• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prevalensi dan Faktor Risiko Penyakit Ginjal Kronis Yang Menjalani Hemodialisa di RSUP Haji Adam Malik Medan Periode 2014-2015.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Prevalensi dan Faktor Risiko Penyakit Ginjal Kronis Yang Menjalani Hemodialisa di RSUP Haji Adam Malik Medan Periode 2014-2015."

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

UNI VERSI TAS SUMATERA UTARA

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Ginjal Kronik 2.1.1 Definisi

Menurut National Kidney Foundation (2002) dalamJakarta Nephrology and Hypertension Course(JNHC, 2003) penyakit ginjal kronis (PGK) adalah terdapat kelainan patologik ginjal atau adanya kelainan pada urin umumnya jumlah protein urin atau sedimen urin selama tiga bulan atau lebih yang tidak bergantung pada nilai laju filtrasi glomerulus.Disamping itu, seseorang dapat juga dikatakan penyakit ginjal kronis jika laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/men./1.73 m2 dengan atau tanpa kerusakan ginjal selama minimal 3 bulan.15

2.1.2 Klasifikasi

Klasifikasi derajat penurunan faal ginjal berdasarkan laju filtrasi glomerulus (LFG) sesuai rekomendasi National Kidney Foundation Disease Outcome Quality Initiative(NKF-DOQI):

Tabel 2.1 Derajat Penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG)

Derajat Deskripsi LFG (mL/menit/1,73 m²)

1 Kerusakan ginjal disertai LFG normal atau meninggi

≥ 90

2 Kerusakan ginjal disertai penurunan ringan LFG

60-89

3 Penurunan moderat LFG 30-59

4 Penurunan berat LFG 15-29

5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis

2.1.3 Etiologi

(2)

UNI VERSI TAS SUMATERA UTARA Glomerulonefritis, hipertensi esensial, dan pielonefritis merupakan penyebab paling sering dari PGK, yaitu sekitar 60%. Penyakit ginjal kronis yang berhubungan dengan penyakit ginjal polikistik dan nefropati obstruktif hanya 15-20%.

Umumnya penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit ginjal intrinsi difus dan menahun. Tetapi hampir semua nefropati bilateral dan progresif akan berakhir dengan penyakit ginjal kronis. Umumnya penyakit di luar ginjal, seperti nefropati obstruktif dapat menyebabakan kelainan ginjal intrinsik dan berakhir dengan penyakit ginjal kronis.

Glomerulonefritis kronik merupakan penyakit parenkim ginjal progresif dan difus yang seringkali berakhir dengan penyakit ginjal kronis. Glomerulonefritis mungkin berhubungan dengan penyakit-penyakit sistemik (glomerulonefritis sekunder) seperti lupus eritomatosus sistemik, poliartritis nodosa, granulomatosus Wagener. Glomerulonefritis (glomerulopati) yang berhubungan dengan diabetes mellitus (glomerulosklerosis) tidak jarang dijumpai dan dapat berakhir dengan penyakit ginjal kronis. Glomerulonefritis yang berhubungan dengan amilodois sering dijumpai pada pasien-pasien dengan penyakit menahun seperti tuberkulosis, lepra, osteomielitis arthritis rheumatoid dan myeloma.

Penyakit ginjal hipertensif (arteriolar nephrosclerosis) merupakan salah satu penyebab penyakit ginjal kronis. Insiden hipertensi esensial berat yang berakhir dengan gagal ginjal kronik kurang dari 10%.

Kira-kira 10-15% pasien-pasien penyakit ginjal kronik disebabkan penyakit ginjal kongenital seperti sindrom Alport, penyakit Fabbry, sindrom nefrotik kongenital, penyakit ginjal polikistik, dan amiloidosis.

(3)

UNI VERSI TAS SUMATERA UTARA 2.1.4 Faktor Risiko Penyakit Ginjal Kronis

Untuk wilayah Asia, sebuah studi di Tibet mendapatkan hasil bahwa hipertensi, sindrom metabolik, hiperlipidemia dan usia tua merupakan faktor risiko independent untuk kejadian PGK, di populasi dataran tinggi 18. Sedangkan penelitian di China mendapatkan hasil faktor risiko untuk PGK adalah :(1) usia OR = 1,062, (2) obesitas sentral OR = 1,631, (3) anemia OR = 2,745, (4) hipertensi OR= 1,463, (5) diabetes OR = 1,970, dan (6) nefrolitiasis OR = 2.922. Penelitian di Jepang yang meneliti tentang faktor risiko PGK pada komunitas berbasis populasi, setelah 10 tahun di follow up mendapatkan hasil bahwa faktor risiko PGK adalah usia, LFG, hematuria, hipertensi, diabetes, serum lipid, obesitas, status merokok dan konsumsi alkohol.19

