• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pola Kuman Pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Eksaserbasi Akut di RSUP H. Adam Malik dan RS. Pirnga di Medan Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pola Kuman Pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Eksaserbasi Akut di RSUP H. Adam Malik dan RS. Pirnga di Medan Chapter III V"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1

Desain

Desain Penelitian ini adalah penelitian analitik yang akan mengobservasi

hubungan antara distribusi frekuensi bakteri dengan derajat obstruksi

(VEP

1

) pada PPOK eksaserbasi akut di RSUP Haji Adam Malik dan RS

Pirngadi Medan.

3.2

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan pada pasien PPOK eksaserbasi di bagian Paru

RSUP.H.Adam Malik dan RS Pirngadi Medan. Penelitian ini dilaksanakan

dalam kurun waktu 1 tahun (1 september 2015 sampai 1 september 2016).

3.3

Populasi, Sampel dan Besar Sampel

3.3.1 Populasi

Populasi penelitian ini adalah penderita PPOK eksaserbasi di bagian Paru

di RSUP.H.Adam malik dan RS.Pirngadi Medan.

3.3.2 Sampel

Sampel penelitian adalah bagian dari populasi yang memenuhi kriteria

inklusi dan kriteria eksklusi.

a.

Kriteria inklusi:

1.

Penderita PPOK eksaserbasi di bagian paru

2.

riwayat merokok dengan IB > 200

3.

Usia 40

70 tahun

4.

Sputum Representatif

(2)

1.

Mendapatkan terapi antibiotik 48 jam sebelum masuk rumah sakit.

2.

Pasian yang di diagnosis tuberculosis dan/atau bronkiektasis

3.

Pasien Immunocompromised berat (penderita HIV/AIDS) dan

penyakit keganasan

4.

Pasien yang membutuhkan ventilator mekanis dan perawatan ICU

3.3.3

Perkiraan Besar sampel

Pasien PPOK eksaserbasi akut yang masuk ruang rawat inap paru dalam

kurun waktu 1 tahun penelitian dengan estimasi 41 pasien berdasarkan

data sekunder di bagian Paru RSUP.H.Adam Malik Medan dan RS.

Pirngadi Medan.

Besar Sampel

Rumus : n=Z

2

p ( 1-p )

d

2

Keterangan :

n

: besar sampel

Z

2

: 1,96 pada interval (IK) 95%

p

: prevalensi yang diperkirakan 0,12

(1-p) : (1-prevalensi)

d

2

: Kesalahan maksimum yang masih ditolerir 0,15

n= 1,96

2

x 0,12 ( 1-0,12 )

0,15

2

(3)

3.4

Kerangka Operasional

Pasien PPOK eksaserbasi sesuai

kriteria inklusi

Tatalaksana awal

Foto toraks Spirometri

Diambil sampel sputum yang memenuhi kriteria Bartlett

(4)

3.5

Definisi Operasional

Spirometri GOLD 1 : Ringan:VEP1

(5)

5 Jenis

9 Pekerjaan Aktivitas yang

(6)

3.6

Alur Penelitian

Seluruh subjek penelitian yang selama ini menderita PPOK, saat ini

diduga mengalami PPOK eksaserbasi dilakukan :

1.

Anamnesis, meliputi keluhan utama, riwayat paparan asap rokok atau

merokok, jumlah rokor per hari, dan lama merokok. Riwayat serangan

sehingga subyek pernah masuk rumah sakit karena sesak napas,

riwayat penyakit lainnya, riwayat pamakaian obat-obatan.

2.

Foto toraks untuk menyingkirkan tuberkulosis dan bronkiektasis.

3.

Pemeriksaan fisik, meliputi tanda vital, tinggi badan, berat badan,

Indeks Massa Tubuh (IMT), pemeriksaan sistem; khususnya sistem

pernapasan.

4.

Pengambilan sampel sputum, kultur sputum dan uji kepekaan:

a.

