• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan Kadar Magnesium Serum Antara Pasien Dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Stabil dan PPOK Eksaserbasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perbedaan Kadar Magnesium Serum Antara Pasien Dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Stabil dan PPOK Eksaserbasi"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

2.1.1 Definisi PPOK

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan penyakit yang dapat dicegah dan

diobati, yang ditandai dengan hambatan aliran udara yang persisten, yang biasanya progresif

dan berhubungan dengan respon inflamasi kronis pada saluran udara dan paru – paru yang

meningkat terhadap partikel dan gas berbahaya. Eksaserbasi dan komorbiditas berkontribusi

terhadap keparahan pasien secara individual.

Istilah PPOK secara historis beranjak dari gabungan dua keadaan penyakit yang

sebelumnya dianggap terpisah; emfisema pulmoner dan bronkitis kronik (obstruktif). Kedua

keadaan ini digabungkan dalam satu definisi keadaan klinis dan fungsional karena keduanya

sering hadir bersamaan dan sulit dibedakan satu sama lain secara klinis. Karakteristik PPOK

adalah keluhan pernafasan seperti batuk, atau sesak nafas yang berhubungan dengan

obstruksi saluran nafas yang ireversibel atau reversibel minimal secara farmakologis yang

berlangsung progresif sejalan waktu dengan penurunan force expiratory volume in 1 second

(FEV – 1) rata – rata pertahun 33 – 69 mL. Karakter lain dari PPOK adalah eksaserbasi, yang

cenderung terjadi sekitar sekali setahun. Hanya 23% dari keseluruhan pasien dengan

obstruksi moderat atau berat yang bebas eksaserbasi selama tiga tahun.

2.1.2. Epidemiologi PPOK

Pada tahun 2002 jumlah penderita PPOK sedang hingga berat di negara – negara

Asia Pasifik memiliki angka prevalens 6,3%. Angka prevalens bagi masing-masing negara

berkisar 3,5-6,7%. Negara dengan prevalensi terkecil adalah Hongkong dan Singapura 3,5%,

sedangkan negara dengan prevalensi terbesar adalah Vietnam 6,7% dan China 6,5%.

Indonesia memiliki angka prevalens 5,6% 2. Pada tahun 2008 Amerika memiliki angka prevalens bronkitis 4,3% dan prevalens emfisema 1,68%3. PPOK menjadi salah satu penyakit dengan angka morbiditas yang tinggi di Selandia Baru pada tahun 2012 dengan proporsi 14%

penduduk usia 40 tahun ke atas dan pada tahun berikutnya diperkirakan akan mengalami

kenaikan.

Tingginya proporsi perokok di Indonesia yaitu 65,9% dari penduduk laki-laki

(2)

terlalu dini menyebabkan tingginya penyakit yang disebabkan rokok, salah satunya PPOK.

Namun tidak ada data nasional yang menjelaskan prevalensi penderita PPOK di Indonesia.

Pada tahun 2000 di RS Persahabatan Jakarta PPOK menduduki peringkat ke-5 dari seluruh

penderita yang dirawat jalan dan peringkat ke-4 dari seluruh penderita yang dirawat. Pada

tahun 2007 terjadi peningkatan jumlah penderita 3 kali lebih besar dari tahun 2000.Hasil

survei penyakit tidak menular oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan

Penyehatan Lingkungan (PPM & PL)di 5 rumah sakit propinsi di Indonesia (Jawa Barat,

Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan Sumatera Selatan) pada tahun 2004 menunjukkan

PPOK berada di urutan pertama dengan proporsi 35%, diikuti asma bronkial (33%), kanker

paru (30%) dan lainnya (2%).Pada tahun 2010 Dinas Kesehatan Yogyakarta menyatakan

PPOK menduduki peringkat ke-4 penyebab kematian.

Data PPOK yang tersedia menunjukkan variasi bermakna dikarenakan perbedaan –

perbedaan dalam metode survei, kriteria diagnostik, dan pendekatan analitik. Estimasi

prevalensi ter-rendah adalah yang berdasarkan pelaporan dokter atas diagnosis PPOK atau

keadaan yang serupa. Misalnya, sebagian besar data nasional menunjukkan bahwa kurang

dari 6% populasi dewasa diketahui menderita PPOK. Hal ini menggambarkan luasnya under

– recognition dan underdiagnosis PPOK.

2.1.3 Patologi, Patogenesis, dan Patofisiologi 2.1.3.1 Patologi

Inhalasi asap rokok dan partikel berbahaya lainnya seperti asap dari bahan bakar

menyebabkan inflamasi paru - paru. Inflamasi kronik pada paru – paru dapat menyebabkan

kerusakan jaringan parenkim dan mengganggu perbaikan dan mekanisme pertahanan normal

yang mengakibatkan fibrosis saluran napas kecil. Perubahan patologis ini menyebabkan

terperangkapnya udara dan keterbatasan aliran udara yang progresif.

Inflamasi kronik dengan peningkatan jumlah dan jenis sel inflamasi serta perubahan

struktural yang dihasilkan dari cedera berulang dan perbaikan, ditemukan di saluran napas,

parenkim paru dan pembuluh darah paru. Secara umum, perubahan ini meningkat dengan

keparahan penyakit dan menetap meskipun telah berhenti merokok.

2.1.3.2. Patogenesis

Pada saluran pernapasan pasien PPOK terjadi perubahan respon inflamasi pada

(3)

dengan genetik namun belum dipahami sepenuhnya. Peradangan pada paru-paru dapat

berlanjut walaupun sudah berhenti merokok, sehingga diduga bahwa auto-antigen dan mikro organisme persisten memainkan peranan. Stres oksidatif dan kelebihan proteinase di paru-paru menyebabkan perubahan lebih lanjut pada peradangan paru-paru.

Stres oksidatif merupakan mekanisme penting dalam patogenesis PPOK. Biomarker

stres oksidatif meningkat dalam pengeluaran napas, dahak dan sirkulasi sistemik pasien

PPOK. Stres oksidatif semakin meningkat pada PPOK eksaserbasi. Oksidan yang dihasilkan

oleh asap rokok dan partakel inhalasi lainnya dilepaskan dari aktivitas sel-sel inflamasi

seperti makrofag dan neutrofil.

