• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rekapitulasi Analisa Bivariat

5.3 Analisa Bivariat

5.3.13 Rekapitulasi Analisa Bivariat

Rekapitulasi hasil analisis bivariat hubungan variabel independen dan variabel dependen tersaji pada tabel dibawah ini :

Tabel 5.3.13 Rekapitulasi Analisis Bivariat Distribusi Variabel Independen di SD Muhammadiyah 06 Jakarta Selatan pada Tahun 2016

Variabel Pvalue Keterangan

Jenis Kelamin 0,977 Tidak Ada Hubungan

Usia 0,541 Tidak Ada Hubungan

Uang Saku 0,304 Tidak Ada Hubungan Pendidikan Ayah 0,197 Tidak Ada Hubungan Pendidikan Ibu 0,762 Tidak Ada Hubungan Pekerjaan Ayah 0,410 Tidak Ada Hubungan Pekerjaan Ibu 0,691 Tidak Ada Hubungan Pendapatan Keluarga 0,139 Tidak Ada Hubungan Frekuensi Makan Utama 0,133 Tidak Ada Hubungan

Sarapan 0,006 Ada Hubungan

Aktivitas Fisik 0,239 Tidak Ada Hubungan Konsumsi Makanan Cepat Saji 0,766 Tidak Ada Hubungan

5.4 Analisa Multivariat

Analisa ini menggunakan uji analisa regresi logistik ganda. Uji regresi logistik ganda digunakan untuk menganalisa hubungan satu atau beberapa variabel independen dengan sebuah variabel dependen kategorik (Hastono, 2007). Pemodelan yang digunakan dalam penelitian ini adalah model prediksi. Model ini bertujuan untuk memperoleh model yang terdiri dari beberapa variabel independen (usia, jenis kelamin, uang saku, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, penghasilan

76

keluarga, pola makan, aktivitas fisik dan konsumsi makanan cepat saji) yang dianggap terbaik untuk memprediksi kejadian variabel dependen (gizi lebih). Tahapan analisa multivariate akan dijabarkan sebagai berikut :

5.4.1 Hasil Analisa Multivariat

Pada tahap seleksi masing masing variabel independen dilakukan analisa dengan variabel dependen. Bila hasil bivariat menghasilkan �����<0,25 maka variabel tersebut langsung masuk tahap multivariat. Untuk variabel independen yang hasil bivariat nya menghasilkan ����� > 0,25 namun secara substansi penting, maka variabel tersebut dapat dimasukan dalam model multivariat. Hasil seleksi bivariat dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 5.4.1 Hasil seleksi Bivariat Hubungan Karakteristik Anak, Karakteristik Orang Tua, Pola Makan, Aktivitas Fisik dan Konsumsi Makanan Cepat Saji dengan Kejadian Gizi Lebih pada Siswa SD Muhammadiyah 6 Jakarta Selatan Tahun 2016

Nama variabel ����� Keterangan

Usia 0,240 Kandidat Model

Jenis Kelamin 0,979 Bukan Kandidat Model

Uang Saku 0,173 Kandidat Model

Pendidikan Ayah 0,092 Kandidat Model

Pendidikan Ibu 0,663 Bukan Kandidat Model

Pekerjaan Ayah 0,360 Bukan Kandidat Model

Pekerjaan Ibu 0,787 Bukan Kandidat Model

Penghasilan Keluarga 0,704 Bukan Kandidat Model

Frekuensi Makan Utama 0,960 Bukan Kandidat Model

Sarapan 0,004 Kandidat Model

Aktivitas Fisik 0,516 Bukan Kandidat Model

Konsumsi makanan Cepat Saji 0,929 Bukan Kandidat Model Berdasarkan tabel 5.4.1 menunjukkan bahwa dari dua belas variabel yang dianalisisi dalam seleksi bivariat diperoleh empat variabel yang berhubungan dengan kejadian gizi lebih ( ����� <0,25) yaitu Usia ( ����� : 0,240), uang saku ( ����� : 0,173), pendidikan ayah ( ����� :0,092) dan sarapan ( ����� : 0,004) yang memenuhi syarat untuk dimasukkan dalam analisis seleksi multivariat.

