• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KEBIJAKAN HUKUM PROGRAM PEMBAHARUAN AGRARIA

A. Reforma Agraria Pra Reformasi

Agenda Reforma Agraria di dalam sejarah bangsa Indonesia memiliki perjalanan yang panjang dan sejalan dengan agenda pembentukan bangsa dan negara. Sejak tahun 1946 (seribu sembilan ratus empat puluh enam) Indonesia sudah menjalankan program landreform.

Landreform dapat dimaknai sebagai usaha sistematis untuk memperbaiki

hubungan antara manusia dengan tanah yang karena faktor-faktor historis, politis dan ekonomis masih dirasakan belum harmonis dan belum mencerminkan keadilan sosial. Usaha perbaikan semacam ini dilakukan dengan menata kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah menjadi tatanan keagrarian baru yang dapat menjamin keadilan, harmoni sosial, produktivitas dan keberlanjutan, berdasarkan prinsip bahwa “tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara aktif oleh pemiliknya sendiri”.52

Pelaksanaan landreform dengan demikian bertujuan untuk memperbaiki keadaan sosial ekonomi rakyat melalui pembagian yang lebih adil atas sumber penghidupan petani berupa tanah. Landreform juga diharapkan dapat meningkatkan semangat kerja petani penggarap dengan jalan memberikan kepastian hak pemilikan

atas tanahnya. Hal ini dapat dilihat dalam penjelasan umum Peraturan Pemerintah Nomor. 224 Tahun 1961 Tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah Dan Pemberian Ganti Kerugian yang menyebutkan bahwa “landreform bertujuan mengadakan pembagian yang adil dan merata atas sumber penghidupan rakyat tani yang berupa tanah, sehingga dengan pembagian tersebut diharapkan akan dapat dicapai pembagian hasil yang adil dan merata.”

Secara umum, ada enam elemen pokok program landreform sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 yaitu:53 1. Larangan untuk menguasai tanah pertanian yang melampaui batas (pembatasan

pemilikan maksimum);

2. Larangan pemilikan tanah secara absentee;

3. Redistribusi tanah-tanah yang melampaui batas maksimum, tanah-tanah yang terkena ketentuan absentee, tanah-tanah bekas swapraja dan tanah-tanah Negara lainnya;

4. Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian;

5. Penetapan batas minimum pemilikan tanah pertanian, disertai larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil.

Implementasi kebijakan landreform ini pada masa lalu ternyata masih sangat terbatas dan belum dapat memenuhi tujuan-tujuan seperti yang diharapkan di atas karena pada intinya ada dua hambatan pokok dalam pelaksanaan program landreform ini. Pertama adalah hambatan hukum. Baik di pusat maupun di daerah, aparat hukum belum menguasai benar persoalan agraria. kedua, yaitu hambatan ilmiah. Berbeda dari negara berkembang lainnya, di Indonesia jumlah ilmuwan agraria amat terbatas.

Akibatnya setiap kali membahas agraria, yang dibahas selalu “hukum agraria”. Padahal agraria itu mencakup hampir semua aspek kehidupan (sosial, ekonomi, budaya, lingkungan dan politik, bahkan juga pertahanan dan keamanan).54

Walf Ladejinsky, adalah seorang arsitek landreform di Jepang dan setelah tiga kali datang ke Indonesia pada tahun 1961-1963, memberi penilaian serupa mengenai pelaksanaan landreform yang saat itu sedang dilaksanakan. Ada dua kritik utama Ladejinsky yaitu:

1. Antara gagasan dan tindakan pelaksanaan landreform tidak konsisten. Gagasannya revolusioner, tetapi pelembagaan pelaksanaannya rumit, Birokrasi berbelit-belit dan data tidak akurat sehingga di lapangan pelaksanaan redistribusi menjadi sulit dan terhambat.

2. Model redistribusinya tidak sesuai dengan kondisi obyektif yang ada. Batasan kepemilikan minimum 2 ha (dua hektar) yang diberlakukan secara menyeluruh menurut Ladejinsky tidaklah realistis dan juga tidak jelas siapa dan berapa jumlah orang yang berhak menerima redistribusi tanah (potential beneficiaries), dan berapa yang diperkirakan akan menjadi penerima nyata (real beneficiaries) serta tanah-tanah apa saja yang akan menjadi objek landreform.55

Pasca perubahan drastis politik sejak tahun 1965 (seribu sembilan ratus enam puluh lima), pelaksanaan reforma agraria mulai surut. Namun ini tidak berarti bahwa program distribusi tanah terhenti sama sekali, melainkan mengalami pergeseran makna yang signifikan. Tanah-tanah yang dibagikan, yang pada awalnya terutama berasal dari tanah-tanah yang terkena ketentuan landreform, tanah kelebihan dari batas maksimum dan tanah absentee, bergeser menjadi tanah-tanah yang dikuasai

54 Shohibuddin dan Muhammad Nazir Salim,

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007 Bunga Rampai Perdebatan, Sekolah Tinggi Pertanahan Negara Press, Yogyakarta, 2012, hal. 793.