Terdapat bukti kuat adanya ketidakseimbangan fungsi protease yang memecah

komponen jaringan ikat dan anti - protease yang melindungi paru pada pasien PPOK. Beberapa protease, yang berasal dari sel-sel inflamasi dan sel epitel meningkat pada pasien PPOK dan protease – protease tersebut berinteraksi satu sama lain. Protease ini menghancurkan elastin, komponen utama jaringan ikat parenkim paru sehingga menyebabkan

gambaran emfisema yang irreversibel.

2.1.3.3. Patofisiologi

Keterbatasan aliran udara dan terperangkapnya udara akibat peradangan dan

penyempitan saluran napas di perifer menyebabkan penurunan FEV1. Rusaknya parenkim

karena emfisema juga berkontribusi untuk terbatasnya aliran udara karena berkurangnya

elastisitas. Kombinasi dari keduanya semakin memperberat ke terperangkapan udara selama

ekspirasi, mengakibatkan hiperinflasi.

Hiperinflasi didefinisikan sebagai peningkatan volume udara yang tersisa di

paru-paru pada akhir ekspirasi spontan, functional residual capacity (FRC) atau end-expiratory lung volume (EELV) meningkat di atas normal.

Abnormalitas pertukaran udara berupa gangguan ventilasi-perfusi (VA/Q) dapat

mengakibatkan hipoksemia, dan hiperkapnia pada PPOK. Gangguan ventilasi menyebabkan

retensi karbondioksida, yang diperberat dengan berkurangnya perfusi.

Batuk kronik produktif yang disebabkan hipersekresi mukus adalah gambaran dari

bronkitis kronik. Hipersekresi mukus terjadi karena peningkatan jumlah sel goblet dan

(4)

tidak selalu berhubungan dengan keterbatasan aliran udara. Tidak semua pasien dengan

PPOK memiliki gejala hipersekresi mukus.

Hipertensi pulmonal pada PPOK disebabkan oleh vasokonstriksi arteri pulmonalis

kecil yang mengalami hipoksia, perubahan struktural berupa hiperplasia intima dan hipertrofi

otot polos, serta hilangnya ruang kapiler paru karena emfisema. Respon inflamasi pembuluh

darah paru pada PPOK mirip dengan respon inflamasi saluran napas. Hipertensi pulmonal

berat dapat menyebabkan hipertrofi ventrikel kanan dan akhirnya gagal jantung kanan.

Gejala eksaserbasi pernafasan yang terjadi pada pasien dengan PPOK dapat dipicu

oleh infeksi bakteri atau virus, polusi lingkungan atau faktor lain yang tidak diketahui.

Selama eksaserbasi terjadi kekambuhan peradangan, peningkatan hiperinflasi dan

terperangkapnya udara, berkurangnya aliran ekspirasi, dan meningkatnya gejala sesak.

Penurunan dari VA/Q yang tidak normal, yang dapat mengakibatkan hipoksemia dan

hiperkapnia. Kondisi medis lainnya seperti pneumonia, tromboemboli, dan gagal jantung akut

dapat memperburuk eksaserbasi PPOK.

(5)

2.1.4. Diagnosa

Banyak pasien dengan PPOK tetap tidak terdiagnosis hingga stadium lanjut. Gejala

PPOK sering tidak dikenali hingga telah terjadi gangguan yang signifikan dari berkurangnya

fungsi paru – paru. Diagnosis yang terlambat menyebabkan pasien mengalami perburukan

gejala klinis dan keterbatasan yang seharusnya dapat diringankan dengan pengobatan, selain

itu hilang pula kesempatan untuk mengurangi progresivitas PPOK.

Diagnosis klinis PPOK harus dipertimbangkan pada pasien – pasien yang memiliki

gejala sesak nafas, batuk kronis dan produksi sputum serta riwayat paparan terhadap faktor

risiko untuk penyakit ini. Spirometri diperlukan untuk membuat diagnosis klinis dalam

konteks tersebut.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada pemeriksaan screening spirometri pada populasi risiko tinggi, 19 – 24% ternyata menderita PPOK dengan proporsi signifikan

mengalami keterbatasan aliran udara.

Kriteria spirometri ditetapkan untuk keterbatasan aliran udara pasca-bronkodilator

adalah perbandingan FEV1/FVC kurang dari 0.70. Kriteria ini sederhana, independen dari

nilai referensi dan telah digunakan dalam berbagai bentuk uji klinis sebagai bukti dasar dari

beberapa rekomendasi pengobatan yang digunakan.Meskipun spirometri pasca-bronkodilator

diperlukan untuk diagnosis dan penilaian keparahan PPOK, namun penggunaanya untuk

mengukur derajat reversibilitas dari keterbatasan aliran napas ( misalnya, mengukur FEV1

sebelum dan sesudah bronkodilator atau kortikosteroid ) tidak lagi dianjurkan.

Gejala karakteristik dari PPOK adalah sesak nafas yang bersifat progresif, disertai

gejala batuk, disertai produksi dahak kronik. Batuk kronis dan produksi dahak dapat

berkembang menjadi keterbatasan aliran napas yang dialami bertahun-tahun. Pada individu

yang terpapar faktor risiko dengan gejala yang sesuai PPOK sebaiknya diperiksa untuk

(6)

Tabel 2.1. Daftar Manifestasi dan Temuan Klinis Yang Disederhanakan Dari Keadaan – Keadaan Lain Yang Juga Menyebabkan Sesak Nafas.

