• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI PREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO PENYAKIT GINJAL KRONIS YANG MENJALANI HEMODIALISA DI RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN PERIODE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI PREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO PENYAKIT GINJAL KRONIS YANG MENJALANI HEMODIALISA DI RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN PERIODE"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

PREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO PENYAKIT GINJAL KRONIS YANG MENJALANI HEMODIALISA DI RSUP HAJI

ADAM MALIK MEDAN PERIODE 2014-2015

Oleh :

CHE WAN MOHD FIRDAUS BIN CHE WAN AHMAD 130100367

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2016

(2)

PREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO PENYAKIT GINJAL KRONIS YANG MENJALANI HEMODIALISA DI RSUP HAJI

ADAM MALIK MEDAN PERIODE 2014-2015

SKRIPSI

“Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran”

Oleh :

CHE WAN MOHD FIRDAUS BIN CHE WAN AHMAD 130100367

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2016

(3)
(4)

ABSTRAK

Penyakit ginjal kronis (PGK) didefinikan sebagai suatu kondisi dimana terjadi penurunan fungsi ginjal sepanjang waktu, ditandai oleh penurunan laju filtrasi glomerulus hingga kurang dari 60 mL/menit/1.73 m3. Pasien dengan PGK stadium 1 dan 2 biasanya tidak memiliki tanda dan gejala klinis. Berbeda dengan pasien dengan PGK stadium akhir (stadium 4 dan 5), pasien pada stadium ini telah mengalami tanda-tanda klinis gangguan cairan atau elektrolit, seperti malnutrisi, penurunan berat badan yang signifikan, dan kelemahan otot. Pasien dengan PGK dilaporkan memiliki risiko 3-5 kali lebih tinggi untuk kejadian rawat inap di rumah sakit dibandingkan dengan pasien tanpa PGK, dengan tingkat kematian mencapai 76%. Penelitian ini adalah penilaian deskriptif dengan desain penelitian cross sectional dimana pada penelitian ini dilakukan observasi data untuk menggambarkan tentang prevalensi dan faktor resiko pada pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisa yang di rawat jalan Rsup H. Adam Malik Medan berdasarkan data sekunder yakni rekam medis pasien. Faktor resiko pada penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisa yang diobservasi adalah hipertensi, diabetes mellitus, penyaki ginjal polikistik, glomerulonefritis, batu saluran kemih dan infeksi saluran kemih.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien dengan diagnosa penyakit ginjal kronis yang menjalani rawatan hemodialisa yang di rawat jalan di Rsup H. Adam Malik Medan selama periode Januari 2014 sampai Disember 2015 dengan sampel sebesar 70 orang. Penelitian ini menunjukkan prevalensi faktor resiko terbesar pada pasien penyakit ginjal kronis adalah hipertensi dengan jumlah 21 orang (30%) dari jumlah keseluruhan.

Kata Kunci : PGK, Hemodialisa, Hipertensi, Diabetes Melitus, Penyakit ginjal Polikistik, Glomerulonefritis, Batu Saluran Kemih, Infeksi Saluran Kemih

(5)

ABSTRACT

Chronic kidney disease (CKD) defined as a condition where a decline in kidney function over time, characterized by a decrease in glomerular filtration rate to less than 60 mL / min / 1.73 m3. Patients with CKD stages 1 and 2 usually do not have clinical signs and symptoms. In contrast to patients with end-stage CKD (stage 4 and 5), patients at this stage has undergone clinical signs of fluid or electrolyte disorders, such as malnutrition, significant weight loss, and muscle weakness. Patients with CKD were reported to have 3-5 times higher risk for the occurrence of inpatient hospital compared with patients without CKD, the mortality rate reached 76%. This study is a descriptive assessment with cross sectional study design in which the study was conducted observation data to illustrate the prevalence and risk factors in patients with chronic kidney disease who undergo hemodialysis are at outpatient Dr H. Adam Malik Medan based on secondary data that medical records of patients. The risk factor in chronic kidney disease who undergo hemodialysis observed are hypertension, diabetes mellitus, polycystic kidney disease, glomerulonephritis, urinary tract stones and urinary tract infections.

The population in this study were all patients with a diagnosis of chronic kidney disease who undergo hemodialysis treatment in outpatient treatment at Adam Malik Hospital during the period January 2014 until Disember 2015 with a sample size of 70 people. This study shows the prevalence of the biggest risk factors in patients with chronic kidney disease are hypertension with the number of 21 people (30%) of the total.

Keywords : CKD, Hemodialysis, Hypertension, Diabetes Mellitus, Polycystic Kidney Disease, Glomerulonephritis, Urinary Tract Stones, Urinary Track Infection

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpah rahmat-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi ini disusun untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran (S.Ked) di Fakultas Kedokteran Universitas Sumtera Utara. Saya juga menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Namun besar harapan saya kiranya tulisan saya sederhana ini dapat bermanfaat dalam menambah pembendaharaan bacaan khususnya tentang:

Prevalensi dan Faktor Risiko Penyakit Ginjal Kronis Yang Menjalani Hemodialisa di RSUP Haji Adam Malik Medan Periode 2014-2015.

Peneliti menyadari bahwa semua usaha yang telah dilakukan merupakan hasil kerjasama yang baik dari semua pihak yang telah membantu. Untuk itu, peneliti ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Dr, dr. Aldy Safruddin Rambe,Sp.S(K) atas keizinan untuk penelitian ini dilakukan.

2. dr. M. Feldi Gazali, M.Ked (PD), Sp.PD selaku Dosen Pembimbing 1 yang telah memberikan banyak bimbingan dan masukan kepada peneliti sehingga proposal penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik.

3. dr. Andre Pasha Ketaren, M.Ked (Cardio) Sp.JP selaku Dosen Pembimbing 2 yang telah memberikan banyak bimbingan dan saran kepada peneliti sehingga proposal penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik.

4. Dr. dr. Farhat, M.Ked(ORL-HNS), SpTHT-KL(K) sebagai ketua penguji dan Dr. dr. T Siti Hajar Haryuna, SPTHT-KL sebagai anggota penguji yang telah memberikan saran dan nasehat-nasehat dalam penyempurnaan penulisan skripsi.

(7)

5. Rasa cinta dan terima kasih yang tidak terhingga penulis persembahkan kepada kedua ibubapa saya yaitu (Bapak En Che Wan Ahmad bin Che Wan Sulaiman) tersayang atas doa, perhatian, motivasi dan kasih sayangnya.

6. Semua pihak yang telah banyak membantu secara langsung maupun tidak langsung, namun tidak dapat disebutkan satu per satu.