(4)

UNI VERSI TAS SUMATERA UTARA 2.1.4.1 Diabetes Melitus

Sekitar 40% dari pasien diabetes mellitus (DM) terdapat keterlibatan ginjal. Pada pasien DM berbagai gangguan pada ginjal dapat terjadi, seperti terjadinya batu saluran kemih, infeksi batu saluran kemih, pielonefritis akut maupun kronik dan juga berbagai bentuk glomerulonefritis yang selalu disebut sebagai penyakit ginjal non diabetik pada pasien diabetes. Akan tetapi yang terbanyak dan terkait secara patogenesis dengan diabetesnya adalah penyakit ginjal diabetik, yang secara klasik patologinya diuraikan oleh Kimmelstiehl Wilson pada 1936, berupa glomerulosklerosis yang noduler dan difus.

Kelebihan gula darah memasuki sel glomerulus melalui fasilitasi glucose transporter (GLUT), terutama GLUT1, yang mengakibatkan aktivasi beberapa mekanisme seperti poloy pathway, hexoamine pathway, Protein Kinase C (PKC) pathway dan penumpukan zat yang disebut sebagai advanced glycation endproduct (AGEs). Beberapa zat biologis aktif ternyata dapat dijumpai pada berbagai percobaan, baik in vitro maupun on vivo, yang dapat berperan penting dalam pertumbuhan sel , diferensiasi sel dan sintesis bahan matriks ekstraseluler . Di antara zat itu ada mitogen activated protein kinase (MAPKs), PKC-Beta isoform dan extracellular regulated protein kinase (ERK). Ditemukannya zat yang mampu menghambat aktivitas zat-zat tersebut telah terbukti mengurangi akibat yang timbul, seperti mencegah peningkatan derajat albuminuria dan derajatkerusakan struktural berupa penumpukan matriks mesangial . Kemungkinan perubahan ini diakibatkan penurunan ekspresi transforming growth factor-Beta ( Beta) dan penurunan extrasellular matrix (ECM). Peran TGF-Beta dalam perkembangan nefropati diabetik ini telah ditunjukkan oleh beberapa peneliti, bahwa kadar zat ini meningkat pada ginjal pasien diabetes.

(5)

UNI VERSI TAS SUMATERA UTARA Perubahan hemodinamik ginjal ini diduga terkait dengan aktivitas berbagai hormon vasoaktif, seperti angiotensin II (AII) dan endotelin. Genetik adalah faktor penentu lain yang erat kaitannya dengan terjadinya nefropati diabetik. Hanya sekitar 40% pasien DM tipe 1 maupun DM tipe 2 yang jatuh ke dalam nefropati diabetik. Lainnya terbebas dari penyulit diabetes ini.

2.1.4.2Hipertensi

(6)

UNI VERSI TAS SUMATERA UTARA Biopsi hanya perlu dipertimbangkan pada pasien yang tidak mempunyai hipertensi akselerasi atau riwayat hipertensi yang lama, dimana serum kreatinin kurang dari 2,5-3 mg/dl dan pada proteinuria lebih dari 1,5 g/24 jam.

Lesi histologis pada glomerulosklerosis meliputi hyperplasia myointima dari pembuluh darah interlobular dan arteriolar afferent, hialin arteriosklerosis dan yang paling sering global glomerulosklerosis. Perubahan ini merupakan hasil dari iskemia glomerular karena penyempitan arteriolar afferent. Sebagai respon untuk meningkatkan aliran arteriolar afferent akan terjadi respon kontraktilitas miogenik, di tambah dengan umpan balik dari tubuloglamerular dari signal makula densa. Pada keadaan yang lebih lanjut akan terjadi autoregulasi dari tekanan dan aliran kapiler glomerulus.22