55

langsung oleh negara. Hal ini dilakukan baik dengan cara pembagian tanah secara langsung kepada petani maupun melalui skema-skema program seperti: transmigrasi, Perusahaan Inti Rakyat (PIR) dan sebagainya.56

Ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah yang semakin meningkat dan pengaruhnya terhadap merebaknya angka kemiskinan dan pengangguran dipedesaan tidak terlepas dari faktor kebijakan pertanahan yang diorientasikan untuk mendukung kebijakan makro ekonomi nasional yang lebih mengejar pertumbuhan ekonomi semata akan tetapi kebijakan pertanahan bukannya didasarkan atas penataan aset produksi terlebih dahulu, melainkan langsung diarahkan kepada upaya peningkatan produktivitas. Akibat pembangunan semacam ini, maka rakyat kecilpun semakin terpinggirkan dan banyak petani yang kehilangan akses terhadap tanah.57

Selain itu juga telah melahirkan berbagai persoalan keagrariaan yang mendasar dalam bentuk kerusakan sumber-sumber agraria serta meluasnya konflik- konflik sosial terkait agraria. Kesemua permasalahan ini pada intinya dapat dijelaskan dari bagaimana proses peruntukan, penatagunaan dan alokasi pemanfaatan dari sumber-sumber agraria yang dilakukan pemerintah.

Secara khusus bisa dicatat bahwa pengadaan sumber-sumber agraria ternyata lebih sering diperuntukkan kepada segolongan masyarakat yang bermodal besar dan untuk jenis pemanfaatan dengan skala besar. Sementara di pihak lain, komunitas lokal seringkali justru merasa disingkirkan dan bahkan dihilangkan hak-haknya terhadap

56 Noer Fauzi dan Khrishna Ghimire,

Prinsip-Prinsip Reforma Agraria, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta, 2001, hal. 142

penguasaan serta pemanfaatan sumber-sumber agraria yang selama ini melekat dalam kehidupan petani lokal tersebut. Kebijakan pemerintah semacam ini didasari pemikiran bahwa mereka yang memiliki modal besar diyakini akan mampu mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, yang pada gilirannya akan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat banyak, suatu asumsi yang hasilnya tidak pernah terbukti.

Dari sini bisa disimpulkan bahwa kebijakan peruntukan, penatagunaan dan alokasi pemanfaatan sumber-sumber agraria dalam rangka memfasilitasi pertumbuhan ekonomi telah melahirkan hubungan yang tidak sesuai di antara pihak- pihak pelaku yang berkepentingan dengan sumber-sumber agraria. Seiring perkembangan waktu dan makin langkanya tanah maka hubungan ini menjadi kian kompleks.

Keadaan inilah yang menimbulkan perselisihan tanah di tingkat rumah tangga petani, meningkatnya penguasaan tanah skala besar, konversi penggunaan tanah yang tidak terencana, tata ruang dan penatagunaan tanah yang tidak konsisten dan tumpang tindih, serta terus berlangsungnya konflik dan sengketa tanah, tentu saja yang dikorbankan dari proses ini adalah sebagian besar masyarakat, pembangunan itu sendiri, maupun hal-hal mendasar bagi rakyat dan bangsa ini seperti: ketahanan pangan, infrastruktur sosial dan ekonomi masyarakat, perumahan rakyat, serta lingkungan hidup.58

58 Shohibuddin, Op. Cit, hal. 803

Kesemuanya ini menghendaki dilaksanakannya reforma agraria yang merupakan kebijakan yang bertujuan mengurangi ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah pertanian yang pada akhirnya akan bermuara pada pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan rakyat.

Bergulirnya reformasi pada tahun 1998 (seribu sembilan ratus sembilan puluh delapan), membuat peluang politik untuk menata kondisi ekonomi, sosial dan politik bangsa Indonesia, termasuk di bidang pertanahan, terbuka kembali. Pada masa ini Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengeluarkan Ketetapan MPR Nomor 16/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi. Pasal 7 ayat (1) menyatakan: “Pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam lainnya harus dilaksanakan secara adil dengan menghilangkan segala bentuk pemusatan penguasaan dan pemilikan dalam rangka pengembangan kemampuan usaha ekonomi kecil, menengah, koperasi dan masyarakat luas.” 59

Ketetapan MPR ini telah mengawali komitmen seluruh bangsa Indonesia untuk menjalankan kembali reforma agraria demi mewujudkan distribusi penguasaan dan pemanfaatan tanah yang adil dan dapat melahirkan kesejahteraan rakyat.

Dokumen terkait