Seluruh bantuan baik moral maupun material yang diberikan kepada peneliti selama ini, peneliti ucapkan ribuan terima kasih. Peneliti sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan di masa yang akan datang. Semoga skripsi ini memberi manfaat bagi sesiapa pun yang membacanya.

Akhir kata, saya memohon maaf jika terdapat kesalahan dalam penulisan skripsi ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan imbalan pahala yang sebesar-besarnya

Medan, 09 Desember 2016 Peneliti

Che Wan Mohd Firdaus 130100367

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ... i

ABTRAK ... ii

ABTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR SKEMA ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan Penelitian ... 4

1.3.1. Tujuan Umum ... 4

1.3.2. Tujuan Khusus ... 4

1.4. Manfaat Penelitian ... 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyakit Ginjal Kronik ... 7

2.1.1. Definisi ... 7

2.1.2. Klasifikasi ... 7

2.1.3. Etiologi ... 7

2.1.4. Faktor Risiko Penyakit Ginjal Kronik ... 9

2.1.4.1 Diabetes Mellitus ... 10

2.1.4.2 Hipertensi ... 11

2.1.4.3Obesitas Sentral ... 12

2.1.4.4 Usia ... 14

2.1.4.5 Merokok ... 14

2.1.4.6 Jenis Kelamin ... 15

2.1.4.7 Batu Saluran Kemih ... 15

2.1.4.8 Infeksi Saluran Kemih ... 16

2.1.4.9 Glomerulonefritis ... 16

2.1.4.10 Penyakit Ginjal Polikistik ... 16

2.1.5. Patofisiologi ... 17

2.1.6. Gambaran Klinik ... 17

2.1.7. Diagnosis ... 20

2.1.8. Penatalaksanaan ... 21

(9)

BAB 3 KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP PENELITIAN

3.1Kerangka Teori ... 27

3.2.Kerangka Konsep ... 28

BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1. Jenis Penelitian ... 29

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian ... 29

4.2.1. Waktu Penelitian ... 29

4.2.2. Tempat Penelitian ... 29

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 30

4.3.1. Populasi Penelitian... 30

4.3.2. Sampel Penelitian ... 30

4.4. Teknik Pengumpulan Data ... 30

4.5. Pengolahan dan Analisis Data ... 31

4.6. Definisi Operasional... 31

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil Penelitian ... 34

5.1.1Deskripsi Lokasi Penelitian... 34

5.1.2 Karakteristik Subyek Penelitian ... 34

5.1.3 Hasil Penelitian Data ... 34

5.2. Pembahasan ... 38

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1.Kesimpulan ... 42

6.2.Saran ... 42

DAFTAR PUSTAKA ... 43 LAMPIRAN

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel2.1. Derajat Penurunan Laju Filtrasi Glumerulus (LFG) ... 7 Tabel 4.6. Varibel, AlatUkur, Cara Ukur, HasilUkur, danSkalaUkur ... 33 Tabel 5.1. Distribusi Berdasarkan Jenis Kelamin Pada Penderita

Penyakit Ginjal Kronik ... 35 Tabel 5.2. Distribusi Berdasarkan Umur Penderita Penyakit Ginjal

Kronik ... 35 Tabel 5.3. Distribusi Berdasarkan Riwayat Merokok Pada Penderita

Penyakit Ginjal Kronik ... 35 Tabel 5.4. Distribusi Berdasarkan Faktor Resiko Pada Penderita

Penyakit Gijal Kronik ... 36 Tabel 5.5. Distribusi Berdasarkan Faktor Resiko dan Jenis Kelamin

Pada Penderita Penyakit Ginjal Kronik ... 37 Tabel 5.6. Distribusi Berdasarkan Faktor Resiko dan Umur Pada

Penderita Penyakit Ginjal Kronik ... 38

(11)

DAFTAR SKEMA

Halaman Skema 3.1. Kerangka Teori ... 27 Skema 3.2. Kerangka Konsep ... 28

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup Lampiran 2 Pengelolahan Data SPSS Lampiran 3 Data Induk

Lampiran 4 Ethical Clearance Lampiran5 Surat IzinPenelitian

(13)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit ginjal kronis (PGK) didefinikan sebagai suatu kondisi dimana terjadi penurunan fungsi ginjal sepanjang waktu, ditandai oleh penurunan laju filtrasi glomerulus hingga kurang dari 60 mL/menit/1.73 m3. Pasien dengan PGK stadium 1 dan 2 biasanya tidak memiliki tanda dan gejala klinis. Berbeda dengan pasien dengan PGK stadium akhir (stadium 4 dan 5), pasien pada stadium ini telah mengalami tanda-tanda klinis gangguan cairan atau elektrolit, seperti malnutrisi, penurunan berat badan yang signifikan, dan kelemahan otot. Pasien dengan PGK dilaporkan memiliki risiko 3-5 kali lebih tinggi untuk kejadian rawat inap di rumah sakit dibandingkan dengan pasien tanpa PGK, dengan tingkat kematian mencapai 76%. Pasien dengan PGK juga dikaitkan dengan peningkatan risiko hemodialisis, gangguan seksual dan reproduksi, dan kekurangan kadar vitamin D dibawah normal dalam tubuh1

Penyakit ginjal kronik tidak hanya akan menyebabkan gagal ginjal, tetapi juga menyebabkan komplikasi kardiovaskular, infeksi, gangguan kognitif dan gangguan metabolik dan endokrin seperti anemia, renal osteodistrofi, dan osteomalasia.2, 3, 4

Penyakit Ginjal Kronik (PGK) kini telah menjadi masalah kesehatan serius di dunia. Menurut World Health Organization (WHO, 2002) dan Burden of Disease, penyakit ginjal dan saluran kemih telah menyebabkan kematian sebesar 850.000 orang setiap tahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa penyakit ini menduduki peringkat ke-12 tertinggi angka kematian.5

Penyakit ginjal kronik merupakan penyakit multifaktorial. Penyebab penyakit ginjal kronik bervariasi antara satu negara dengan negara yang lainnya.6 Penyebab penyakit ginjal kronik yang paling sering di negara maju seperti Amerika Serikat adalah diabetik nefropati, sedangkan penyebab penyakit ginjal kronik di negara berkembang adalah glomerulonefritis kronik dan nefritis

(14)

intertisial.7,6 Terdapat beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan penyakit ginjal kronis seperti hipertensi, diabetes melitus, pertambahan usia, ada riwayat keluarga penyakit ginjal kronik, obesitas, penyakit kardiovaskular, berat lahir rendah, penyakit autoimun seperti lupus eritematosus sistemik, keracunan obat, infeksi sistemik, infeksi saluran kemih, batu saluran kemih dan penyakit ginjal bawaan.8, 9

Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insidensi penyakit ginjal kronis diperkirakan 100 kasus per juta penduduk per tahun, dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Prevalensi penyakit ginjal kronis atau disebut juga Chronic Kidney Disease (CKD) meningkat setiap tahunnya. Dalam kurun waktu 1999 hingga 2004, terdapat 16,8% dari populasi penduduk usia di atas 20 tahun mengalami PGK. Persentase ini meningkat bila dibandingkan data 6 tahun sebelumnya, yaitu 14,5%.2

Pada derajat awal, penyakit ginjal kronis belum menimbulkan gejala dan tanda, bahkan hingga laju filtrasi glomerulus sebesar 60% pasien masih asimtomatik tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.8, 10 Keluhan yang timbul pada fase ini biasanya berasal dari penyakit yang mendasari kerusakan ginjal, seperti edema pada pasien dengan sindroma nefrotik atau hipertensi sekunder pada pasien dengan penyakit ginjal polikistik. Kelainan secara klinis dan laboratorium baru terlihat dengan jelas pada derajat 3 dan 4.8 Saat laju filtrasi glomerulus sebesar 30%, keluhan seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan berkurang dan penurunan berat badan mulai dirasakan pasien. Pasien mulai merasakan gejala dan tanda uremia yang nyata saat laju filtrasi glomelurus kurang dari 30%.10

Patofisiologi penyakit ginjal kronis meliputi dua tahapan kerusakan ginjal.

Pertama adalah mekanisme awal tergantung dari etiologi yang mendasarinya dan kedua adalah mekanisme progresivitas, termasuk hipertrofi dan hiperfiltrasi nefron yang tersisa yang merupakan konsekuensi masa panjang penurunan massa ginjal.8

(15)

Pengurangan massa ginjal menyebabkan hipertrofi sruktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephron) sebagai kompensasi. Respon terhadap penurunan jumlah nefron ini dimediasi oleh hormon vasoaktif, sitokin dan faktor pertumbuhan. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang tersisa. Proses ini akan diikuti oleh penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi.10

Penyakit ginjal kronis merupakan penyakit yang saat ini jumlahnya sangat meningkat, dari survei yang dilakukan oleh Pernefri (Perhimpunan Nefrologi Indonesia) pada tahun 2009, Prevalensi gagal ginjal kronik di Indonesia sekitar 12,5%, yang berarti terdapat 18 juta orang dewasa di Indonesia menderita penyakit ginjal kronik.11

Hasil penelitian Sinabariba (2002), terdapat 158 penderita PGK di RSUP. H.

Adam Malik Medan selama periode tahun 2000-2001.9

Hasil penelitian Handayani (2006) di Rumah Sakit Tembakau Deli PTP.

Nusantara II Medan terdapat 126 penderita PGK yang dirawat inap di rumah sakit tersebut selama priode 2002-2004, dimana tahun 2002 sebanyak 32 orang (25,40%) tahun 2003 sebanyak 36 orang (28,57%) dan tahun 2004 sebanyak 58 orang (46,03%).12

Berdasarkan hasil penelitian Ginting (2008) terjadi peningkatan penderita PGK dari tiga tahun sebelumnya di RSUP. H. Adam Malik Medan, dimana selama periode 2004-2007 terdapat 934 penderita PGK yang dirawat inap dengan perincian, pada tahun 2004 sebanyak 116 orang (12,5%) tahun 2005 sebanyak 189 orang (20,2%) tahun 2006 sebanyak 275 orang (29,4%) dan tahun 2007 sebanyak 354 orang (37,9%).13

Hasil penelitian Romauli (2009) di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. H.

Kumpulan Pane Tebing Tinggi tahun 2007-2008 terdapat 148 penderita PGK yaitu 80 penderita pada tahun 2007, dan 68 penderita PGK pada tahun 2008.

Kemudian Hasil penelitian Umri (2011), terdapat 265 penderita PGK pada tahun 2010 di RSU. Dr. Pirngadi Medan.14

(16)

Berdasarkan survei pendahuluan di RSUP. H. Adam Malik Medan, terdapat peningkatan jumlah penderita PGK yang sangat drastis mencapai 633 penderita pada tahun 2011. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, diperlukan penelitian untuk mengetahui karakteristik dan faktor risiko penyakit ginjal kronik di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2011.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan huraian tersebut dapat disimpulkan bahwa penyakit ginjal kronis merupakan masalah kesehatan masyarakat utama baik di negara maju maupun berkembang khususnya Indonesia karena angka kematian dan prevalensi yang terus bertambah dan menyebabkan dampak secara individual maupun sektor kesehatan secara keseluruhan sehingga harus segera dicegah. Untuk itu peneliti berpikir bahwa perlu diteliti prevalensi dan faktor-faktor risiko yang mempengaruhi kejadian penyakit ginjal kronis pada pasien hemodialisis di RSUP H. Adam Malik, Medan, Indonesia pada tahun 2014-2015.

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui prevalensi dan faktor risiko penyakit ginjal kronis pada pasien hemodialisis di RSUP H. Adam Malik Medan, Indonesia pada tahun 2014- 2015.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Mendata distribusi prevalensi penyakit ginjal kronispada pasien hemodialisa di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2014-2015 berdasarakan jenis kelamin

2. Mendata distribusi prevalensi penyakit ginjal kronis pada pasien hemodialisa di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2014-2015 bersarkan tingkatan umur

3. Mendata distribusi prevalensi penyakit ginjal kronis pada pasien hemodialisa di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2014-2015 berdasarkan riwayat merokok

(17)

4. Mendata distribusi prevalensi penyakit ginjal kronis pada pasien hemodialisa di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2014-2015 berdasarkan riwayat penyakit hipertensi

5. Mendata distribusi prevalensi penyakit ginjal kronis pada pasien hemodialisa di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2014-2015 berdasarkan riwayat penyakit diabetes mellitus

6. Mendata distribusi prevalensi penyakit ginjal kronis pada pasien hemodialisa di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2014-2015 berdasarkan riwayat infeksi saluran kemih

7. Mendata distribusi prevalensi penyakit ginjal kronis pada pasien hemodialisa di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2014-2015 berdasarkan riwayat batu saluran kemih

8. Mendata distribusi prevalensi penyakit ginjal kronis pada pasien hemodialisa di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2014-2015 berdasarkan penyakit glomerulonefritis

9. Mendata distribusi prevalensi penyakit ginjal kronis pada pasien hemodialisa di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2014-2015 berdasarkan riwayat penyakit ginjal polikistik

10. Mendata distribusi prevalensi penyakit ginjal kronis pada pasien hemodialisa di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2014-2015 berdasarkan riwayat obesitas sentral

1.4. Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi tentang prevalensi dan faktor-faktor risiko penyakit ginjal kronis pada pasien hemodialisa di RSUP H. Adam Malik Medan.