2.1.4.3Obesitas Sentral

Obesitas abdominal atau obesitas sentral adalah komponen kunci dari sindrom metabolik. Definisi sindrom metabolik menurut International Diabetes Federation (IDF), obesitas adalah syarat mutlak. Seiring dengan terjadinya epidemi obesitas, disini juga terjadi peningkatan dari penyakit ginjal tahap akhir pada dewasa, dan di populasi di perkirakan akan terjadi peningkatan kejadian PGK dua kali lipat tiap dekadnya. Obesitas sudah dikenal baik sebagai faktor risiko untuk hipertensi dan diabetes, yang merupakan penyebab tersering dari penyakit ginjal tahap akhir. Sangat penting diketahui, bahwa dari studi observasional jangka panjang bahwa terdapat hubungan antara indeks massa tubuh (IMT) dengan kejadian baru dari penyakit ginjal tahap akhir. Selaras dengan hal tersebut, rasio pinggang ke pinggul (waist to hip ratio) atau lingkar pinggang sudah diterima secara luas sebagai faktor risiko PGK.23

(7)

UNI VERSI TAS SUMATERA UTARA hiperglikemia adalah keluarnya adiposity sitokin, yang akan menyebabkan inflamasi pembuluh darah, semua itu bersifat atherogenik.25

Struktur ginjal dan fungsinya pada obesitas beberapa penelitian menemukan hubungan mikroalbuminuria dengan variable derajat dari proteinuria terhadap obesitas. Secara klinis, pasien mungkin memberi gambaran sindroma nefrotik, walaupun lebih seringnya mereka tidak nefrosis. Pada seri kasus 15 pasien dengan obese, Praga dkk melaporkan tidak adanya gambaran sindroma nefrotik walaupun terjadi proteinuria yang berat. 10 tahun renal survival hanya 51 % pada serial kasus ini. Temuan yang sama ditemukan pada serial kasus yang lebih besar oleh D’Agati dkk. Histopatologi dari obese proteinuria terdiri dari glomerulomegali dengan atau tanpa Focal Segmental Glomerulosclerosis (FSGS). Pada pasien ini cenderung mempunyai lesi podocyte yang sedikit dan progresi yang lebih pelan dibandingkan dengan idiopatik FSGS. Perubahan glomerular disini dinamakan Obesity-related glomerulopathy.

Selanjutnya hal itu berhubungan dengan perubahan hemodinamik ginjal, yaitu peningkatan aliran darah ginjal, hiperfiltrasi dan peningkatan fraksi filtrasi, hal inilah yang menerangkan tentang paragraph diatas. Namun pemeriksaan diatas biasanya bias karena biopsy ginjal biasanya hanya diperoleh dari pasien proteinuria. Oleh karena itu, glomerulopaty terkait obesitas mungkin bukan hanya gambaran histopatologis dari penyakit ginjal terkait obesitas, khususnya pada nonproteinuria obese pasien dengan disfungsi ginjal. Sebagai contoh, mungkin tampak gambaran nefropati tubulointerstitial dan mungkin mendahului proteinuria pada beberapa pasien obese, dimana hal tersebut belum diteliti.

(8)

UNI VERSI TAS SUMATERA UTARA 2.1.4.4 Usia

Hasil hubungan variabel usia secara statistik dengan kejadian penyakit ginjal kronik mempunyai hubungan yang bermakna antara usia <60 tahun dan >60 tahun pada pasien hemodialisis. Secara klinik pasien usia >60 tahun mempuyai risiko 2 kali lebih besar mengalami gagal ginjal kronis dibandingkan dengan pasien usia <60 tahun. Hal ini disebabkan karena semakin bertambah usia, semakin berkurang fungsi ginjal dan berhubungan dengan penurunan kecepatan ekskresi glomerulus dan memburuknya fungsi tubulus. Penurunan fungsi ginjal dalam skala kecil merupakan proses normal bagi setiap manusia seiring bertambahnya usia, namun tidak menyebabkan kelainan atau menimbulkan gejala karena masih dalam batas-batas wajar yang dapat ditoleransi ginjal dan tubuh. Namun, akibat ada beberapa faktor risiko dapat menyebabkan kelainan dimana penurunan fungsi ginjal terjadi secara cepat atau progresif sehingga menimbulkan berbagai keluhan dari ringan sampai berat, kondisi ini disebut gagal ginjal kronis (GGK) atau chronic renal failure (CRF). Mcclellan dan Flanders membuktikan bahwa faktor risiko gagal ginjal salah satunya adalah umur yang lebih tua.20

2.1.4.5Merokok

(9)

