• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kepuasan Perkawinan Pada Istri Yang Memiliki Suami Penderita Stroke

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kepuasan Perkawinan Pada Istri Yang Memiliki Suami Penderita Stroke"

Copied!
160
0
0

Teks penuh

(1)

KEPUASAN PERKAWINAN PADA ISTRI YANG MEMILIKI

SUAMI PENDERITA STROKE

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh :

DEWI MARIDA PASARIBU 041301032

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

▸ Baca selengkapnya: sepasang suami istri mempunyai kelainan polidaktili heterozigot persentase kemungkinan anaknya yang bersifat polidaktili heterozigot adalah

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan selalu dianggap sebagai hal yang memuaskan dan berharga. Dalam setiap hubungan seperti perkawinan, masalah tidak selalu dapat dihindarkan (Rini, 2001), karena pada dasarnya sebuah perkawinan terdiri dari dua orang yang mempunyai sifat, kepribadian, maupun karakter yang berbeda. Perkawinan adalah salah satu aktivitas sentral dari manusia yang bertujuan untuk memperoleh suatu kehidupan yang bahagia (Domikus, 1999). Bhrem (1992), menambahkan bahwa perkawinan adalah ekspresi akhir dari suatu hubungan yang mendalam, dimana dua individu berikrar yang didasarkan pada keinginannya untuk menetapkan hubungan sepanjang hidup.

(3)

Perubahan merupakan penyebab utama munculnya masalah dalam perkawinan (Sawitri, 2005). Sebagai tambahan, penelitian yang dilakukan oleh Parrot & Parrot (dalam Berocal, 2003) mengatakan bahwa 49 % pasangan memiliki permasalahan dalam perkawinan. Terdapat perubahan-perubahan yang terjadi dalam munculnya masalah dalam perkawinan, yaitu perubahan natural dan perubahan yang tiba-tiba saja terjadi (Watzalawik, Weakland & Fisch dalam Sawitri, 2005). Perubahan natural berkaitan dengan perubahan yang terjadi secara perlahan-lahan dalam kehidupan normal, dan perubahan ini dapat dipahami dan diterima oleh individu. Perubahan-perubahan ini muncul seiring dengan bertambahnya jumlah usia dan jumlah anak, tuntutan peran sebagai ibu dan ayah.

Perubahan yang kedua adalah perubahan yang terjadi secara tiba-tiba dan tidak dapat diprediksi sebelumnya. Perubahan ini akan menyebabkan ketidakseimbangan pada perkawinan dan bisa menjadi bayangan kehancuran. Misalnya ketika terjadi kecelakaan, bencana alam, dan serangan penyakit. Salah satu penyakit yang tiba-tiba terjadi adalah stroke.

Stroke menduduki urutan ketiga penyebab kematian setelah penyakit jantung dan kanker (Adam, 1993). Sekitar 75 persen penderita stroke menderita lumpuh dan kehilangan pekerjaannya. Hanya 15 persen saja yang dapat sembuh total dari serangan stroke atau kecacatan. Stroke juga merupakan penyakit yang tingkat hunian di rumah sakit terbanyak kedua setelah gangguan mental (Sutrisno, 2007).

(4)

Munculnya stroke sangat rendah pada usia dini hingga usia pertengahan, dan

meningkat tajam setelah usia 55 tahun (AHA, 2000

).

Pria penderita stroke lebih banyak daripada wanita penderita stroke, penderita stroke kemungkinan besar terjadi pada saat penderita telah menikah (Sutrisno, 2007).

Beberapa keluarga dapat menyesuaikan diri dengan baik kepada kondisi pasien stroke, tetapi beberapa keluarga lainnya tidak mampu menyesuaikan diri dengan baik pada perubahan hubungan, dan harmonisasi perkawinan selalu menurun (Newman, 2006). Penyakit stroke bisa merepotkan pihak keluarga pasien. Terutama keluarga yang masih membutuhkan tenaga dan pikiran pasien dalam mensejahterakan keluarganya seperti istri. Pihak keluarga bahkan akan merasa terbebani karena biaya yang besar dan waktu yang tersita dalam perawatan pasien tersebut (Sutrisno, 2007).

Kondisi pasien stroke ini membuat istri pasien mendapatkan dampak dari kondisi fisik dan kondisi psikologis yang dialami suaminya, dimana suaminya mengalami kesulitan dalam bekerja karena mengalami kelumpuhan, kesulitan dalam komunikasi karena pasien mengalami gangguan bicara, gangguan kognitif dan kesulitan dalam penyesuaian emosi (Sarafino, 2006). Sejalan dengan ini, Bakas, Austin, Lewis & Chadwick (dalam Victoria, 2008) mengatakan bahwa kebanyakan caregiver stroke tidak siap menghadapi perubahan emosional dan fisik saat merawat seseorang yang mempunyai ketidakmampuan fisik.

(5)

kronis seperti stroke menghadirkan tantangan lebih berat dibandingkan dengan merawat orang tua yang sakit kronis. Caregiver juga memiliki keterbatasan selama merawat pasien yang stroke seperti gangguan fisik, mental dan spiritual (Bakas dkk, 2002). Pasangan yang merawat akan mengalami stress pada hubungan yang tidak dapat dihindarkan (Cavanaugh & Blanchard, 2006). Fultner & Raudonis, (2000), Mcbarry & Arthur, (2001) mengatakan bahwa kejang-kejang, mengangkat, memindahkan merupakan perawatan yang sulit dilakukan oleh caregiver yang sudah tua. Stephens & Clark, (1997) mengatakan bahwa menyesuaikan diri dengan pasangan yang mengalami penyakit kronis dan fatal memberikan tantangan serius bahkan pada pasangan yang paling bahagia. Dampak dari serangan stroke pada suami juga dirasakan oleh salah seorang istri penderita pascastroke yang diwawancarai oleh peneliti, kutipan wawancara tersebut sebagai berikut :

”…beginilah dek keadaannya setelah abangmu sakit, kakak stress menghadapi kondisi abang yang enggak sembuh-sembuh. Semua urusan kakak yang urus, abangmu enggak bisa diharapkan, kalo kakak enggak ngurus abangmu trus, dia sakit hati. Tiap hari kakak harus masak makanan abangmu. Makanannya enggak boleh sembarangan. Repot kali ngurus orang stroke ini dek.”(Komunikasi Personal, 16 Maret, 2008)

(6)

kebutuhannya tidak akan dapat dipenuhi oleh suaminya yang menderita stroke (Sawitri, 2005). Dengan demikian, dampak fisik dan psikologis dari serangan stroke yang menyerang suami akan mempengaruhi kehidupan perkawinan yang dirasakan oleh istri. Dalam penelitian ini akan dilihat serangan stroke pada suami dan pengaruhnya terhadap penilaian istri terhadap perkawinannya dimana suaminya terserang stroke yang menghambat peran suaminya sebagai tulang punggung keluarga, bagaimana pengaruhnya terhadap pemenuhan kebutuhan keluarga dan harapan-harapan istri dan pengaruhnya terhadap kepuasan istri terhadap perkawinannya, dimana jumlah pria yang menderita stroke lebih banyak daripada wanita yang terserang stroke (AHA, 2000).

Kepuasan perkawinan dicari dan diharapkan oleh setiap individu yang menikah (Molly, 1997). Kepuasan perkawinan adalah penilaian positif atau negatif terhadap kehidupan berkeluarga (Weigel, et al., 1995). Disisi lain, kepuasan terhadap perkawinan adalah ekspresi perasaan terhadap kehidupan keluarganya.

(7)

lebih lengkap dibandingkan sebelum menikah Chappel & Leigh (dalam Pujiastuty & Retnowaty, 2004). Sebuah pasangan mungkin menganggap pernikahan mereka sangat memuaskan, sementara bagi pasangan lain pernikahan tampak membosankan dan tidak menyenangkan (Scazoni & Scazoni, 1976). Wanita sebagai bagian dari perkawinan juga memperoleh dampak dari puas tidaknya dalam perkawinan (Basow, 1992).

Hawkins (dalam Pujiastuty & Retnowaty, 2004) menambahkan bahwa kepuasan perkawinan adalah perasaan subyektif yang dirasakan pasangan suami istri, berkaitan dengan aspek-aspek yang ada dalam perkawinan. Banyak aspek yang sering diukur dalam kepuasan perkawinan, antara lain : komunikasi, kegiatan mengisi waktu luang, orientasi keagamaan, resolusi konflik, manejemen keuangan, hubungan seksual, keluarga dan teman, kehadiran anak dan pengasuhan anak, masalah kepribadian, dan peran egalitarian (Olson & Fower, dalam Saragih, 2003). Aspek-aspek ini sering menjadi masalah pada istri yang memiliki suami penderita stroke karena kondisi suami mereka.

(8)

dalam berkomunikasi dengan istrinya, dimana komunikasi yang baik dalam perkawinan erat hubungannya dengan kepuasan perkawinan yang dirasakan oleh kedua individu (Sawitri, 2005). Kesulitan dalam berkomunikasi tergantung pada tingkat keparahan serangan stroke yang dialami suami, sehingga dampak gangguan komunikasi akibat stroke yang dialami suami akan memberikan pengaruh yang berbeda pada setiap istri.

Aspek kepuasan perkawinan yang kedua adalah kegiatan mengisi waktu senggang berkaitan dengan bagaimana pasangan meluangkan waktu untuk melakukan kegiatan, pilihan bersama dan harapan-harapan dalam mengisi waktu senggang bersama pasangan. Kebersamaan ini dinikmati bersama (Henslin, 1985). Newman & Newman (2006), mengatakan bahwa pasangan yang mengisi waktu senggang bersama-sama menunjukkan tingkat kepuasan perkawinan yang tinggi. Keterbatasan fisik dan psikologis pasien stroke seperti yang telah dijelaskan diatas, dapat mengurangi kebersamaan dalam mengisi waktu senggang bersama istri. Paul & Stephanie (2008) mengatakan bahwa istri sebagai caregiver suami yang menderita stroke akan merasakan berkurangnya waktu luang untuk melakukan aktivitas yang menyenangkan dibandingkan ketika suami belum terserang stroke.