77 5.4.2 Hasil pemodelan Multivariat

Setelah melalui seleksi bivariat, langkah selanjutnya adalah melakukan analisa multivariat secara bersamaan pada variabel usia, uang saku, pendidikan ayah, dan sarapan. Dari hasil analisa multivariat variabel yang memiliki nilai ����� < 0,05 akan masuk dalam pemodelan multivariat selanjutnya, Jika hasil ����� > 0,05 maka variabel tersebut harus dikeluarkan dari pemodelan. Hasil pemodelan dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Table 5.4.2.a Model I Analisa Multivariat Karakteristik Anak, Karakteristik Orang Tua, Pola Makan, Aktivitas Fisik, Konsumsi Makanan Cepat saji dengan Kejadian

Gizi Lebih pada siswa SD Muhammadiyah 6 Jakarta Selatan pada Tahun 2016

Variabel B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Usia 0,559 0,476 0,003 1 0,240 1.750

Uang Saku 0,578 0,424 1,860 1 0,173 1.782

Pendidikan Ayah 1,055 0,627 2.834 1 0,092 2.873

Sarapan 1,222 0,426 8,228 1 0,004 3.395

Dari uji statistik pada tabel 5.4.2.a menunjukkan bahwa variabel yang ����� nya > 0,05 harus dikeluarkan sehingga variabel Usia ����� 0,240, variabel uang saku ����� 0,173, dan pendidikan ayah dengan ����� 0,092 harus dikeluarkan. Pengeluaran variabel dengan nilai ����� > 0,05 diawali dengan mengeluarkan variabel yang Pvaluenya paling besar. Variabel yang pertama kali dikeluarkan dari pemodelan adalah variabel usia. Setelah variabel usia dikeluarkan didapatkan hasil sebagai berikut :

Table 5.4.2.b Model II Pengeluaran Variabel Usia pada Analisa Multivariat Karakteristik Anak, Karakteristik Orang Tua, Pola Makan, Aktivitas Fisik, Konsumsi Makanan Cepat saji dengan Kejadian Gizi Lebih pada siswa SD

Muhammadiyah 6 Jakarta Selatan pada Tahun 2016

Variabel ����� OR Model awal /

dengan Usia OR Tanpa Variabel Usia Perubahan OR Persen Usia - 1.750 - - Uang Saku 0,193 1.782 1.641 7,9% Pendidikan Ayah 0,073 2.873 2.501 12,9% Sarapan 0,003 3.395 2.924 13,8%

78

Dari hasil uji statistik pada tabel 5.4.2.b dapat dilihat bahwa hasil perbandingan OR ada yang > 10% dengan demikian variabel usia dimasukan kembali ke dalam model atau tidak dapat dikeluarkan dari model. Langkah selanjutnya adalah mengeluarkan variabel uang saku dari permodelan karena nilai

����� > 0,05.

Table 5.4.2.c Model III Pengeluaran Variabel Uang Saku pada Analisa Multivariat Karakteristik Anak, Karakteristik Orang Tua, Pola Makan, Aktivitas Fisik, Konsumsi Makanan Cepat saji dengan Kejadian Gizi Lebih pada siswa SD

Muhammadiyah 6 Jakarta Selatan pada Tahun 2016

Dari hasil uji statistik pada tabel 5.4.2.c dapat dilihat bahwa hasil perbandingan OR ada yang > 10% dengan demikian variabel uang saku dimasukan kembali ke dalam model atau tidak dapat dikeluarkan dari model. Langkah selanjutnya adalah mengeluarkan variabel pendidikan ayah dari permodelan karena nilai ����� > 0,05.

Tabel 5.4.2.d Model IV Pengeluaran Variabel Pendidikan Ayah pada Analisa Multivariat Karakteristik Anak, Karakteristik Orang Tua, Pola Makan, Aktivitas Fisik, Konsumsi Makanan Cepat saji dengan Kejadian Gizi Lebih pada siswa SD

Muhammadiyah 6 Jakarta Selatan pada Tahun 2016

Dari hasil uji statistik pada tabel 5.4.2.d dapat dilihat bahwa hasil perbandingan OR ada yang > 10% dengan demikian variabel Pendidikan Ayah dimasukan kembali ke dalam model atau tidak dapat dikeluarkan dari model. Langkah selanjutnya adalah

Variabel ����� OR Model awal /

dengan Variabel Uang Saku OR Model tanpa variabel Uang Saku Perubahan OR Usia 0,335 1.750 1.515 13,4% Uang Saku - 1.782 - - Pendidikan Ayah 0,063 2.873 2.601 9,4% Sarapan 0,003 3.395 2.961 12,7 %

Variabel ����� OR Model awal /

dengan variabel pendidikan ayah OR Model tanpa variabel Pendidikan Ayah Perubahan OR Usia 0,344 1.750 1.495 14,5% Uang Saku 0,166 1.782 1.690 5,1% Pendidikan Ayah - 2.873 - - Sarapan 0,005 3.395 2.685 20.9 %

79

Tabel 5.4.2.e Akhir Analisa Multivariat Karakteristik Anak, Karakteristik Orang Tua, Pola Makan, Aktivitas Fisik, Konsumsi Makanan Cepat saji dengan Kejadian

Gizi Lebih pada siswa SD Muhammadiyah 6 Jakarta Selatan pada Tahun 2016

Variabel B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Usia 0,456 0,435 1.098 1 0,295 1.578