UNI VERSI TAS SUMATERA UTARA 2.1.4.6 Jenis Kelamin

Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel jenis kelamin secara statistik ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin laki-laki dan jenis kelamin perempuan dengan kejadian penyakit ginjal kronis pada pasien hemodialisis. Secara klinik laki-laki mempunyai risiko mengalami penyakit ginjal kronik 2 kali lebih besar daripada perempuan. Hal ini dimungkinkan karena perempuan lebih memperhatikan kesehatan dan menjaga pola hidup sehat dibandingkan laki-laki, sehingga laki-laki lebih mudah terkena penyakit ginjal kronis dibandingkan perempuan. Perempuan lebih patuh dibandingkan laki-laki dalam menggunakan obat karena perempuan lebih dapat menjaga diri mereka sendiri serta bisa mengatur tentang pemakaian obat.29

2.1.4.7 Batu Saluran Kemih

(10)

UNI VERSI TAS SUMATERA UTARA 2.1.4.8 Infeksi Saluran Kemih

Infeksi saluran kemih merupakan salah satu faktor risiko terjadinya penyakit ginjal kronis. Terjadinya infeksi saluran kemih disertai dengan refluk vesiko ureter akan memperbesar terbentuknya skar di ginjal yang akan menyebabkan terjadinya penurunan fungsi ginjal.32,33Adanya hubungan yang signifikan antara riwayat infeksi saluran kemih dengan penyakit ginjal kronis terbukti secara statistik pada penelitian ini. Orang dengan riwayat infeksi saluran kemih 5 kali lebih berisiko terkena penyakit ginjal kronis dibandingkan orang tidak memiliki riwayat infeksi saluran kemih.

2.1.4.9 Glomerulonefritis

Glomerulonefritis merupakan penyakit peradangan ginjal bilateral. Peradangan dimulai dalam glomerulus dan bermanifestasi sebagai proteinuria dan/ atau hematuria. Meskipun lesi terutama ditemukan pada glomerulus, tetapi seluruh nefron pada akhirnya akan mengalami kerusakan, mengakibatkan PGK. Kematian yang diakibatkan oleh gagal ginjal umumnya disebabkan oleh glomerulonefritis kronik. Glomerulonefritis kronik merupakan kerusakan glomerulus secara progresif lambat akibat glomerulonefritis yang sudah berlangsung lama.34

2.1.4.10 Penyakit Ginjal Polikistik

Penyakit ginjal polikistik merupakan gangguan herediter yang terutama mengenai tubulus ginjal yang dapat menyebabkan PGK. Penyakit ginjal polikistik ditandai dengan kista-kista multiple, bilateral yang mengadakan ekspansi dan lambat laun mengganggu dan menghancurkan parenkim ginjal normal akibat penekanan.34

Menurut hasil penelitian Ginting (2004) terhadap penderita PGK yang dirawat inap di RSUP.H.Adam Malik Medan, ditemukan bahwa 2,7% penderita PGK disebabkan oleh penyakit ginjal polikistik.13

(11)

UNI VERSI TAS SUMATERA UTARA 2.1.5 Patofisiologi

Walaupun banyak penyakit yang dapat menyebabkan lesi pada ginjal, secara keseluruhan intinya adalah perubahan adaptif pada ginjal akan mengarah pada konsekuensi yang maladaptif. Teori yang paling dapat diterima adalah hiperfiltrasi pada nefron ginjal yang tersisa setelah terjadi kehilangan nefron akibat lesi. Peningkatan tekanan glomerular menyebabkan hiperfiltrasi ini. Hiperfiltrasi terjadi sebagai kosekuensi adaptif untuk mempertahankan laju filtrasi glomerulus (LFG), namun kemudian akan menyebabkan cedera pada glomerulus. Permeabilitas glomerulus yang abnormal umum terjadi pada gangguan glomerular, dengan proteinuria sebagai tanda klinis.36

2.1.6 Gambaran Klinik

Gambaran klinik penyakit ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, dan kelainan neuropsikiatri.

1. Kelainan Hemopoeisis

Anemia normokrom dan normositer, sering ditemukan pada pasien penyakit ginjal kronis. Anemia sangat bervariasi bila ureum darah lebih dari 100 mg% atau penjernihan kreatinin kurang dari 25 ml per menit. 2. Kelainan Saluran Cerna

Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien penyakit ginjal kronis terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dan muntah masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia (NH3). Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan antibiotika. 3. Kelainan Mata

(12)

UNI VERSI TAS SUMATERA UTARA beberapa hari mendapat pengobatan penyakit ginjal kronis yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis, dan pupil asimetris. Kelainan retina

(retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien penyakit ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada konjungtiva menyebabkan gejala red eye syndrome

akibat iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien penyakit ginjal kronis akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tertier.