(7)

Terhadap pasien baru dan diduga menderita PPOK, harus ditanyakan :

a) Riwayat paparan terhadap faktor resiko

b) Riwayat kesehatan terdahulu

c) Riwayat keluarga PPOK atau penyakit pernapasan kronik yang lain

d) Riwayat eksaserbasi PPOK atau rawat inap karena gangguan pernafasan

sebelumnya.

e) Adanya komorbiditas

f) Dampak penyakit pada kehidupan pasien

g) Keadaan sosial dan tersedianya dukungan keluarga terhadap pasien

h) Kemungkinan untuk mengurangi faktor risiko, terutama berhenti merokok

Ada beberapa kuesioner yang divalidasi untuk menilai gejala pada pasien PPOK

yang digunakan untuk membedakan pasien dengan gejala yang lebih ringan dan pasien

dengan gejala yang lebih berat. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease

(GOLD) telah merekomendasikan penggunaan modifikasi British Medical Research Council

(mMRC) suatu kuesioner pada sesak napas atau COPD Assessment Test ( CAT ), yang keduanya memiliki cakupan yang lebih luas terhadap dampak PPOK pada kehidupan

sehari-hari dan kesejahteraan pasien. Skala gejala lain dapat juga digunakan, misalnya kuesioner

klinis PPOK.

Tabel 2.2 Modifikasi British Medical Research Council (mMRC). Grade Deskripsi sesak nafas

0 Saya hanya merasa sesak nafas bila beraktivitas berat

1 Saya merasa sesak nafas bila bergegas pada jalan yang rata atau berjalan sedikit mendaki

2 Pada jalan yang rata, saya berjalan lebih pelan daripada orang seusia saya karena merasa sesak nafas, atau saya harus berhenti sejenak untuk menarik nafas saat berjalan dengan irama saya sendiri

3 Saya berhenti untuk menarik nafas setelah sekitar 100 depa atau setelah beberapa menit pada jalan yang rata

4 Saya terlalu sesak nafas untuk meninggalkan rumah, atau saya merasa sesak nafas bahkan saat berpakaian

Spirometri secara khusus digunakan untuk menentukan klasifikasi keterbatasan

aliran udara berdasarkan cut off poin. Derajat keterbatasan aliran udara dikaitkan dengan peningkatan prevalensi eksaserbasi dan risiko kematian. Tabel di bawah ini menunjukkan

(8)

Tabel 2.3.Penilaian Dari Keterbatasan Aliran Udara Pada PPOK.

( Berdasarkan Post Bronkodilator FEV1 )

FEV1 merupakan suatu penilaian yang sangat penting terhadap derajat

keparahan PPOK, dimana kegunaannya diperlihatkan oleh berbagai penelitian. Fletcher dan

Peto telah melakukan penelitian sejak 30 tahun yang lalu dengan mengukur FEV1 setiap 6

bulan selama 8 tahun yang terdiri dari 792 laki-laki pekerja, mendapati penurunan FEV1 yang

progresif dari waktu ke waktu pada pasien PPOK seiring dengan bertambahnya usia.

Francios et al menemukan bahwa nilai FEV1 secara statistik berhubungan dengan

derajat keparahan pada PPOK. Donaldson et al menemukan bahwa derajat keparahan PPOK

berhubungan dengan frekuensi eksaserbasi. Pasien dengan PPOK berat (GOLD derajat III)

memiliki frekuensi eksaserbasi 3,43 % pertahun dibandingkan PPOK sedang (GOLD

derajatII) dengan kejadian 2,68 % pertahun dimana p = 0.029. penelitian lainnya oleh

Paggiaro et al menemukan bahwa pasien pasien PPOK dengan FEV1 >60% prediksi,

mengalami eksaserbasi1,6 ± 1,5% pertahun, dibandingkan FEV 40 - 59% prediksi yang

mengalami eksaserbasi 1,9 ±1,8 %, dan FEV1< 40% prediksi yang mengalami eksaserbasi

(9)

Tabel 2.4. COPD Asessment Test (CAT).

(10)

2.1.5. PPOK eksaserbasi akut

PPOK eksaserbasi akut adalah peristiwa akut yang ditandai dengan

memburuknya gejala pernapasan pasien yang melebihi variasi normal sehari-hari dan

menyebabkan perubahan dalam pengobatan. Pasien yang mengalami eksaserbasi akut dapat

ditandai dengan gejala yang khas seperti sesak nafas yang semakin bertambah, batuk

produktif dengan perubahan volume atau purulensi sputum. Terkadang dapat juga

memberikan gejala yang tidak khas seperti malaise, fatigue dan gangguan susah tidur.

Menurut Roisin gejala klinis PPOK eksaserbasi akut dapat dibagi menjadi dua

yaitu gejala respirasi berupa sesak napas yang semakin bertambah berat, peningkatan volume

dan purulensi sputum, batuk yang semakin sering, napas yang dangkal dan cepat. Sedangkan

gejala sistemik ditandai dengan peningkatan suhu tubuh, peningkatan denyut nadi serta

gangguan status mental pasien.

Tabel 2.5. Definisi Eksaserbasi PPOK dan Tipe Eksaserbasi yang Dikembangkan Untuk Penelitian Antibiotik.

Tipe Simtom Simtom tambahan

1 Peningkatan volume sputum

Peningkatan purulensi sputum

Peningkatan gejala dispnu

2 2 dari gejala berikut :

a) Peningkatan volume sputum

b) Peningkatan purulensi sputum

c) Peningkatan gejala dispnu

3 Hanya 1 dari gejala berikut:

a) Peningkatan volume sputum

b) Peningkatan purulensi sputum

c) Peningkatan gejala dispnu

a) Nyeri tenggorokan atau sekret hidung dalam 5

hari ini

b) Demam tanpa penyebab lain.

c) Peningkatan wheezing

d) Peningkatan batuk

e) Peningkatan laju nafas > 20%.

f) Peningkatan denyut jantung > 20%.

Prevalensi terjadinya mortalitas di rumah sakit pada pasien eksaserbasi akut dengan

komplikasi hiperkapnia dan asidosis diperkirakan10%. Kematian dalam 1 tahun mencapai

(11)

Penyebab tersering pada eksaserbasi akut adalah infeksi pada saluran pernafasan

trakeobronkial (virus dan bakteri) dan polusi udara, namun pada sekitar sepertiga kasus

eksaserbasi akut tidak dapat diketahui penyebabnya. Peranan infeksi bakteri pada PPOK

eksaserbasi masih kontroversi, tetapi penelitian terbaru menyatakan setidaknya 50 %

penderita mempunyai populasi bakteri yang tinggi pada saluran nafas bagian bawah.