(9)

Landis (dalam Wahyuningsih, 2006) juga mengatakan bahwa keyakinan beragama sangat mempengaruhi kepuasan terhadap perkawinan dalam jangka waktu yang panjang. Menurut Jane (2006), untuk mencapai kepuasan dalam perkawinan, seseorang harus mendapatkan kepuasan dalam beragama. Banyak wanita menemukan agama sebagai sumber kesenangan dan kebahagiaan yang lebih besar daripada yang pernah diperolehnya sebelumnya (Hurlock, 1999). Begitu juga ketika suami terserang stroke, istri dapat menemukan kembali kesenangannya dari agama yang diyakininya. Mengisi waktu senggang dengan kegiatan keagamaan akan mampu mengurangi beban pikiran istri, memberikan ketenangan dan kebahagiaan yang akan mempengaruhi kepuasan perkawinannya. Kemampuan istri dalam menemukan kesenangannya dari agama akan mempengaruhi penilaian yang dirasakannya terhadap perkawinan.

(10)
(11)

Hal ini juga dapat dilihat dari hasil kutipan wawancara yang dilakukan peneliti dengan salah seorang istri penderita stroke, kutipan wawancara tersebut adalah sebagai berikut :

“...sejak abangmu sakit, tabungan kakak sama abangmu habis dek, padahal dulu kehidupan kami baik, sejak stroke jadinya beginilah bahkan sampe mobil juga harus dijual. Apalagi kakak enggak bisa nyetir, abangmu udah enggak bisa bawa, jadi dijual aja buat nambah biaya pengobatan. Untuk nambain penghasilan kakak masak pesanan kue dari orang. Untung saja kakak hobby masak, jadi enggak terlalu kesulitan biayai sekolah anak…” (Komunikasi Personal, 16 Maret, 2008)

Hubungan seksual juga merupakan salah satu aspek dalam kepuasan perkawinan. Pascastroke, kegiatan seksual banyak dipengaruhi oleh beratnya cacat yang diderita. Faktor psikologis seperti : kecemasan, depresi dll. Masalah seksual berkaitan dengan alasan biologis, psikologis atau budaya (Basow, 1992). Penelitian yang dilakukan oleh Bray & Humprey (dalam Lumbantobing, 2003) menemukan bahwa kegiatan seksual setelah serangan stroke menurun. Melihat hal ini, serangan stroke berpengaruh dalam orientasi seksual dalam kehidupan perkawinan penderitanya. Penurunan kegiatan ini akan mempengaruhi kepuasan perkawinan istri penderita stroke. Mathias et al., (1997) mengatakan bahwa hubungan seksual adalah prediktor yang baik dalam memprediksi kepuasan perkawinan pada istri.

(12)

bantuan, seorang istri akan merasa bahagia. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara dukungan emosional dengan kesehatan caregiver stroke (Bakas, Austin, Lewis & Chadwick, 2002).

Kehadiran anak dan pengasuhan anak juga merupakan aspek penting yang perlu diperhatikan dalam perkawinan. Kehadiran anak akan mempengaruhi pola hubungan suami istri. Peran pasangan akan semakin bertambah setelah memiliki anak. Tugas dalam ruang lingkup keluarga juga bertambah, mereka harus mengasuh, mendidik, dan menjaga anak mereka. Masalah pengasuhan anak menimbulkan tekanan tersendiri (Rini, 2002). Penelitian yang dilakukan oleh (Hendrick & Hendrick, 1992), menemukan bahwa kehadiran anak akan mengurangi waktu bersama pasangan. Hal ini akan mempengaruhi waktu senggang antara istri dengan suami mereka. Ketika anak menuntut perhatian dari istri, istri akan kesulitan membagi waktu antara mengurus suami yang menderita stroke dengan mengurus anak, hal ini dapat menimbulkan tekanan pada istri. Kehadiran anak juga dapat memberikan kepuasan bagi istri (Rini, 2002).

(13)

memenuhi kebutuhan afeksi istri (Sawitri, 2005), namun ketika suami dapat berperilaku sesuai harapan istri, istri akan puas terhadap perkawinannya.

Aspek kepuasan perkawinan yang terakhir adalah peran egalitarian (Olson & Fower, dalam Saragih, 2003). Peran ini berkaitan dengan peran yang beragam dalam kehidupan perkawinan seperti pekerjaan, tugas rumah tangga, peran sesuai jenis kelamin, dan peran sebagai orang tua (Agoestinelli dalam Kail & Cavanaugh, 2000). Dalam konsep ini suatu peran dapat menimbulkan kepuasan dalam perkawinan. Peran sebagai istri dan mampu merawat suami dan anak dengan baik, akan memberikan kebahagiaan bagi istri, kepuasan perkawinan yang dirasakan oleh istri sesuai dengan evaluasi subjektifnya terhadap perkawinan.

Aspek-aspek yang terganggu yang dirasakan istri akan berbeda-beda tergantung pada tingkat keparahan serangan stroke yang dialami suaminya, dimana tingkat keparahan juga akan memberikan pengaruh yang berbeda pada setiap istri (O Connel. Baker & Prosser ,2003). Terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan perkawinan istri adalah seperti : tingkat pendidikan yang dimiliki istri, latar belakang keluarga, pekerjaan istri, pengaruh orang tua, kehadiran anak, dan lama perkawinan (Hendrick & Hendrick, 1992), dimana seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa kepuasan perkawinan adalah penilaian subjektif yang dirasakan oleh sitri terhadap perkawinannya. Dampak stroke yang menyerang suami juga akan dinilai subjektif pada setiap individu atau istri.

(14)

latar belakang pendidikan yang tinggi juga akan lebih puas terhadap perkawinannya (Luckey, 1993), dimana istri akan lebih mampu mengatasi perubahan dan akan lebih cepat dalam menyesuaikan diri terhadap kondisi suami, sehingga latar belakang pendidikan yang berbeda akan memberikan penilaian yang berbeda pada perkawinannya dimana suaminya terserang stroke.

Latar belakang keluarga juga berpengaruh terhadap pandangan istri terhadap perkawinannya setelah suaminya terserang stroke, misalnya istri yang berasal dari keluarga yang mempunyai riwayat penyakit stroke akan menilai berbeda kondisi suaminya yang stroke dibandingkan dengan istri yang berasal dari keluarga yang tidak memiliki riwayat penyakit stroke.. Pekerjaan istri juga mempengaruhi bagaimana penilaiannya terhadap kondisi suaminya. Istri yang mempunyai pekerjaan tetap akan berbeda dalam mengatasi kesulitan ekonomi dalam perkawinan setelah suaminya terserang stroke dibandingkan istri yang tidak mempunyai pekerjaan tetap dan harus menggantikan suami sebagai kepala tulang punggung keluarga.

Orang tua juga berpengaruh terhadap penghayatan istri. Istri yang mendapat dorongan, perhatian dan bantuan dari orang tuanya akan menilai berbeda kondisi suaminya yang stroke dibandingkan dengan istri yang tidak mendapat dorongan, motivasi dari orang tuanya ketika suaminya terserang stroke.

(15)

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa kondisi fisik dan kondisi psikologis yang dialami suami yang menderita kelumpuhan pascastroke mempengaruhi bagaimana penilaian istri terhadap kualitas perkawinannya. Berdasarkan uraian diatas peneliti ingin melihat bagaimana gambaran kepuasan perkawinan pada istri yang memiliki suami penderita stroke.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah : Bagaimana “gambaran kepuasan perkawinan pada istri yang memiliki suami penderita stroke?”.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana gambaran kepuasan perkawian istri yang memiliki suami penderita stroke.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Manfaat Teoritis

(16)

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan informasi yang bermanfaat pada masyarakat tentang dalam memandang fenomena suami yang terserang stroke.

b. Diharapkan juga dapat menjadi informasi bagi para istri penderita stroke akan gambaran penyakit stroke dan pengaruhnya pada perkawinan, sehingga dengan demikian para istri dapat menerima dan mengatasi realitas dalam kehidupan perkawinannya dengan baik dengan melihat aspek-aspek yang ada dalam kepuasan perkawinan.

E. Sistematika Penulisan

Laporan hasil penelitian ini disusun dalam sistematika sebagai berikut : Bab I : Pendahuluan

Dalam Bab ini akan disajikan uraian singkat mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II : Landasan Teori

Bagian ini berisikan tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah.

Bab III : Metode Penelitian

(17)

alat bantu pengumpulan data, karajteristik dan teknik pengambilan sampel, prosedur penelitian serta analisis data.

BAB IV : Analisa Data dan Interpretasi

Mengenai analisa data dan interpretasi data yang menguraikan tentang data pribadi partisipan, analisa data dan interpretasi per partisipan yang meliputi gambaran gejala fisik dan masalah psikologis dan gambaran kepuasan perkawinan yang dimiliki istri penderita stroke. Bab ini juga memuat diskusi terhadap data-data yang tidak dapat dijelaskan oleh teori atau penelitian sebelumnya karena merupakan hal yang baru.

BAB V : Kesimpulan dan Saran

(18)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kepuasan Perkawinan

1. Perkawinan

Kehidupan perkawinan biasanya dimulai pada usia dewasa muda. Corsini (2002), mengartikan perkawinan sebagai komitmen bersama yang dibuat dengan tujuan agar dikenal oleh masyarakat, atau orang lain sebagai suatu kesatuan yang stabil, pasangan suami istri, dan keluarga. Perkawinan terjadi melalui upacara perkawinan serta mendapat pengakuan hukum, agama dan masyarakat. Jadi, perkawinan adalah pengakuan hukum, agama, dan masyarakat terhadap penyatuan pria dan wanita sebagai pasangan dengan harapan mereka akan menerima tanggungjawab serta perannya sebagai suami istri dan orang tua.

Undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974, mengatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Astuti, 2003).

(19)

a. Perubahan-perubahan dalam Perkawinan

Wazalawik, Weakland & Fisch (dalam Sawitri, 2005) mengungkapkan bahwa terdapat dua jenis perubahan dalam kehidupan yaitu :

1). Perubahan Natural

Perubahan natural adalah perubahan yang tumbuh dari tahapan natural kehidupan. Perubahan-perubahan tersebut datang secara perlahan sejalan dengan pola siklus kehidupan yang normal. Perubahan ini dapat diterima dan dipahami orang dewasa. Setiap perubahan secara umum berjalan sama pada kedua pasangan dalam periode waktu tertentu dan kedua pasanganpun umumnya mampu memahami segala macam transisi yang terjadi bersama karena mereka menganggap transisi tersebut bersifat alami. Terkadang, perubahan tersebut dapat mengakibatkan ketidakserasian, namun banyak dari perubahan-perubahan tersebut tidak mengakibatkan gangguan berat. Misalnya, orang menikah dan punya anak, anak tumbuh menjadi dewasa dan matang, relasi menjadi semakin mendalam.

2). Perubahan yang Tiba-tiba

(20)

berhubungan. Misalnya ketika terjadi bencana alam, serangan penyakit serius, suami yang dipecat dari pekerjaan, dll.

Peneliti memasukkan teori perubahan dalam perkawinan mengingat bahwa kehidupan perkawinan akan selalu mengalami perubahan yang bisa mempengaruhi penilaian istri terhadap perkawinannya.

2. Kepuasan perkawinan

Hendrick & Hendrick (1992) mengemukakan istilah-istilah yang masuk dalam kepuasan perkawinan yaitu : kebahagiaan dalam perkawinan, kesepakatan akan nilai, prioritas dan peraturan keluarga bagi pasangan dalam perkawinan, keterlibatan emosional dengan anak-anak, dan berbagai perasaan lain, ekspresi verbal dan tingkah laku yang menjadi ciri evaluatif dari suatu hubungan.

Mary Anne Fitzpark (dalam Bird, 1994), mengemukakan tiga istilah ayng digunakan dalam mengidentifikasi kepuasan perkawinan yaitu : marital happines, marital quality, dan marital adjustment. Snyder (dalam Fatimah, 1998) mengatakan kepuasan perkawianan sebagai evaluasi suami istri terhadap seluruh kualitas kehidupan perkawinan.

Agnus C., dkk (dalam Levinson, 1995) menjelaskan bahwa kebahagiaan dan kepuasan perkawinan saling berhubungan. Perbedaan yang mendasar adalah kebahagiaan dalam perkawinan lebih mengarah pada evaluasi afeksi atau perasaan, sedangkan kepuasan perkawinan mengarah pada faktor kognisi seseorang.

(21)

keseluruhan. Apabila seseorang merasa puas terhadap pernikahan yang telah dijalani maka individu beranggapan bahwa harapan, keinginan dan tujuan yang ingin dicapai pada saat individu menikah telah terpenuhi, baik sebagian maupun seluruhnya. Individu merasa hidupnya lebih berarti dan lebih lengkap dibandingkan dengan sebelum menikah.

Lebih lanjut Hawkins (dalam Pujiastuti & retnowati, 2004) menjelaskan bahwa kepuasan perkawinan adalah perasaan subjektif yang dirasakan pasangan suami-istri. Levenson et al, (dalam Cavanaugh & Blanchard, 2006) mengatakan bahwa hal yang paling penting dalam melihat kepuasan perkawinan adalah kemampuan pasangan dalam mengatasi konflik. Pasangan yang puas terhadap perkawinannya akan belajar melakukan penyesuaian dalam transisi yang terjadi dalam kehidupan keluarganya (Brubaker dalam Cavanaugh & Blanchard, 2006).

Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kepuasan perkawinan merupakan evaluasi subjektif seseorang terhadap kualitas perkawinan yang berkaitan dengan area-area dalam mengukur kepuasan perkawinan yang dirasakan dalam jangka waktu yang lama.

a. Area-area dalam Perkawinan untuk Mengukur Kepuasan Perkawinan

Olson & Fowers (dalam Saragih, 2003) mengatakan bahwa terdapat sepuluh area dalam perkawinan yang dapat digunakan untuk melihat kepuasan perkawinan sebagai berikut:

1) Komunikasi (Communication)

(22)

menerima informasi tentang pikiran dan perasaan. Sadarjoen (2005) mengemukakan elemen-elemen komunikasi dalam perkawinan, yaitu : keterbukaan diantara pasangan, pemahaman diri agar individu dapat mengatakan apa yang diinginkan dan pasangan dapat menangkap maksud tersebut, penghargaan terhadap pasangan, otonomi sebagai individu bersama pasangan, kepercayaan, empati, dan keterampilan mendengar. Kail & Cavanaugh (2000) mengatakan bahwa kebahagiaan dalam perkawinan dapat dibina dengan mengungkapkan perasaan cinta kepada pasangan. Komunikasi merupakan alat dalam membina kesesuaian diantara pasangan untuk memelihara keutuhan keluarga (Gunarsa & Gunarsa, 2000).

2) Aktivitas Waktu Senggang (Leissure Activity)

Menilai pilihan kegiatan yang dilakukan untuk mengisi waktu senggang. Area ini dapat merefleksikan aktivitas yang dilakukan merupakan aktivitas personal atau bersama, pilihan personal atau bersama, dan harapan-harapan dalam mengisi watu senggang bersama pasangan. Pasangan yang mengisi waktu senggang bersama-sama menunjukkan tingkat kepuasan perkawinan yang tinggi dimana kesempatan menghabiskan waktu bersama akan menghasilkan perasaan yang lebih positif terhadap kehidupan perkawinan (Newman & Newman, 2006).

3) Orientasi Keagamaan (Religious Orientation)

(23)

teladan bagi anak, membiasakan diri untuk beribadah, ikut dalam kegiatan organisasi keagamaan (Hurlock, 1999).

4) Pemecahan Masalah (Conflict Resolution)

Menilai persepsi suami istri akan konflik yang ada dan penyelesaiannya. Area ini berfokus pada keterbukaan pasangan untuk mengenal dan memecahkan persoalan serta strategi yang digunakan untuk mengakhiri perbedaan pendapat. Pasangan yang puas terhadap solusi pemecahan konflik dalam keluarga menunjukkan tingkat kepuasan perkawinan yang lebih baik. Kepercayaan satu sama lain dan pendekatan kerja sama terhadap pengambilan keputusan sangat dibutuhkan untuk mendapatkan solusi yang memuaskan yang menghasilkan kepuasan perkawinan yang lebih baik (Newman & Newman, 2006). Pasangan dengan resolusi konflik yang baik melakukan pekerjaan dengan skill yang lebih baik dalam menjalankan hubungan yang intim (Cavanaugh & Blanchard, 2006).

5) Manejemen Keuangan (Financial Management)

(24)

6) Hubungan Seksual (Sexual Relationship)

Melihat bagaimana perasaan yang berhubungan dengan kasih sayang dan hubungan seksual dengan pasangan. Area ini merefleksikan sikap yang berhubungan dengan masalah seksual, tingkah laku seksual, dan kesetiaan terhadap pasangan. Masalah dalam hubungan seksual yang muncul pada suatu perkawinan merupakan masalah yang sulit dan dapat menjadi salah satu penyebab pertengkaran dan ketidakbahagiaan perkawinan apabila kesepakatan diantara pasanagn tidak dapat dicapai dengan memuaskan (Hurlock, 1999). 7) Keluarga dan Teman (Family and Friend)

Menilai perasaan dan perhatian terhadap hubungan dengan kerabat, mertiua dan teman-teman. Area ini merefleksikan harapan dan perasaan senang dalam mengisi waktu bersama keluarga dan teman. Hubungan yang baik dengan mertua, menantu merasa bahagia dalam berhubungan dengan keluarga pasangan seperti keluarga sendiri. Perkawinan akan lebih sulit apabila salah satu pasangan menggunakan lebih banyak waktunya untuk keluarga yang datang berkunjung dalam waktu yang lama atau bahkan tinggal bersama (Hurlock, 1999.)

8) Kehadiran anak dan menjadi orang tua (Children and Parenting)

(25)

orang tua, dan hendaknya menyesuaikan diri dengan perkembangan anak (Hurlock, 1999).

9) Kepribadian (Personality issue)

Menilai persepsi individu mengenai persoalan yang berhubungan dengan tingkah laku pasangannya dan tingkat kepuasan dalam setiap persoalan. Area ini melihat penyesuaian diri dengan pasangan dan kepuasan terhadap tingkah laku, kepribadian, dan kebiasaan-kebiasaan pasangan. Individu memiliki konsep pasangan yang ideal dalam memilih pasangan dan didalam pernikahan setiap pasangan dituntut untuk dapat menyesuaikan diri dengan kenyataan yang ada mengenai pasanagn (Hurlock, 1999).

10) Peran Egalitarian (Egalitarian roles)

(26)

Peneliti memasukkan teori area-area dalam megukur kepuasan perkawinan mengingat aspek ini bisa terganggu dalam beberapa area tergantung pada penilaian istri terhadap perkawinannya.

c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Perkawinan

Hendrick & Hendrick mengatakan bahwa kepuasan perkawinan dipengaruhi oleh faktor-faktor sebelum perkawinan (premarriage) dan sesudah perkawinan (postmarrige).