4. Kelainan Kulit

Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea frost.

5. Kelainan Selaput Serosa

Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering dijumpai pada penyakit ginjal kronis terutama pada stadium terminal. Kelainan selaput serosa merupakan salah satu indikasi mutlak untuk segera dilakukan dialisis.

6. Kelainan Neuropsikiatri

Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, depresi. Kelainan mental berat seperti konfusi, dilusi, dan tida k jarang dengan gejala psikosis. Kelainan mental ringan atau berat ini sering dijumpai pada pasien dengan atau tanpa hemodialisis, dan tergantung dari dasar kepribadiannya (personalitas). Pada kelainan neurologi, kejang otot atau muscular twitching sering ditemukan pada pasien yang sudah dalam keadaan yang berat, kemudian terjun menjadi koma. 7. Kelainan Kardiovaskular

(13)

UNI VERSI TAS SUMATERA UTARA aterosklerosis, penyebaran kalsifikasi mengenai sistem vaskuler, sering dijumpai pada pasien penyakit ginjal kronis terutama pada stadium terminal. Hal ini dapat menyebabkan gagal faal jantung.

8. Hipertensi

Patogenesis hipertensi ginjal sangat kompleks, banyak faktor turut memegang peranan seperti keseimbangan natrium, aktivitas sistem renin-angiotensin-aldosteron, penurunan zat dipresor dari medulla ginjal, aktivitas sistem saraf simpatis, dan faktor hemodinamik lainnya seperti cardiac output dan hipokalsemia. Retensi natrium dan sekresi renin menyebabkan kenaikan volume plasma (VP) dan volume cairan ekstraselular (VCES). Ekspansi VP akan mempertinggi tekanan pengisiaan jantung (cardiac filling pressure) dan cardiac output pressure (COP). Kenaikan COP akan mempertinggi tonus arteriol

(14)

UNI VERSI TAS SUMATERA UTARA 2.1.7 Diagnosis

Diagnosis Penyakit Ginjal Kronik (PGK) mempunyai sasaran berikut: a. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)

b. Mengetahui etiologi PGK yang mungkin dapat dikoreksi

c. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors) d. Menentukan strategi terapi rasional

e. Menentukan prognosis Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus.17

1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi PGK, perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal (LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif dan objektif termasuk kelainan laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan melibatkan banyak organ dan tergantung dari derajat penurunan faal ginjal.17

2. Pemeriksaan laboratorium

Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan menentukan derajat penurunan faal ginjal (LFG), identifikasi etiologi dan menentukan perjalanan penyakit termasuk semua faktor pemburuk faal ginjal.17

a. Pemeriksaan Faal Ginjal (LFG)

Pemeriksaan ureum, kreatinin serum dan asam urat serum sudah cukup memadai sebagai uji saring untuk faal ginjal (LFG). Pemeriksaan klirens kreatinin dan radionuklida (gamma cameraimaging) hampir mendekati faal ginjal yang sebenarnya.17 b. Etiologi Penyakit Ginjal Kronik (PGK)

- Analisis urin rutin - Mikrobiologi urin - Kimia darah - Elektrolit

(15)

UNI VERSI TAS SUMATERA UTARA c. Pemeriksaan laboratorium untuk perjalanan penyakit progresivitas

penurunan faal ginjal, hemopoiesis, elektrolit, endoktrin, dan pemeriksaan lain berdasarkan indikasi terutama faktor pemburuk faal ginjal (LFG). 17

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang harus selektif sesuai dengan tujuannya, yaitu: - Diagnosis etiologi PGK

Beberapa pemeriksaan penunjang diagnosis, yaitu foto polos abdomen, ultrasonografi(USG), nefrotomogram, pielografi retrograde, pielografi antegrade dan Micturating Cysto Urography (MCU).17 - Diagnosis pemburuk faal ginjal

Pemeriksaan radiologi dan radionuklida (renogram) dan pemeriksaan ultrasonografi (USG).

