• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rekomendasi prioritas lebih rendah:

Permasalahan No. 7: Tekanan mulai terasa di tingkat kabupaten di seluruh Aceh untuk menghibahkan konsesi baru untuk minyak kelapa sawit.

Rekomendasi No. 7: Proses persetujuan dan pembaruan untuk menjajarkan kembali konsesi tanah diperlukan untuk menciptakan kapasitas dan konsensus dalam penggunaan perencanaan tanah, produksi minyak kelapa sawit berkelanjutan, dan model usaha yang bertanggung jawab secara social. Sebagai lanjutan dari lokakarya Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan Aceh pada Desember 2008, perlu didirikan sebuah komite peninjau ulang untuk izin konsesi dan pembaharuannya (HGU/Izin Prinsip) yang terdiri dari pegawai Dishutbun di tingkat propinsi dan kabupaten. Komite ini dapat bertemu per kuartal dan membuat rekomendasi ke kantor Gubernur tentang permohonan HGU saat ini dan dimasa mendatang. Prioritas untuk persetujuan harus diberikan ke proyek perintis kerjasama public-swasta yang menyertakan prinsip-prinsip berkelanjutan RSPO dan objektif visi “Aceh Green”.

Permaslahan No. 8: Keberadaan dari sumber investasi dalam ekspansi minyak kelapa sawit berkelanjutan di Aceh terhambat oleh resiko tinggi/persepsi ketidak amanan dan kurangnya promosi dan koordinasi investor yang efektif.

Rekomendasi No. 8: Pada tahun 2009, program Investment Climate Advisory Services IFC perlu menciptakan inisiatif khusus untuk memperbaiki iklim usaha untuk minyak kelapa sawit dan tanaman perkebunan lainnya. Pegawai yang sekarang maupun yang sebelumnya, serta konsultan dari Aceh Investor Outreach Office (IOO) dan/atau Badan Promosi dan Investasi Aceh harus saling merangkul dalam upaya ini. Upaya ini harus menyertakan membuat pengertian dan konsensus dalam resolusi untuk masalah hutan sektor swasta, yang saat ini tidak ada, karena adanya konflik .

Permasalahan No.9: Infrastruktur public yang mendukung untuk pembangunan sektor kelapa sawit berkelanjutan seperti feeder ports, tank farms, dan harvest roads tidak memadai. Rekomendasi No. 9: Sebelum April 2009, Pokja Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan yang baru berdiri perlu membuat komite infrastruktur minyak kelapa sawit dan membuat rancangan induk jangka panjang dengan kerjasama Dishutbun, Gaperda, serta para spesialis teknis kunci di BRR, World Bank, dan UNDP. Untuk batasan paling penuh, investasi swasta untuk perbaikan pelabuhan dan pembangunan pergudangan perlu di dorong melalui insentif pajak dan pengurangan pada batasan birokrasi dan.

Issue Number 10: Kurangnya konsistensi dalam keselamatan kesehatan dan pekerjaan,

udara, air dan pengendalian polusi tanah, serta efisiensi tenaga energi diantara fasilitas proses pasca panen di Aceh.

Rekomendasi No. 10: Peraturan legislatif Qanun untuk perkebunan harus dapat di perkuat dan dimasukkan dalam referensi dari peraturan sekarang untuk keamanan dan kesehatan dalam pekerjaan di propinsi, udara, air dan pengendalian polusi tanah. Masukkan khusus untuk memperkuat pengendalian polusi harus disertakan dalam dukungan dari komponen Pembaharuan Energi yang merupakan bagan dari visi “Aceh Green” dengan menciptakan insentif-insentif

investasi seperti pendanaan mekanisme pembangunan clean development mechanism (CDM) dan pendanaan carbon.

Permasalahan No. 11: Informasi, Pengetahuan, dan pengalaman dalam praktek-praktek produksi paling baik nyaris tidak tersedia untuk petani kecil dan bervariasi antara perkebunan besar.

