• Tidak ada hasil yang ditemukan

Redaksi “…berwenang…”, mengandung maksud suatu kekuasaan yang

Dalam dokumen 234501011 modul kup dtsd pajak pdf (Halaman 33-40)

D ASAR H UKUM P EMERIKSAAN P AJAK

KETENTUAN YANG MENGATUR

1. Redaksi “…berwenang…”, mengandung maksud suatu kekuasaan yang

dijalankan dengan penuh tanggung jawab, dan bukan dengan cara sewenang-

wenang akan tetapi yang harus terkait dengan tujuan dari pada pemeriksaan itu sendiri yakni “menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan”. Oleh karena itu penentuan siapa yang harus diperiksa dan tata cara pemeriksaan, haruslah selalu dilakukan menurut ketentu-an peraturan perundang-undangan perpajakan.

Dgm 21

Ketentuan Formal Perpajakan dalam Pemeriksaan Pajak

Masalahnya sekarang adalah timbul pertanyaan antara lain :

1.1.bagimana undang-undang mengatur “pengertian berwenang” tersebut? dan bagaimana yang terjadi sebagai pelaksanaan dilapangan ?

1.2.bagaimana penerapan pengertian “kepatuhan pemenuhan kewajiban

perpajakan” tersebut menurut undang-undang dan bagimana penerapannya

dilapangan ?

1.3.Apakah yang dimaksud dengan “ pemeriksaan harus dalam rangka melaksanakan peraturan perundang-undangan ?“

Marilah kita coba menjawab beberapa pertanyaan yang timbul dari pengertian Pasal 29 ayat (1) KUP sebagaimana huruf (a) sampai dengan huruf (c) tersebut. 1.1 Didalam ketentuan formal perpajakan atau yang dikenal dengan KUP tidak di

jelaskan dengan rinci pengertian “berwenang” dari Pasal 29 ayat (1) tersebut baik didalam batang tubuhnya ataupun didalam memori penjelasannya. Akan tetapi apabila kita kaji dengan seksama dari sistematika pasal-pasal yang terkandung dalam Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan maka dapatlah kita ketahui bahwa pengertian berwenang tersebut meliputi antara lain :

a. Kewenangan yang diartikan harus dilakukan pemeriksaan

Pengertian ini menyangkut Surat Pemberitahuan Lebih Bayar baik Lebih Bayar karena adanya klaim dari Wajaib Pajak (Pasal 17B KUP) ataupun Lebih Bayar tanpa adanya klaim dari Wajib Pajak (Pasal 17). Dengan sendirinya didalam pengkajian akan timbul pertanyaan mengapa Surat Pemberitahuan Lebih bayar harus dilakukan pemeriksaan, khususnya Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan? Sebagai jawabannya adalah bahwa di dalam Pajak Penghasilan sistem perpajakan yang berlandaskan kepada asas self assessment si pembuat undang-undang memandang bahwa Surat Pemberitahuan Lebih Bayar adalah suatu hal yang hampir- hampir tidak mungkin terjadi kecuali adanya force mayeur yang tak dapat dihindari, mengapa demikian ?

Dua hal yang mendasari alasan ini adalah :

Pertama, pembayaran didalam tahun berjalan (PPh Pasal 25) yang harus

dilakuan Wajib Pajak dalam undang-undang pajak hanya memperhitungkan bahwa penghasilan tahun ini sama dengan tahun lalu disatu pihak sedangkan dipihak lain setiap rumah tangga usaha ataupun

Dgm 22

Ketentuan Formal Perpajakan dalam Pemeriksaan Pajak

setiap Wajib Pajak selalu berusaha dan atau berharap penghasilan tahun ini akan menjadi lebih besar dari pada tahun lalu. Oleh karena itu didalam perhitungan menentukan besarnya pembayaran masa tahun ini (PPh Pasal 25), besarnya pemotongan pajak dan atau pemungutan pajak yang dilakukan oleh pihak ketiga tahun yang lalu bersifat netral artinya dikurangkan terlebih dahulu dari pajak penghasilan yang akan dijadikan dasar perhitungan penentuan besarnya PPh.Pasal 25 tahun ini.

Kedua, apabila Wajib Pajak dalam tahun ini menurut perkiraannya akan

nyata-nyata mengalami penurunan usaha maka dia dapat menempuh dua jalan yakni menggunakan fasilitas Pasal 25 ayat (6) huruf f PPh yang mengatur tentang tata cara mengajukan permohonan penurunan pembayaran PPh. Ps.25 yang telah ditentukan, dan atau menggunakan ketentuan Pasal 25 ayat (1) huruf e KUP, yakni mengajukan keberatan terhadap pemotongan dan atau pemungutan yang dilakukan pihak ketiga berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Berdasarkan uraian tersebut dimuka, maka pengkajian terhadap Surat Pemberitahuan Lebih Bayar Pajak Penghasilan haruslah bertumpu kepada dua hal pula yakni pertama apakah perangkat undang-undang dalam menjamin hak-hak Wajib Pajak sudah dijalankan dengan baik atau belum ? atau apakah terjadi fluktuasi perekonomian nasional/ internasional yang mendadak sehingga menyebabkan usaha Wajib Pajak merugi ?