Tingkat terjadinya eksaserbasi sangat bervariasi antara pasien. Prediktor terbaik

adalah dengan menilai riwayat peristiwa seringnya eksaserbasi sebelum diobati. Keparahan

eksaserbasi biasanya diklasifikasikan sebagai ringan saat gejala eksaserbasi pernafasan

membutuhkan pengobatan inhalasi terhadap pasien, moderat ketika gejala eksaserbasi

pernafasan membutuhkan intervensi medis termasuk pemberian antibiotik dan steroid oral,

dan berat saat gejala eksaserbasi pernafasan memerlukan rawat inap.

Tabel 2.6. Derajat Eksaserbasi PPOK Pada Pasien Rawat Inap dan Rawat Jalan.

Mild Eksaserbasi yang ditangani dengan antibiotik, namun tidak membutuhkan streoid sistemik. Tidak

dijumpai gagal nafas atau jika tidak ada pemeriksaan analisa gas darah dari gejala klinis pasien dapat diasumsikan tanpa gagal nafas.

Moderate Eksaserbasi yang ditangani dengan kortikosteroid parenteral dengan atau tanpa antibiotik. Tidak dijumpai gagal nafas atau jika tidak ada pemeriksaan analisa gas darah dari gejala klinis pasien dapat diasumsikan tanpa gagal nafas.

Severe Gagal nafas tipe 1 dengan hipoksemia namun tanpa retensi karbondioksida dan tanpa asidosis. PaO2

<8 kPa

(60 mmHg), PaCO2 < 6 kPa (45 mmHg).

Very severe Gagal nafas tipe 2 dengan hipoksemia terkompensasi, retensi karbondioksida namun tanpa asidosis. Pa O2< 8 kPa (60 mmHg), Pa CO2>6 kPa (45 mmHg) dan konsentrasi > 44nM (pH >7.35).

Life Threatening Gagal nafas tipe 2 dengan hipoksemia tidak terkompensasi, retensi karbondioksida dengan asidosis. Pa O2< 8 kPa (60 mmHg), Pa CO2>6 kPa (45 mmHg) dan konsentrasi > 44nM (pH <7.35).

Modifikasi British Medical Research Council (mMRC) atau skala CAT direkomendasikan untuk menilai gejala, dengan tingkat mMRC ≥ 2 atau skor CAT ≥ 10

menunjukkan tingkat gejala berat. Cut off ini harus digunakan sebagai indikator. Tujuan utamanya adalah untuk memisahkan pasien dengan beban gejala yang berat dari gejala

ringan. Ada dua metode untuk menilai resiko eksaserbasi. Salah satunya adalah metode

berbasis populasi menggunakan klasifikasi spirometri GOLD dengan kategori GOLD 3 atau

GOLD 4 menunjukkan risiko berat. Metode lain didasarkan pada riwayat eksaserbasi dimana

pasien yang mengalami eksaserbasi dua atau lebih pertahun menunjukkan risiko berat.

(12)

GOLD sudah dijelaskan sebelumnya. Pada gambar dibawah ini diterangkan bagaimana

penilaian kombinasi pengobatan terhadap PPOK.

Gambar 2.2. Gabungan Penilaian Dari PPOK.

Keterangan Gambar 2.2. Gabungan Penilaian dari PPOK

(13)

Saat ini, diagnosis eksaserbasi dilakukan secara eksklusif berdasarkan presentasi

klinis pasien yang mengeluh terjadinya perubahan gejala akut (dispnu, batuk, dan produksi

sputum) yang berada di luar keadaan normal yang bervariasi dari hari ke hari. Penilaian dari

suatu eksaserbasi didasarkan pada riwayat penyakit terdahulu dan keluhan klinis yang

memberat pada pasien. Di masa depan dibutuhkan biomarker yang memungkinkan untuk diagnosis dan etiologi yang lebih tepat.

2.1.6. PPOK Stabil

Tujuan dari penatalaksanaan PPOK Stabil adalah untuk mempertahankan fungsi

paru, meningkatkan kualitas hidup, mencegah eksaserbasi akut terhadap pasien PPOK.

Dikatakan PPOK stabil bila memenuhi kriteria sebagai berikut:

a) Tidak dalam kondisi gagal napas akut pada gagal napas kronik.

b) Dapat dalam kondisi gagal napas kronik stabil, yaitu hasil analisa gas darah

menunjukkan PCO2 < 45 mmHg dan PO2 > 60 mmHg.

c) Dahak jernih tidak berwarna.

d) Aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat berat PPOK ( hasil spirometri ).

e) Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan.

f) Tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan.

Tujuan terapi untuk PPOK Stabil adalah:

1. Mengurangi gejala

a) Meredakan gejala

b) Meningkatkan toleransi terhadap latihan

c) Meningkatkan status kesehatan

2. Mengurangi Resiko.

a) Mencegah progresivitas penyakit

b) Mencegah eksaserbasi

c) Mengurangi mortalitas

Penatalaksanaan PPOK stabil dilaksanakan di poliklinik sebagai evaluasi berkala

atau dirumah untuk mempertahankan PPOK yang stabil dan mencegah eksaserbasi.

Penatalaksanaan di rumah ditujukan untuk mempertahankan PPOK yang stabil.

Beberapa hal yang harus diperhatikan selama di rumah, baik oleh pasien sendiri maupun oleh

(14)

Tujuan penatalaksanaan di rumah :

a. Menjaga PPOK tetap stabil

b. Melaksanakan pengobatan pemeliharaan

c. Mengevaluasi dan mengatasi eksaserbasi dini

d. Mengevaluasi dan mengatasi efek samping pengobatan

e. Menjaga penggunaan ventilasi mekanik

f. Meningkatkan kualitas hidup.

Penatalaksanaan di rumah juga ditujukan bagi penderita PPOK berat yang harus

menggunakan oksigen atau ventilasi mekanik.

Adapun penatalaksanaan PPOK stabil dibagi atas:

1. Penatalaksanaan PPOK stabil ringan.

(15)
(16)
(17)

2.2. Spirometri

Spirometri adalah suatu alat yang digunakan mengukur hambatan aliran udara secara

objektif. Spirometri pada dasarnya dilakukan untuk mengetahui apakah kerja pernafasan

seseorang mampu mengatasi kedua resistensi yang mempengaruhi kerja pernafasan kita yaitu

resistensi elastik dan non elastik sehingga dapat menghasilkan fungsi ventilasi yang optimal.