Untuk setiap sampel sputum ekspektorasi yang diperoleh dibuat

hapusan Gram untuk melihat kuman Gram positif atau negatif, dan

menghitung jumlah sel epitel dan PMN sesuai Kriteria Bartlett.

b.

Sampel yang memenuhi Kriteria bartlett, kemudian di bagi 2:

i.

Satu bagian di tanam pada media agar darah.

Selanjutnya dimasukkan de dalam inkubator pada suhu 37

ͦ

c

dan selama 24

48 jam pertumbuhan koloni dilanjutkan

identifikasi jenis kuman berdasarkan pengecatan Gram. Bakteri

gram positif akan diteruskan dengan MSA (Mannitol Salt

Agar) sedangkan gram negatif akan dibiakkan lagi pada media

mcConkey dan dilakukan pemeriksaan biokimia. Selanjutnya

(7)

ii.

Satu bagian lagi ditanam pada coklat agar dimasukkan ke

dalam candle jar (CO

2

,5-10%), dieramkan 37

ͦ

c, 18-24 jam.

Identifikasi dibuat dengan pewarnaan Gram, morfologi koloni,

tes biokimia.

c.

Setelah identifikasi kuman dilakukan uji kepekaan bakteri terhadap

antibiotika dengan metode VITEC 2.

5.

Pemeriksaan laboratorium yang meliputi darah rutin.

6.

Diagnostik PPOK ditentukan dengan Spirometri, kemudian dilakukan

penilaian derajat keparahan PPOK sesuai dengan GOLD 2017.

3.7 Pengolahan Data

Seluruh data yang diperoleh, dikumpulkan, dan diedit menggunakan

program excel 2007, diberi kode untuk mempermudah pengelompokkan

data dan membaca hasil. Disajikan sebagai mean, dan simpangan baku

memakai software SPSS (Statistical Product and Science Service) versi

17.0. Analisa deskriptif untuk melihat gambaran karakteristik penderita

meliputi umur, jenis kelamin, riwayat merokok, indeks brinkman, derajat

PPOK, jenis rokok, pekerjaan dan kultur bakteri. Untuk melihat hubungan

parameter fungsi paru dengan Kultur bakteri digunakan uji Fisher Exact,

begitupun jenis bakteri gram dengan fungsi paru. Hasil dianggap

(8)

3.8 Perkiraaan Biaya Penelitian

a. Pengumpulan kepustakaan

Rp. 200.000,-

b. Pembuatan proposal

Rp. 300.000,-

c. Seminar proposal

Rp. 1.500.000,-

d. Pembuatan dan penggandaan laporan

Rp. 500.00,-

e. Biaya tim penelitian

Rp. 1.000.000,-

f. Seminar hasil penelitian

Rp. 2.000.000,-

(9)

BAB 4

Penelitian ini melibatkan 45 orang penderita PPOK yang mengalami

(10)

eksaserbasi jika terjadi pertambahan derajat sesak napas, pertambahan volume

sputum atau perubahan warna sputum menjadi purulen.

Karateristik subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin menunjukan

data bahwa semua penderita PPOK eksaserbasi yang menjadi sampel penelitian

ini adalah laki laki (100%).

Adapun karakteristik sampel berdasarkan usia dijumpai bahwa usia

termuda pasien yang menderita PPOK eksaserbasi adalah 48 tahun dan usia tertua

adalah 76 tahun. Tidak satupun sampel yang berada dalam kisaran usia <40 tahun.

Sampel yang berada dalam rentang usia 40

49 tahun adalah sebanyak 4 orang.

Usia 50

59 tahun sebanyak 18 orang, usia 60

69 tahun sebanyak 21 orang, dan

sisanya sampel yang berada dalam rentang usia lebih atau sama dengan 70 tahun

adalah sebanyak 4 orang. Rata rata usia responden dalam penelitian ini adalah

60,3 +/- 7,28 tahun.