Uang Saku 0,523 0,383 1,836 1 0,172 1.687 Pendidikan Ayah 0,955 0,518 3.402 1 0,065 2.598 Sarapan 1,114 0,366 9,276 1 0,002 3.045

Dari model akhir pada tabel 5.4.2.e menunjukkan yang paling kuat hubungannya dengan kejadian gizi lebih pada anak dapat dilihat dari nilai Exponen B pada variabel yang Signifikan. Pada hasil analisa multivariat diatas, yang signifikan dan nilai Exponen B nya besar adalah variabel sarapan (3.045), sehingga dapat diartikan bahwa variabel sarapan merupakan faktor yang dominan yang paling kuat hubungannya dengan kejadian gizi lebih pada anak usia sekolah.

80

BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang peneliti lakukan. Pada penelitian ini juga banyak terdapat kekurangan yang peneliti alami karena keterbatasan penelitian. Salah satu keterbatasan peneliti adalah mengingatkan responden mengenai makanan cepat saji yang ia makan selama satu bulan terakhir dan aktivitas fisik yang ia lakukan satu minggu terakhir. Selain itu,ada beberapa data yang harus diambil dari data administrasi sekolah. Sampel yang kurang signifikan atau kurang banyak juga memicu munculnya data yang tidak berhubungan.

Keterbatasan lain yang peneliti alami adalah penelitian hanya dilakukan pada siswa sekolah dasar kelas IV dan V sedangkan pada siswa kelas I sampai dengan kelas III tidak dijadikan sampel dikarenakan kemungkinan pada usia mereka belum dapat bekerjasama saat pengumpulan daya dan untuk kelas VI sendiri tidak dijadikan sampel dikarenakan sedang mempersiapkan ujian akhir semester dan ujian nasional. Penelitian ini juga hanya dilakukan pada satu sekolah saja sehingga tidak dapat menggambarkab kejadian gizi lebih pada siswa sekolah pada umumnya di Jakarta Selatan.

Pengambilan data dilakukan dengan cara mengisi kuesioner wawancara secara langsung kepada responden dan setelah itu dilakukan penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan.

6.2 Gizi Lebih

Keadaan gizi lebih mengacu pada keadaan ketika kelebihan lemak disimpan dalam jaringan adiposa. Adiposa tidak dapat di ukur secara langsung dengan begitu harus menggunakan ukuran antropometrik. Pengukuran antropometrik paling banyak dipakai untuk mengklasifikasi berat badan(Gibney, 2009). Gizi lebih merupakan Kondisi Kelebihan berat badan atau berat badan melebihi batas normal yang terjadi pada anak akibat timbunan lemak yang berlebihan, yang dalam penelitian ini diukur

81

berdasarkan IMT/U pada 165 Responden di SD Muhammadiyah 6 Tebet Jakarta Selatan. Fenomena gizi lebih pada anak di Indonesia saat ini menjadi fenomena yang mencemaskan. Fenomena yang banyak dijumpai pada anak terutama di kota kota besar pada masyarakat kelas menengah dan atas. Sudah saatnya kejadian gizi lebih ini untuk diberikan perhatian yang khusus, karena seperti yang diketahui bersama bahwasannya kejadian gizi lebih merupakan peluang utama terjadinya penyakit degeneratif dimasa yang akan datang.

Berdasarkan hasil olah data univariat diketahui sebesar 45 % siswa mengalami gizi lebih. Siswa yang mengalami gizi lebih terbagi dalam klasifikasi yaitu 12,7% Overweight dan 31,5 % Obesitas. Dari data yang didapatkan hampir setengah dari siswa yang menjadi sampel mengalami gizi lebih, hal ini bisa menjadi rujukan bagi sekolah agar melaksanakan kegiatan pengukuran berkala untuk mengetahui status gizi siswa. Sehingga kondisi anak yang memiliki tingkat gizi lebih atau diatas normal bisa lebih cepat untuk melakukan langkah kuratif dan terapi. 6.3 Karakteristik anak

Variabel Karakteristik anak terdiri dari Usia, jenis kelamin dan uang saku siswa.

6.3.1 Usia

Dari hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa kejadian gizi lebih, lebih banyak terjadi pada anak usia 8-10 tahun atau dalam penelitian ini digolongkan dalam masa kanak pertengahan dan akhir 46,6% dibandingkan dengan siswa yang berusia 11-12 tahun atau dikategorikan sebagai masa remaja awal. Pada penelitian ini tidak ditemukan adanya hubungan antara usia dengan kejadian gizi lebih di SD Muhammadiyah 06 Jakarta Selatan (P Value 0,541). Hal ini terkait dengan aktivitas fisik anak dimana pada usia 11-12 tahun anak lebih aktif dari usia sebelumnya. Dan tidak ditemukannya hubungan dikarenakan persentase anak usia 11-12 tahun atau remaja awal lebih sedikit dibandingkan anak usia kanak pertengahan dan akhir (80,6%).