Resistensi elastik dihasilkan oleh sifat elastis paru ( tegangan permukaan cairan

yang membatasi alveolus dan serabut elastik yang terdapat diseluruh paru ) dan rongga toraks

( kemampuan meregang otot, tendon, dan jaringan ikat ). Resistensi non elastik dihasilkan

oleh tahanan gesekan terhadap aliran udara dalam saluran nafas, dalam jumlah kecil yang

juga disebabkan karena viskositas jaringan paru.

Parameter yang digunakan untuk menilai kemampuan kerja pernafasan dalam

mengatasi kedua resistensi tersebut adalah volume paru, baik volume statik maupun dinamis.

Volume statis menggambarkan kemampuan kerja pernafasan dalam mengatasi resistensi

elastik, sedangkan volume dinamik mengukur kecepatan aliran udara dalam saluran

pernafasan dibandingkan dengan fungsi waktu yang digunakan untuk menilai kemampuan

kerja pernafasan mengatasi resistensi non elastik.

Adapun volume dinamis tersebut antara lain:

a. Kapasitas Vital Paksa / Force Vital Capacity (FVC) : Pengukuran kapasitas vital yang

didapat pada ekspirasi yang dilakukan secepat dan sekuat mungkin.

b. Kapasitas Vital Lambat / Slow Vital Capacity ( SVC ) : Volume gas yang diukur pada ekspirasi lengkap yang dilakukan secara berlahan setelah atau sebelum inspirasi

maksimal.

c. Volume Ekspirasi Paksa pada Detik Pertama/Force expiration Volume (FEV1) : Jumlah udara yang dikeluarkan sebanyak-banyaknya dalam 1 detik pertama pada waktu ekspirasi

maksimal setelah inspirasi maksimal (volume udara yang dapat di ekspirasi dalam waktu

standar selama pengukuran kapasitas vital paksa).

d. Maximal Voluntary Ventilation (MVV) : Jumlah udara yang bisa dikeluarkan sebanyak-banyaknya dalam 2 menit dengan bernafas cepat

dan dalam secara maksimal.

Puncak aliran ekspirasi diukur sendiri tetapi tidak dapat diandalkan untuk digunakan

sebagai satu-satunya test diagnostik, meskipun sensitivitasnya baik, namun spesifisitasnya

(18)

pelayanan kesehatan yang merawat pasien dengan PPOK harus memiliki kemampuan

spirometri.

2.3. Magnesium

Hubungan antara magnesium dengan kesehatan sudah mulai diketahui sejak 400

tahun yang lalu jauh sebelum magnesium dikenali sebagai elemen. Pada musim panas tahun

1618 yang kering di Inggris, seorang petani bernama Henry Wicker dari Epsom, Surrey

menggali sumur untuk memberi minum sapi – sapinya. Dia mendapati bahwa hewan – hewan

peliharaannya tidak mau minum dari sumur tersebut meskipun haus, karena rasa airnya yang

kesat dan pahit. Namun, air dari sumur tersebut dapat membantu pemulihan luka, ruam, dan

borok pada hewan dan manusia. Hal ini kemudian menjadi buah bibir masyarakat London

waktu itu dan banyak penduduk London datang ke Epsom sehingga Epsom menjadi kota spa

yang terkenal melebihi tempat lain yang lebih mewah pada masanya seperti sumur

Turnbridge di Kent karena garam dan airnya. Seorang dokter sekaligus botanis di London

yang bernama Nehemiah Grew meneliti bahwa garam dari air sumur tersebut juga memiliki

efek laksatif. Penemuan ini kemudian dipatenkan sebagai garam pencahar dan sebuah pabrik

didirikan di London untuk memperdagangkannya keseluruh dunia. Garam ini sampai sekarang disebut “Epsom Salt” (garam Epsom) dan di daratan utama eropa disebut “Salt Anglicum” atau garam inggris. Garam inggris adalah magnesium sulfat yang terhidrasi

(MgSO4). Magnesium diidentifikasi sebagai elemen pada tahun 1755 di Edinburgh oleh ahli

kimia Skotlandia Joseph Black. Pada tahun 1808 Sir Humphrey Davy pertama kali

mengisolasi elemen magnesium dengan metode elektrolisis.

Magnesium adalah kation terbanyak kedua pada sistem selular. Magnesium

memiliki banyak fungsi secara biologis, mulai dari peran struktural seperti melengkapi grup

senyawa bermuatan negatif misalnya fosfat di asam nukleat, kontrol aktivasi enzim atau

inhibisi, dan peran regulasi dengan memodulasi proliferasi sel, kelangsungan siklus sel dan

diferensiasi.

Regulator dari fungsi – fungsi selular dikatalisa oleh sekitar 500 jenis enzim yang

secara biokimia dikenal sebagai kinase yang terutama mengkoordinasi, mengontrol, dan

mengintegrasikan seluruh proses dalam jaringan yang rumit dalam keteraturan. Kinase

(19)

atau menghambat interaksinya dengan zat lain sehingga terbentuk jalur produksi yang teratur.

Untuk menyampaikan perintah, enzim kinase memberikan label pada lokasi spesifik didalam

protein/komponen dengan grup fosfat (PO3-) melalui proses fosforilasi. Sumber grup fosfat

polar tersebut adalah ATP dan enzim kinase hanya dapat berikatan dengan kompleks “Mg –

ATP”, sehingga enzim kinase dapat membelah grup fosfat yang kemudian ditransferkan ke

molekul resipien. Fosforilasi adalah proses selektif ion radical electron spin yang merubah (mengaktifkan) suatu molekul yang inaktif menjadi bentuk yang fungsional sehingga dapat

melakukan proses biologis atau biokimia yang spesifik dan sebaliknya. Sekitar 30% protein

fungsional tubuh diaktivasi oleh enzim kinase yang dependen magnesium.