Demikian pula dengan Pajak Pertambahan Nilai, yang pengenaannya terbatas kepada adanya Pertambahan Nilai dari arus barang atau jasa dalam perniagaan, maka tidaklah masuk akal terjadi penurunan nilai dalam arus barang didalam tata niaga. Restitusi disini hanya pantas terjadi dalam kasus Pajak Keluarannya dibebaskan dari pengenaan PPN atau dikenakan PPN dengan Tarip 0 % ( nol persen) misalnya kegiatan ekspor.

b. Pemeriksaan Dengan Pilihan, ini dilakukan untuk Surat Pemberitahuan

Tahunan Pajak Penghasilan yang menyatakan Kurang Bayar, Nihil, atau Rugi dengan tidak disertai kalim Lebih Bayar, ataupun Wajib Pajak yang telah menerima Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak. Mengapa demikian? karena ada kemungkinan didalam melaksanakan self assessment Wajib Pajak ini telah melakukan dengan baik, oleh karena itu

Dgm 23

Ketentuan Formal Perpajakan dalam Pemeriksaan Pajak

pemeriksaan dilakukan dengan pilihan manakala ternyata ada dugaan bahwa Wajib Pajak masih ada data atau alat keterangan yang memberikan petunjuk bahwa kemungkinan ada kekurangan didalam menjalankan kewajiban perpajakan. Pilihan ini dapat dari data atau alat keterangan yang bersumber dari perbendaharaan data ataupun dari analisa-analisa Laporan Keuangan baik yang bersifat dari tahun ketahun ataupun analisa dengan perusahaan-perusahaan sejenis.

Kemudian dari pada itu Direktur Jenderal Pajak sebagai pimpinan yang melaksanakan undang-undang melalui Surat Edarannya Nomor SE-03/ PJ.7/ ’01 Tanggal 06 Juni –’01 mengatur tentang pemeriksaan pajak menerbitkan kebijaksanaan yang antara lain sebagai berikut :

a. Pemeriksaan rutin, yaitu pemeriksaan yang bersifat rutin dilakukan

terhadap Wajib Pajak sehubungan dengan pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan-nya. Adapun sebagai kreteria pemeriksaan rutin adalah :

a.1. Surat Pemberitahuan Wajib Pajak yang menyatakan Lebih Bayar ; a.2. Surat Pemberitahuan Wajib Pajak Badan yang menyatakan Rugi

tetapi tidak Lebih Bayar ;

a.3. Data Prioritas dan atau Alat Keterangan;

a.4. Terdapat Kerjasama Operasi (KSO) atau Konsorsium ; a.5. Wajib Pajak yang menyampaikan SPT PPH.21 Lebih Bayar ;

a.6. PKP yang menyampaikan SPT Masa PPN yang masa pajak terakhir dari suatu tahun pajak yang menyatakan lebih bayar baik yang minta restitusi maupun yang kompensasi;

a.7. Surat Pemberitahunan untuk bagian tahun pajak sebagai akibat adanya perubahan tahun buku yang telah disetujui oleh Direktur Jenderal Pajak;

a.8. Wajib Pajak orang pribadi yang menyampaikan SPT Tahunan PPh yang menyalahi ketentuan penggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto ;

a.9. Wajib Pajak yang melakukan kegiatan membangun sendiri;

a.10 Wajib Pajak atas permintaan sendiri mengajukan untuk dilakukan pemeriksaan pajaknya, misalnya untuk kepentingan RUPS;

a.11. Dan lain-lainnya, misalnya ada data atau alat keterangan, pemusatan tempat terutang PPN, Wajib Pajak yang tidak menyampaikan SPT PPh 21 Tahunan atau Masa selama tiga kali berturut-turut.

Adapun alasan pemeriksaan diluar ketentuan Surat Pemberitahuan Lebih Bayar penulis tidak tahu apa yang menjadi dasar hukumnya.

Dgm 24

Ketentuan Formal Perpajakan dalam Pemeriksaan Pajak

b. Pemeriksaan Kreteria Seleksi, yaitu pemeriksaan yang dilakukan

terhadap Wajib Pajak tertentu berdasarkan skor otomatis secara komputerisasi.

c. Pemeriksaan Khusus, yaitu pemeriksaan yang dilakukan terhadap Wajib

Pajak berdasarkan keterangan atau masalah yang berkaitan dengannya, ini meliputi antara lain :

c.1. Wajib Pajak yang diduga melakukan tindak pidana dibidang perpajakan;

c.2. Wajib Pajak tertentu berdasarkan pengaduan masyarakat melalui Kotak Pos 5000 ;

c.3. Wajib Pajak tertentu berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pajak.