Sementara itu, karakteristik sampel berdasarkan pekerjaan didapati

bahwa mayoritas responden yaitu sebanyak 35,6% bekerja sebagai petani dan

22,2% sudah tidak bekerja lagi / pensiunan.

Seluruh responden saat ini merupakan mantan perokok (

ex-smoker

) dan

mayoritas memiliki indeks brinkman berat yaitu sebanyak 93,33%. Jenis rokok

yang paling banyak dikonsumsi adalah rokok campuran, baik berupa rokok filter

maupun rokok kretek.

Lebih dari setengah jumlah responden (53,3%) mengalami derajat

obstruksi berat, dan 37,8% responden mengalami derajat obstruksi sangat berat.

Dari keseluruhan jumlah responden, dijumpai kultur positif 66,7% dan kultur

(11)

Merokok telah menjadi faktor risiko penting terjadinya PPOK dan

bahkan setelah berhenti merokok. Risiko rokok terhadap kejadian PPOK

berdasarkan dose dependent, 50% perokok mengalami gangguan obstruksi dengan

penurunan nilai VEP 50-75 ml pertahun, sekitar 10-15% perokok menjadi PPOK.

Survei pada tahun 2004 menyatakan prevalens perokok di Indonesia lebih dari

50% laki-laki, sebagian besar perokok ini mulai merokok sejak umur 19 tahun.

Data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan WHO dalam kampanye hari

tanpa tembakau dunia pada 31 mei menyebutkan penggunaan tembakau di

Indonesia menyebabkan 9,8% kematian karena penyakit paru kronik pada tahun

2001. Faktor risiko lain adalah pajanan asap hasil pembakaran biomass yang

mengandung stress oksidatif. (Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2002)

4.2 Distribusi Pola Bakteri pada pasien PPOK eksaserbasi

Tabel 4.2 Distribusi Pola Bakteri pada pasien PPOK eksaserbasi

Jenis Bakteri Jumlah

Klebsiellla pneumonia 6 20

Acinetobacter

Dari seluruh sampel sputum terdapat distribusi pola bakteri pada pasien

PPOK eksaserbasi akut yang di gambarkan pada tabel 4.2, dimana ditemukan

bakteri patogen coccus gram positif 10 sampel dan bakteri patogen batang gram

(12)

Sputum yang dikeluarkan diupayakan berasal dan saluran napas bawah

yaitu dengan mengusahakan pasien batuk dalam yang benar sehingga diperoleh

sputum yang representatif. Beberapa penelitian meragukan penggunaan sputum

sebagai bahan untuk mengetahui etiologi/penyebab infeksi saluran napas bawah.

Pada penelitian ini sampel diambil dari sputum ekspektorasi spontan dimana

sebelumnya kepada pasien diajarkan bagaimana cara batuk dan menampung

dahak yang benar agar didapatkan sampel yang representatif. Sputum mempunyai

banyak kelemahan untuk digunakan melihat kausalitas yaitu: kontaminasi

orofaring yang cukup tinggi, cara pengambilan sampel sering tidak adekuat, batuk

tidak benar, sampel tidak representatif dan pengiriman bahan harus segera (<2

jam). Bartlett dkk,

mengemukakan bahwa kepekaan pemeriksaan sputum hanya

15-30%. Supriyantoro dkk, membandingkan hasil seluruh sputum biakan positif

dengan hasil biakan sikatan bronkus pada 50 kasus infeksi akut saluran napas

bawah, ternyata hasil biakan sikatan bronkus pada kelompok yang sama terdapat

30,8% galur kuman yang berbeda. Hal ini menunjukkan masih tingginya

kontaminasi kuman orofaring pada hasil biakan sputum. (Bartlett 1994; Soler,

2007; Supryiantoro, 1989)

Berbagai usaha untuk memperbaiki kualitas sputum yang dibatukkan

terus dilakukan. Teknik pencucian sputum merupakan salah satu metode

noninvasif untuk mengurangi kontaminasi kuman orofaring pada spesimen

sputum yang dibatukkan menggunakan teknik pencucian sputum dengan NaCI

0,9% (dibandingkan berturut-turut dengan spesimen bronkoskop, aspirasi

transtrakeal dan sputum ekspertorasi) mendapati pencucian sputum dapat

(13)

terkontaminasi dari sekret orofaring. Usyinara mendapati pencucian sputum tidak

menurunkan kontaminasi kuman orofaring, sehingga tidak dianjurkan sebagai

prosedur rutin pada bahan sampel sputum.