1) Faktor-faktor sebelum perkawinan (premarriage) yaitu : a) Latar belakang sosial ekonomi

Status ekonomi sebelum menikah dapat mempengaruhi kepuasan perkawinan karena status tersebut berhibungan dengan harapan akan status ekonomi yang diterima setelah menikah. Pada umumnya wanita berharap bahwa perkawinan dapat membuat status sosial dan ekonominya terangkat, namun dapat terjadi ketidakpuasan bila harapan tersebut tidak realistis dan bila wanita memilih suami hanya karena alasan ekonomi (Hurlock, 1999).

b) Pendidikan

Penelitian yang dilakukan oleh Luckey (2001) menghasilkan bahwa kepuasan perkawinan berhubungan positif dengan pendidikan yang tinggi dimana orang berpendidikan tinggi akan lebih puas terhadap perkawinan.

c) Pekerjaan

(27)

menjalin hubungan bersama pasangan yang akan meningkatkan kepuasan perkawinan (Egelaman, 2004).

d) Pengaruh Orang tua

Orang tua merupakan contoh bagi anak dalam menjalani kehidupan perkawinan mereka. Orang tua juga dapat mempengaruhi kepuasan perkawinan anak berhubungan dengan harapan orang gtua akan anak dan kehidupan perkawinan anak. Bila orang tua terlalu memaksakan harapannya, dapat terjadi pertengkaran antara orang tua dengan anak, misalnya : perjodohan. Orang tua yang terlalu ikut campur dalam perkawinan anak dapat membuat anak tidak bahagia dalam perkawinannya.

2) Faktor-faktor sesudah perkawinan (postmarriage) yaitu : a) Anak

Kepuasan perkawinan dapat dipengaruhi oleh kehadirana anak tergantung pada kesepakatan dan kesiapan kedua pasangan dalam menerima anak. Ada pasangan yang menunda untuk memiliki anak untuk alasan keamanan kerja ataun karir (Newman & Newman, 2006).

b) Lama Perkawinan

(28)

merasa suami dapat memenuhi apa yang dibutuhkan oleh istri (Siegelman, 2003).

Peneliti memasukkan teori faktor yang mempengaruhi kepuasan perkawinan mengingat bahwa kepuasan perkawinan yang dirasakan istri akan berbeda karena faktor-faktor yang terdapat diatas.

B. STROKE

1. Definisi Stroke

Stroke didefinisikan sebagai gangguan saraf yang menetap, yang disebabkan oleh kerusakan pembuluh darah yang terjadi sekitar 24 jam atau lebih. Serangannya berlangsung selama 15-20 menit. Serangannya mendadak dan tidak bisa diprediksi. Sekali terjadi serangan bisa berakibat fatal. Pasien bisa lumpuh atau bahkan langsung meninggal dunia (Sutrisno, 2007).

Definisi stroke menurut WHO adalah :

“ Stroke is rapidly developing clinical sign of fokal or global disturbance of cerebral function with symptoms lasting 24 hours or longer, or leading to death with no apperent cause other than vascular signs”

Berdasarkan definisi diatas dapat dikatakan bahwa stroke adalalah gangguan fungsional otak fokal maupun global yang terjadi secara mendadak dan akut yang berlangsung lebih dari 24 jam; akibat gangguan aliran otak (Shimberg, 1998).

(29)

penyempitan pada pembuluh darah arteri, sehingga menutup aliran darah ke bagian-bagian otak. Shimberg (1998) juga mengatakan bahwa stroke merupakan penyakit serebrovaskuler (pembuluh darah) yang ditandai dengan kematian jaringan otak (infark serebral) yang terjadi karena berkurangnya aliran darah dan oksigen ke otak atau keadaan dimana sel-sel otak mengalami kerusakan karena tidak mendapatkan oksigen dan nutrisi yang cukup.

Sarafino (2006) menyatakan bahwa stroke adalah kondisi dimana terjadinya kerusakan pada sebagian otak karena pembuluh darah yang tersumbat sehingga oksigen tidak terpenuhi dengan baik. Penyakit stroke merupakan penyebab kematian utama di dunia dan dapat menyebabkan kematian, kelumpuhan, gangguan bicara, menurunkan kesadaran dan banyak akibat yang lainnya. Penyakit stroke ini dapat terjadi karena gangguan penyakit lainnya seperti jantung, diabetes mellitus dan hipertensi. Hipertensi (tekanan darah tingi) yang sudah mengalami arteosklerosis (pergeseran pembuluh darah) akan lebih mudah terkena serangan stroke.

(30)

kelainan kongenital maupun degeneratif, ataupun bersifat sekunder akibat proses lain seperti peradangan, arteriosklerosis, hipertensi dan diabetes melitus, oleh karena itu penyebab stroke sangat kompleks (Misbach, 1997).

Stroke terjadi akibat tersumbatnya peredaran darah pada otak dengan gejala yang spontan dan mengakibatkan nutrisi dan oksigen yang dibutuhkan oleh otak tidak dapat diedarkan dengan baik, hal ini dapat mengakibatkan radang fungsi otak, dan jika terjadi dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan pusing, pingsan, lumpuh bahkan kematian (Idris, 2007).

Berdasarkan definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa stroke adalah penyumbatan pembuluh darah dan pecahnya pembuluh darah otak sehingga mengakibatkan aliran darah ke otak mengalami gangguan sehingga nutrisi dan oksigen yang dibutuhkan otak tidak terpenuhi.

2. Dampak yang diakibatkan oleh Stroke

Gejala dan tanda yang sering dijumpai pada individu-individu yang sedang mengalami dan setelah serangan stroke. Feigin (2006) mengatakan bahwa stroke mengakibatkan berbagai gangguan fisik sehingga mengakibatkan individu mengalami keterbatasan dalam hidupnya, gangguan fisik tersebut adalah :

a. Dampak Fisik

1) 80% pasien stroke mengalami penurunan parsial atau total gerakan dan kekuatan lengan atau tungkai di salah satu sisi tubuh (kelumpuhan parsial disebut paresis, kelumpuhan total disebut paralisis).

(31)

3) 30% mengalami satu atau lebih masalah komunikasi. Mereka mungkin tidak mampu berbicara atau memahami bahasa lisan (disebut afasia atau disfasia), gejalanya mencakup kesulitan memilih kata-kata yang tepat untuk diucapkan atau ditulis, kesulitan memahami tulisan, pemakaian kata-kata tanpa makna, dan masalah memahami kata. Mereka mengalami kesulitan berbicara, berbicara pelo, atau sama sekali tidak mampu bersuara meskipun tetap mengerti bahasa lisan (disartia).

4) 30% mengalami kesulitan menelan (disfagia)

5) 10% mengalami masalah melihat benda-benda di satu sisi dan 10% memiliki penglihatan ganda.

6) Kurang dari 10% mengalami gangguan koordinasi saat duduk, berdiri dan berjalan (ataksia).

7) Hingga 70% mengalami gangguan suasana hati, termasuk depresi. 8) Gangguan kesadaran seperti pingsan bahkan sampai koma.

Masalah fisik yang dihadapi oleh penderita kelumpuhan pascastroke sangat berdampak pada aktivitas sehari-hari individu. Keterbatasan yang dialami oleh penderita pascastroke akan sangat mempengaruhi kehidupan istri penderita sebagai pendamping suami.

b. Dampak Psikologis

(32)

oleh sesuatu yang yang dialami tidak pernah terduga sebelumnya. Shimberg (1990) mengatakan bahwa stroke dapat mempengaruhi kondisi psikologis penderitanya, ada beberapa masalah psikologis yang dirasakan oleh penderita pascastroke,yaitu :

1) Kemarahan

Kebanyakan penderita stroke mengalami kesulitan dalam mengekspresikan kemarahannya bahkan sering kali merasa tidak mau patuh dan melawan para caregiver, dokter dan ahli terapinya. Mereka juga bisa memaki-maki dengan kata-kata yang menyakitkan dan memukul secara fisik. Penderita juga sering memiliki amarah yang meledak-ledak.

2) Isolasi

Penderita kelumpuhan akibat stroke dapat mengakibatkan individu melakukan penarikan diri dari lingkungannya, karena perasaan mereka sering tidak perduli pada orang lain. Sering kali teman-teman mereka meninggalkan mereka karena tidak tahu bagaimana harus bereaksi dengan penderita kelumpuhan tersebut. 3) Kelabilan Emosi

(33)

4) Kecemasan yang berlebihan

Sebagian penderita mungkin memperlihatkan ketakutannya ketika keluar rumah, keadaan ini dinamakan agorafobia. Hal ini terjadi karena mereka merasa malu ketika bertemu dengan orang lain, sekalipun dengan teman lamanya. Perasaan malu ini mungkin timbul akibat adanya gangguan pada kemampuan bicara dan kelumpuhan yang dialaminya.

5) Depresi

Depresi adalah perasaan marah yang berlangsung di dalam batin, beberapa depresi tidak hanya bersifat reaktif, tetapi penderita kelumpuhan pascastroke akan bereaksi terhadap semua kehilangannya dan merasa putus asa. Gangguan depresi merupakan gangguan yang paling sering dikaitkan dengan stroke. Depresi berpengaruh terhadap penyembuhan yaitu memperlambat penyembuhan fisik.

Peneliti memasukkan dampak fisik dan dampak psikologis dari serangan stroke untuk menggambarkan bagaimana pengaruh dampak serangan stroke yang dialami suami yang terserang stroke terhadap kesulitan yang mungkin dialami oleh istri selama merawat suami dan bagaimana istri akan dalam menghadapi perubahan yang terjadi pada perkawinannya dengan kondisi suaminya yang stroke.

3. Skala Kecacatan Stroke (The Modified Rankin Scale)

(34)

a. Kecacatan derajat 0

Tidak ada gangguan fungsi b. Kecacatan derajat 1

Hampir tidak ada gangguan fungsi pada aktivitas sehari-hari atau gangguan minimal. Pasien mampu melakukan tugas dan kewajiban sehari-hari.

c. Kecacatan derajat 2

Pasien tidak mampu melakukan beberapa aktivitas seperti sebelumnya, tetapi tetap dapat melakukan sendiri tanpa bantan orang lain.

d. Kecacatan derajat 3

Pasien memerlukan bantuan orang lain, tetapi masih mampu berjalan sendiri tanpa bantuan orang lain, walaupun mungkin membutuhkan tongkat.

e. Kecacatan derajat 4 (Sedang)

Pasien tidak dapat berjalan tanpa batuan orang lain, perlu bantuan orang lain untuk melakukan sebagian aktivitas diri seperti mandi, pergi ke toilet, merias diri, dan lain-lain.

f. Kecacatan derajat 5 (Berat)

Pasien terpaksa berbaring ditempat tidur dan kegiatan buang air besar dan kecil tidak terasa (inkontinensia), memerlukan perawatan perhatian.