Dari sudut pandang evolusi, peran magnesium pada biologi sel hewan sangat

berhubungan erat dengan ion bivalen lainnya, yaitu kalsium. Kebutuhan magnesium berkembang bersamaan dan berkompetisi dengan kalsium. Magnesium telah dianggap

sebagai penghambat kalsium alami. Jaringan yang dapat ter-eksitasi, termasuk otot polos

bronkial, memerlukan pembangkitan perbedaan potensial elektrokemikal di sepanjang

membran sel untuk dapat menyebabkan kontraksi otot. Hal ini dimodulasi oleh aliran kalsium

masuk ke dalam sel atau keluar menuju ekstra sel.

Secara fisiologis, magnesium berperan penting dalam homeostasis elektrolit karena

perannya dalam aktivasi ATP/ATPase pumps seperti Na+/K+ pump, Na+/Ca++ pump,

Na+/Mg++ dan Mg++/Ca++ pump. Defisiensi magnesium menyebabkan gangguan dan mengurangi efektivitas dan aktivitas pump. Defisiensi magnesium kronik lama - kelamaan akan menyebabkan gangguan patologis dan ketidakseimbangan elektrolit misalnya

hipokalemia dan/atau hipokalsemia refrakter. Keadaan ini tidak dapat dikoreksi dengan terapi

subtitusi kalium atau kalsium saja namun pemberian magnesium diperlukan untuk mencapai

perbaikan. Sehingga perlu menjadi perhatian bahwa magnesium adalah elektrolit yang

berperan besar pada homeostasis elektrolit – elektrolit utama seperti Na+. K+, dan Ca++. Magnesium juga diperlukan untuk kekuatan dan kepadatan tulang, metabolisme protein,

karbohidrat dan lemak, penggunaan, penyimpanan dan transfer energi (bioenergetik, dan

metabolisme energi oksidatif).

Lebih dari setengah magnesium ekstra selular ada dalam bentuk ion bebas dan

sisanya terdapat dalam bentuk terikat protein atau berikatan dengan anion. Immanuel dan

Iriani (2006) melakukan penelitian pada 114 peserta donor darah yang sehat di Unit Transfusi

Darah Daerah (UTDD) Budhyarto PMI DKI Jakarta menemukan bahwa nilai rujukan untuk

magnesium serum atau plasma yang normal adalah 1,3 – 2,0 mEq/L dan kadar magnesium

(20)

kadar magnesium tubuh, tetapi saat ini yang dikenal luas penggunaannya adalah magnesium

serum. Magnesium eritrosit dinilai lebih sensitif dibandingkan magnesium serum karena

dapat mewakili penilaian status magnesium intrasel. Diperkirakan antara 53% hingga 57%

total magnesium tubuh berada di tulang. Sekitar 30 – 70 % magnesium dari makanan diserap

oleh usus pada kondisi ideal dengan faktor cadangan magnesium negatif dan dan keasaman

lambung yang tinggi meningkatkan absorpsi. Asupan harian yang disarankan berkisar antara

320 – 400 mg/hari (6 mg/Kg/berat badan perhari) dan kebutuhannya meningkat pada kondisi

kehamilan, menyusui, dan beban fisik reguler, yang meningkatkan kehilangan magnesium di

urin dan keringat. Diet yang sehat rata – rata mengandung 250 mg magnesium (120 mg per

1000 kalori). Biji –bijian, kacang – kacangan cenderung mengandung magnesium lebih tinggi

dibandingkan buah dan daging, dan diabsorpsi dengan baik di jejunum atau ileum, meskipun

penyerapan di jejunum tergantung kadar vitamin D. Biji – bijian yang sudah dibersihkan dari

kulit ari dan tepung putih biasanya berkadar magnesium rendah. Garam laut yang belum

disuling banyak mengandung magnesium sekitar 12% sehingga rasanya pahit, proses

penyulingan memurnikan garam dapur sehingga mengandung 99% natrium klorida dan

sedikit magnesium. Sumber magnesium lain yang tidak kalah pentingnya adalah air. Kadar

magnesium di air minum bervariasi berdasarkan daerah dan sumber air minum. Kesadahan

air (hardness of water) disebabkan oleh kalsium dan magnesium terlarut yang biasanya dinyatakan dengan kuantitas kalsium karbonat yang ekuivalen dalam mg/L (misalnya

kesadahan 100mg/L mengandung 40 mg/L kalsium atau magnesium elemental dan 60 mg

dalam bentuk terkarbonasi). Air yang mengandung >200 mg/L ekuivalen kalsium karbonat

disebut air dengan kesadahan tinggi (hard water) sedangkan air dengan kandungan <50 mg/L kalsium karbonat disebut air dengan kesadahan rendah (soft water). Kadar magnesium pada air dengan kesadahan yang tinggi (hard water) lebih tinggi 5 – 20 kali dibandingkan dengan kadar magnesium pada air dengan kesadahan rendah (soft water) dan konsumsi air dengan kesadahan yang lebih tinggi berpotensi untuk mencukupi hingga 30% kebutuhan magnesium

harian.

Sekitar 10% magnesium dari makanan hilang melalui sekresi saluran cerna,

meskipun hal ini dapat meningkat pada kondisi diare atau keadaan malabsorpsi. Ekskresi

renal juga berperan pada keseimbangan magnesium dengan hanya 3% difiltrasi oleh

(21)

Usia merupakan faktor fisiologis yang penting pada keseimbangan magnesium

karena penyerapan magnesium di usus menurun dan kehilangan magnesium di urin

meningkat sejalan dengan usia baik pada laki – laki maupun perempuan. Sebagai akibatnya

defisiensi magnesium lebih sering terjadi pada usia lanjut daripada usia muda. Insiden

defisiensi juga bervariasi secara signifikan dari satu daerah ke daerah lainnya karena

perbedaaan kadar magnesium di air minum yang menyumbang hingga 30% dari kebutuhan

harian magnesium.

Meskipun mudah untuk diperiksa, kadar magnesium plasma tidak selalu berkorelasi

dengan kadar cadangan tubuh maupun dengan kondisi penyakit. Defisiensi yang berat dapat

tidak bergejala. Hipomagnesemia sering dijumpai, terutama pada pasien rawatan kritis

dengan prevalensi mencapai 65%. Pada sebuah penelitian ditemukan bahwa 43% pasien yang

dirawat di instalasi perawatan intensif dengan asma berat mengalami hipomagnesemia.