(Holloway, 1992; Jabang, 1999;

Usyinara, 2006)

4.3. Pola kuman terbanyak pada PPOK eksaserbasi

Tabel 4.3. Pola kuman terbanyak pada PPOK eksaserbasi

Empat kuman terbanyak

ɳ

%

Streptococcus pneumonia

8

32,00

Klebsiella pneumonia

6

24,00

E. coli

6

24,00

Acinetobakter baumanii

5

20,00

Pola kuman diambil berdasarkan kuman yang paling sering muncul

(kuman yang terbanyak). Pada penelitian ini didapatkan 6 jenis bakteri yang

terdiri dari 4 jenis bakteri terbanyak pada pasien dengan PPOK eksaserbasi akut.

Bakteri yang sering dijumpai pada PPOK eksaserbasi akut antara lain pola klasik

yang terdiri atas:

Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenzae dan

Moraxela catarrahalis.

Selain itu terdapat pula

Pseudomonas aeruginosa,

Klebsiella spp, Staphylococcus aureus, Mycoplasma pneumonia dan Chlamydia

spp.

Hurst et al, menemukan paling sedikit 2 dari pola kuman klasik ini sebagai

kuman terbanyak pada PPOK eksaserbasi. Penelitian ini mendapati 4 jenis kuman

terbanyak sebagai berikut

Klebsiella

pneumonia

(20,37%),

Staphylococcus aureus

(18,52%),

Klebsiella ozaenae

(11,11%) dan

Pseudomonas aeruginosa

(9,26%).

Hampir mirip dengan penelitian Soeprihatini dkk, menemukan

Klebsiella sp.

(14)

Pseudomonas sp, dan Acinetobacter.

(Gold, 2008; Hurst, 2010; Roche, 2007;

Alamoudi, 2007; Soeprihatini, 2006)

Penelitian Lin SH dkk,

di Taiwan melaporkan

Klebsiella pneumoniae

(19,6%),

Pseudomonas aeruginosa

(16,8%),

Hemophillus influenzae

(7,5%) dan

Staphylococcus aureus, Enterobacter baumannii

dan

Acinetobacter

sp.

masing-masing sekitar 6%. Lin dkk juga mendapati

Streptococcus pneumonia

dalam

jumlah yang kecil (2,4%), sedangkan dalam penelitian ini hanya 1,85%. Chawla,

Aurora, dan Shahnawas di India, tidak menemukan

Haemophilus influenza

pada

penelitiannya. (Lin SH, 2007)

Dalam penelitian ini bakteri yang paling sering dijumpai adalah

Streptococcus pneumonia

(20,68%),

Klebsiella pneumonia

(27,58%),

E.Coli

(20,68%) dan

Acinetobacter

(20,68%). Hasil penelitian ini sedikit berbeda dengan

konsensus PDPI yang mendapatkan pola kuman penyebab PPOK eksaserbasi

sebagai berikut:

Klebsiella pneumonia

(26,5%),

Haemophilus influenzae

(17,44%),

Pseudomonas aeruginosa

(15,47%) dan disusul oleh

Streptococcus

pneumonia

(7,86%). Perbedaan ini mungkin saja disebabkan karena riwayat

penggunaan antibiotik sebelumnya pada pasien PPOK, terutama pada pasien yang

(15)

