• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KEBIJAKAN HUKUM PROGRAM PEMBAHARUAN AGRARIA

B. Reforma Agraria Pasca Reformasi

Terlepas dari upaya yang telah dilakukan di atas, namun sampai saat ini struktur penguasaan tanah di Indonesia masih amat timpang. Pelaksanaan dan redistribusi tanah di masa lalu belum pernah berhasil dilakukan sebagai sebuah

kebijakan yang menyeluruh dan konsisten sehingga belum berdampak signifikan terhadap pengurangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah yang timpang dan tidak adil. Sebagai gambaran, saat ini ada sekitar 40% (empat puluh persen) rumah tangga pedesaan yang merupakan petani tanpa tanah.60 Hal lain yang memperihatinkan adalah: banyak petani setelah menerima tanah melalui program

landreform terpaksa melepaskan tanahnya kepada orang lain. Hal ini terjadi karena

kebanyakan petani, setelah diberi tanah, ternyata tetap tidak memiliki akses kepada sumber finansial, pasar, manajemen usaha, hingga teknologi pertanian. Akibatnya, tidak dapat memaksimalkan manfaat dari tanah yang dimiliki, dan melalui sistem pewarisan yang berlaku maka penguasaan tanah oleh petani generasi berikutnya semakin kecil dan tidak lagi mencapai skala ekonomi untuk menjalankan usaha tani yang berkelanjutan.

Secara makro, saat ini bangsa Indonesia juga menghadapi permasalahan struktural yang mendasar berupa kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan. Tekanan dalam sektor pertanian telah menyebabkan para petani yang tidak mempunyai tanah dan para petani yang mempunyai tanah sempit beralih kesektor bukan pertanian dan ternyata pendapatan tambahan petani diluar sektor non pertanian juga belum mampu mencukupi kebutuhan rumah tangga petani.61

Data peringkat kemiskinan dari BPS (Badan Pusat Statistik) pada Maret 2012 (dua ribu dua belas) menunjukkan bahwa jumlah orang miskin di Indonesia mencapai

60

Sohibuddin, Op. Cit, hal. 797

61 Erman Rajagukguk, Hukum Agraria, Pola Penguasaan Tanah Dan Kebutuhan Hidup, Chandra

29,13 (dua puluh sembilan koma tiga belas) juta jiwa atau 11,96% (sebelas koma sembilan puluh enam persen) dari total populasi Indonesia. Di kawasan perkotaan, percepatan kemiskinan adalah 8,78% (delapan koma tujuh puluh delapan persen), sedangkan di kawasan pedesaan mencapai 18,48% (delapan belas koma empat puluh delapan persen). Ini menunjukkan kemiskinan paling banyak dialami penduduk pedesaan yang umumnya petani.62

Selanjutnya pada tahun 2001 (dua ribu satu) MPR mengeluarkan Ketetapan Nomor: IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam,63 TAP MPR tersebut menyebutkan bahwa arah kebijakan pembaharuan agraria di Indonesia adalah melakukan mengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antar sektor demi terwujudnya peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip pembaharuan agraria dan melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat.64

Secara rinci, Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 ini memberikan perintah mengenai arah kebijakan pembaruan agraria yang tersebut dalam Pasal 5 sebagai berikut:

1. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antar sektor

62 www.bps.go.id/brs_file/kemiskinan_02 Januari 2013.pdf, diakses pada tanggal 04 Juni 2013 63 Noer Fauzi, Bersaksi Untuk Pembaharuan Agraria, Insist Press, Yogyakarta, 2003, hal. 120 64Bernhard Limbong, Reforma Agraria, Margaretha Pustaka, Jakarta, 2012, hal. 290

demi terwujudnya peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada prinsip- prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ketetapan ini.

2. Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat.

3. Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform.

4. Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ketetapan ini.

5. Memperkuat kelembagaan dan kewenangan dalam rangka mengemban pelaksanaan pembaharuan agraria dan menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria.