2.1.8 Penatalaksanaan 1. Terapi Konservatif

Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit.17

Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya penurunan LFG sehingga perburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak bermanfaat.37

(16)

UNI VERSI TAS SUMATERA UTARA traktus urinarius, obat-obatan nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.37

a. Peranan diet

Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.17Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG ≤60 ml/mnt, sedangkan di atas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Protein diberikan 0,6-0,8/kgbb/hari, yang 0,35-0,50 gr diantaranya merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30- 35 kkal/kgBB/hari, dibutuhkan pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi pasien. Bila terjadi malnutrisi, jumlah asupan kalori dan protein dapat ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan protein tidak disimpan dalam tubuh tapi tapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama dieksresikan melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein yang mengandung ion hydrogen, posfat, sulfat, dan ion unorganik lain juga dieksresikan melalui ginjal.

37

Pemberian diet tinggi protein pada pasien penyakit ginjal kronik akan mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lain, dan mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik yang disebut uremia. Pembatasan protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik.37

b. Kebutuhan jumlah kalori

Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk PGK harus adekuat dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.17

c. Kebutuhan cairan

(17)

UNI VERSI TAS SUMATERA UTARA d. Kebutuhan elektrolit dan mineral

Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).

2. Terapi simtomatik a. Asidosis metabolik

Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH ≤7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.17

b. Anemia

Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik. Anemia pada penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal-hal yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah defisiensi besi, kehilangan darah (misal, perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut maupun kronis. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin ≤10 g% atau hematokrit ≤30g%, meliputi evaluasi terhadap status besi (Iron Binding Capacity), mencari sumber perdarahan morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis.37

(18)

UNI VERSI TAS SUMATERA UTARA c. Keluhan gastrointestinal

Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai pada PGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief complaint) dari PGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.17

d. Hipertensi

Pemberian obat antihipertensi, selain bermanfaat untuk memperkecil risiko kardiovaskular juga sangat penting untuk memperlambat perburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glmerulus. Beberapa studi membuktikann bahwa, pengendalian tekanan darah mempunyai peran sama pentingnya dengan pembatasan asupan protein, dalam memperkecil hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Selain itu, sasaran terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria, yang merupakan faktor risiko terjadinya perburukan fungsi ginjal.37

e. Kelainan sistem kardiovaskular

(19)

UNI VERSI TAS SUMATERA UTARA dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi penyakit ginjal kronik secara keseluruhan. 37

3. Terapi pengganti ginjal

Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal.37 a. Hemodialisis

Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien PGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) >120 mg% dan kreatinin >10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat.18 Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan ginjal buatan yang kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput semipermiabel (hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal.38

b. Dialisis peritoneal (DP)

(20)

UNI VERSI TAS SUMATERA UTARA pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGTA (gagal ginjal tahap akhir) dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai comorbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal.17

c. Transplantasi ginjal

Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal). Menurut pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu: 1. Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh

(100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah

2. Kualitas hidup normal kembali 3. Masa hidup (survival rate) lebih lama

4. Kompllikasi terutama berhubungan dengan obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan.

Gambar

Tabel 2.1 Derajat Penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG)

Referensi

Dokumen terkait

Banyak manfaat yang diperoleh dosen dan mahasiswa, melalui penggunaan E-learning hasil penelitian ini, antara lain dapat memaksimalkan waktu pembelajaran, mempermudah

Karakter markah molekuler berupa sekuen DNA pada tumbuhan dapat diambil dari genom nDNA, cpDNA, dan mtDNA.. Gen rbcL secara khusus telah direkomendasikan sebagai DNA

Ada pengaruh latihan sirkuit terhadap peningkatan ketepatan membidik panahan pada anak putri usia 10-12 tahun. Berdasarkan hasil uji t mengenai perbedaan pengaruh

Oleh karena itu pada penelitian ini memanfaatkan minyak nilam 1% sebagai fiksatif alami untuk mempertahankan atau mengikat wangi gel pengharum ruangan agar wanginya dapat

pemberdayaan masyarakat sebagai suatu proses yang membangun manusia atau masyarakat melaJui pengcmbangan kemampuan masyarakat,.. perubahan perilaku masyarakat

Safriyadin. Hubungan Perhatian Orang Tua, Kinerja Guru, Disiplin Belajar dengan Hasil Belajar IPS Siswa Kelas III SDN Gugus Cakra Kota Semarang. Sarjana Pendidikan Universitas

Dalam penelitian ini ditemukan bahwa tidak ada pengaruh yang bermakna ( p=0,521&gt;0,05), artinya setelah pemakaian medial arch support selama 4 minggu dan para orang

Penelitian siklisasi lateks karet alam dengan katalis asam sulfat ini dilakukan untuk mengetahui kinetika reaksi siklisasi lateks karet alam dan nilai konstanta