2. Merupakan masukan bagi pelaksanaan program pemberantasan penyakit tidak menular, khususnya penyakit ginjal kronis yang mana kejadiannya cenderung meningkat khususnya di daerah Medan,Indonesia

(18)

3. Diharapkan dapat memberi informasi tambahan bagi penelitian lanjutan tentangprevalensi dan faktor resiko penyakit ginjal kronis pada pasien hemodialisa di Medan, Indonesia di fokuskan di RSUP H. Adam Malik.

4. Diharapkan dari penelitian yang akan dilakukan dapat menentukan faktor resiko utama penyakit ginjal kronis dan dapat di fokuskan bagi pembenterasannya.

5. Data dan sumber acuan informasi yang dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya mengenai penyakit ginjal kronik pada pasien hemodialisis 6. Pengembangan wawasan dan kemampuan peneliti dalam menyelesaikan

karya tulis ilmiah.

(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Ginjal Kronik 2.1.1 Definisi

Menurut National Kidney Foundation (2002) dalamJakarta Nephrology and Hypertension Course(JNHC, 2003) penyakit ginjal kronis (PGK) adalah terdapat kelainan patologik ginjal atau adanya kelainan pada urin umumnya jumlah protein urin atau sedimen urin selama tiga bulan atau lebih yang tidak bergantung pada nilai laju filtrasi glomerulus.Disamping itu, seseorang dapat juga dikatakan penyakit ginjal kronis jika laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/men./1.73 m2 dengan atau tanpa kerusakan ginjal selama minimal 3 bulan.15

2.1.2 Klasifikasi

Klasifikasi derajat penurunan faal ginjal berdasarkan laju filtrasi glomerulus (LFG) sesuai rekomendasi National Kidney Foundation Disease Outcome Quality Initiative(NKF-DOQI):

Tabel 2.1 Derajat Penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG)

Derajat Deskripsi LFG (mL/menit/1,73 m²)

1 Kerusakan ginjal disertai LFG normal atau meninggi

≥ 90 2 Kerusakan ginjal disertai

penurunan ringan LFG

60-89

3 Penurunan moderat LFG 30-59

4 Penurunan berat LFG 15-29

5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis

2.1.3 Etiologi

Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai berikut: glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal polikistik (10%).16

(20)

Glomerulonefritis, hipertensi esensial, dan pielonefritis merupakan penyebab paling sering dari PGK, yaitu sekitar 60%. Penyakit ginjal kronis yang berhubungan dengan penyakit ginjal polikistik dan nefropati obstruktif hanya 15- 20%.

Umumnya penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit ginjal intrinsi difus dan menahun. Tetapi hampir semua nefropati bilateral dan progresif akan berakhir dengan penyakit ginjal kronis. Umumnya penyakit di luar ginjal, seperti nefropati obstruktif dapat menyebabakan kelainan ginjal intrinsik dan berakhir dengan penyakit ginjal kronis.

Glomerulonefritis kronik merupakan penyakit parenkim ginjal progresif dan difus yang seringkali berakhir dengan penyakit ginjal kronis.

Glomerulonefritis mungkin berhubungan dengan penyakit-penyakit sistemik (glomerulonefritis sekunder) seperti lupus eritomatosus sistemik, poliartritis nodosa, granulomatosus Wagener. Glomerulonefritis (glomerulopati) yang berhubungan dengan diabetes mellitus (glomerulosklerosis) tidak jarang dijumpai dan dapat berakhir dengan penyakit ginjal kronis. Glomerulonefritis yang berhubungan dengan amilodois sering dijumpai pada pasien-pasien dengan penyakit menahun seperti tuberkulosis, lepra, osteomielitis arthritis rheumatoid dan myeloma.

Penyakit ginjal hipertensif (arteriolar nephrosclerosis) merupakan salah satu penyebab penyakit ginjal kronis. Insiden hipertensi esensial berat yang berakhir dengan gagal ginjal kronik kurang dari 10%.

Kira-kira 10-15% pasien-pasien penyakit ginjal kronik disebabkan penyakit ginjal kongenital seperti sindrom Alport, penyakit Fabbry, sindrom nefrotik kongenital, penyakit ginjal polikistik, dan amiloidosis.

Pada orang dewasa penyakit ginjal kronis yang berhubungan dengan infeksi saluran kemih dan ginjal (pielonefritis) tipe sederhana jarang dijumpai, kecuali tuberkulosis, abses multipel. Nekrosis papilla renalis yang tidak mendapat pengobatan yang adekuat.17

(21)

2.1.4 Faktor Risiko Penyakit Ginjal Kronis

Untuk wilayah Asia, sebuah studi di Tibet mendapatkan hasil bahwa hipertensi, sindrom metabolik, hiperlipidemia dan usia tua merupakan faktor risiko independent untuk kejadian PGK, di populasi dataran tinggi 18. Sedangkan penelitian di China mendapatkan hasil faktor risiko untuk PGK adalah :(1) usia OR = 1,062, (2) obesitas sentral OR = 1,631, (3) anemia OR = 2,745, (4) hipertensi OR= 1,463, (5) diabetes OR = 1,970, dan (6) nefrolitiasis OR = 2.922.

Penelitian di Jepang yang meneliti tentang faktor risiko PGK pada komunitas berbasis populasi, setelah 10 tahun di follow up mendapatkan hasil bahwa faktor risiko PGK adalah usia, LFG, hematuria, hipertensi, diabetes, serum lipid, obesitas, status merokok dan konsumsi alkohol.19

Usia tua, ras dan etnis, jenis kelamin, berat badan lahir rendah dan merokok merupakan faktor risiko PGK 20. Usia tua, riwayat keluarga, etnis, jenis kelamin, diabetes mellitus, sindrom metabolik, status hiperfiltrasi (tekanan darah >125/75 mmHg, obesitas, diet tinggi protein, anemia), dislipidemia, nefrotoxin, penyakit ginjal primer, kelainan urologis (obstruksi dan infeksi saluran kencing berulang) dan penyakit kardiovaskular merupakan faktor prediktor inisiasi PGK 21. Sedangkan KDOQI 2000 membagi faktor risiko PGK menjadi factor rentan atau faktor yang meningkatkan kecurigaan akan adanya kerusakan ginjal yaitu usia tua dan riwayat keluarga, faktor inisiasi atau faktor yang secara langsung memulai dan menyebabkan kerusakan ginjal yaitu diabetes, tekanan darah tinggi, penyakit autoimun, penyakit sistemik, infeksi saluran kencing, batu saluran kencing, obstruksi saluran kencing bagian bawah, toksisitas obat, progession faktor atau penyebab perburukan kerusakan ginjal dan mempercepat penurunan dari fungsi ginjal setelah dimulainya kerusakan ginjal yaitu level proteinuria yang tinggi, level tekanan darah yang tinggi, kontrol glukosa darah yang tinggi pada diabetes, dan merokok.