Komentar Penulis terhadap kreteria pemeriksaan khusus ini adalah:

begitu diduga Wajib Pajak melakukan tindak pidana, ini

sebenarnya bukan kewenangan pemeriksa pajak lagi, akan tetapi menjadi kewenangan penyidik pajak, oleh karena itu penerapan tindak pidana Pasal 38 haruslah didahului dengan pemberian kesempatan untuk melakukan pengungkapan akan ketidak benaran yang telah dilakukan oleh Wajib Pajak (Pasal 8 ayat (3) KUP. Dan dari pemeriksaan ini semestinya tidak benar apabila sampai diterbitkan SKPKB.

Pemeriksaan pajak yang didasarkan oleh pengaduan adalah tidak

dapat dibenarkan, kecuali apabila pengadunya jelas orangnya dan obyek yang diadukan tersebut telah dilakukan penelitian dan wajar untuk dilakukan pemeriksaan. Cara-cara yang demikian ini selain tidak mendidik juga tidak etis didalam pelaksanaan hukum adminis-trasi, bisa-bisa pejabat pajak yang membuat pengaduan untuk dapat turun melakukan pemeriksaan.

Undang-undang jelas-jelas tidak memberikan hak kepada Direktur

Jenderal Pajak untuk menentukan pemeriksaan berdasarkan pertimba-ngan pribadinya. Pertimbangan pribadi ini sangat berbahaya karena pengertiasn wewenang dapat berubah menjadi sewenang-wenang apalagi dengan tidak jelas sumber dari pada pertimbangan tersebut.

Dengan direvisinya TAP MPRS Nomor XX Tahun ’66 maka

tindakan apapun yang dilakukan pejabat pajak yang tidak jelas sumber hukumnya, maka Wajib Pajak dapat melakukan gugatan.

d. Pemeriksaan Wajib Pajak Lokasi, yaitu pemeriksaan yang dilakukan

atas cabang, perwakilan, pabrik, dan atas tempat usaha bagi Wajib Pajak domisili;

Dgm 25

Ketentuan Formal Perpajakan dalam Pemeriksaan Pajak

e. Pemeriksaan Tahun Berjalan, yaitu pemeriksaan terhadap Wajib Pajak

yang dilakukan dalam tahun pajak berjalan untuk jenis-jenis pajak tertentu atau seluruh jenis pajak (all taxes) dan untuk mengumpulkan data atau keterangan atas kewajiban pajak lainnya;

f. Pemeriksaan Bukti Permulaan, yaitu pemeriksaan yang dilakukan

untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana dibidang perpajakan. Ini mungkin lebih tepat apabila dipakai termino-logi penyelidikan bukti permulaaan tindak pidana dibidang perpajakan.

Adapun didalam pelaksanaan pemeriksaan, maka pemeriksaan dapat dilakukan dengan:

• Pemeriksaan Lapangan, yang meliputi : Pemeriksaan Lengkap, yaitu pemeriksaan untuk yang lazim digunakan dalam pemeriksaan pada umumnya dan Pemeriksaan Sederhana, yaitu pemeriksaan dengan menerapkan tehnik-tehnik pemeriksaan dengan bobot dan kedalaman yang sederhana sesuai dengan ruang lingkup pemeriksaan baik dilakukan dikantor maupun dilapangan ; dan

• Pemeriksaan untuk tujuan lain yakni Pemeriksaan Sederhana Lapangan yang dilakukan untuk tujuan lain misalnya : untuk menetapkan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan Pasal 21, atau mengukuhkan dan atau mencabut Nomor Pokok Pengusaha Kena Pajak, atau memberikan Nomor Pokok Wajib Pajak dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.