Sementara oleh Alamoudi et al pada sebuah penelitian yang melibatkan 93% pasien asma

kronis yang stabil, menunjukkan bahwa 27% pasien tersebut mengalami hipomagnesemia

dan pasien – pasien ini lebih sering harus dirawat di rumah sakit (40%) dibandingkan dengan

pasien – pasien dengan kadar magnesium normal (hanya 11.8%).

Defisiensi magnesium dapat pula diikuti dengan aktivasi sel – sel makrofag,

neutrofil, dan sel – sel endotelial. Makrofag dalam hal ini sepertinya teraktivasi secara

endogen dan dapat berkontribusi pada peningkatan produksi sitokin – sitokin proinflamasi.

Defisiensi magnesium menyebabkan peningkatan Substansi – P (SP) yang mencetuskan

pelepasan histamin dan selanjutnya mencetuskan pelepasan sitokin – sitokin proinflamasi

seperti interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6), dan tissue necrosis factor-α (TNF-α). Selain itu juga terjadi peningkatan kalsium intraselular. Hal ini sejalan dengan proses inflamasi pada

asma. Magnesium mungkin memiliki efek anti – inflamasi langsung, terutama pada dosis

yang relevan secara klinis, dengan menghambat peningkatan neutrofil saluran nafas melalui

efek negatifnya terhadap influks kalsium.

Batas dosis terapi magnesium tinggi, dan pada kondisi ginjal yang normal efek

samping jarang terjadi. Suplementasi magnesium oral dapat menyebabkan efek samping

ringan seperti diare dan mulas – mulas. Tanda – tanda awal toksisitas magnesium pada

pemberian intravena mencakup muntah – muntah, mual, perasaan hangat, flushing, hipotensi, bradikardi dan aritmia jantung lainnya, mengantuk, pandangan ganda, bicara tidak jelas

(slurred speech), dan kelemahan. Efek samping biasanya terjadi pada kadar plasma magnesium 3,5 – 5 mmol/L. Hiporefleksia (hilangnya refleks patela), kelumpuhan otot, henti

(22)

mmol/L). Toksisitas magnesium diperberat dengan hipokalsemia, hiperkalemia, dan uremia.

Kalsium glukonas bermanfaat sebagai antidote yang efektif pada toksisitas magnesium.

2.3.1. Magnesium pada PPOK Stabil

Pada sebuah penelitian yang melibatkan 22 pasien dengan COPD stabil terlihat

bahwa pemberian 2 gram magnesium sulfat menyebabkan peningkatan kekuatan otot

pernafasan dan penurunan hiperinflasi paru – paru. Namun, tidak ditemukan efek pada FEV1

yang signifikan. Penelitian lain yang lebih kecil, menunjukkan perbaikan FEV1 (dari 1.44L

menjadi 1.67 L dalam waktu 60 menit), jika magnesium tersebut diberikan dalam bentuk

nebulisasi sebagai adjuvant theraphy dengan salbutamol pada pasien pasien yang stabil.

Sebuah penelitian oleh Emelyanov menunjukkan bahwa kadar magnesium eritrosit secara

signifikan berhungan dengan PC20 terhadap asetilkolin (PC20 merupakan konsentrasi

provokatif zat bronkokonstriktor – dalam hal ini asetilkolin –yang menyebabkan penurunan

FEV1 20% dari nilai awal). Hal ini menunjukkan bahwa kadar magnesium intraselular

menyebabkan kepekaan saluran nafas yang berlebihan (airway hyperresponsiveness).

Sebuah penelitian oleh Ruljancic et al pada tahun 2007 pada 46 pasien dengan

PPOK stabil, 24 subjek perokok tanpa PPOK, dan 37 subjek sehat tanpa riwayat merokok

menemukan konsentrasi magnesium ion sel yang aktif secara fisiologis pada sel

polimorfonuklear kelompok pasien PPOK lebih rendah secara signifikan dibandingkan

dengan kelompok kontrol yang sehat dan tidak merokok. Konsentrasi total kalsium serum

dan rasio total kalsium serum dibandingkan terhadap total magnesium serum secara

signifikan lebih tinggi pada pasien dengan PPOK. Hal ini menunjukkan defisiensi magnesium

relatif dan peningkatan aktivitas kalsium pada pasien PPOK . Rasio total kalsium serum

dibandingkan dengan total magnesium serum juga pada kelompok perokok tanpa PPOK juga

lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan kelompok kontrol sehat tanpa riwayat

merokok. Hal ini semakin menunjukkan hubungan antara merokok dengan resiko PPOK.

Berdasarkan hal ini Ruljancic et al berkesimpulan bahwa peran sel polimorfonuklear dalam

patogenesis PPOK berhubungan dengan penurunan konsentrasi magnesium ion dan

peningkatan rasio kalsium serum total dibandingkan dengan magnesium serum total

(defisiensi magnesium relatif dibandingkan dengan kalsium) yang mengakibatkan

peningkatan pembentukan radikal bebas dan terjadinya proses pro – inflamasi yang

diakibatkan aktivasi leukosit yang inadekuat. Hasil ini juga memunculkan kemungkinan

bahwa kadar magnesium pada sel polimorfonuklear mungkin dapat dijadikan penanda resiko

(23)

lebih besar. Ruljancic et al juga mengemukakan bahwa suplementasi magnesium pada pasien – pasien dengan PPOK stabil mungkin dapat memperbaiki gejala dan mengurangi angka kejadian eksaserbasi karena magnesium berperan melindungi dari stres oksidatif, regulasi

aktivasi leukosit, dan memiliki efek relaksasi pada otot polos bronkial.

Silajiya et al pada tahun 2016 menemukan bahwa pada pasien – pasien yang baru

menjalani operasi jantung dengan PPOK yang diberi nebulisasi magnesium sulfat mengalami

perbaikan laju ekspirasi puncak, laju pernafasan dan saturasi oksigen secara signifikan.

