. Anamnesis meliputi data pribadi yaitu nama, umur, tempat/tanggal lahir, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, tinggi badan, berat badan,

riwayat merokok, lama menderita PPOK, pemakaian obat

bronkodilator sehari-hari, keluhan utama.

2. Pemeriksaan fisik, meliputi pemeriksaan tanda vital, TB, BB, Indeks Massa Tubuh (IMT). Spirometri dilakukan untuk uji faal paru dan dilakukan pengukuran lingkar pinggang.

(61)

ruangan dan posisi duduk. Kadar CRP diambil dengan sampel darah puasa sekitar 5 ml.

3.10. Analisa data

Untuk menilai perbedaan antara kadar CRP penderita PPOK stabil dan eksaserbasi digunakan independent T test jika distribusi normal jika tidak normal digunakan uji Mann Whitney.

3.11. Jadwal kegiatan

Tabel 3.2. Jadwal kegiatan

No Kegiatan I II III IV V VI VII VIII

1 Persiapan V

2 Pengumpulan data V V V V V V

3 Pengolahan data V V

4 Penyusunan laporan V

5 Seminar hasil V

3.12. Biaya Penelitian

Tabel 3.1. Biaya penelitian

No Keterangan Jumlah

1 Pengumpulan kepustakaan Rp. 1.000.000,-

2 Pembuatan proposal Rp. 1.000.000,-

3 Pemeriksaan laboratorium Rp. 12.000.000,-

4 Seminar proposal Rp. 1.500.000,- 5 Pembuatan laporan penelitian Rp. 1.000.000,- 6 Seminar hasil penelitian Rp. 1.500.000,-

(62)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil penelitian

Penelitian ini dilakukan tahun 2013 dengan sampel adalah penderita PPOK laki-laki dan telah berhenti merokok yang berobat ke Poli PPOK RSHAM serta yang dirawat di RSHAM, jumlah penderita PPOK stabil yang mengikuti penelitian ini adalah sebanyak 30 orang dan 30 penderita PPOK eksaserbasi. Penderita PPOK stabil dan eksaserbasi ini didiagnosa berdasarkan keluhan pernapasan yang dirasakan penderita seperti sesak napas, batuk, batuk berdahak, dan wheezing, kemudian dilakukan pemeriksaan fisik dada umumnya didapati suara pernapasan melemah, ekspirasi memanjang ataupun wheezing. Sampel yang belum pernah didiagnosa sebagai PPOK dilakukan pemeriksaan spirometri setelah dalam kondisi stabil. Setelah dilakukan penjelasan mengenai penelitian dan menandatangani surat persetujuan tindakan medik, maka penderita PPOK stabil yang setuju dilakukan pemeriksaan kadar CRP untuk mengetahui kondisi inflamasi sistemiknya, sedangkan pada pasien PPOK eksaserbasi pemeriksaan kadar CRP dilakukan dengan menggunakan serum sampel pada saat mengalami eksaserbasi. Hasil penelitian yang telah dianalisa secara statistik disajikan dalam bentuk tabel.

4.1.1. Karakteristik penelitian

(63)

stabil adalah dengan kelompok > 600, masing- masing sebanyak 21 orang (70,0%) dan sebanyak 23 orang (76,7%).

Tabel 4.1. Karakteristik demografi sampel penelitian

Karakteristik PPOK eksaserbasi PPOK stabil Total Nilai p

n % n % n %

Dari tabel 4.1 hasil uji qai-kuadrat juga didapati bahwa kelompok IMT terbanyak penderita PPOK eksaserbasi dan stabil adalah dengan kelompok 18,5 – 24,99 (normal) masing masing sebanyak 26 orang (86,7%) dan sebanyak 19 orang (63,3%). Kelompok VEP1terbanyak penderita PPOK eksaserbasi dan stabil adalah dengan kelompok 30% <

(64)

14 orang (46,7%). Penderita PPOK eksaserbasi memiliki kadar CRP terbanyak pada kelompok kadar > 10 mg/l sebanyak 27 orang (90,0%) dan seluruh penderita PPOK stabil adalah dengan kadar < 10 mg/l. Didapati juga bahwa seluruh penderita PPOK eksaserbasi memiliki kelompok nilai CAT > 10 dan seluruh penderita PPOK stabil memiliki kelompok nilai CAT < 10. Selanjutnya seluruh penderita PPOK eksaserbasi memiliki kelompok nilai mMRC 0-1 dan seluruh penderita PPOK stabil memiliki kelompok nilai mMRC > 2.