(22)

2.1.4.1 Diabetes Melitus

Sekitar 40% dari pasien diabetes mellitus (DM) terdapat keterlibatan ginjal. Pada pasien DM berbagai gangguan pada ginjal dapat terjadi, seperti terjadinya batu saluran kemih, infeksi batu saluran kemih, pielonefritis akut maupun kronik dan juga berbagai bentuk glomerulonefritis yang selalu disebut sebagai penyakit ginjal non diabetik pada pasien diabetes. Akan tetapi yang terbanyak dan terkait secara patogenesis dengan diabetesnya adalah penyakit ginjal diabetik, yang secara klasik patologinya diuraikan oleh Kimmelstiehl Wilson pada 1936, berupa glomerulosklerosis yang noduler dan difus.

Kelebihan gula darah memasuki sel glomerulus melalui fasilitasi glucose transporter (GLUT), terutama GLUT1, yang mengakibatkan aktivasi beberapa mekanisme seperti poloy pathway, hexoamine pathway, Protein Kinase C (PKC) pathway dan penumpukan zat yang disebut sebagai advanced glycation endproduct (AGEs). Beberapa zat biologis aktif ternyata dapat dijumpai pada berbagai percobaan, baik in vitro maupun on vivo, yang dapat berperan penting dalam pertumbuhan sel , diferensiasi sel dan sintesis bahan matriks ekstraseluler . Di antara zat itu ada mitogen activated protein kinase (MAPKs), PKC-Beta isoform dan extracellular regulated protein kinase (ERK). Ditemukannya zat yang mampu menghambat aktivitas zat-zat tersebut telah terbukti mengurangi akibat yang timbul, seperti mencegah peningkatan derajat albuminuria dan derajatkerusakan struktural berupa penumpukan matriks mesangial . Kemungkinan perubahan ini diakibatkan penurunan ekspresi transforming growth factor-Beta ( TGF-Beta) dan penurunan extrasellular matrix (ECM). Peran TGF- Beta dalam perkembangan nefropati diabetik ini telah ditunjukkan oleh beberapa peneliti, bahwa kadar zat ini meningkat pada ginjal pasien diabetes.

Berbagai proses di atas dipercaya bukan saja berperan dalam terbentuknya nefropati pada pasien DM, akan tetapi juga dalam progresivitasnya menuju tahap lanjutan. Penelitian dengan menggunakan mikropunktur menunjukkan bahwa tekanan intraglomerulus meningkat pada pasien DM, bahkan sebelum tekanan darah sistemik meningkat.

(23)

Perubahan hemodinamik ginjal ini diduga terkait dengan aktivitas berbagai hormon vasoaktif, seperti angiotensin II (AII) dan endotelin. Genetik adalah faktor penentu lain yang erat kaitannya dengan terjadinya nefropati diabetik.

Hanya sekitar 40% pasien DM tipe 1 maupun DM tipe 2 yang jatuh ke dalam nefropati diabetik. Lainnya terbebas dari penyulit diabetes ini.

2.1.4.2 Hipertensi

Penyakit ginjal dapat menyebabkan naiknya tekanan darah dan sebaliknya hipertensi dalam waktu lama dapat menyebabkan gangguan ginjal. Secara klinis sukar dibedakan kedua keadaan ini, terutama pada keadaan penyakit ginjal menahun. Apakah hipertensi yang menyebabkan penyakit ginjal menahun, atau penyakit ginjal yang menyebabkan naiknya tekanan darah dan untuk mengetahui keadaan ini diperlukan adanya catatan medis yang teratur dalam jangka waktu panjang. Beratnya pengaruh hipertensi pada ginjal tergantung pada tingginya tekanan darah dan lamanya penderita hipertensi. Makin tinggi tekanan darah dan lamanya penderita hipertensi makin berat komplikasi yang dapat ditimbulkan.

Hubungan antara hipertensi dan ginjal telah lama diketahui sejak Richard Bright pada 1836. Penelitian-penelitian selama ini membuktikan bahwa hipertensi merupakan faktor perburukan fungsi ginjal. Variabelitas tekanan darah berperan penting sebagai penyebab kerusakan target organ. Beberapa komponen variabelitas tekanan darah yang berperan antara lain : perubahan tekanan darah siang dan malam, perubahan tekanan darah setiap hari, kecepatan perubahan tekanan darah dan perubahan tekanan darah jangka panjang. Diagnosis dari nefrosklerosis hipertensi tergantung dari eksklusi dari penyakit ginjal primer lainnya. Riwayat penyakit terdahulu, riwayat penyakit keluarga, tanda dari kerusakan target organ, seperti hipertrofi ventrikel kiri, perubahan retina karena hipertensi, urin mikroskopis, pengukuran protein urine 24 jam dan gambaran ultrasonografi akan menegakkan diagnosis. Seperti pada glomeruloskelosis diabetes, Biopsi ginjal untuk diagnose nefrosklerosis hipertensi diindikasikan pada praktek klinis jika secara substansial kita ragu dengan hanya pada bukti klinis.

(24)

Biopsi hanya perlu dipertimbangkan pada pasien yang tidak mempunyai hipertensi akselerasi atau riwayat hipertensi yang lama, dimana serum kreatinin kurang dari 2,5-3 mg/dl dan pada proteinuria lebih dari 1,5 g/24 jam.

Lesi histologis pada glomerulosklerosis meliputi hyperplasia myointima dari pembuluh darah interlobular dan arteriolar afferent, hialin arteriosklerosis dan yang paling sering global glomerulosklerosis. Perubahan ini merupakan hasil dari iskemia glomerular karena penyempitan arteriolar afferent. Sebagai respon untuk meningkatkan aliran arteriolar afferent akan terjadi respon kontraktilitas miogenik, di tambah dengan umpan balik dari tubuloglamerular dari signal makula densa. Pada keadaan yang lebih lanjut akan terjadi autoregulasi dari tekanan dan aliran kapiler glomerulus.22

2.1.4.3 Obesitas Sentral

Obesitas abdominal atau obesitas sentral adalah komponen kunci dari sindrom metabolik. Definisi sindrom metabolik menurut International Diabetes Federation (IDF), obesitas adalah syarat mutlak. Seiring dengan terjadinya epidemi obesitas, disini juga terjadi peningkatan dari penyakit ginjal tahap akhir pada dewasa, dan di populasi di perkirakan akan terjadi peningkatan kejadian PGK dua kali lipat tiap dekadnya. Obesitas sudah dikenal baik sebagai faktor risiko untuk hipertensi dan diabetes, yang merupakan penyebab tersering dari penyakit ginjal tahap akhir. Sangat penting diketahui, bahwa dari studi observasional jangka panjang bahwa terdapat hubungan antara indeks massa tubuh (IMT) dengan kejadian baru dari penyakit ginjal tahap akhir. Selaras dengan hal tersebut, rasio pinggang ke pinggul (waist to hip ratio) atau lingkar pinggang sudah diterima secara luas sebagai faktor risiko PGK.23