(35)
(36)
(37)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Pendekatan Kualitatif

Menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong 2000), metode penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang akan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Penelitian ini juga digunakan untuk menggambarkan dan menjawab pertanyaan seputar subjek penelitian beserta konteksnya. Penelitian kualitatif dalam hal ini dipandang dapat menyampaikan dunia responden secara keseluruhan dari perspektif subjek sendiri dan yang menjadi instrumen dalam mengumpulkan data adalah peneliti sendiri (Banister, 1994).

Padgett (1998) mengemukakan beberapa alasan mengapa menggunakan penelitian kualitatif. Alasan-alasan adalah sebagai berikut :

1. Penelitian kualitatif digunakan jika peneliti ingin menggali suatu topik yang masih sedikit diketahui.

2. Jika topik yang ingin diteliti memiliki tingkat kedalaman sensitivitas dan emosional.

3. Penelitian tersebut diharapkan dapat menggambarkan “pengalaman hidup” dari perspektif orang yang hidup di dalamnya dan menciptakan arti darinya.

(38)

5. Seseorang peneliti kuantitatif yang mencapai jalan buntu dalam mengumpulkan data atau dalam menjelaskan penemuan.

Kelebihan lainnya dari metode kualitatif adalah bahwa pendekatan kualitatif mengahasilkan data yang mendalam dan detail serta penggambaran yang hati-hati tentang situasi, kejadian-kejadian, orang-orang, interaksi dan perilaku yang teramati.

Pendekatan holistik mengasumsikan bahwa keseluruhan fenomena perlu dimengerti sebagai suatu sistem yang kompleks, dan hal ini lebih bermakna daripada penjumlahan bagian-bagian kecil (Patton dalam Purwandari, 2001). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tujuan untuk melihat pengalaman-pengalaman subjektif individu dalam menilai kepuasan perkawinan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena yang ingin diteliti adalah pengalaman subyektif individu dalam kepuasan perkawinannya dimana suami subjek mengalami serangan stroke. Pendekatan kualitatif memungkinkan peneliti untuk memfokuskan variasi pengalaman dari individu-individu atau kelompok-kelompok yang berbeda (Patton, dalam Poerwandari, 2007). Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, akan memungkinkan mengetahui gambaran kepuasan perkawinan yang dirasakan oleh istri yang memiliki penderita stroke dengan lebih dalam.

(39)

kuantitatif, sehingga dengan menggunakan pendekatan ini tujuan penelitian ini akan tercapai.

B. Metode Pengumpulan Data

Menurut Lofland & Lofland (dalam Moleong, 2000) sumber utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan. Metode pengumpulan data yang digunakan disesuaikan dengan masalah, tujuan penelitian dan sifat objek yang diteliti. Metode-metode yang dapat digunakan antara lain wawancara, observasi, diskusi kelompok terfokus, analisis terhadap dokumen, analisis dokumen, analisis catatan pribadi, studi kasus, dan studi riwayat hidup (Poerwandari, 2007). Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (in-depth interviewing) dibantu dengan observasi karena melalui metode ini peneliti dapat memperoleh pemahaman yang lebih luas dan mendalam tentang fenomena yang diteliti, dimana dengan menggunakan metode penelitian ini diharapkan subjek penelitian dapat memberikan informasi yang lebih mendalam tentang kepuasan perkawinannya.

(40)

kebenaran jawaban responden terhadap anggota keluarga yang terlibat didalamnya, dalam penelitian ini misalnya suami atau anak dari subjek penelitian.

1. Wawancara Mendalam (In-depth Interviewing)

Wawancara mendalam dilakukan dengan maksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, satu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain (Banister dkk, dalam Poerwandari 2007). Teknik wawancara yang dilakukan oleh peneliti adalah dengan menggunakan teknik funneling oleh Smith (dalam Poerwandari, 2007) yaitu memulai dari pertanyaan-pertanyaan yang umum yang makin lama khusus dan makin khusus.

Selama wawancara dilakukan, peneliti menggunakan pedoman wawancara supaya hal-hal yang ingin diketahui tidak ada yang terlewat. Meskipun demikian tidak tertutup kemungkinan untuk menanyakan sesuatu di luar pedoman untuk menambah keakuratan data penelitian. Selain itu peneliti juga melakukan observasi selama wawancara berlangsung untuk melihat kesesuaian informasi yang diberikan responden dengan kenyataan. Observasi ini dilakukan dengan mengisi lembar observasi.

(41)

keadaan responden pada saat wawancara, hal-hal yang sering dilakukan responden dalam proses wawancara dan respon-respon nonverbal responden.

Hal yang penting dalam melakukan observasi adalah peneliti melaporkan hasil observasinya secara deskriptif, tidak interpretatif. Pengamat tidak mencatat kesimpulan atau interpretasi, melainkan data konkrit berkenaan dengan fenomena yang diamati (Poerwandari, 2001).

C. Alat Pengumpulan Data

Menurut Poerwandari (2001) bahwa dalam metode wawancara, alat yang terpenting adalah peneliti sendiri. Namun, untuk memudahkan pengumpulan data, peneliti membutuhkan alat bantu. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan alat bantu pengumpulan data antara lain :

1. Alat Perekam (Tape Recorder)

Menurut Poerwandari (2007), sedapat mungkin suatu wawancara perlu direkam dan dibuat transkripnya secara verbatim (kata demi kata). Tidak bijaksana hanya mengandalkan ingatan saja, karena indera manusia terbatas yang memungkinkan peneliti untuk melewatkan hal-hal yang tidak terseleksi oleh indera yang dapat mendukung penelitian.

Dengan alat perekam peneliti tidak perlu sibuk mencatat jalannya pembicaraan. Selain itu peneliti dapat melakukan observasi terhadap responden selama wawancara berlangsung. Semuanya ini akan memungkinkan tercapainya keakuratan analisa data penelitian.

(42)

pembicaraan ini supaya peneliti dapat menganalisa data seakurat mungkin yang nantinya menghasilkan penelitian yang baik pula (Poerwandari, 2007)

2. Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara bersifat semi struktur untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist) apakah aspek-aspek tersebut telah dibahas atau ditanyakan.

Pedoman wawancara disusun berdasarkan teori-teori yang telah disusun dalam Bab II sehingga peneliti mempunyai kerangka berfikir tentang hal-hal yang ingin ditanyakan. Dalam pelaksanaannya, pedoman wawancara tidak digunakan secara kaku. Tidak tertutup kemungkinan peneliti menanyakan hal-hal diluar pedoman wawancara supaya data yang dihasilkan lebih akurat dan lengkap.

3. Lembar Observasi

Observasi dilakukan bersamaan dengan proses wawancara. Hal-hal yang terjadi selama wawancara dicatat dalam lembar observasi. Catatan observasi ini akan memudahkan peneliti dalam mendapatkan dan mengingat garis besar yang terjadi selama proses wawancara.

D. Subjek Dan Lokasi Penelitian

1. Prosedur Pengambilan Responden

(43)

dijadikan sebagai sampel penelitian. Dikatakan simple (sederhana) karena pengambilan sampel dari populasi dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam populasi tersebut.

2. Karakteristik dan Jumlah Responden

Karakteristik responden penelitian ini adalah wanita yang yang sudah menikah dan memiliki suami penderita stroke (pascastroke). Menurut Strauss (dalam Irmawati, 2002) tidak ada ketentuan baku mengenai jumlah responden yang harus dipenuhi pada pendekatan kualitatif. Sarantakos (dalam Poerwandari, 2007) mengatakan bahwa prosedur penentuan subjek dan/atau sumber data dalam penelitian kualitatif umumnya menampilkan karakteristik :

a. Diarahkan tidak pada jumlah sampel besar, melainkan pada menampilkan kasus-kasus tipikal sesuai kekhususan masalah penelitian.

b. Tidak ditentukan secara kaku sejak awal, tetapi dapat berubah baik dalam hal jumlah maupun karakteristik sampelnya, sesuai dengan pemahaman konseptual yang berkembang dalam penelitian.

c. Tidak diarahkan pada keterwakilan (dalam arti jumlah/peristiwa acak) melainkan pada kekecocokan kriteria.

(44)

4. Lokasi Penelitian

Penelitian ini direncanakan dilakukan di kota Medan DAN Pematang Siantar dengan mengambil subjek yang sesuai dengan karakteristik yang telah ditetapkan sebelumnya. Hal ini penting dalam memudahkan peneliti untuk melakukan penelitian.

E. Prosedur Penelitian

1. Tahap Pralapangan

Pada tahap persiapan penelitian, peneliti melakukan sejumlah hal yang diperlukan untuk melaksanakan penelitian, yaitu :

a. Mengumpulkan berbagai fenomena yang terjadi di masyarakat yang berhubungan dengan penderita pascastroke, melalui artikel, jurnal-jurnal, dosen, teman-teman dan lingkungan sekitar untuk meyakinkan peneliti mengenai aspek-aspek psikologis yang terjadi pada penderita kelumpuhan pascastroke dan bagaimana dampaknya pada kepuasan perkawinan pasangannya.

b. Mempersiapkan landasan teoritis, informasi dan teori yang berhubungan dengan stroke dan kepuasan perkawinan.