4.4. Hubungan hasil kultur dengan derajat hambatan aliran udara VEP

1

Tabel 4.4. Hubungan hasil kultur dengan derajat hambatan aliran udara VEP

1

VEP

1

p-value

Ringan Sedang Berat Sangat berat

Kultur positif

0

1

15

14

0.075

Kultur negatif

0

3

9

3

Tidak terdapat hubungan antara kepositivan hasil kultur dengan derajat VEP1

Uji Fisher Exact

Dari tabel diatas dapat kita lihat bahwa tidak terdapat hubungan antara

kepositivan hasil kultur dengan derajat obstruksi VEP

1

Pasien PPOK eksaserbasi akut yang ikut dalam penelitian ini diduga kuat

disebabkan oleh bakteri yaitu dengan melihat gambaran klinis maupun warna

sputum ekspektorasi. Sputum yang berwarna purulen mengisyaratkan eksaserbasi

diakibatkan oleh bakteri. Hal ini sesuai penelitian oleh Stockley dkk. yang

menemukkan bahwa sputum berwarna hijau purulen merupakan prediktor

tingginya konsentrasi bakteri dengan sensitivitas 94,4% dan spesifisitas 77% serta

dapat merupakan indikasi bahwa pemberian antibiotik akan bermanfaat.

Sputum

mukoid yang encer diusahakan tidak ikut sebagai sampel penelitian kecuali

terdapat gambaran klinis eksaserbasi akibat infeksi bakteri yang sangat jelas.

(Stockley, 2000; Soler, 2007)

Sementara Q-Probe Study, pada studi yang dilakukan pada 697 partisipan

untuk menilai pemakaian kriteria sitologi sebagai penyaring sputum,

merekomendasikan kriteria ini untuk diterapkan secara rutin di laboratorium

(16)

terhadap sampel yang diterima.

Namun, Rekyansari dkk.

menilai kualitas sampel

sputum ekspektorasi berdasarkan kriteria bartlett, mendapati bahwa jenis kuman

yang diisolasi antara sampel sputum yang memenuhi kriteria Bartlett dan sampel

sputum yang tidak memenuhi kriteria bartlett tidak berbeda. (Schifman, 1991)

Penelitian ini memakai Kriteria Bartlett sebagai penyaring sampel, disertai

panduan yang jelas kepada pasien mengenai tata cara pengumpulan sampel yang

benar, dan transportasi bahan yang cepat dengan wadah yang tepat diharapkan

dapat meningkatkan mutu sampel.

4.5. Hubungan hasil pewarnaan gram bakteri dengan derajat hambatan

aliran udara VEP

1

Tabel 4.5. Hubungan hasil pewarnaan gram bakteri dengan derajat hambatan

aliran udara VEP

1

VEP

1

p-value

Ringan

Sedang

Berat

Sangat berat

Gram positif

0

2

10

6

0.24

Gram negatif

0

0

14

11

Tidak terdapat hubungan antara hasil pewarnaan gram dengan derajat VEP

1

Uji Fisher Exact

Dari tabel diatas dapat kita lihat bahwa tidak terdapat hubungan antara

hasil pewarnaan gram dengan derajat hambatan aliran udara VEP

1

. Hal ini

dimungkinkan karena jumlah sampel sedikit. Pada penelitian ini hasil pewarnaan

gram negatif terbanyak didapatkan pada pasien dengan VEP

1

derajat

berat

(53,3%)

diikuti oleh VEP

1

derajat sangat berat (37,8%)

,

derajat sedang (8,9%), sementara

tidak dijumpai hasil pewarnaan gram pada pasien PPOK eksaserbasi dengan

(17)

kelainan dinding bronkus yang lebih banyak dan riwayat eksaserbasi yang

berulang memungkinkan pasien PPOK mengalami perubahan pola kuman.