Obesitas menyebabkan hiperfiltrasi glomerular,proteinuria, gromerulomegaly, podosit hipertropi, peningkatan matriks dan proliferasi mesangial lesi dari sklerosis segmental dan hilangnya proses makanan dengan fibrosis interstitial dan gangguan fungsi ginjal.24Obesitas, khususnya obesitas abdominal/sentral juga berhubungan dengan resistensi dari efek insulin pada glukosa perifer dan penggunaan asam lemak. Hasil dari hiperinsulinemia dan

(25)

hiperglikemia adalah keluarnya adiposity sitokin, yang akan menyebabkan inflamasi pembuluh darah, semua itu bersifat atherogenik.25

Struktur ginjal dan fungsinya pada obesitas beberapa penelitian menemukan hubungan mikroalbuminuria dengan variable derajat dari proteinuria terhadap obesitas. Secara klinis, pasien mungkin memberi gambaran sindroma nefrotik, walaupun lebih seringnya mereka tidak nefrosis. Pada seri kasus 15 pasien dengan obese, Praga dkk melaporkan tidak adanya gambaran sindroma nefrotik walaupun terjadi proteinuria yang berat. 10 tahun renal survival hanya 51

% pada serial kasus ini. Temuan yang sama ditemukan pada serial kasus yang lebih besar oleh D’Agati dkk. Histopatologi dari obese proteinuria terdiri dari glomerulomegali dengan atau tanpa Focal Segmental Glomerulosclerosis (FSGS).

Pada pasien ini cenderung mempunyai lesi podocyte yang sedikit dan progresi yang lebih pelan dibandingkan dengan idiopatik FSGS. Perubahan glomerular disini dinamakan Obesity-related glomerulopathy.

Selanjutnya hal itu berhubungan dengan perubahan hemodinamik ginjal, yaitu peningkatan aliran darah ginjal, hiperfiltrasi dan peningkatan fraksi filtrasi, hal inilah yang menerangkan tentang paragraph diatas. Namun pemeriksaan diatas biasanya bias karena biopsy ginjal biasanya hanya diperoleh dari pasien proteinuria. Oleh karena itu, glomerulopaty terkait obesitas mungkin bukan hanya gambaran histopatologis dari penyakit ginjal terkait obesitas, khususnya pada nonproteinuria obese pasien dengan disfungsi ginjal. Sebagai contoh, mungkin tampak gambaran nefropati tubulointerstitial dan mungkin mendahului proteinuria pada beberapa pasien obese, dimana hal tersebut belum diteliti.

Dalam rangka usaha untuk menguji perubahan awal pada histopatologi ginjal yang berhubungan dengan obesitas, Rea dkk menguji spesimen biopsy ginjal pada ginjal donor yang obese tanpa gangguan fungsi ginjal dan dibandingkan dengan kontrol dari ginjal non obese. Mereka menemukan peningkatan permukaan area planar glomerular dan lebih banyak dilatasi tubulus pada pasien obese, tanpa adanya perbedaan yang cukup bermakna. Kemaknaan dari penemuan ini tidak jelas tapi mungkin berhubungan dengan ketidakcocokan dari jumlah nefron dengan ukuran tubuh atau hiperfiltrasi pada individu yang obese. 26

(26)

2.1.4.4 Usia

Hasil hubungan variabel usia secara statistik dengan kejadian penyakit ginjal kronik mempunyai hubungan yang bermakna antara usia <60 tahun dan >60 tahun pada pasien hemodialisis. Secara klinik pasien usia >60 tahun mempuyai risiko 2 kali lebih besar mengalami gagal ginjal kronis dibandingkan dengan pasien usia <60 tahun. Hal ini disebabkan karena semakin bertambah usia, semakin berkurang fungsi ginjal dan berhubungan dengan penurunan kecepatan ekskresi glomerulus dan memburuknya fungsi tubulus. Penurunan fungsi ginjal dalam skala kecil merupakan proses normal bagi setiap manusia seiring bertambahnya usia, namun tidak menyebabkan kelainan atau menimbulkan gejala karena masih dalam batas-batas wajar yang dapat ditoleransi ginjal dan tubuh.

Namun, akibat ada beberapa faktor risiko dapat menyebabkan kelainan dimana penurunan fungsi ginjal terjadi secara cepat atau progresif sehingga menimbulkan berbagai keluhan dari ringan sampai berat, kondisi ini disebut gagal ginjal kronis (GGK) atau chronic renal failure (CRF). Mcclellan dan Flanders membuktikan bahwa faktor risiko gagal ginjal salah satunya adalah umur yang lebih tua.20

2.1.4.5 Merokok

Berdasarkan analisis crosstab, terdapat hubungan antara riwayat merokok dengan kejadian penyakit ginjal kronis pada pasien hemodialisis (OR=1,987, p<0,05, Cl=1,017-3,884). Pasien penyakit ginjal kronik dengan hemodialisis yang mempunyai riwayat merokok mempunyai risiko dengan kejadian gagal ginjal kronis lebih besar 2 kali dibandingkan dengan pasien tanpa riwayat merokok.

Efek merokok fase akut yaitu meningkatkan pacuan simpatis yang akan berakibat pada peningkatan tekanan darah, takikardi, dan penumpukan katekolamin dalam sirkulasi. Pada fase akut beberapa pembuluh darah juga sering mengalami vasokonstriksi misalnya pada pembuluh darah koroner, sehingga pada perokok akut sering diikuti dengan peningkatan tahanan pembuluh darah ginjal sehingga terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus dan fraksi filter.27, 28

(27)

2.1.4.6 Jenis Kelamin

Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel jenis kelamin secara statistik ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin laki-laki dan jenis kelamin perempuan dengan kejadian penyakit ginjal kronis pada pasien hemodialisis.

Secara klinik laki-laki mempunyai risiko mengalami penyakit ginjal kronik 2 kali lebih besar daripada perempuan. Hal ini dimungkinkan karena perempuan lebih memperhatikan kesehatan dan menjaga pola hidup sehat dibandingkan laki-laki, sehingga laki-laki lebih mudah terkena penyakit ginjal kronis dibandingkan perempuan. Perempuan lebih patuh dibandingkan laki-laki dalam menggunakan obat karena perempuan lebih dapat menjaga diri mereka sendiri serta bisa mengatur tentang pemakaian obat.29

2.1.4.7 Batu Saluran Kemih

Uji statistik menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara riwayat batu saluran kemih dengan penyakit ginjal kronis (p=0,011; OR=4,926).