(45)

d. Persiapan untuk pengumpulan data

Peneliti mencari beberapa responden yang sesuai dengan kriteria sampel yang ditentukan, meminta kesediaanya untuk menjadi responden dn mengumpulkan data tentang calon responden tersebut.

e. Membangun rapport

Setelah memperoleh kesediaan dari responden (tanda tangan responden pada lembar inform consent), peneliti meminta kesediaan responden untuk bertemu dan mulai membangun rapport. Setelah itu peneliti dan responden mengadakan kesepakatan yang meliputi waktu dan tempat wawancara serta persyaratan lain yang diajukan kedua belah pihak.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Hal-hal yang perlu dilakukan pada tahap pelaksanaan ini adalah : a. Menghubungi responden sesuai dengan karakteristik responden.

b. Membuat janji pertemuan dengan responden yang bersedia memberikan informasi sesuai dengan waktu yang disepakati.

c. Informed consent, yaitu responden menyatakan persetujuannya untuk terlibat dalam penelitian, setelah ia mendapatkan informasi yang benar tentang penelitian yang melibatkannya tersebut (Kvale & Neuman dalam Poerwandari, 2007).

d. Meminta izin responden untuk merekan pembicaraan pada alat perekam dari awal sampai akhir wawancara.

(46)

f. Wawancara dimulai dari pertanyaan-pertanyaan umum yang kemudian makin lama makin khusus berdasarkan pedoman wawancara yang telah dipersiapkan sebelumnya.

3. Tahap Pencatatan Data

Data yang telah diperoleh dari wawancara dituangkan ke dalam bentuk verbatim berupa tulisan. Sedangkan data yang didapatkan dengan metode observasi berupa data deskriptif berbentuk narasi. Data ini selanjutnya akan dianalisis sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan.

4. Metode Analisis Data dan Interpretasi Data

Poerwandari (2007) mengatakan bahwa setelah wawancara, peneliti menganalisis dan menginterpretasi data yang dimulai dengan membuat verbatim dari hasil wawancara. Verbatim adalah mendengarkan lalu menulis kata per kata hasil rekaman wawancara kemudian diketik.

Kemudian peneliti melakukan koding, yaitu membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh yang dimaksudkan untuk dapat mengorganisasi dan mensistemasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari. Dengan demikian pada gilirannya peneliti akan dapat menemukan makna dari data yang dikumpulkan.

(47)
(48)

BAB IV

ANALISIS DATA DAN INTERPRETASI

Pada Bab ini akan diuraikan hasil analisa wawancara dalam bentuk narasi. Untuk mempermudah pembaca dalam memahami kepuasan perkawinan istri yang memiliki suami penderita stroke, maka data akan dijabarkan, dianalisa, dan interpretasi per subjek. Analisa data akan dijabarkan dengan menggunakan aspek-aspek yang terdapat dalam pedoman wawancara.

Dalam Bab ini akan digunakan kode-kode untuk memudahkan melihat hasil wawancara yang terdapat pada lampiran. Contoh kode yang digunakan seperti W1.R2/b.110-119/hal.3, yang berarti pernyataan tersebut terdapat pada wawancara pertama pada partisipan pertama, yang terdapat pada baris 110 sampai 119, dimana pernyataan tersebut terdapat pada halaman 3.

A. Partisipan I

1. Analisa Data

a. Identitas Diri Partisipan I

Tabel 1 Gambaran Umum Partisipan I

Keterangan Partisipan I

Nama Samaran Leris

Jenis Kelamin Perempuan

Usia 37 tahun

Pendidikan Terakhir SMA

Status Menikah

Pekerjaan Ibu Tumah Tangga

Jumlah anak 2 orang

(49)

Lama suami menderita stroke 2 bulan

b. Deskripsi Data Partisipan I

Partisipan I dalam penelitian ini adalah Leris, seorang perempuan suku Batak Toba yang berusia 37 tahun. Leris adalah seorang ibu rumah tangga yang telah menikah selama 7 tahun dengan pasangannya. Leris memiliki suami yang telah menderita stroke selama dua bulan. Peneliti mengenal partisipan dari salah seorang dokter muda (coass) yang sedang bertugas di bagian Neurologi di Rumah Sakit Pirngadi Medan. Dokter muda tersebut bersedia memperkenalkan salah satu pasiennya untuk diwawancarai oleh peneliti.

Partisipan adalah anak ke 3 dari 6 bersaudara, memiliki 2 orang saudara perempuan dan 3 saudara laki-laki. Leris lahir dan dibesarkan di Pematang Siantar. Sebelum menikah Leris adalah seorang karyawan disebuah perkebunan di Tanjung Morawa dan menjadi seorang ibu rumah tangga setelah menikah karena tuntutan suaminya untuk tidak kembali bekerja. Partisipan menikah tahun 2001 dan memiliki 2 orang anak. Anak pertama berjenis kelamin laki-laki berusia 5 tahun bernama Harris dan anak kedua berjenis kelamin perempuan berusia 4 tahun bernama Shinta. Sebelum stroke, suami Leris bekerja sebagai pedagang snack keliling di kota Medan. Sejak menikah Leris tinggal bersama dengan mertua di rumah mertuanya tersebut. Untuk mengetahui identitas partisipan I dapat melihat tabel diatas.

(50)

Saat Leris menunggu suaminya diperiksa, Peneliti meminta kesediaan Leris untuk dijadikan sebagai partisipan dalam penelitian. Leris menyatakan kesediaannya menjadi subjek penelitian dan bersedia diwawancarai setelah terapi selesai. Leris meminta peneliti menunggu pemeriksaan selesai dan meminta peneliti menunggu di ruang XXI bagian interna. Pada saat itu, peneliti mengajukan kesediaan partisipan untuk diwawancarai setelah jam makan siang, mengingat waktu sudah menunjukkan waktu menjelang makan siang dan istirahat. Setelah membuat janji akan melakukan wawancara pada waktu istirahat, peneliti dan partisipan menentukan jam berkunjung untuk melakukan wawancara.

Peneliti kembali ke tempat partisipan pukul 14.00 WIB sesuai dengan waktu yang telah disepakati sebelumnya, dan saat itu partisipan sedang tidur, sehingga peneliti menunggu sampai pukul 14.30 WIB, dimana peneliti bersama dengan temannya yang sedang coass mendapat informasi bahwa dokter akan segera berkunjung untuk melakukan pemeriksaan. Setelah dokter selesai kunjungan, peneliti memasuki ruangan dan bertemu dengan partisipan. Pada saat itu Leris menggunakan kaos warna merah dan celana pendek berwarna hitam, masih menggunakan baju yang sama dengan pertemuan pertama di pagi hari.

(51)

berlangsung. Wawancara ini dilakukan dengan menggunakan tape recorder dan untuk merekam hasil wawancara, yang sebelumnya telah disetujui oleh partisipan. Wawancara kedua dilakukan keesokan harinya, Minggu 25 Oktober 2008 ditempat yang sama atas permintaan partisipan. Karena hari Senin 26 Oktober 2008 partisipan dan suaminya akan pulang ke rumah untuk rawat jalan. Partisipan meminta peneliti untuk melakukan wawancara di Rumah Sakit. Wawancara kedua ini dimulai pada pukul 14.00-16.30 WIB, wawancara berlangsung lebih lama dibandingkan wawancara pertama. Sebelum wawancara kedua dimulai, saat itu suami partisipan sedang bangun dan menanyakan kehadiran peneliti. Wawancara dilakukan setelah setengah jam partisipan berkunjung, dimana partisipan membutuhkan waktu sekitar tiga puluh menit untuk menjelaskan mengenai kedatangan peneliti pada suaminya. Pada saat wawancara ini partisipan mengenakan baju kaos berkerah berwarna merah dan celana pendek berwarna hitam.

(52)

Kondisi suami yang stroke mempengaruhi kehidupan sehari-hari yang dirasakan partisipan. Kegiatan sehari-hari menuntut partisipan untuk menghabiskan waktunya untuk merawat suami.

2. Observasi Umum Partisipan I

Tabel 2 Waktu Wawancara Partisipan I

No Partisipan Tanggal

wawancara

Waktu wawancara

Tempat wawancara 1 Leris 24 Oktober 2008 Pukul 14.30-16.00 RSU Pirngadi 2 Leris 25 Oktober 2008 Pukul 15.00-17.00 RSU Pirngadi

Partisipan adalah seorang wanita yang bertinggi badan 154 cm dan berat badan 55 kg berkulit sawo matang, memiliki rambut panjang bergelombang. Wawancara dilakukan di kamar XXI Interna RSU Pirngadi. Kamar tersebut berukuran kira-kira 4x7 . Ruangan tersebut berisi 7 tempat tidur. Partisipan memiliki 2 tempat tidur, satu untuk suami dan satu lagi untuk partisipan. Sedangkan tempat tidur yang lain diisi oleh paisen lain dan keluarganya.

(53)
(54)

Wawancara kedua dilakukan di tempat yang sama, hari kedua wawancara dilakukan lebih lama. Partisipan meminta peneliti untuk melakukan wawancara di rumah sakit sebelum pulang ke rumah dengan alasan partisipan merasa lebih nyaman melakukan wawancara di rumah sakit dibandingkan dengan di rumah partisipan berkaitan dengan kehadiran orang tua suaminya. Sebelum wawancara kedua dilakukan peneliti mendatangi partisipan dan suaminya di ruang XXI interna RSU Pirngadi.

Saat memasuki ruangan, suami partisipan melihat peneliti dan matanya membesar. Suami partisipan mengayunkan tangan untuk menarik perhatian partisipan menunjukkan rasa keingintahuannya tentang kedatangan peneliti. Kemudian partisipan menjelaskan tujuan peneliti untuk mengambil data. Suami partisipan tetap melotot, tangan dan badannya bergerak-gerak dan menggumam tanda tidak mengerti. Saat itu partisipan dan suami menggunakan Bahasa Batak sebagai bahasa untuk berkomunikasi. Peneliti melihat keinginan suami partisipan untuk mengenal peneliti, sehingga peneliti mendatangi suami partisipan dan mengenalkan diri. Peneliti menggunakan Bahasa Batak dalam berkomunikasi dengan suami peneliti sehingga akhirnya suami peneliti tersenyum dan mengerti tujuan peneliti berkunjung. Setelah penjelasan selesai, suami partisipan kemudian tidur dan peneliti mulai bercerita dengan partisipan.