4.1.2. Hubungan antara karakteristik penelitian

Pada penelitian ini dilakukan analisa statistik untuk melihat beberapa hubungan antara karakteristik yang diteliti dalam penelitian ini. Pada tabel 4.1 dapat dilihat uji statistik dengan menggunakan qai-kuadrat untuk menilai ada tidaknya hubungan antara umur dengan penderita PPOK eksaserbasi dan stabil dan diperoleh nilai p : 0,199 pada α : 0,05 karena nilai p > 0,05, maka dapat disimpulkan tidak ada hubungan antara umur dengan penderita PPOK eksaserbasi dan stabil. Kemudian dilakukan juga uji statistik dengan menggunakan qai-kuadrat untuk menilai ada tidaknya hubungan antara IB dengan penderita PPOK eksaserbasi dan stabil diperoleh nilai p : 0,559 pada α : 0,05 karena nilai p > 0,05, maka dapat disimpulkan tidak ada hubungan antara IB dengan penderita PPOK eksaserbasi dan stabil. Dari uji statistik untuk menilai ada tidaknya hubungan antara IMT dengan penderita PPOK eksaserbasi dan stabil dengan menggunakan qai-kuadrat diperoleh nilai p : 0,112 pada α : 0,05 karena nilai p > 0,05, maka dapat disimpulkan tidak ada hubungan antara IMT dengan penderita PPOK eksaserbasi dan stabil. Selanjutnya juga dilakukan uji statistik untuk menilai ada tidaknya hubungan antara nilai VEP1 dengan penderita PPOK eksaserbasi dan stabil

(65)

PPOK eksaserbasi dan stabil. Uji statistik juga dilakukan dengan menggunakan qai-kuadrat untuk menilai ada tidaknya hubungan antara kadar CRP dengan penderita PPOK eksaserbasi dan stabil diperoleh nilai p : 0,000 pada α : 0,05 karena nilai p < 0,05, maka dapat disimpulkan terdapat hubungan antara kadar CRP dengan penderita PPOK eksaserbasi dan stabil. Uji statistik juga dilakukan dengan menggunakan qai-kuadrat untuk menilai ada tidaknya hubungan antara nilai CAT dengan penderita PPOK eksaserbasi dan stabil diperoleh nilai p : 0,000 pada α : 0,05 karena nilai p < 0,05, maka dapat disimpulkan terdapat hubungan antara nilai CAT dengan penderita PPOK eksaserbasi dan stabil. Uji statistik juga dilakukan dengan menggunakan qai-kuadrat untuk menilai hubungan antara nilai mMRC dengan penderita PPOK eksaserbasi dan stabil diperoleh nilai p : 0,000 pada α : 0,05 karena nilai p < 0,05, maka dapat disimpulkan terdapat hubungan antara nilai mMRC dengan penderita PPOK eksaserbasi dan stabil.

Tabel 4.2 Hubungan antara karakteristik penelitian

(66)

Uji statistik (tabel 4.2) juga dilakukan dengan menggunakan qai-kuadrat untuk menilai ada tidaknya hubungan kadar CRP antara penderita PPOK dengan VEP1 < 50%

dan VEP1 > 50% diperoleh nilai p : 0,245 pada α : 0,05 karena nilai p > 0,05, maka dapat

disimpulkan tidak ada hubungan kadar CRP antara penderita PPOK dengan VEP1 <

50% dan VEP1 > 50%. Uji statistik untuk menilai ada tidaknya hubungan antara kadar