Penelitian ini juga melaporkan bahwa orang yang memiliki riwayat batu saluran kemih 4-5 kali lebih sering menderita penyakit ginjal kronis dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki riwayat batu saluran kemih. Hal ini bertentangan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hidayati dkk tahun 2008 di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta yang melaporkan tidak terdapat hubungan secara bermakna antara riwayat batu saluran kemih dengan penyakit ginjal kronis.7Tetapi sependapat dengan penelitian cohort yang dilakukan oleh Alexander dkk di Alberta, Canada yang melaporkan terdapat hubungan yang signifikan antara riwayat batu saluran kemih dengan penyakit ginjal kronis.30 Obstruksi yang diakibatkan oleh batu saluran kemih dapat menyebabkan peningkatan tekanan intratubular yang diikuti oleh vasokonstriksi pembuluh darah hingga mengakibatkan iskemik pada ginjal. Iskemik pada waktu yang lama dapat menyebabkan glomeruloskerosis, atrofi tubulus dan fibrosis intertisial. Obstruksi komplit pada ginjal selama 24 jam akan mengakibatkan kehilangan fungsi nefron secara permanen sebanyak 15%.31

(28)

2.1.4.8 Infeksi Saluran Kemih

Infeksi saluran kemih merupakan salah satu faktor risiko terjadinya penyakit ginjal kronis. Terjadinya infeksi saluran kemih disertai dengan refluk vesiko ureter akan memperbesar terbentuknya skar di ginjal yang akan menyebabkan terjadinya penurunan fungsi ginjal.32,33Adanya hubungan yang signifikan antara riwayat infeksi saluran kemih dengan penyakit ginjal kronis terbukti secara statistik pada penelitian ini. Orang dengan riwayat infeksi saluran kemih 5 kali lebih berisiko terkena penyakit ginjal kronis dibandingkan orang tidak memiliki riwayat infeksi saluran kemih.

2.1.4.9 Glomerulonefritis

Glomerulonefritis merupakan penyakit peradangan ginjal bilateral.

Peradangan dimulai dalam glomerulus dan bermanifestasi sebagai proteinuria dan/

atau hematuria. Meskipun lesi terutama ditemukan pada glomerulus, tetapi seluruh nefron pada akhirnya akan mengalami kerusakan, mengakibatkan PGK. Kematian yang diakibatkan oleh gagal ginjal umumnya disebabkan oleh glomerulonefritis kronik. Glomerulonefritis kronik merupakan kerusakan glomerulus secara progresif lambat akibat glomerulonefritis yang sudah berlangsung lama.34

2.1.4.10 Penyakit Ginjal Polikistik

Penyakit ginjal polikistik merupakan gangguan herediter yang terutama mengenai tubulus ginjal yang dapat menyebabkan PGK. Penyakit ginjal polikistik ditandai dengan kista-kista multiple, bilateral yang mengadakan ekspansi dan lambat laun mengganggu dan menghancurkan parenkim ginjal normal akibat penekanan.34

Menurut hasil penelitian Ginting (2004) terhadap penderita PGK yang dirawat inap di RSUP.H.Adam Malik Medan, ditemukan bahwa 2,7% penderita PGK disebabkan oleh penyakit ginjal polikistik.13

Menurut hasil penelitian Choi dkk (1999) terhadap penderita PGK yang menjalani hemodialisis di RS.St. Coloumban, Mokpo, Korea, ditemukan bahwa 5% penderita PGK disebabkan oleh penyakit ginjal polikistik.35

(29)

2.1.5 Patofisiologi

Walaupun banyak penyakit yang dapat menyebabkan lesi pada ginjal, secara keseluruhan intinya adalah perubahan adaptif pada ginjal akan mengarah pada konsekuensi yang maladaptif. Teori yang paling dapat diterima adalah hiperfiltrasi pada nefron ginjal yang tersisa setelah terjadi kehilangan nefron akibat lesi. Peningkatan tekanan glomerular menyebabkan hiperfiltrasi ini.

Hiperfiltrasi terjadi sebagai kosekuensi adaptif untuk mempertahankan laju filtrasi glomerulus (LFG), namun kemudian akan menyebabkan cedera pada glomerulus.

Permeabilitas glomerulus yang abnormal umum terjadi pada gangguan glomerular, dengan proteinuria sebagai tanda klinis.36

2.1.6 Gambaran Klinik

Gambaran klinik penyakit ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, dan kelainan neuropsikiatri.

1. Kelainan Hemopoeisis

Anemia normokrom dan normositer, sering ditemukan pada pasien penyakit ginjal kronis. Anemia sangat bervariasi bila ureum darah lebih dari 100 mg% atau penjernihan kreatinin kurang dari 25 ml per menit.

2. Kelainan Saluran Cerna

Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien penyakit ginjal kronis terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dan muntah masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia (NH3).

Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan antibiotika.

3. Kelainan Mata

Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien penyakit ginjal kronis. Gangguan visus cepat hilang setelah

(30)

beberapa hari mendapat pengobatan penyakit ginjal kronis yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis, dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien penyakit ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada konjungtiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien penyakit ginjal kronis akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tertier.

4. Kelainan Kulit

Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea frost.

5. Kelainan Selaput Serosa

Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering dijumpai pada penyakit ginjal kronis terutama pada stadium terminal. Kelainan selaput serosa merupakan salah satu indikasi mutlak untuk segera dilakukan dialisis.

6. Kelainan Neuropsikiatri

Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, depresi. Kelainan mental berat seperti konfusi, dilusi, dan tida k jarang dengan gejala psikosis. Kelainan mental ringan atau berat ini sering dijumpai pada pasien dengan atau tanpa hemodialisis, dan tergantung dari dasar kepribadiannya (personalitas). Pada kelainan neurologi, kejang otot atau muscular twitching sering ditemukan pada pasien yang sudah dalam keadaan yang berat, kemudian terjun menjadi koma.

7. Kelainan Kardiovaskular

Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi,

(31)

aterosklerosis, penyebaran kalsifikasi mengenai sistem vaskuler, sering dijumpai pada pasien penyakit ginjal kronis terutama pada stadium terminal. Hal ini dapat menyebabkan gagal faal jantung.