(55)

orang lain, dan saat itu peneliti mengutarakan maksud untuk mengunjungi dan melakukan wawancara di rumah partisipan saja. Saat itu partisipan mengutarakan bahwa wawancara sebaiknya dilaksanakan di rumah sakit sebelum partisipan dan suaminya pulang ke rumah mertuanya. Dengan alasan di rumah mertuanya tidak nyaman melakukan wawancara. Peneliti menanyakan kenyamanan partisipan untuk menjawab pertanyaan peneliti dimana kemungkinan akan didengarkan pasien lain. Saat itu partisipan mengatakan bahwa pasien lain kemungkinan tidak mendengarkan dengan memperkecil volume suara.

(56)

pulang, partisipan mengatakan bahwa dia senang dengan kehadiran peneliti sehingga dia mempunyai tempat bercerita dan mencurahkan perasaannya.

Peneliti pulang sekitar pukul 17.00 WIB. Sebelum peneliti pulang, peneliti meminta kesediaan partisipan untuk melakukan wawancara ulang jika masih ada data yang masih kurang. Partisipan mengatakan kesediaannya untuk melanjutkan wawancara tetapi peneliti harus menelepon terlebih dahulu sehingga partisipan dapat mengatur waktu yang nyaman untuk melakukan wawancara.

3. Data Wawancara Partisipan I

a. Gambaran Stroke Suami Partisipan I

Sejak suami terserang stroke, partisipan menghabiskan hampir seluruh waktunya untuk merawat suami. Suami partisipan mengalami kelumpuhan pada tubuhnya bagian kanan, tidak bisa berjalan, tidak bisa berbicara, pendengaran bagian kanan terganggu, dan memiliki gangguan mata sehingga suami tidak bisa lagi membaca.

“…Gejala fisiknya badannya mati sebelah kanan, Dia udah nggak bisa jalan ia setengah badannya mati, sebelah kanan nggak bisa ngomong, telinga sebelah nggak bisa mendengar, terganggulah pokoknya matanya juga nggak bisa membaca lagi…” (R1.W1/b.20-25/hal.1).

Menurut partisipan, suaminya terserang stroke saat suaminya memiliki masalah dengan temannya bekerja, dan kejadian tersebut terjadi 29 Agustus 2008. Selain itu suami partisipan juga adalah seorang suami yang tidak bisa membatasi diri dalam memakan makanan berlemak.

(57)

b. Gambaran Gejala Fisik dan Masalah Psikologis pada Partisipan I

Kondisi suami yang stroke mempengaruhi kondisi fisik dan psikologis partisipan. Partisipan selalu mengeluh dengan kondisi suaminya. Partisipan merasa kasihan melihat anak-anaknya yang tidak bisa dijaganya karena partisipan menghabiskan waktunya lebih banyak mengurus suami. Selama mengurus suami, partisipan mengalami gangguan kesehatan fisik seperti badan yang pegal-pegal ketika harus mengangkat suami sehari-hari, dimana biasanya partisipan harus mengangkat suaminya ke kamar mandi. Partisipan merasakan badannya kejang, seluruh tubuh terasa sakit, partisipan sering merasa sakit kepala, dan stress.

“…Sejauh ini Awak selalunya mengeluh, pastilah mengeluh cuma ya gimanalah udah kek gini, nggak mungkin sampe stress kali Awak, Awak mau tinggalin Dia, nggak tega kasian juga Awak liat anak-anak juga nggak ada yang jaga…” (R1.W1/b.61-65/ hal.2).

“…Ya banyak, badanku pegal-pegal smua. Dulu waktu baru kena Dia kan Awak sendirilah yang angkat Dia ke kamar mandi kan harus diangkat, badannya mati, nggak bisa bergerak. “(R1.W1/b.85-89/hal.3).

“…Kakiku dulu kejang, badan Awak semua sakit nggak bisa bergerak kek mau patah di dalam, sering pening, apalagi kalo nggak ada kerjaan, jadi menghayal, kapanlah kira-kira ini sehat ya, apalah yang harus kulalukan biar ekonomi kami bisa, mau kerja, Awak mikir, kekmanalah Dia nanti, siapa yang jaga, kasian kan? gara-gara banyak pikiran, stress lah Awak, pening, pusing kepala…”(R1.W1/b.98-107/hal.2).

(58)

“…Kalo sampe sakit nggak, tapi dulu aja badanku sempat kurus, dulu Awak 60 kg, sekarang udah 55 kg, itu aja karena udah naik karena kupikir toh Awak yang harus menghadapinya, Awak harus kuat, kekgitulah kalo kumaui Awak kek yang kemarin, bisa sakitlah Awak. Kekmana anak-anakku ini pikirku Dek..” (R1.W1/b.93-99/hal.4).

“…Terkadang Awak pikirkan kok bisa kekginilah nasib Awak, mana bisa dielakkan lagi udah kekgini, terpaksa lah Awak terima..” (R1.W1/b.102-104/hal.4).

Kondisi suami yang stroke membuat partisipan merasa tidak sanggup menghadapi keadaan suaminya, partisipan mengalami stress pikiran, dan merasa tidak tenang dalam menghadapi suaminya yang sakit. Suami partisipan semakin sering marah-marah, cepat tersinggung dan hal ini mempengaruhi perasaan partisipan.

“….Gimanalah kubilang, merasa tidak sangguplah menghadapi, sering suntuk, banyak pikiran, nggak tenang, kekmanalah menghadapi orang sakit ya kan..” (R1.W1/b.39-42/ hal.2).

“…Kadang nggak bisa terima juga Awak Dek, kenapalah harus Awak ya Tuhan, apa salahku kekgitulah Awak mikir..” (R1.W1/b.279-280/hal.7).

“…Sejak abangmu sakit Dia jadi lebih sering suka marah-marah, cepat tersinggung, merasa tidak diperhatikan, murah sakit hati, maunya dimanjaaaa aja trus, pusinglah pokokny Dek…” (R1.W1/b.55-59/hal.2).

Selama merawat suaminya, partisipan berusaha melakukannya sendiri dan berusaha untuk tidak meminta pertolongan orang lain. Partisipan merasa tidak enak ketika harus meminta pertolongan keponakannya untuk mengangkat suaminya ke kamar mandi, sehingga partisipan berdoa kepada Tuhan supaya suaminya bisa dia papah sendiri sehingga partisipan tidak akan merepotkan orang lain. Setelah dicoba dan ternyata bisa, partisipan bersyukur bisa mengangkat suaminya sendirian.

(59)

jadi Awak sendiri aja ngangkatnya. Makasih ya Tuhan kubilang…”” (R1.W1/b.90-98/hal.3).

“…Awak bersyukur Dek masih bisa meminta pada Tuhan Kakak senang bisa menumpahkan semua yang sesak di dada ini pada Tuhan, Dia juga mau mendengarkanku, membantuku, kekdulu waktu abangmu baru sakit, Awak berdoa supaya maunya Dia bisa jalan, supaya Awak bisa memapahnya sendiri dari kamar mandi, jadi Awak nggak harus minta bantuan sama orang lain, ternyata nggak lama setelah Awak berdoa, Dia udah mulai bisa kupapah sendirian. mertua Awak juga sampe heran melihat Awak sendiri mengangkat abangmu ke kamar mandi Awak bersyukur sekali pada Tuhan, Terima kasih ya Tuhan kubilang gitu dalam doa Awak…” (R1.W1/b.216-227/hal.6)

c. Gambaran Kepuasan Perkawinan Partisipan I

Partisipan menikah dengan suaminya 7 tahun yang lalu. Partisipan menikah di usianya yang ketigapuluh tahun. Sebelum menikah partisipan adalah salah seorang karyawaan di sebuah perkebunan di Tanjung Morawa. Partisipan tidak bekerja setelah menikah dengan suaminya. Tujuh tahun menikah, partisipan dikarunia dua orang anak. Anak pertama adalah anak laki-laki berusia 5 tahun bernama Harris, dan anak kedua adalah anak perempuan berusia 4 tahun. Saat ini partisipan berusia 37 tahun dan usia suaminya 43 tahun. Saat ini suami partisipan sedang menjalani perawatan karena penyakit stroke yang diderita suaminya. Suami partisipan telah terserang stroke 2 bulan sebelum bertemu dengan peneliti. Suami partisipan terserang stroke disebabkan oleh adanya hipertensi dan diabetes yang telah lama diderita suaminya.

(60)

perkawinannya, dimana keinginan partisipan untuk memiliki rumah sudah tidak dipikirkan lagi melihat kondisi suaminya yang stroke.

1). Komunikasi

Komunikasi dalam perkawinan partisipan juga berubah, dimana kondisi fisik suaminya mengakibatkan kemampuan suami yang tidak bisa berbicara, selain itu partisipan juga tidak pintar menggunakan bahasa isyarat. Partisipan berkomunikasi dengan suami dengan cara menebak-nebak keinginan suaminya. Dengan perubahan komunikasi ini, partisipan sering merasa pening karena tidak bisa bercerita dengan suaminya. Keadaan suami yang demikian merupakan masalah bagi partisipan.

“…Kalo abang nggak bisa ngomong, gimanalah Kakak mau berkomunikasi yah kekgitulah jadi Awak tebak-tebak aja aa.a..aa ajalah, kalo Dia angguk berarti betul, kalo salah kutanya lagi, sampe betul, kekgitulah…”(R1.W1/b.123-12/hal.4). “…Nggak ngerti Dia isyarat-isyarat, tebak-tebak ajalah, yah semua berubahlah, Kakak udah nggak bisa lagi cerita-cerita perasaanku pening juga, suntuk juga Awak…”(R1.W1/b.130-133/hal.4).