Terdapat beberapa faktor resiko seseorang tertular kuman multi drug resisten

yaitu penggunaan antibiotik pada 90 hari terakhir, perawatan dirumah sakit ≥ 5

hari, pasien yang mendapatkan obat imunoterapi atau imunosupresan, tingginya

frekuensi resisten antibiotik di lingkungan tempat tinggal dan rumah sakit. Hasill

penelitian ini hampir sama dengan penelitian yang dilakukan oleh miravittles dkk

,

yang menemukan bahwa bakteri patogen potensial gram negatif lebih sering

ditemukan pada pasien PPOK dengan VEP

1

prediksi <50% dari pada pasien

PPOK dengan VEP

1

>50%, hal ini menunjukkan bahwa semakin berat derajat

fungsi paru pasien PPOK maka semakin tinggi resiko ditemukan bakteri patogen

potensial gram negatif. Penelitian hampir sama dilakukan oleh Eller dkk,

menemukan ada hubungan antara fungsi paru dan bakteri yang ditemukan saat

eksaserbasi bronkitis kronis. Pada saat eksaserbasi akut, bakteri gram negatif

seperti

Pseudomonas sp

. dan

Enterobacteriacea

secara bermakna merupakan

bakteri paling sering ditemukan pada pasien dengan VEP

1

prediksi <35%.

(Miravittles,1999; Eller, 1999)

Peneltian Ko dkk, di Hongkong mendapati 24 dari 28 pasien yang

dijumpai

Pseudomonas sp

dalam sputumnya, berada pada PPOK derajat 3 dan 4.

Lin dkk. Juga mendapati 14 dari 22 penderita ini pada PPOK derajat berat. Eller

dkk, mendapati kuman

Enterobacteriaceae

dan

Pseudomonas sp

terbanyak

ditemukan pada PPOK derajat 3. Sampai saat ini berbagai kepustakaan belum

dapat menjelaskan secara tepat mengapa kuman

Psudomonas sp

lebih sering

(18)

lesi dan kelainan dinding bronkus lebih banyak ditemukan pada PPOK derajat

berat, namun hal ini belum dapat dibuktikan karena CT Scan tidak dilakukan

secara rutin pada setiap penderita PPOK. Kemungkinan penjelasan lain adalah

asumsi bahwa pasien dengan obstruksi berat tentu lebih lama menderita PPOK

dan telah mempunyai riwayat eksaserbasi berulang lebih sering. Seringnya

eksaserbasi tentu saja mengakibatkan peningkatan kebutuhan penggunaan terapi

antibiotik sehingga merupakan faktor resiko munculnya

β

-lakmase hasil

produk-produk bakteri. Terdapat tendensi bahwa kuman gram negatif dan

Pseudomonas

sp

lebih sering ditemukan pada orang tua dengan riwayat pemberian berbagai

(19)

4.6. Kepekaan 4 kuman terbanyak terhadap berbagai antibiotik

Tabel 4.6. Kepekaan 4 kuman terbanyak terhadap berbagai antibiotik

Antibiotik

pada penelitian ini. Tabel ini menampilkan beberapa antibiotik yang masih sensitif

minimal 100

%

terhadap 4 kuman terbanyak.

Streptococcus pneumonia

masih

sangat sensitif terhadap amikasin, meropenem dan piperasilin dengan hasil uji

kepekaan 100

%

. Sementara

Klebsiella pneumonia, E.coli

dan

Acinetobacter

memiliki kepekaan yang sangat baik terhadap 3 antibiotik yaitu amikasin,

levofloxacin dan meropenem. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan

(20)

adalah piperacilin tazobactam, ofloxacin, ciprofloxacin dan co-amoxiclav, hal ini

tentu saja disebabkan karna pola kuman pada PPOK eksaserbasi di Rumah Sakit

tersebut berbeda dengan pola kuman dalam penelitian ini.

Kelemahan dari studi ini adalah dimana pengambilan sampel sputum

mikrobiologis adalah dengan sputum ekspektorasi yang spontan, sementara

akurasi sampel akan meningkat bila pengambilan sampel dengan bronkoskopi.