8. Hipertensi

Patogenesis hipertensi ginjal sangat kompleks, banyak faktor turut memegang peranan seperti keseimbangan natrium, aktivitas sistem renin-angiotensin-aldosteron, penurunan zat dipresor dari medulla ginjal, aktivitas sistem saraf simpatis, dan faktor hemodinamik lainnya seperti cardiac output dan hipokalsemia. Retensi natrium dan sekresi renin menyebabkan kenaikan volume plasma (VP) dan volume cairan ekstraselular (VCES). Ekspansi VP akan mempertinggi tekanan pengisiaan jantung (cardiac filling pressure) dan cardiac output pressure (COP). Kenaikan COP akan mempertinggi tonus arteriol (capacitance) dan pengecilan diameter arteriol sehinga tahanan perifer meningkat. Kenaikan tonus vaskuler akan menimbulkan aktivasi mekanisme umpan balik (feedback mechanism) sehingga terjadi penurunan COP sampai mendekati batas normal tetapi kenaikan tekanan darah arterial masih dipertahankan. Sinus karotis mempunyai faal sebagai penyangga (buffer) yang mengatur tekanan darah pada manusia. Setiap terjadi kenaikan tekanan darah selalu dipertahankan normal oleh sistem mekanisme penyangga tersebut. Pada pasien azotemia, mekanisme penyangga dari sinus karotikus tidak berfaal lagi untuk mengatur tekanan darah karena telah terjadi perubahan volume dan tonus pembuluh darah arteriol.17

(32)

2.1.7 Diagnosis

Diagnosis Penyakit Ginjal Kronik (PGK) mempunyai sasaran berikut:

a. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)

b. Mengetahui etiologi PGK yang mungkin dapat dikoreksi

c. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors) d. Menentukan strategi terapi rasional

e. Menentukan prognosis Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus.17

1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi PGK, perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal (LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif dan objektif termasuk kelainan laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan melibatkan banyak organ dan tergantung dari derajat penurunan faal ginjal.17

2. Pemeriksaan laboratorium

Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan menentukan derajat penurunan faal ginjal (LFG), identifikasi etiologi dan menentukan perjalanan penyakit termasuk semua faktor pemburuk faal ginjal.17

a. Pemeriksaan Faal Ginjal (LFG)

Pemeriksaan ureum, kreatinin serum dan asam urat serum sudah cukup memadai sebagai uji saring untuk faal ginjal (LFG).

Pemeriksaan klirens kreatinin dan radionuklida (gamma cameraimaging) hampir mendekati faal ginjal yang sebenarnya.17 b. Etiologi Penyakit Ginjal Kronik (PGK)

- Analisis urin rutin - Mikrobiologi urin - Kimia darah - Elektrolit

- Imunodiagnosis

(33)

c. Pemeriksaan laboratorium untuk perjalanan penyakit progresivitas penurunan faal ginjal, hemopoiesis, elektrolit, endoktrin, dan pemeriksaan lain berdasarkan indikasi terutama faktor pemburuk faal ginjal (LFG). 17

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang harus selektif sesuai dengan tujuannya, yaitu:

- Diagnosis etiologi PGK

Beberapa pemeriksaan penunjang diagnosis, yaitu foto polos abdomen, ultrasonografi(USG), nefrotomogram, pielografi retrograde, pielografi antegrade dan Micturating Cysto Urography (MCU).17 - Diagnosis pemburuk faal ginjal

Pemeriksaan radiologi dan radionuklida (renogram) dan pemeriksaan ultrasonografi (USG).

2.1.8 Penatalaksanaan 1. Terapi Konservatif

Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit.17

Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya penurunan LFG sehingga perburukan fungsi ginjal tidak terjadi.

Pada ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20- 30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak bermanfaat.37

Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien penyakit ginjal kronis. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid (superimposed factors) yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid ini antara lain, gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi

(34)

traktus urinarius, obat-obatan nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.37

a. Peranan diet

Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.17Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG ≤60 ml/mnt, sedangkan di atas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Protein diberikan 0,6-0,8/kgbb/hari, yang 0,35-0,50 gr diantaranya merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30- 35 kkal/kgBB/hari, dibutuhkan pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi pasien. Bila terjadi malnutrisi, jumlah asupan kalori dan protein dapat ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan protein tidak disimpan dalam tubuh tapi tapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama dieksresikan melalui ginjal.

Selain itu, makanan tinggi protein yang mengandung ion hydrogen, posfat, sulfat, dan ion unorganik lain juga dieksresikan melalui ginjal.

37Pemberian diet tinggi protein pada pasien penyakit ginjal kronik akan mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lain, dan mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik yang disebut uremia. Pembatasan protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik.37

b. Kebutuhan jumlah kalori

Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk PGK harus adekuat dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.17

c. Kebutuhan cairan

Bila ureum serum >150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.

(35)

d. Kebutuhan elektrolit dan mineral

Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).

2. Terapi simtomatik a. Asidosis metabolik

Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH ≤7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.17

b. Anemia

Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik. Anemia pada penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal-hal yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah defisiensi besi, kehilangan darah (misal, perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut maupun kronis. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin ≤10 g% atau hematokrit ≤30g%, meliputi evaluasi terhadap status besi (Iron Binding Capacity), mencari sumber perdarahan morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis.37

Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, Pemberian eritropoitin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Dalam pemberian EPO ini, status besi harus selalu diperhatikan karena EPO memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya. Pemberian transfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan secara hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan cermat. Transfusi darah yang tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia dan perburukan fungsi ginjal. Sasaraan hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dl.37

Gambar

Tabel  5.1.  Distribusi  berdasarkan  jenis  kelamin  pada  penderita  penyakit ginjal kronik
Tabel 5.4. Distribusi berdasarkan faktor resiko pada penderita penyakit  ginjal kronik.
Tabel 5.6. Distribusi berdasarkan faktor resiko dan umur pada penderita   penyakit ginjal kronik
Tabel  5.1.  Distribusi  berdasarkan  jenis  kelamin  pada  penderita  penyakit ginjal kronik
+3

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Hal itu sesuai dengan penelitian Kristyaningsih, 2009 bahwa tingkat harga diri meningkat lebih bermakna dan kondisi depresi menurun lebih bermakna pada kelompok

Kesimpulan: Variasi rasio perbandingan glukomanan dan gom xantan dengan konsentrasi 4% yang terbaik sebagai basis gel pengharum ruangan adalah formula B2 (80:20) dan

Oleh karena itu pada penelitian ini memanfaatkan minyak nilam 1% sebagai fiksatif alami untuk mempertahankan atau mengikat wangi gel pengharum ruangan agar wanginya dapat

Abstrak: Sertifikasi, Kinerja Dosen. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh sertifikasi dengan kinerja dosen di lingkungan Politeknik Kesehatan

pemberdayaan masyarakat sebagai suatu proses yang membangun manusia atau masyarakat melaJui pengcmbangan kemampuan masyarakat,.. perubahan perilaku masyarakat

Safriyadin. Hubungan Perhatian Orang Tua, Kinerja Guru, Disiplin Belajar dengan Hasil Belajar IPS Siswa Kelas III SDN Gugus Cakra Kota Semarang. Sarjana Pendidikan Universitas

[r]