CRP dengan IB : 200-599 dan IB >600 dengan menggunakan qai-kuadrat diperoleh nilai p : 0,639 pada α : 0,05 karena nilai p > 0,05, maka dapat disimpulkan tidak ada hubungan antara kadar CRP dengan IB : 200-599 dan IB > 600. Uji statistik juga dilakukan untuk menilai ada tidaknya hubungan antara kadar CRP dengan kelompok IMT dengan menggunakan qai-kuadrat diperoleh nilai p : 0,255 pada α : 0,05 karena nilai p > 0,05, maka dapat disimpulkan tidak ada hubungan antara kadar CRP dengan kelompok IMT. Uji statistik untuk menilai ada tidaknya hubungan antara kadar CRP dengan nilai CAT dengan menggunakan qai-kuadrat diperoleh nilai p : 0,000 pada α : 0,05 karena nilai p < 0,05, maka dapat disimpulkan terdapat hubungan antara kadar CRP dengan nilai CAT. Uji statistik untuk menilai ada tidaknya hubungan antara kadar CRP dengan nilai mMRC dengan menggunakan qai-kuadrat diperoleh nilai p : 0,000 pada α: 0,05 karena nilai p < 0,05, maka dapat disimpulkan terdapat hubungan antara kadar CRP dengan nilai mMRC.

4.1.3. Perbedaan antara karakteristik penelitian

(67)

+ 0,49; 21,76 + 4,01) dengan nilai p masing-masing 0,022; 0,000; 0,005. Dari tabel juga bisa dilihat bahwa tidak ditemukan perbedaan yang bermakna pada nilai rata-rata VEP1,

umur, dan IB antara penderita PPOK eksaserbasi (masing-masing: 34,70 ± 12,30; 64,67 + 7,44; 689,67 + 280,26) dengan penderita PPOK stabil (masing-masing: 39,77 ± 16,77; 63,47 + 9,76; 901,07 + 418,67) dengan nilai p masing-masing adalah: 0,106; 0,286; 0,029.

Tabel 4.3 Nilai rata-rata CRP, VEP1, CAT, Umur, mMRC, IB, IMT

Karakteristik PPOK eksaserbasi PPOK stabil Nilai p

CRP 16,19 + 6,43 3,08 + 2,17 0,000

Uji T tidak berpasangan

4.2. Pembahasan penelitian

Pada penelitian ini didapati bahwa kelompok umur terbanyak penderita PPOK eksaserbasi dan PPOK stabil adalah kelompok umur diatas 69 tahun (tabel 4.1), hal ini sesuai dengan penelitian Sajal dalam studinya tahun 2012 dengan sampel sebanyak 1269 penderita PPOK mendapatkan rata-rata umur penderita PPOK adalah 62,1 ± 10,4 tahun.51 Berdasarkan penelitian Syamsul tahun 2012 pada 22 pasien PPOK didapati umur terbanyak penderita PPOK yang mengikuti penelitian adalah antara umur 66–70 tahun sebanyak 8 orang (36,4%).52 Battaglia dkk. dalam studinya pada 460 penderita PPOK stabil tahun 2011 menemukan bahwa rata-rata umur penderita PPOK adalah 75 + 5,9 tahun.53

Gambar

Gambar 2.1. Inflamasi pada PPOK. Paparan rokok yang kronik mengakibatkan aktifasi netrofil, makrofag, sel epitel, sel dendritik, sel T, sel B, fibroblast dan sel otot polos saluran napas sehingga terjadi pengeluaran sitokin, kemokin, dan protease
Gambar 2.2. Inflamasi perifer di paru dapat masuk ke sirkulasi sistemik.23
Gambar 2.3.  Gambaran radiologi penderita PPOK.28
Tabel 2.1. Pembagian hambatan aliran udara berdasarkan spirometri 14
+7

Referensi

Dokumen terkait

Percaya kepada kitab-kitab Allah SWT hukumnya adalah wajib ‘ain atau wajib bagi seluruh warga muslim di seluruh

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah, aaktivitas guru dan siswa dalam kegiatan belajar mengajar IPA sudah mencerminkan pembelajaran dengan pendekatan PAIKEM

PESERTA NAMA TWK TIU

Klasifikasi adalah salah satu solusi dalam data mining untuk mengurai permasalahan tersebut, dengan mengklasifikasikan jenis-jenis penyakit yang berhubungan dengan

stick dimana batas tingkat paparan panas ini perlu dibandingkan dengan SNI 16-. 7063-2004 tentang Nilai Ambang Batas iklim kerja (panas),

[r]

Menu yang ada di cermin cembung sama dengan menu yang ada di cermin cekung, yaitu: menu untuk mencari jarak fokus, menu untuk mencari jarak benda, dan menu untuk

Dari hasil pendiskripsian teknis berdasarkan keinginan konsumen, hal yang dapat dilakukan oleh Arromanis Bakery adalah pelatihan karyawan dan durasi baking.. Dengan pelatihan