Tidak ada data tentang penggunaan antibiotik sebelumnya karena hal ini dapat

merubah pola kuman yang ada serta tidak ada analisis lanjutan (follow up) untuk

melihat perubahan jenis kuman pada pasien PPOK terutama yang sering

(21)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Telah dilakukan penelitian untuk mengetahui hubungan pola kuman

dengan derajat obstruksi VEP

1

pada penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)

eksaserbasi akut di RSUP. H. Adam Malik dan RS. Pirngadi Medan. Dari hasil

penelitian ini didapat:

1.

Pada penelitian ini terdapat 45 pasien PPOK eksaserbasi yang ikut dalam

penelitian ini, dimana kultur positif dijumpai 30 sampel sputum dan kultur

negatif 15 sampel sputum. Terdapat 18 gram positif, 25 gram negatif dan 2

tidak ada bakteri.

2.

Tidak terdapat hubungan antara kepositivan hasil kultur dengan derajat

obstruksi VEP

1

dan tidak terdapat hubungan antara hasil pewarnaan gram

dengan derajat VEP

1

3.

Terdapat 4 bakteri terbanyak/ tersering yang dijumpai pada pasien PPOK

eksaserbasi akut yaitu

Streptococcus pneumonia, Klebsiella pneumonia, E.

coli

dan

Acinetobacter baumanii

.

4.

Terdapat antibiotik yang masih sensitif terhadap pola kuman yang ada yaitu

Amikasin, Levofloxacin, Meropenem dan Piperasilin.

5.2. Saran

1.

Untuk penelitian selanjutnya agar dilakukan pengambilan sampel dengan

bronkoskopi karna tingkat akurasi tentunya lebih baik bila dibandingkan

(22)

2.

Sebaiknya dilakukan pendataan tentang riwayat penggunaan antibiotik

sebelumnya karena hal ini dapat merubah pola kuman yang ada.

3.

Pada penelitian selanjutnya sebaiknya dilakukan analisis lanjutan (follow up)

untuk melihat perubahan jenis kuman pada pasien PPOK terutama yang sering

Gambar

Tabel 4.1. Karakteristisik Sampel Penelitian
Tabel 4.2 Distribusi Pola Bakteri pada pasien PPOK eksaserbasi
Tabel 4.3. Pola kuman terbanyak pada PPOK eksaserbasi
Tabel 4.4. Hubungan hasil kultur dengan derajat hambatan aliran udara VEP1
+2

Referensi

Dokumen terkait

The effect of extraction duration on the yield and of physic-chemistry properties of kachnar (Bauhinia purpurea L.) seed oil has been carried out in Laboratory of Natural

Sehubungan dengan itu, Lembaga Penelitian Universitas Negeri Padang bekerjasama dengan Pimpinan Universitas, telah memfasilitasi peneliti untuk melaksanakan penelitian

7,6 Terdapat beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan penyakit ginjal kronis seperti hipertensi, diabetes melitus, pertambahan usia, ada riwayat keluarga

Perlakuan yang dapat diberikan dalam penanganan dormansi benih yaitu dengan melakukan baik cara mekanis seperti penipisan kulit dengan diasah maupun digosok,

______ murid dapat mencapai objektif yang ditetapkan dan ______ murid yang tidak mencapai objektif akan diberi bimbingan khas dalam sesi akan datang.

Sedangkan KDOQI 2000 membagi faktor risiko PGK menjadi factor rentan atau faktor yang meningkatkan kecurigaan akan adanya kerusakan ginjal yaitu usia tua dan riwayat

______ murid dapat mencapai objektif yang ditetapkan dan ______ murid yang tidak mencapai objektif akan diberi bimbingan khas dalam sesi akan datang.

Dari 70 sampel ini, diperoleh prevalensi dan faktor resiko penyakit ginjal kronik adalah hipertensi sebanyak 21 orang (30%) dan ini merupakan penyebab yang