6. Mengupayakan dengan sungguh-sungguh pembiayaan dalam melaksanakan program pembaharuan agraria dan penyelesaian konflik-konflik sumber daya agraria yang terjadi.

Sejalan dengan amanat konstitusi tersebut, Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla (SBY-JK) sejak awal telah berkomitmen untuk melaksanakan reforma agraria ini.65

Sejak tahun 2006 (dua ribu enam) pelaksanaan Reforma Agraria ini secara tegas dinyatakan sebagai program pemerintah, yaitu ditetapkan sebagai salah satu fungsi Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia melalui Peraturan Presiden atau Perpres Nomor 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional. Perpres ini harus dilihat sebagai penguatan kelembagaan di dalam kerangka pelaksanaan agenda

65 Dianto Bachriadi, jurnal keadilan “Pandangan Kritis Tentang Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN) atau redistribusi tanah ala pemerintahan SBY”, 2012, hal. 79

reforma agraria. Pada bagian menimbang, Perpres ini mencantumkan konsideran- konsideran sebagai berikut:

1. bahwa hubungan bangsa Indonesia dengan tanah adalah hubungan yang bersifat abadi dan seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia

2. bahwa tanah merupakan perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia, karenanya perlu diatur dan dikelola secara nasional untuk menjaga keberlanjutan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara

3. bahwa pengaturan dan pengelolaan pertanahan tidak hanya ditujukan untuk menciptakan ketertiban hukum, tetapi juga untuk menyelesaikan masalah, sengketa, dan konflik pertanahan yang timbul

4. bahwa kebijakan nasional di bidang pertanahan perlu disusun dengan memperhatikan aspirasi dan peran serta masyarakat guna dapat memajukan kesejahteraan umum.

Berdasarkan pertimbangan itu, Perpres No. 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional ini menempatkan BPN sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Sebelumnya, lembaga ini berada di bawah koordinasi Menteri Dalam Negeri. Selanjutnya, Perpres No. 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional ini menetapkan tugas pokok BPN adalah: “melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral.” Sedangkan fungsinya mencakup 21 fungsi, beberapa poin di antaranya adalah: 66

Butir a: perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan

Butir c: koordinasi kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan butir g:pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah

butir f: reformasi agraria

66 Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hal. 89

butir j: pengawasan dan pengendalian penguasaan pemilikan tanah butir m: pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan

butir n: pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, perkara dan konflik di bidang pertanahan

Penetapan tugas pokok dan fungsi BPN sebagaimana tersebut di atas, maka Perpres No. 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional ini memiliki beberapa signifikansi yang mendasar dalam konteks pelaksanaan pembaruan agraria di Indonesia yaitu:67

1. Perpres No. 10 Tahun 2006 ini mengangkat dan menekankan kembali acuan nilai yang telah ditegaskan dalam Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 mengenai kesatuan hubungan abadi antara bangsa dan tanah air Indonesia.

2. Perpres ini menegaskan lagi kedudukan tanah sebagai perekat kesatuan bangsa dan fungsi sosialnya sebagai landasan untuk memajukan kesejahteraan umum. 3. Perpres ini juga menyatakan bahwa kebijakan pertanahan harus bersifat nasional

dan tidak boleh terkotak-kotak oleh sekat-sekat sektoral dan regional.

4. Perpres ini merevitalisasi kelembagaan BPN untuk menjalankan fungsi-fungsi yang telah diperluas, di antaranya adalah untuk melaksanakan reforma agraria dan menangani sengketa, konflik dan perkara agraria.

5. Fungsi dan struktur BPN RI yang baru ini juga ada penekanan mengenai fungsi pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan yang membuka ruang bagi dilaksanakannya program dukungan pasca redistribusi tanah sebagai kesatuan paket reforma agraria.

Hal tersebut juga selaras dengan pidato Presiden Republik Indonesia pada awal tahun 2007 (dua ribu tujuh) dengan mengeluarkan kebijakan untuk mengalokasikan lahan sebagai objek pelaksanaan reforma agraria. Melalui pelaksanaan reforma agraria diyakini bahwa pertanahan akan dapat berkontribusi secara nyata pada perwujudan keadilan sosial, penciptaan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan serta dapat dijamin kontribusi pertanahan pada proses

revitalisasi pertanian, revitalisasi pedesaan, pembangunan perumahan rakyat, dan pembangunan infrastruktur serta proses pemenuhan hak-hak dasar rakyat.

Pelaksanaan kebijakan redistribusi tanah ini dijalankan dalam sebuah kerangka program terpadu yang disebut Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN).

Program Pembaharuan Agraria Nasional sebagaimana yang diatur dalam TAP MPR Nomor: IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam ini pada prakteknya hanya melanjutkan program PRONA atau LARASITA (Layanan Rakyat Untuk Sertifikat Tanah) dengan sampul PPAN, dimana pelaksanaan reforma agrarianya hanya di bidang pensertifikatan atas tanah-tanah pertanian yang dimiliki oleh para peserta PPAN saja tidak ada redistribusi tanah atau pembagian tanah-tanah yang berasal dari tanah negara, tanah obyek landreform seperti absentee, tanah kelebihan maksimum kepada para petani dan tidak ada juga pengalokasian lahan seluas 9,25 juta ha (Sembilan koma dua puluh lima juta hektar) kepada para petani seperti yang telah dipidatokan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2007 hal ini dikarenakan objek reforma agraria yang telah direncanakan untuk dialokasikan tersebut belum diketahui berasal dari tanah apa dan letak tanah-tanah tersebut juga tidak diketahui didaerah mana saja.

Pelaksanaan PPAN ini juga seharusnya dibarengi dengan tindak lanjut pelaksanaan access reform yang merupakan ciri utama dan pembeda antara PPAN ini dengan program landreform sebelumnya tapi pada kenyataannya dilapangan

pelaksanaan access reform ini belum ditemukan pelaksanaannya, hal ini dikarenakan belum adanya kerjasama atau kemitraan yang dituangkan dalam Nota Kesepahaman (MoU) antara Badan Peratanahan Nasional dengan instansi-instansi lain seperti Dinas Pertanian, Dinas Kehutanan, Kementerian Negara UKM (Usaha Kecil Menengah), Lembaga Keuangan dan instansi lainnya yang terkait.

Di daerah Provinsi dan Kabupaten juga pelaksanaan access reform ini belum terealisasi karena Kantor Pertanahan di daerah belum ada yang menjalin kerja sama dengan instansi lain seperti kerja sama dengan pemerintah daerah setempat, lembaga keuangan dan instansi lainnya sehingga pelaksanaan PPAN ini hanya berakhir sampai diterbitkannya sertifikat hak atas tanah oleh Kantor Pertanahan setempat tanpa ada pelaksanaan dari access reform lagi, begitu juga pelaksanaan PPAN di Kabupaten Serdang Bedagai tidak ada pelaksanaan access reform sehingga PPAN ini sama saja dengan PRONA ataupun LARASITA (Layanan Rakyat Untuk Sertifikat Tanah) Cuma yang membedakan antara PPAN ini dengan PRONA ataupun LARASITA adalah dalam penerbitan sertifikat melalui PPAN peserta tidak dikenakan biaya dan khusus tanah-tanah pertanian yang belum memiliki sertifikat yang boleh mengikuti program ini sedangkan dalam PRONA dan LARASITA itu peserta diberi keringanan biaya untuk mengurus menerbitan sertifikat dan semua jenis tanah bisa disertifikatkan karena tidak ada patokan harus tanah apa yang harus disertifikatkan seperti bisa tanah yang ada bangunan, tanah pertanian, dan lain-lain.

C. Kebijakan Pembaharuan Agraria Berdasarkan TAP MPR Nomor:

Dokumen terkait