Rekomendasi No. 11: Dalam kerjasama dengan Pokja Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Dishutbun dan anggota-anggota pemimpin Gaperda seharusnya mensponsor bersama observasi/studi tur ke perkebunan besar dan petani kecil dan penggilingan di propinsi-propinsi lain Sumatra Utara (ie., LonSum), Riau (ie. WWF/Asian Agri), dan Kalimantan Selatan (ie. PT Minamas/KKPA SHE). Kelompok kerja ini bersama Gaperda bisa mensponsori kontes tahunan dan lokakarya satu hari untuk produksi dan praktek-praktic pasca panen yang inovatif di Aceh.

Permasalahan No. 12: Data tentang tanah konsesi yang ada (HGUs) sering tidak memadai dan tidak akurat.

Rekomendasi No. 12: Dishutbun Aceh dan mitra-mitra utama dalam Aceh Forest Redesign Team (TIPERESKA) seperti FFI harus mensponsori laporan khusus dan menjalankan analisa kekosongan dari hasil dan laporan ahkir tentang konsesi minyak kelapa sawit pada December 2008. Hal ini seharusnya menjurus kepada identifikasi dari mekanisme kolaborasi untuk berbagi dan memperbarui data mengenai tanah-tanah konsesi. Khususnya, hal ini dapat termasuk kreasi dalam skala kecil dari upaya berlanjut kepada proyek TIPERESKA yang terfokus kepada sektor perkebunan minyak kelapa sawit.

Permasalahan No. 13: Penggunaan Tanah dan kepemilikan tanah sering tidak diakui secara legal atau demarkasi, hingga menimbulkan sengketa tanah dan penahanan investasi untuk perluasan perkebunan.

Rekomendasi No. 13: Pokja Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan seharusnya mensponsori peninjauan untuk sarana perencanaan, teknologi pemetaan, dan mekanisme hukum untuk menstabilkan petani kecil dan sistem hak guna usaha tradisional. Upaya ini harus melibatkan badan-badan pemerintah dan proyek seperti Dishutbun, Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan BAPPEDA, serta penelitian dan kebijakan LSM. Peninjauan kembali ini harus menghasilkan rekomendasi yang konkret untuk rancangan Qanun untuk perkebunan (Rekomendasi 2) dan bimbingan teknis untuk proyek perintis publik-swasta.

Permasalahan No. 14: Keberadaan tenaga kerja loka dan kapasitas organisasi petani kecil menjadi rintangan di beberapa area dan bisa menghancurkan secara perlahan-lahan atau menahan pembangunan perkebunan.

Rekomendasi No. 14: Kelompok kerja dalam kolaborasi dengan badan pemerintah yang terkait dan LSM seperti Eye on Aceh, Oxfam dan Aceh Social Development (ASD) seharusnya menciptakan komite khusus untuk tindakan penelitian dan peninjauan ulang kebijakan untuk

tema-tema keberadaan tenaga kerja dan pembangunan kapasitas organisasi untuk petani kecil. Komite tersebut harus mensponsori konsultasi-konsultasi pemangku kepentingan dengan sektor swasta, LSM dan masyarakat madani untuk topic-topik berikut ini: a) kebutuhan tenaga kerja minyak kelapa sawit dan adanya kekosongan, b) kontrak resiko tenaga kerja dan penaksiran kesempatan, c) meninjau urang kebutuhan investasi untuk infrastruktur social (perumahan, sekolah, fasilitas keagamaan, jalanan, dll...), dan, d) perkiraan pembangunan kapasitas organisasi petani kecil dan analisa biaya. Pada pertengahan tahun 2009, komite ini akan mengajukan penemuannya melalui forum public dan laporan ringkas.

Permasalahan No. 15: Peran dan status dari badan koordinasi Aceh Plantation Development

Authority (APDA)- otoritas pembangunan perkebunan Aceh – tidak jelas.

Rekomendasi No. 15: Gugus tugas khusu yang terdiri dari anggota-anggota kunci dari Tim Penasehat Gubernur dan Sekretariat “Aceh Green” perlu bertemu secara terpisah dengan direktur APDA, pejabat senior di Dishutbun Aceh, dan anggota Pokja Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan untuk meninjau progress APDA hingga kini. Gugus tugas ini perlu merumuskan sebuah laporan dan rekomendasi kepada Gubernur mengenai performa APDA, strukturnya dan peran masa depannya sebelum Maret 2009.

Dokumen terkait