2. Redaksi “…….…menguji pemenuhan kepatuhan kewajiban perpajakan…..…,” mengandung pengertian bahwa tujuan pemeriksaan adalah bukan hanya sekedar untuk menetapkan pajak, oleh karena itu produk dari pemeriksaan banyak tergantung dari temuan pemeriksa itu sendiri sampai dimana pelaksanaan kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan tersebut dilakukan oleh Wajib Pajak. Yang patut disayangkan disini adalah bahwa kebijaksanaan pemeriksaan sendiri belum memberikan petunjuk bagaimana pengertian “pemenuhan kewajiban“ tersebut dijabarkan didalam pelaksanaan, bahkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 04/ PJ.5/ ’86 Tanggal 25/’04 -1986, seolah-olah dimentahkan oleh Surat-surat Edaran yang diterbitkan berikutnya. Suatu pertanyaan timbul mengapa pengertian “pemenuhan kewajiban“ tersebut harus dilakukan penjabaran? Dan sebagai jawabannya adalah, penjabaran lebih lanjut dari pengertian “pemenuhan kewajiban” sangat penting karena banyak sekali pasal-pasal pengaturan didalam

Dgm 26

Ketentuan Formal Perpajakan dalam Pemeriksaan Pajak

sistem perundang-undangan (KUP) yang bersifat ganda bahkan lebih dari ganda, misalnya adalah:

a. Pengaturan Pasal 2 ayat (4) dengan Pasal 13 ayat (1) KUP, kemudian Pasal 14 ayat (1) huruf d dan e KUP dengan Pasal 38 dan Pasal 39 KUP. Pada dasarnya pelanggaran sebagai dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan juga Pasal 14 ayat (1) huruf d dan huruf e adalah juga merupakan pelanggaran atau kejahatan yang dapat diancam dengan tindak pidana dibidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasl 38 atau Pasal 39 KUP; b. Pengaturan Pasal 38 KUP dengan Pasal 39 KUP, belum jelas diatur

bagaimana menentukan apakah suatu perbuatan tindak pidana dibidang perpajakan tersebut hanya merupakan kealphaan atau pelanggaran yang diancam dengan Pasal 38 KUP atau suatu perbuatan sengaja atau kejahatan yang diancam dengan Pasal 39 KUP;

c. Pengaturan Pasal 8 ayat (3) dengan Pasal 38 KUP , belum jelas diatur apakah pelaksanaan Pasal 38 KUP tersebut haruslah melalui upaya tawaran pengung-kapan ketidak benaran dari Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan oleh Wajib Pajak apa tidak, atau dengan kata lain apakah penyidikan tindak pidana perpajakan sebagaimana dimaksud dalam pasal 38 KUP dapat langsung dilakukan tanpa melalui upaya penggunaan kesempatan Pasal 8 ayat (3) KUP terlebih dahulu? Disini penulis menyarankan agar pelaksanaan ketentuan Pasal 38 KUP hanya bisa dilakasanakan manakala Wajib Pajak menolak untuk melakukan pembetulan kesalahan melalui pengungkapan ketidak benaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) KUP;

d. Pengaturan Pasal 8 ayat (3) KUP dengan Pasal 13 ayat (1) KUP, bagaimana halnya apabila Wajib Pajak telah pernah menggunakan kesempatan Pasal 8 ayat (3) KUP, apakah dapat diterbitkan surat ketetapan pajak (dalam hal ini misalnya SKPKB) diwaktu berikutnya sebelum masa daluwarsa datang, apabila ya alasan serta dasar hukumnya apa ? dan apabila tidak apa ? Dalam kasus ini penulis berpendapat bahwa tidak tertutup dikemudian hari diterbitkan SKPKB manakala didalam pelaksanaan pembetulan melalui pengungkapan ktidak benaran Surat Pemberitahuan terdapat kesalahan yang bersifat formal yaitu sekedar rekonsiliasi pajak;

e. Dan ketentuan-ketentuan yang lain.

1.3. Redaksi dalam pertanyaan terakhir yakni “………pemeriksaan harus

dilakukan dalam rangka pelaksanaan peraturan perundang-undangan,”

mengandung maksud bahwa dalam hal Wajib Pajak telah melaksanakan kewajiban formal kewajiban perpajakan dengan baik, maka pemeriksaan hanya dapat dilakukan manakala kewajiban perpajakan materialnya ada data atau keterangan yang menimbulkan dugaan bahwa belum dilaksanakan dengan baik. Pemeriksaan pajak tidak dapat dilakukan hanya dengan alasan demi

Dgm 27

Ketentuan Formal Perpajakan dalam Pemeriksaan Pajak

kepentingan diluar kerangka pelaksanaan peraturan perundang-undangan misalnya demi kepentingan penerimaan kas negara, sebab alasan yang demikian ini hanya akan menimbulkan dampak ikutan yang lebih luas yang tidak mustahil berupa dampak yang negatip. Memang kemungkinan terjadi bahwa sebagai akibat pemeriksaan akan menimbul kan tambahan penerimaaan pada kas negara, akan tetapi dalam alam self assessment melakukan pemeriksaan dengan alasan demi kepentingan kas negara adalah suatu hal yang sulit untuk dibenarkan undang-undang.

HAK DAN KEWAJIBAN DALAM PEMERIKSAAN PAJAK

Dalam dokumen 234501011 modul kup dtsd pajak pdf (Halaman 33-40)

Dokumen terkait