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Daryono (2003) yang tidak menemukan adanya hubungan antara usia dan

82

gizi lebih. Namun tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh mifbakhudin (1996), dimana hasil penelitiannya mendapatkan adanya hubungan antara usia dengan kejadian gizi lebih. Gizi lebih pada anak memiliki kecenderungan untuk berlanjut hingga dewasa terutama pada anak usia 4-10 tahun (usia sekolah) sehingga perlu diupayakan untuk mencegahnya terjadinya gizi lebih ini sejak usia anak sekolah (octari,2008). 6.3.2 Jenis Kelamin

Jenis kelamin dianggap sebagai salah satu faktor yang berhubungan dengan kejadian gizi lebih. Jenis kelamin tampaknya ikut berperan dalam timbulnya gizi kebih mulai dari kegemukan hingga obesitas. Meskipun dapat terjadi pada ke 2 jenis kelamin namun umumnya lebih banyak terjadi pada perempuan. Hal ini disebabkan oleh pengaruh faktor endokrin, karena kondisi ini muncul pada saat saat adanya perubahan hormonal (Misnadiarly, 2007).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden di SD Muhammadiyah 06 Jakarta Selatan lebih banyak berjenis kelamin perempuan (54,5%) dibandingkan laki-laki (45,5%). Hal ini dikarenakan pada sekolah tersebut siswa kelas IV dan V memiliki jumlah siswa perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki. Hal ini sejalan dengan teori Mifbakhudin (2007) yang menyatakan bahwa perempuan memiliki peluang yang lebih besar dalam mengalami gizi lebih. Hasil persentase gizi lebih pada siswa kelas IV dan V di SD Muhammadiyah 06 Jakarta Selatan sebesar 75 siswa (45%). Dari hasil tersebut didapatkan bahwa kejadian gizi lebih banyak terjadi pada anak perempuan (45,6%) dibandingkan dengan anak laki laki (45,3%). Anak perempuan cenderung untuk mengalami gizi lebih dibandingkan anak laki-laki dikarenakan anak laki-laki lebih aktif dibandingkan dengan anak perempuan (Davidson dan Brich, 2001).

Penelitian ini menunjukkan tidak adanya hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian gizi lebih (Pvalue 0,977). Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Mifbakkhuddin (1996) dan Daryono

83

(2003) yang menyatakan tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian gizi lebih. Dijelaskan oleh WHO (2000), Perempuan Cenderung mengalami peningkatan penyimpanan lemak. Menurut hasil penelitian Anis Karomah (2013) menunjukkan bahwa perempuan cenderung mengkonsumsi sumber karbohidrat yang lebih kuat sebelum masa pubertas, sementara laki laki cenderung mengkonsumsi makanan yang kaya akan protein. Disamping itu, bertambahnya usia hingga mencapai pubertas, perempuan akan mengalami perubahan hormonal yang berpengaruh pada metabolisme lemak dan akhirnya mempengaruhi peningkatan berat badan.

Dalam penelitian ini usia anak dominan pada usia masa kanak pertengahan dan masa kanak akhir (80,6%) dan tidak ditemukan adanya hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian gizi lebih karena memang perubahan hormonal yang mempengaruhi peningkatan lemak belum seaktif hingga dicapai masa pubertas (Remaja) Davidsond dan Brich (2001).

6.3.3 Uang Saku

Uang saku merupakan salah satu variabel yang diuji hubungannya dalam penelitian ini. Uang saku yang rutin diberikan oleh orang tua kepada anaknya dapat membentuk sikap dan persepsi anak bahwa uang saku adalah hak mereka dan mereka bisa menuntut haknya. Kurang nya pengarahan orang tua terhadap penggunaan uang saku akan mendorong sang anak menggunakannya secara bebas. Dengan uang saku yang besar anak memiliki kecenderungan untuk memilih secara bebas apa yang akan dimakannya tanpa memperhatikan kandungan gizi nya.

Pada penelitian ini proporsi anak yang mengalami gizi lebih banyak terjadi pada anak yang uang sakunya > Rp 20.000 (52,5%) dibandigkan dengan anak yang uang sakunya < Rp 20.000 (43,2%). Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan antara uang saku dengan kejadian gizi lebih (Pvalue0,304). Penelitian ini sejalan dengan penelitian Nuraini (2013) yang menyatakan tidak adanya hubungan antara uang saku dengan kejadian gizi lebih.

84 6.4 Karakteristik Orang Tua

Karakteristik Orang Tua terdiri dari Pendidikan Terakhir, pekerjaan dan pendapatan keluarga.

Dokumen terkait