2.3.2. Magnesium pada PPOK eksaserbasi

Kshirsagar et al pada tahun 2014 melakukan penelitian pada 100 pasien dengan

PPOK eksaserbasi dan menemukan bahwa 78% pasien dengan PPOK eksaserbasi mengalami

hipomagnesemia dengan kadar magnesium serum rata – rata 1.58±0.3 mg/dl. Hubungan

antara hipomagnesemia pada PPOK eksaserbasi dengan derajat GOLD II dan III signifikan

secara statistik pada penelitian ini namun tidak signifikan pada GOLD I dan IV.

Sebuah penelitian oleh Azis et al pada tahun 2005 di St. Joseph’s Regional Medical

Centre New Jersey menunjukkan bahwa kadar magnesium plasma pasien dengan PPOK eksaserbasi (0.77 ± 0.10 mmol/L) lebih rendah secara signifikan dibandingkan dengan kadar

magnesium serum pasien PPOK stabil (0.91 ± 0.10 mmol/L).

Penelitian lainnya oleh Surya Prakash Bhatt et al pada tahun 2008 pada 100 pasien

menunjukkan bahwa prediktor tunggal frekuensi kunjungan pasien adalah kadar magnesium

serum. Dimana pada penelitian ini kadar magnesium serum pasien – pasien yang sering

membutuhkan rawatan rumah sakit (lebih dari 3 kunjungan pertahun) adalah 1.77 ±

0.19mEq/L sedangkan kadar magnesium serum pada pasien – pasien yang jarang

membutuhkan kunjungan ke rumah sakit (kurang dari 3 kunjungan pertahun) adalah 1.86 ±

0.24 mEq/L. Diketahui juga bahwa 90 % pasien – pasien yang menjadi sampel penelitian

tersebut adalah perokok (33 %) atau dengan riwayat merokok (57 %).

Penelitian oleh Singh et al (2012) pada 50 pasien PPOK eksaserbasi menemukan

bahwa 17 pasien (34%) dengan hipomagnesemia, dan 33 pasien (66%) normomagnesemia.

Pasien - pasien hipomagnesemia tersebut 88% diantaranya dengan derajat GOLD II – III

sedangkan pasien normomagnesemia 55% diantaranya juga dengan derajat GOLD II – III.

Pasien dengan hipomagnesemia rata – rata lebih lama menderita PPOK (6.94±3 tahun) dan

gejala eksaserbasi yang lebih lama (> 8 hari). Tiga orang pasien dengan hipomagnesemia

(17,64%) membutuhkan ventilasi mekanik. Pasien – pasien dengan hipomagnesemia 64%

(24)

dengan normomagnesemia 57,57%. Sehingga disimpulkan hipomagnesemia sering dijumpai

pada pasien PPOK eksaserbasi terutama yang terlambat mendapat penanganan di rumah

sakit. Pasien – pasien dengan hipomagnesemia ini juga lebih sering pada tahap penyakit yang

lanjut, membutuhkan rawatan lebih lama di rumah sakit, dan lebih sering memerlukan

ventilasi mekanik.

Penggunaan preparat magnesium untuk terapi tambahan pada PPOK eksaserbasi

juga telah diteliti dengan hasil yang bervariasi. Solooki et al (2014) melakukan penelitian

pada 30 orang pasien dengan PPOK eksaserbasi yang dibagi menjadi dua kelompok A

(kasus) dan B (kontrol) secara acak. Kedua kelompok diberi pengobatan standar ditambah

dengan 2 gram magnesium sulfat dalam larutan normal Saline (kelompok kasus A) dan

pengobatan standar ditambah dengan plasebo (kelompok kontrol B). Penelitian ini

menemukan bahwa pemberian magnesium sulfat intravena pada PPOK eksaserbasi tidak

menunjukkan efek bronkodilasi yang signifikan dan tidak mempengaruhi lama rawatan.

Sedangkan Mukerji et al (2015) melakukan penelitian pada 30 pasien PPOK eksaserbasi yang

dibagi menjadi kelompok kasus (pengobatan bronkodilator standar dan magnesium intravena

2 mg) dan kelompok kontrol (pengobatan bronkodilator standar dan plasebo). Pada penelitian

ini didapati perbaikan FEV1 dan FVC secara signifikan lebih besar pada kelompok yang

mendapatkan magnesium intravena dibandingkan dengan kelompok yang hanya

mendapatkan pengobatan standar saja.

2.4. Kerangka Teori

Gambar

Gambar 2.1 Diagram Patogenesis dan Patofisiologi PPOK.
Tabel 2.1. Daftar Manifestasi dan Temuan Klinis Yang Disederhanakan Dari Keadaan –  Keadaan Lain Yang Juga Menyebabkan Sesak Nafas
Tabel 2.4. COPD Asessment Test (CAT).
Tabel 2.5. Definisi Eksaserbasi PPOK  dan Tipe Eksaserbasi yang Dikembangkan
+6

Referensi

Dokumen terkait

1) Konsulti (siswa) memahami layanan bimbingan kelomok bersemangat untuk melakukan tindakan terhadap siswa yang berperilaku diskriminatif dalam bersosilisasi agar

Seandainya produk yang dihasilkan dan dijual (diserahkan) oleh PT ABC tergolong sebagai barang dan jasa yang tidak dikenakan (tidak terutang) PPN, maka ketujuh PM yang terkait

Sehubungan dengan itu, Lembaga Penelitian Universitas Negeri Padang bekerjasama dengan Pimpinan Universitas, telah memfasilitasi peneliti untuk melaksanakan penelitian

Apa saja yang menjadi kendala penegakan hukum terhadap pelaku usaha. tambang timah yang tidak memiliki IUP, IPR, dan IUPK di

Klasifikasi adalah salah satu solusi dalam data mining untuk mengurai permasalahan tersebut, dengan mengklasifikasikan jenis-jenis penyakit yang berhubungan dengan

[r]

Menu yang ada di cermin cembung sama dengan menu yang ada di cermin cekung, yaitu: menu untuk mencari jarak fokus, menu untuk mencari jarak benda, dan menu untuk

Dari hasil pendiskripsian teknis berdasarkan keinginan konsumen, hal yang dapat dilakukan oleh Arromanis Bakery adalah pelatihan karyawan dan durasi baking.. Dengan pelatihan