“…Yah masalahlah udah nggak bisa ngomong…”(R1.W1/b.136/hal.4).

(61)

“…Ya pening juga Awak, mau marah, nggak tau mau marah sama siapa..” (R1.W1/b.139-140/hal.4)

“…Cara mengatasi masalah komunikasi, yah Awak ikutin ajalah apa maunya Dia, iya-iyakan ajalah…”(R1.W1/b.143-144/hal.4)

“…Kadang gimana ya, ya Awak sendirilah yang hadapi, kadang ada yang salah, yah sendirilah hadapi sendiri nggak ada teman untuk cerita…” (R1.W1/b.147-149/hal.4).

“…Gimanalah Awak bilang ya, kadang Awak cerita Dia susah kali mengerti, harus dijelaskan baik-baik. Dia udah lambat ngerti Dek, kadang Dia juga nggak dengar jadi Kakak malas cerita…”(R1.W1/b.152-155/hal.4).

“…Yah, suntuk juga Awak, mau bilang apa lagi harus sabar-sabarlah, tebak-tebaklah, kalo Dia marah karena Awak nggak ngerti, yah trima-trima ajalah udah bawaan penyakitnya kekgitu, kadang stress juga Awak..” (R1.W1/b.158-163/hal.5).

2). Kegiatan Mengisi Waktu Senggang

Waktu senggang partisipan berkurang sejak suaminya terserang stroke. Partisipan merasa tidak memiliki waktu kosong dimana partisipan harus menjaga anak dan suaminya. Waktu untuk istirahat juga dirasakan berkurang.

“…Sejak sakit udah nggak ada lagilah waktu kosong, jaga anak, masak, anakku kan masih kecil-kecil jaga Dia lagi, udah nggak ada lagilah waktu untuk istirahat aja susah..”(R1.W1/b.165-167/hal.5).

Partisipan menginginkan adanya waktu senggang, dimana partisipan ingin pulang ke kampungnya dan bertemu dengan keluarganya. Partisipan ingin membawa suaminya disembuhkan dikampung. Karena kondisi tidak memungkinkan untuk membawa suami ke kampung membuat partisipan banyak berfikir sehingga membuatnya pusing dan sakit kepala.

(62)

Partisipan menghabiskan banyak waktu bersama suaminya tetapi partisipan mengatakan bahwa dia tidak menikmati waktu bersama dengan suaminya karena menurut partisipan kondisi suaminya yang membuat suaminya kebanyakan tidur dan partisipan tidak bisa bercerita dengan suaminya. Kondisi suami yang tidak bisa berjalan membuat partisipan suntuk. Dengan kondisi waktu senggang yang terbatas, partisipan merasa tidak puas dengan waktu senggangnya.

“…Ya Awak mang selalunya sama Dia, jaga Dia, tapi ya kek gitulah Dek kami sama teruspun gaklah dibilang kami menikmati waktu berdua. Dia tidur ajanya terus, Awakpun nggak bisa cerita-cerita sama Dia…” (R1.W1/b.187-191/hal.5).

“…Ya suntuk juga Awak Dek, kapanlah maunya Dia bisa jalan, biar bisa kubawa ke kampung, pikirku gitu…” (R1.W1/b.194-196/hal.7).

“…Nggak lah Dek, gimana lagi Awak bisa puas kalo istirahat aja udah nggak cukup, kadang tidur ajapun Awak nggak bisa…” (R1.W1/b.198-200/hal.5-6).

3). Orientasi Keagamaan

Saat ini kegiatan keagamaan partisipan mengalami perubahan. Partisipan tidak pernah ke gereja sejak suaminya stroke disebabkan oleh keadaan suaminya yang harus dijaga partisipan. Kegiatan keagamaan dilakukan partisipan dengan banyak berdoa.

“…Nggak, sejak Abangmu sakit, nggak pernah aku gereja. Apalagi di rumah sakit, dia kan nggak bisa ditinggalkan.” (R1.W2/b.531-533/ hal.14).

“..Ya gitulah, banyak berdoalah awak sekarang.” (R1.W2/b.527-528/hal.14)

(63)

“…Awak cuma bisa cerita sama Tuhanlah Dek …”(R1.W1/b.203/hal.6).

“…Ya jadi sering berdoalah Awak, lebih banyak berdoalah skarang ini, jadi Awak merasa bebanku lebih ringan, kadang Awak nangis kalo Awak merasa udah nggak tahan lagi, kuceritakan semua pada Tuhan. Awak pasrah aja dengan rencana Tuhan, kalo Awak apalah kan Tuhan yang atur semua ini sering berdoalah waktu ada masalah, Awak pasrahkan ajalah, kekmana rencana Tuhan pasrah aja…” (R1.W1/b.206-213/hal.6).

Partisipan merasa keadaan suaminya harus diterima. Ada saat-saat partisipan tidak menerima keadaan suaminya yang stroke. Partisipan merasa suaminya terserang stroke bukan pada saat yang tepat. Partisipan merasa akan lebih mampu menghadapi kondisi suami seandainya suami terserang stroke setelah anak-anaknya tumbuh besar tidak seperti saat ini dimana anak-anak-anaknya masih kecil dan tidak bisa diajak bercerita. Partisipan pernah merasakan bahwa Tuhan tidak adil. Tetapi partisipan juga menyadari bahwa suaminya stroke adalah rencana Tuhan.

“…Gimanalah Awak bilang ya, yah gimana ini semua rencana Tuhan Awak harus terima dengan sabar, kadang Awak masih nggak bisa terima kenapa harus sekarang ya Tuhan kubilang kekgitu, kenapa nggak waktu anak-anakku udah besar kadang Awak mikir kekgitu Dek, mungkin kalo anak-anakku udah besar, mungkin Awak ada tempat bercerita, jadi nggak kek sekarang ini disimpan-simpan terus, kadang Awak merasa Tuhan itu nggak adil, tapi kadang Awak juga merasa ini semua rencana Tuhan, …”(R1.W1/b 231-242/hal.6-7).

Bagi partisipan keadaan suaminya stroke adalah cobaaan dari Tuhan yang harus dihadapi. partisipan merasa harus menghadapi sampai partisipan merasa harus menyerah.

“…Kadang Awak mikir, ini semua cobaan Tuhan harus dihadapi, Tuhan pasti memberikan cobaan sejauh kita sanggup menghadapinya, jadi Awak hadapi aja semuanya sampe Awak merasa harus menyerah…” (R1.W1/b.312-316/hal.8)

(64)

Ketika merasakan ada masalah yang harus dibicarakan dengan suami, partisipan memilih untuk bercerita pada suaminya tetapi suami partisipan sering marah ketika partisipan berusaha mencurahkan perasaannya pada suami.

“…Kadang kalo udah nggak tahan lagi, kubilang sama Dia, kadang Dia mau terima tapi kadang Dia juga marah sama Awak…” (R1.W1/b 246-248/hal.7). Dalam, perkawinannya setelah suami stroke, partisipan merasakan banyak muncul masalah. Bagi partisipan masalah muncul ketika berhadapan dengan pihak keluarga suaminya. Partisipan sering merasa tersinggung dengan kata-kata keluarga suaminya, dimana menurut partisipan keluarga suaminya terlalu mencampuri urusan rumah tangganya. Apalagi setelah suaminya stroke, suami partisipan kurang mampu memahami dan mendengarkan dengan baik, sehingga partisipan harus menghadapi sendiri segala permasalahan yang muncul.

“…Masalah banyak yang Awak pikirkan, namanya juga orang batak yang berkeluarga ini ya kan, keluarga ini yang jadi masalah, kakak-kakaknya, abangnya, keluarganya terlalu mengurusi keluargaku, sedikit salah ngomongnya kan tersinggung Awak, karena abang kan ga bisa ngomong, jadi smua Awaklah sendiri yang dengar semuanya apa yang dibilang bapaknya, iya-iyakan ajalah namanya juga orangtua…”(R1.W1/b.25-2591/hal.7).

Untuk mengatasi masalah yang dihadapinya partisipan biasanya berdoa pada Tuhan. Ketika partisipan ingin cerita dan menumpahkan semua bebannya partisipan memanggil adiknya untuk dijadikan tempat bercerita. Partisipan mengakui bahwa dirinya mudah menangis.

Gambar

Tabel 1 Gambaran Umum Partisipan I
Tabel 4 Gambaran Umum Partisipan II
Tabel 5.  Waktu wawancara Partisipan II
Tabel 7.  Gambaran Umum Partisipan III
+2

Referensi

Dokumen terkait

Trigonometri sebagai suatu metode dalam perhitungan untuk menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan perbandingan- perbandingan pada bangun geometri, khususnya dalam

Jalur langsung adalah jalur yang memiliki jalur khusus berupa trotoar yang menghubungkan langsung antar gedung asal dengan gedung yang menjadi tujuan pejalan

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Fakultas Pendidikan Seni dan Desain. © Awit Gending Adriani 2016

Pada penelitian ini, dapat dikatakan bahwa adanya keterkaitan antara variabel bebas dan variabel terikat tersebut sehingga terdapat pengaruh terapi remedial

Hal tersebut dapat memicu ketidakadilan bagi pekerja yang tidak menerima upah minimum dari pengusaha, namun ternyata jika ditinjau dari UU Ketenagakerjaan, pengusaha dapat

Tabel IV.10 menunjukkan hasil pengujian hipotesis perusahaan non-manufaktur bahwa variabel independen DER tidak berpengaruh terhadap tindakan perataan laba pada signifikansi

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh penggunan metode (NHT) disertai dengan Peta Konsep dan LKS, motivasi belajar, dan kreativitas siswa terhadap

Kepada semua teman-teman Fakultas Teknik Program Studi sistem Informasi khususnya angkatan 2010 yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan