• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rekomendasi Minyak Kelapa Sawit Aceh Green FINAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Rekomendasi Minyak Kelapa Sawit Aceh Green FINAL"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

Prarencana

 

Laporan

 

dan

 

Rekomendasi

 

Strategi

 

Pembangunan

 

Minyak

 

Kelapa

 

Sawit

 

Berkelanjutan

 

untuk

 

Aceh

 

Green

 

 

 

Thomas B. Fricke Consultant Sanur, Bali, Indonesia

Dipresentasikan kepada:

Graeme Harris, Bruce Wise, Ernst Bethe International Finance Corporation

Advisory Services Program Jakarta, Indonesia

(2)

Daftar Isi

Ringkasan Eksekutif………. 3

Pendahuluan……….. 4

I. Analisa Situasi………..………..……….. 7

II. Permasalahan Utama………..……….. 14

III. Rekomendasi Utama dan Sekunder untuk tindakan.……… 20

Annexes: 1. Proyek perintis percobaan……….. 31

2. Peta & Illustrasi Aceh Green …..………. 38

3. Ringkasan dari rapat mejabundar untuk Minyak Kelapa Sawit berkelanjutan (RSPO)………..……….…… 40

(3)

Ringkasan Eksekutif:

Laporan ini memberikan penemuan awal dan rekomendasi untuk pengembangan suatu strategi guna minyak kelapa sawit yang berkelanjutan dibawah visi Aceh Green. Visi Aceh Green, yang dibentuk oleh Gubernur Irwandi Yusuf, member kerangka kerja untuk pemulihan ekonomi yang berkelanjutan untuk propinsi Aceh, Indonesia, pasca kerusakan Tsunami yang menghancurkan dan konflik berkepanjangan yang baru berakhir di tahun 2005 dengan kesepakatan perdamaian.

Minyak Kelapa Sawit adalah tanaman panen dengan nilai ekspor paling tinggi di Aceh, melibatkan lebih dari 260,000 hektar dan member keuntungan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada sekitar 200,000 orang. Minyak Kelapa Sawit di produksi di 12 dari 23 kabupaten Aceh sepanjang pesisir Barat dan Tengara. Nilai FOB dari minyak kelapa sawit mentah (CPO) yang diekspor dari Aceh di saat ini -yang sedang mengalamidepresi harga global- masih diperkirakan bernilai lebih dari US$150 juta dollar Amerika. Oleh sebab itu, pengembangan sector minyak kelapa sawit sebagai sumber penghasilan utama untuk produk-produk makanan dan bahan bakar merupakan salah satu prioritas tertinggi visi Aceh Green yang dinyatakan.

Sektor minyak kelapa sawit Aceh, yang belum pulih dari dampak kekacauan dan kehancuran konflik dan bencana alam, menghadapi beberapa permasalahan genting.  Agar produksi minyak kelapa sawit berkelanjutan dan sukses dibawah Aceh Green, 6 dari 15 permasalahan ini perlu ditangani sebagai prioritas terlebih dahulu:

- Kurangnya pengertian, kesadaran dan pengalaman dalam lahan minyak kelapa sawit yang berkelanjutan

-Kurangnya dukungan terhadap kebijakan dan kerangka peraturan-peraturan

-Minimnya pendanaan dan dukungan teknis untuk perkebunan kecil yang ada maupun yang prospektif

- Ancaman terhadap hutan konservasi bernilai tinggi (HCVFs) dan ekosistim rawa gambus yang kritis didalam konsesi yang baru diusulkan maupun yang sudah ada

(HGUs),

-Tidak memadainya pengadaan dari biji bersertifikas yang berkualitas tinggi dan materi tanaman, dan,

- Rendahnya harga di batas perkebunan serta kurangnya penggilingan untuk kelapa sawit mentah membatasi perluasan perkebunan besar dan kecil.

Agar menganggapi permasalahan-permasalahan ini, penelitian ini menawarkan rekomendasi berikut sebagai tindak lanjut:

1. Menciptakan kelompok kerja Minyak Kelapa Sawit Aceh yang berkelanjutan untuk mendukung Gubernur Irwandi untuk membimbing proses sekitar minyak kelapa sawit berkelanjutan dan rapat meja bundar untuk minyak kelapa sawit (RSPO) dengan pemerintah, sector swasta, LSM dan petani kecil.

2. Memperbarui dan memperbaiki regulasi propinsi Aceh Qanun tentang perkebunan untuk menciptakan kapasitas dan consensus tentang perencanaan tanah, konsensi persetujuan dan proses monitoring, perlindungan lingkungan dan tenaga kerja, serta produksi dan proses minyak kelapa berkelanjutan.

(4)

contoh landasan untuk kerjasama di Aceh. Berbagai pendana seperti Departemen Perkebunan Propinsi, Menteri Keuangan untuk program Revitalisasi Kebun, UNDP, etc. harus terlibat dan bekerja sama untuk member dukungan yang supplemental kepada proyek-proyek perintis semacam ini.

4. Menciptakan initiative khusus di seluruh propinsi Aceh untuk menanggapi dan pengembangkan mechanism kompensasi untuk ancaman kepada hutan yang nilai konservasinya tinggi (HCVFs) dan ekosistem kritis rawa gambut oleh penanaman minyak kelapa sawit dibawah sponsor sekreatriat Aceh Green,yang didanai oleh upaya khusus seperti IFC’s Biodiversity and Agricultural Commodities Program (BACP); program IFC untuk biodiversifikasi dan Komoditas budidaya tanaman.

5. Menciptakan program di tingkat propinsi untuk program sertifikasi dan distribusi bibit minyak kelapa sawit dalam kerjasama antara Departemen Perkebunan dan Asosiasi Produsen Tanaman Aceh (Gaperda).

6. Memperbaiki rantai pengadaan dengan mempromosikan tanaman dan diversifikasi penghasilan di perkebunan, mempromosikan perbaikan yang berkualitas, member insentif untuk pengembangan penggilingan, dan menciptakan transparansi harga.

Pendahuluan:

Program Penghidupan IFC di Aceh & Nias, sebuah komponen dari program jasa IFC Advisory, mengimplementasikan proyek-proyek untuk memperbaiki penghidupan dari usaha-usaha yang terkena dampak dari konflik dan bencana tsunami di dalam sector-sektor perkebunan, budidaya air dan Pariwisata. Program ini memfokuskan diri kepada memperbaiki produktifitas, hubungan – hubungan ke pasar, dan memberikan fasilitas akses terhadap pendanaan ke sector-sektor ini. Di April 2008, IFC menciptakan tiga kontrak-kontrak konsultasi untuk membantu dalam mengembangkan strategi dan guna mengidentifikasikan kesempatan-kesempatan investasi baru untuk tiga komoditas kunci— minyak kelapa sawit, kopi, dan cacao— dibawah kerangka kerja ‘Visi Aceh Green’ Gubernur Aceh Irwandi Yusuf’s (see Annex 2). Penunjukkan tugas-tugas ini berada dibawah komponen 3 Aceh Green’s (Petani Akar Rumput dan Pembangunan Perkebunan Tanaman Kecil dalam kerjasama dengan sector swasta dan Perkebunan dan Asosiasi Infrastruktur),didalam area tema utama dari Achieving Food and Livelihood/Income Security through Sustainable Economic Development (MencapaiMakanan dan Penghidupan/ Keamanan Pendapatan melalui Pengembangan Ekonomi Berkelanjutan).

Tugas ini secara khusus utamanya memfokuskan diri terhadap rehabilitasi dan perluasan/ekspansi dari perkebunan kecil dan besar di sector minyak kelapa sawit di Aceh. Pembangunan dari perkebunan minyak kelapa sawit dan infrastruktur terkait dapat diperkirakan sebagai sebuat tujuan yang memimpin dalam menciptakan kesempatan penghidupan jangka panjang dan mendukung proses perdamaian di propinsi yang kaya akan sumbernya. Adalah diusulkan bahwa sector minyak kelapa sawit dikembangkan melalui perluasan perkebunan swasta besar (inti) dan perkebunan kecil outgrower dan koperasi perkebunan(plasma). Perkebunan inti akan menyiapkan manajemen, sumber capital, dukungan teknis sementara perkebunan plasma akan memiliki (e.g., hak) dan menjalankan perkebunan outgrower mereka sendiri.

(5)

Pembangunan Perkebunan Aceh, yang dimodelkan serupa dengan organisasi pemerintahan Malaysia FELDA (Federal Land Development Agency). FELDA memiliki lebih dari 45 tahun pengalaman mengelola perkebunan kecil untuk proyek-proyek minyak kelapa sawit, karet dan cocoa di Malaysia. Bapak Gubernur tadinya berharap untuk menanda-tangani kesepakatan kerja sama atau Memorandum of Understanding (MOU) untuk dukungan teknis dan manajemen dengan FELDA, tetapi hal ini belum terjadi karena berbagai alas an politis dan operasional.

Bapak Gubernur ingin memastikan bahwa baik pengembang minyak kelapa sawit yang sudah ada dan yang baru di Aceh— pemerintah, swasta atau perkebunan kecil—akan mengikuti dengan seksama prinsip-prinsip dan criteria dari rapat meja bundar tentang Minyak Kelapa Sawit yang berkelanjutan (RSPO), dengan basis di Kuala Lumpur, Malaysia (Annex 3). Inisiatif global untuk usaha, pemerintah dan LSM ini mencipatakan standar yang tinggi dan insentif yang kuat untuk tanggung jawab lingkungan dan social dalam industry global minyak kelapa sawit. Oleh sebab itu, Aceh Green berupaya untuk menstimulasikan kerjasama antara para pelaku di Aceh agar dapat memaksimalkan kesamaan dengan RSPO dan untuk meminimalkan permasalahan-permasalahan utama yang berhubungan dengan perluasan minyak kelapa sawit di Indonesia dan tempat lainnya. Permasalahan ini termasuk hutan dan perusakan pada habitat, emisi/hilangnya karbon dan konflik penggunaan tanah. Bila prinsip-prinsip RSPO dan criteria nya disebarluaskan dan di-institusikan, Aceh dapat menjadi contoh-model untuk produksi minyak kelapa sawit berkelanjutan di seluruh dunia.

Oleh sebab itu, seorang konsultan tehnis di pekerjakan pada April 2008 untuk membantu mengidentifikasikan kebijakan dan legislative yang mendukung, merencanakan perkebunan dan rehabilitasi penggilingan serta strategi pembangunannya, dan mengusulkan kesempatan investasi untuk sector minyak kelapa sawit untuk propinsi Aceh. Dalam beberapa bulan yang lalu, konsultasi yang ekstensif dengan pelaku pemerintah, sector swasta dan LSM utama di Jakarta, Medan, Banda Aceh, dan berbagai area produksi lainnya di Aceh telah berjalan. Tujuan utama dari penelitian adalah untuk:

-Mengembangkan strategi untuk mengimplementasikan visi “Aceh Green” melalui pengembangan perkebunan minyak kelapa sawit yang berkelanjutan,

-Mengidentifikasikan kesempatan penghasilan dan pekerjaan untuk mendorong perekonomian dan menjaga kedamaian,

-Mengaktifasikan industry minyak kelapa sawit sebagai mesin pertumbuhan baik untuk makanan dan tanaman yang dapat menjadi perluasan bahan bakar, dan,

-Mendukung peluncur dari pendekatan beragam klien yang menyertakan bisnis, pemerintah, para petani kecil, dan LSM.

Dalam menjalankan tugas ini, si konsultan telah secara aktif melibatkan beberapa pelaku utama:

-Beberapa pimpinan utama dan badan pemerintah di tingkat propinsi, termasuk:

 Bapak Gubernur Irwandi sendiri,

 Departemen Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun),

 Tim Ekonomi Gubernur,

 Otoritas Pembangunan Perkebunan Aceh (APDA)

(6)

 Badan Manajemen Ekosistem Leuser (BPKEL-Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser),

-Beberapa institusi nasional dan internasional, seperti Rapat Meja Bundar untuk Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan (RSPO) di Kuala Lumpur dan Jakarta, United Nations Development Program (UNDP): Program Pembangunan PBB, the Reconstruction and Rehabilitation Agency for Aceh and Nias (BRR): Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi untuk Aceh dan Nias , Menteri Keuangan, dan the International Organization on Migration (IOM) : Organisasi Internasional untuk Migrasi.

-Pemimpin local dan Kabupaten serta pegawai pemerintah di dalam area produksi utama sepanjang pesisir bagian Barat dan Timur dari propinsi, termasuk Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Selatan, Aceh Singkil, Subullusalam, Bireun, Aceh Utara, Aceh Timur, dan Aceh Tamiang.

-Berbagai ragam pembangunan, lingkungan dan advokasi LSM, termasuk Oxfam, Eye on Aceh, Aceh Social Development (ASD), Flora and Fauna International (FFI), PanEco/Yayasan Ekosistim Leuser (YEL), Worldwide Fund for Nature (WWF), dan Conservation International.

-Organisasi-organisasi petani dan koperasi diberbagai kabupaten Aceh, termasuk badan-badan local maupun perwakilan propinsi di Bireun, Aceh Utara, Nagan Raya, and Aceh Jaya.

-Asosiasi produsen perkebunan sector swasta, Gabungan Pengusaha Perkebunan Daerah Aceh (Gaperda) dan perusahaan-perusahaan minyak kelapa sawit lokal, nasional dan internasional lainnya. Secara khusus, saya telah mengunjungi perkebunan-perkebunan dan penggilingan dari beberapa perusahaan kunci yang saat in aktif di Aceh, termasuk Socfindo, Mopoli Raya, Risjadson Sejahtera Agrobusiness (RSA), Astra Agro Lestari, dan Minamas/Sime Darby.

-Berbagai ragam organisasi dan inisiatif-inisiatif pendanaan, termasuk program rehabilitasi perkebunan dari Menteri Keuangan (Menkeu Revit Kebun), dan juga institusi swasta, Pemerintah Indonesia, dan institusi-institusi multilateral.

Sejak beberapa bulan yang lalu, penelitian ini memfokuskan diri kepada aktifitas berikut ini:

 Berkonsultasi dengan beberapa badan pemerintah utama di tingkat propinsi dan kabupaten mengenai tantangan pada saat ini, kesempatan dan dukungan teknis yang diperlukan didalam rehabilitasi dan ekspansi sektor minyak kelapa sawit Aceh.

 Kerjasama dengan para direktur dan anggota-anggota dari Gaperda dalam memperkenalkan visi “Aceh Green” dan prinsip-prinsip RSPO serta criteria nya (P & C).

 Membaca ulang data dan analisa lapangan yang dilakukan oleh LSM lokal dan internasional, khususnya dalam mengingat kebutuhan dan perspektif petani kecil.

(7)

 Bertemu dengan pejabat-pejabat senior di lembaga keuangan nasional maupun internasional dan bank-bank swasta (ie. Kementerian Keuangan, IFC, Rabobank, HSBC) untuk memastikan bahwa kepentingan dan sumber-sumber yang ada untuk investasi langsung di sector minyak kelapa sawit Aceh.

 Mengidentifikasikan calon-calon area produksi dan mitra koperasi untuk proyek lapangan perintis yang dapat menunjukkan cara untuk maju kedepan yang efisien biaya.

 Memfasilitasi pertukaran antara partisipan pemerintah, LSM dan sector swasta dari Aceh yang memiliki mitra kerja yang dari Indonesia maupun Internasional lainnya pada saat rapat meja bundar tahunan untuk minyak kelapa sawit berkelanjutan (RSPO) di Nusa Dua, Bali pada November 2008.

 Mendukung kerja dari Steering Committee untuk Minyak Kelapa Sawit berkelanjutan guna mengorganisasikan dan melaksanakan Workshop pertama Aceh untuk Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan yang telah dilaksanakan secara sukses pada 12-13 December 2008 di the Hermes Hotel, Banda Aceh.

Sesuai dengan hal itu, ringkasan awal dari laporan ini menyajikan penemuan dari studi tersebut dengan sekelompok rekomendasi-rekomendasi yang kronkret.

Penemuan dan rekomendasi-rekomendasi dari penelitian ini telah dipresentasikan dalam bentuk awal secara langsung kepada para pelaku usaha dan klien serta di acara-acara seperti Reconstruction and Rehabilitation Agency (BRR): Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi untuk

(8)

I. Analisa Situasi

A. Fakta mendasar tentang Sektor Minyak Kelapa Sawit Aceh:

Aceh memiliki sekitar 261,000 hektar perkebunan minyak kelapa sawit dari perkebunan besar dan kecil, yang secara kolektif memproduksi 2 juta ton buah segarnya (FFB) pada tahun 2007. Industri ini terkonsentrasi pada lima kabupaten (districts) sepanjang daerah pesisir di Barat dan Tenggara : Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Tamiang, Nagan Raya, dan Aceh Singkil (termasuk daerah kepemerintahan baru Kotamadya dari Subullusalam). Ke enam kabupaten dan kotamadya ini merupakan 84% dari total hektar yang ditanami dan produksi, dan telah menjadi focus dari kebanyakan usulan konsesi baru dan skema perluasan petani kecil. Empat kabupaten laiinnya (Aceh Jaya, Aceh Barat, Aceh Barat Daya, dan Bireun) juga dipertimbangkan sebagai calon daerah pertumbuhan yang kokoh, sementara lima kabupaten dan kotamadya tambahan lainnya adalah potensi yang lebih rendah. Masa depan perluasan minyak kelapa sawit di Aceh di dipertinggi oleh factor-faktor berikut ini:

1. Kandungan tanah yang mendukung, cuaca dan pola-pola hujan

2. Menunjukkan hasil yang tinggi dengan manajemen dan masukan yang optimal

3. Permintaan pasar yang kuat di tingkat nasional dan internasional, baik untuk aplikasi ke bahan makanan maupun bahan bakar, dan

4. Dukungan pemerintah di tingkat propinsi dan kabupaten untuk pembangunan petani kecil.

Tabel berikut ini adalah berdasarkan komposisi data tahun composite 2007 oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan propinsi (Dishutbun) dan Departemen Perkebunan, yang memberikan ringkasan pendek dari status sektor minyak kelapa sawit Aceh pada saat ini. Nilai-nilai ini berdasarkan data yang diperoleh dari kantor-kantor Dishutbun di tingkat kabupaten. Juga berdasarkan data lokal, di Table 2 halaman tersebut merincikan distribusi perkebunan minyak kelapa sawit di Aceh dari setiap kabupaten. Data data ini memiliki persamaan dengan data hektar perkebunan besar maupun petani kecil, walaupun kerja lapangan menunjukkan akurasi yang tidak dapat di validasikan pada tingkat kabupaten.

Total Palm Oil Plantations (2006/2007) Total Productive Unproductive Total Average Estimated Source: Dishutbun NAD Hectares Hectares Hectares FFB FFB/Ha. CPO/Ha.

Perkebunan Rakyat (Smallholders)

Table 1: Total Perkebunan Minyak Kelapa Sawit di Propinsi Aceh 2007

(9)

perkebunan besar. Data ini mengkonfirmasikan bahwa sektor minyak kelapa sawit Aceh belum pulih dari dampak-dampak konflik di era tahun 1990-an hingga ke masa Perdamaian tercatat di tahun 2005. Banyak dari petani kecil dan perkebunan besar tidak memiliki dana atau sumber tenaga kerja untuk menanam atau merehabilitasi kembali perkebunan mereka. Banyak yang tidak mampu untuk memperbaiki input dan menjalankan praktek-praktek yang paling baik untuk memperbaiki fertilitas, rumput liar dan pengelolaan hama untuk meningkatkan hasil.

Di masa konflik, diperkirakan total sebanyak 85,000 hektar atau 33% dari total perkebunan (52,712 hektar dari petani kecil dan 32,316 hektar dari perkebunan besar) pada dasarnya di terlantarkan atau diabaikan (Eye on Aceh, 2007). Kebanyakan dari petani kecil, khusus nya transmigrasi dari luar Aceh, tidak dapat bertetap tinggal di perkebunan. Kebanyakan dari area produksi minyak kelapa sawit terkena dampak, sampai di batas tertentu, dari konflik tersebut dimana terdapat 21,000 hektar tambahan yang sebagian atau secara signifikan terkena bencana Tsunami. Yang ditunjukkan oleh data tersebut sekitar 75,666 hektar atau sekitar 29% dari total perkebunan di perkirakan sebagai lahan tidak produktif atau masih belum direhabilitasi sejak masa konflik.

Salah satu dari peninggalan masa konflik adalah kesulitan yang terus ada dalam masalah keuangan yang dihadapi oleh kebanyakan perusahaan perkebunan minyak kelapa sawit di propinsi tersebut. Banyak dari mereka tidak dapat membayar kembali atau memberikan jasanya hutangnya kembali ke bank swasta dan pemerintah. Dengan penumpukan dari bunga yang tidak terbayar serta dasar hutang prinsipnya, banyak dari perusahaan-perusahaan ini masuk dalam “daftar hitam” bank-bank tersebut. Hal ini merupakan kesulitan dasar dalam memulihkan dan menumbuhkan sektor minyak kelapa sawit di Aceh.

Distribution of Palm Oil Plantations by Kapubaten Aceh Province

Source: Eye-on-Aceh/Dishutbun (2007)

Large Estates Smallholder

(Kebon Besar) (Kebon Rakyat)

(10)

48,646

Table 2: Distribusi perkebunan minyak kelapa sawit Aceh (2007)

Fitur lain dari sektor perkebunan minyak kelapa sawit di Aceh adalah data yang tidak lengkap dan terkadang kontras di dalam sektor swasta dan konsesi parastatal (HGU or Hak Guna Usaha). Hal ini dapat terlihat dari data yang terdapat di Table 3 oleh Dishutbun untuk kabupaten Nagan Raya, yang peringkatnya adalah merupakan dua atau tiga kabupaten teratas dari total hektar yagn di tanamkan. Ringkasan ini diambil dari laporan tahunan untuk 2005 yang dikeluarkan setelah era konflik mengindikasikan bahwa hanya 36,735 hektar atau sedikit diatas separuh area konsesi yang diberikan dari 72,067 hektar yang sesungguhnya di tanamkan. Dishutbun lokal juga mengkelompokkan sekitar 15,000 hektar dari perkebunan besar dan 4,000 hektar dari perkebunan kecil yang statusnya “tidak aktif”. Dalam masa penelitian ini, peninjauan ulang dan pemetaan dari 99 tanah HGUs yang diberikan dijalankan oleh LSM Eye on Aceh, Oxfam, dan FFI, bekerja sama dengan the Forestry Redesign Team (TIPERESKA) yang merupakan bagian dalam kantor utama Dishutbun di Banda Aceh. Diperkirakan laporan ini, penemuannya, serta pemetaan digitalnya akan selesai pada February 2009.

Nagan Raya Concession (HGU) and Small-

Total

HGU Planted Active Inactive

Holder Data: Dishutbun Nagan Raya 2005 Area Ha. Area Ha. Area Ha. Area Ha.

Table 3: Konsesi Nagan Raya (HGU) dan data petani kecil 2005

(11)

kapasitas 715 ton/hari atau rata-rata kapasitas pengilingan sekitar 31 ton/jam. Tim ini member indikasi bahwa 494 ton dari penggilingan ini sekarang digunakan, atau 69% dari kapasitas. Kelebihan akses kapasitas ini sesungguhnya bukan hal yang dihadapi oleh banyak area lainnya dimana banyk perkebunan tidak terpanenkan atau hasilnya di transportasikan dengan kendaraan truk dengan jarak yang begitu panjang dikarenakan masalah logistic seperti kurangnya tenaga kerja, kurangnya akses jalanan, dan kurangnya infrastruktur system panen. Karena kualitas yang tidak konsisten, petani kecil produksi FFB production sering di berikan harga diskon atau dibeli dengan kuantitas yang terbatas oleh penggilingan perkebunan besar.

Berdasarkan rata-rata hasil CPO Aceh dari buah segar gelondongan (FFB) dari sekitar 19% (Source: Gaperda), laporan panen akan memberikan hasil sekitar 384,000 ton CPO. Pada saat penelitian ini di mulai pada May 2008, output akan menghasilkan nilai di sekitar US $320-$350 juta dolar. Tetapi, sejak itu harga CPO telah turun secara tajam dikarenakan pengadaan yang berlebih dari minyak sayur secara global dari US$1,000/ton lebih turun dibawah US $500/ton. Nilai saat ini dari pengeluaran Aceh dinilai sekitar US$150-$180 million. Harga-harga diperbatasan perkebunan di banyak area dari Aceh telah turun ke tingkatan (Rp300-500/kg for FFBs) yang hanya memiliki keuntungan marginal yang sedikit atau tidak menarik kepada para petani kecil.

Saat ini tidak terdapat tempat untuk memproses di tingkat sekunder untuk biji kelapa sawit (PKO) atau penyaringan di Aceh. Pelabuhan untuk penyetoran atau tangki perkebunan untuk penyimpanan nyaris tidak ada. Hal ini merupakan kontras yang sangat tajam terhadap beragarm infrastruktur pasca-panen di Sumatera Utara dan Riau yang begitu dekat, termasuk industry-industri makanan yang berbasis kelapa sawit, biodiesel, bahan kimia oleo serta tanaman

surfactant, dan fasilitas pelabuhan yang ekstensif. Akibatnya, Aceh tetap menjadi produsen bahan mentah, dengan harga lokal yang relatif lebih tertekan karena keterbatasan logistic dan hasil kualitas yang disebutkan diatas. Sebagai hasil, secara virtual semua dari produksi saat ini di jual sebagai produk domestic dan secara tidak langsung di ekspor melalui pelabuhan Belawan di Sumatera Utara.

Walaupun dengan segala tantangan dan keterbatasan, penelitian ini mendapatkan secerah sinar harapan untuk masa depan sektor minyak kelapa sawit Aceh yang sepertinya depresi menyebar merata di seluruh propinsinya. Dimana kebanyakan dari petani kecil dan beberapa perkebunan besar masih tertinggal dalam produktivitas dan penghasilan, beberapa dari perusahaan swasta besar di Aceh, terutama Socfindo, Astra Agro, Mopoli Raya, dan Minamas/Sime Darby, telah memiliki perkebunan yang berjalan dengan baik dan memproduksi lebih dari 20 tons of FFBs per hektar, serta penggilingan yang berjalan dengan efisien dan baik. Socfindo,perusahaan asing/internasional murni terbesar yang sudah berdiri di Aceh sejak 1930s, memproduksi rata-rata hamper 7 ton CPO per hektar dalam perkebunannya yang sudah berdiri sejak lama di Nagan Raya. Sebagai estimasi kasar pribadi, lima dari perusahaan yang memimpin di Aceh sepertinya memproduksi sekitar 65% dari total produksi di sekitar 25% dari tanah yang diperuntukkan bagi minyak kelapa sawit. Dua dari perusahaan ini, Socfindo dan Minamas/Sime Darby, merupakan anggota dari RSPO dan sedang dalam process mengejar sertifikasi untuk perkebunan dan penggilingan di Aceh dan Indonesia secara menyeluruh. Juga, beberapa dari hal ini dan perusahaan-perusahaan lain secara aktif mengejar kerjasama dengan petani kecil (plasma) sebagai bagian dari skema perluasan mereka.

(12)

keluarganya, perkebunan dan manajer penggilingan serta pekerjanya, transportasi dan anggota jasa industry yang berlokasi di area yang mewakili lebih dari 50% massa tanah di Aceh. Sebagaimana di visikan dalam strategi pembangunan dan investasi “Aceh Green”, industri minyak kelapa sawit memiliki potensi untuk memberikan kesempatan ekonomi yang luas dan mendukung proses kedamaian bila jalan dan cara ditemukan utnuk membuka potensinya.

B. Inisiatif-inisiatif Minyak Kelapa Sawit saat ini di Aceh

Saat ini terdapat beberapa inisiatif di Aceh yang telah berupaya untuk menangani tantangan dan potensi dari sektor minyak kelapa sawit. Seperti sektor-sektor ekonomi lainnya, kebanyakan dari upaya ini berjalan secara individual dengan koordinasi yang minimal. Hal yang masuk dalam kategori adalah:

 Upaya Networking atau membuat jaringan,

 Rehabilitasi dan perluasan perkebunan pemerintah untuk petani kecil,

 Skrema investasi swasta,

 Program-program bantuan teknis, dan

 Proyek-proyek penelitian.

Inisiatif-inisiatif khusus yang berbasis di atau relevan ke Aceh termasuk:

1. Komite Pengendalian Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan Aceh

Diluncurkan awal tahun 2008 oleh kelompok LSM gabungan (Eye on Aceh, Oxfam, FFI, dan lainnya), kelompok ini sekarang telah menyertakan badan-badan utama pemerintah dan organisasi sektor swasta di Aceh, termasuk Dishutbun dan Gaperda. Kelompok ini diketuai secara bersama oleh Pak Masnun, Direktur Dishutbun – Departemen Perkebunan dan Pak Samsul Bahri, dari LSM Advokat Eye on Aceh. Setelah beberapa perencanaan dan rapat organisasi dari May-October 2008, komite pengendalian bisa secara sukses mengatur dan menjalankan lokakarya selama 2 hari di Banda Aceh pada December 2008 yang membawa 200 peserta dari pemerintah propinsi dan lokal, sektor swasta, LSM-LSM dan produsen.

Lokakarya ini berupaya untuk mempresentasikan konsep dari minyak kelapa sawit berkelanjutan dan RSPO serta membuat fondasi untuk upaya jangka panjang. Lokakarya tersebut juga menjadi contoh dari kolaborasi beragam pemangku kepentingan, termasuk kepemimpinan yang mendukung dari kepala Dishutbun Pak Hanifah, Sekretaris Jendral Gaperda, Pak Sabri Basyah, Pak Hasan Sastra dan Pak Yakob dari Tim Ekonomi Bapak Gubernur Irwand, dan pimpinan-pimpinan LSM utama seperti Eye on Aceh’s; Bahri dan Ian Singleton dari PanEco. Di hari pertama dan pagi pada hari kedua, terdapat beberapa presentasi yang luar biasa bersumber dari orang-orang diluar Aceh dan orang-orang kunci dari Aceh. Beberapa pakar utama dalam bidang minyak kelapa sawit berkelanjutan memberikan presentasi, termasuk Desi Kusumadewi dari RSPO Indonesia Liaison Office (RILO), Muhammad Salim dari Unilever, Arifin Lambaga dari PT Mutuagung Lestari, Andi Kiki dari Kalimantan Tengah RSPO Sustainable Palm Oil Working Group, Amol Titus dari IndonesiaWISE, dan Mohamad Parabaharan dari PT Minamas/Sime Darby Sdn Bhd.

(13)

Sesi-sesi ini penuh semangat dan menghasilkan beberapa rekomendasi yang akan di kompilasikan oleh panitia lokakaryanya sebentar lagi. Pandangan konsensus antara panitia dan partisipan adalah acara ini memberikan dorongan besar kepada komponen minyak kelapa sawit berkelanjutan dari Visi “Aceh Green” Bapak Gubernur.

2. Program Ekspansi dan Rehabilitasi perkebunan petani kecil

Di koordinasi oleh Departemen Perkebunan propinsi, program-program ini telah mentargetkan pembangunan dan rehabilitasi lebih dari 37,000 hektar perkebunan minyak kelapa sawit independen dari periode tahun 2007-2010 kepada sekitar 12 kabupaten di Aceh. Kebanyakan dari pendanaan adalah bagian dari anggaran belanja Departemen untuk propinsi, dengan pendanaan awal dari Asian Development Bank (ADB) dan BRR di area-area yang terkena dengan Tsunami. Kegiatannya termasuk pengembangan pembibitan, penanaman lagi, dan rehabilitasi untuk perkebunan yang ada maupun yang baru. Anggaran belanja per hektar diantara Rp 5 ke 10 juta, yang hanya cukup untuk menutupi biaya dari pembersihan tanah, persiapan dan penanaman dari bibit untuk petani kecil. Permasalahan dan keterbatasan dari pendekatan ini dijelaskan di bagian laporan berikut ini.

3. Menyelidiki Kesempatan Investasi Sektor Swasta

Sejak dua tahun terakhir, beberapa perusahaan swasta telah mencari kesempatan untuk menggiatkan kembali atau mengambil HGU yang ada dan mengembangkan konsesi baru minyak kelapa sawit. Keadaan ini termasuk perusahaan lokal, nasional dan terkadang internasional, kebanyakan dari Malaysia. Kebanyakan, walaupun tidak semuanya, dari perusahaan ini adalah anggota dari Gaperda dan/atau dari Indonesian Palm Oil Producer’s Association (GAPKI). Mereka secara aktif menjalankan survey, bertindah sebagai penghubung dengan kabupaten local setingkat kepala dan pegawai Dinas, serta menyaring calon mitra kerja lokal. Di beberapa kesempatan, para pejabat lokal telah mengeluarkan Izin Prinsip untuk area-area seperti 4 konsesi privat baru sebesar 20,000 hektar di kotapraja baru Subullusalam. Tetapi tidak ada HGU baru yang di setujui oleh Gubernur Irwandi sejak dia menjabat menjadi Gubernur.

4. Otoritas Pembangunan Perkebunan Aceh (APDA)

Badan yang masih dalam pembentukan diri, hanya ada kemajuan yang sedikit dengan adanya penunjukkan interim Direktur Eksekutif, Ir. Rustam Effendi dari University of Syiah Kuala pada awal 2008. Seperti yang dibayangkan oleh Gubernur Irwandi, APDA akan membawa dengannya pengalaman-pengalamannya dari dulu dan keahliannya dengan rehabilitasi dan pengembangan perkebunan kecil minyak kelapa sawit dari Badan pemerintah Malaysia FELDA (Federal Lands Development Authority), FELCRA (Federal Land Consolidation and Rehabilitation Authority), dan Yapeim (Islamic Development Foundation). Tetapi, ada Memorandum of Understanding

(MOU) yang masih belum dijalankan antara pemerintah Aceh dan Badan-badan pemerintah Malaysia telah terhalang dengan tidak adanya kesepakatan dengan pemerintah Indonesia.

5. Kebijakan Pembaharuan Sektor Perkebunan Aceh dan Inisiatif Perencanaan Strategis

(14)

memutuskan untuk menyatukan semua upaya ini kedalam satu badan sekretariat. Sekretariat ini juga akan menggiatkan kembali Draft Qanun (Regulations): rancangan regulasi, tentang perkebunan yang telah menempa oleh berbagai konsultasi ekstensifantara Dishutbun, LSM internasional WWF, dan beberapa pemangku kepentingan lainnya pada tahun 2004-2005.

6. Revitalisasi Kebun/Bahan Bakar Nabati, Menteri Keuangan (Revitalisasi Perkebunan / Biofuels).

Skema pendanaan nasional dari Indonesia ini telah mengalokasikan lebih dari US$4 billion untuk pengembangan dari petani kecil untuk perkebunan minyak kelapa sawit, karet dan cocoa. Yang akan di administrasikan oleh empat bank pemerintah (Bank Mandiri, BRI, Bukopin, dan BNI), program pinjaman bunga rendah ini diperuntukkan untuk disalurkan melalui perusahaan sektor swasta yang dapat bertindak sebagai penjamin dan pemberi bantuan teknis untuk koperasi pertani kecil yang terasosiasi. Target awal ditentukan untuk 40,000 hektar perkebunan baru dan 5,000 hektares untuk rehabilitasi dengan sekitar 15 perusahaan diseluruh Aceh. Akan tetapi, progresnya pelan di tingkat nasional maupun di tingkat lokalnya Aceh, dengan hanya 20% sumbangan nasional dan belum adanya pinjaman yang dibayarkan di Aceh hingga hari ini.

7. Konsesi Penilaian (HGU) dan inisiatif Pemetaan

Di awal tahun 2008, sebuah gabungan LSM yang dipimpin oleh FFI, Oxfam, dan Eye on Aceh memulai sebuah peninjauan ulang status dan pemetaan dari ke-99 HGU yang dikabulkan yang sebelumnya dibagikan untuk sektor swasta dan perkebunan parastatal serta penggilingan di Aceh. Upaya ini berbasis di kantor pusat Dishutbun di Banda Aceh. Diharapkan bahwa laporan, penemuan, dan peta digital yang komprehensif dapat selesai pada December tahun ini. Pemerintah mengharapkan untuk menggunakan hasilnya untuk membuat keputusan yang berdasarkan informasi tentang HGU tersebut, termasuk mengkonfirmasikan lagi mereka yang patuh dengan peraturan yang berlaku atau kemungkinan untuk menggantungkan pemberian hak khusus kepada mereka yang tidak patuh. Upaya ini menghadapi batasan dengan adanya kekurangan data antara peta dan document, serta terkadang adanya kontradiksi antara konsesi asli, batasan dan praktek yang aktual.

8. Penilitian LSM untuk Petani kecil dan Proyek-proyek Pembangunan

Beberapa LSM telah mensponsori penelitian dan proyek-proyek pembangunan yang dapat menaksirkan kelanjutan dari sektor minyak kelapa sawit Aceh dan/atau memberikan contoh alternative untuk pengembangan perkebunan minyak kelapa sawit. Yang sudah selesai atau saat ini sedang berlangsung termasuk:

(15)

- Skema Pembangunan Minyak Kelapa Sawit, Aceh Utara, Bireun, dan Bener Meriah Kabupaten. Melibatkan sekitar 3,000 para mantan pejuang tempur, proyek 6,000 hektar ini akan diimplementasikan oleh the International Organization for Migration (IOM) dari tahun 2008-2010. Proyek ini akan member pendanaan untuk usaha perkebunan, bantuan teknis dan pelatihan, serta pengembangan organisasi koperasi. Para penerima bantuannya akan menjadi petani kecil yang independen menerima bantuannya, tidak terkaik secara langsung ke perusahaan perkebunan.

- Proyek perintis Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan, Kabupaten Nagan Raya. Diciptakan dan diimplementasikan oleh Yayasan Ekosistem Leuser (YEL) dan didanai oleh LSM dari Swiss PanEco, proyek ini merupakan demonstrasi upaya skala kecil petani kecil. Melibatkan sekitar 35 petani di 70 hektar yang berlokasi di hutan belukar diluar dari area kritis rawa Kuala Tripa, salah satu wilayah yang memiliki kepadatan binatang orangutan di dunia. Proyek ini kerjasama dengan perusahaan asing Socfindo yang telah dengan lama memberikan dukungan teknis dan bibit tanaman yang berhasil tinggi.

- Proyek Pembangunan Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan dan Biofuel Feedstock, Aceh Singkil Kabupaten. Dikembangkan oleh LSM internasional Conservation International (CI) dan didanai oleh U.S. Department of Energy (DOE) Kementrian Tenaga & Energi Amerika, proyek ini umumnya merupakan proyek penelitian dan kebijakan. Proyek ini akan menjalankan survey-survei yang usaha pertanian yang ekologis, latihan-latihan perencanaan wilayah, dan penelitian kebijakan dengan petani kecil, perusahaan swasta dan pemerintah lokal.

9. Inisiatif-inisiatif untuk organisasi petani kecil dan koperasi

Dalam masa setelah proses perdamaian, organisasi-organisasi dari petani kecil minyak kelapa sawit telah terbentuk di tingkatan lokal, kabupaten dan regional. Hal ini termasuk upaya mendirikan:

-Koperasi Tani (Koptan) Batee Meuasah, sebuah kelompok yang memiliki1,500 anggota mantan pejuang tempur dan korban konflik di Paya Bakong Kecamatan, Aceh Utara Kabupaten, yang telah secara aktif mengejar sebuah proyek pembangunan minyak kelapa sawit di area 6,000 sendirian (Pilot Project 1B on P. 33).

-Koperasi Tani Meugoh, sebuah organisasi petani kecil yang baru dibentuk dan berada di Kecamatan Peudada di Biereun, yang mencoba mendirikan sebuah skema petani kecil di 7,000 hektar tanah bekas konsesi. Mereka telah mengadakan diskusi-diskusi awal dengan IK Plantations Sdn Bhd, sebuah investor minyak kelapa sawit Malaysia yang berada di Aceh dan perwakilan dari Dishutbut Bireun tentang bentuk kolaborasi yang memungkinkan.

-Upaya organisasi sepanjang propinsi dan asosiasi-asosiasinya di tingkat kabupaten seperti Koperasi Koridor Utama, based in Alue Bilie, Nagan Raya dan Lembaga Kelompok Perkebunan Rakyat Nanggroe Aceh Darussalam/Kelompok Perkebunan Sawit Rakyat (LKPR/KPSR) di Langsa.

II. Permasalahan Utama

(16)

jangka panjang. Untuk produksi minyak kelapa sawit berkelanjutan tetap sukses di bawah visi “Aceh Green” maka permasalahan-permasalahan berikut ini perlu mendapatkan perhatian yang serius:

A. Permasalahan Utama

1. Kurangnya Pemahaman, Kesadaran dan Pengalaman di bidang Minyak Kelapa Sawit yang berkelanjutan dan Rapat Meja Bundar dari Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan (RSPO).

Aceh baru saja mulai keluar dari isolasinya dari bagian seluruh Indonesia maupun dari bagian dunia lainnya. Dengan perkecualian oleh beberapa perusahaan yang sudah matang dan LSM-LSM dengan jaringan dalam negeri dan luar negeri yang kuat, umunnya konsep-konsep dari minyak kelapa sawit yang berkelanjutan masih belum diketahui di Aceh. Untuk menanggapi hal ini, pemerintah, sektor swasta dan LSM secara bersamaan menyatakan minat yang kuat untuk menjadi hafal dan sejajar dengan standar RSPO serta proses dari beragam pemangku kepentingan lainnya (Annex 3). Sebagai langkah-langkah pertama, Komite Penentu Minyak Kelapa sawit Berkelanjutan (Pokja Sawit Berkelanjutan) didirikan pada tahun 2008, terdiri dari pemerintah, industri, dan komunitas kemasyarakatan sektoral/LSM. Seorang pejabat senior pemerintah, Direktur Dishutbun Perkebunan, Bapak Masnun hadir dalam rapat tahunan RSPO di Bali pada November 2008, bersamaan dengan beberapa LSM dan perwakilan sektor-sektor swasta. Setelah beberapa penundaan, lokakarya 2 hari untuk Minyak Kelapa Sawit berkelanjutan akhirnya dilaksanakan dengan partisipasi yang penuh, dan dilakukan di Banda Aceh pada pertengahan December didanai oleh FFI dan Oxfam. Upaya jangka pangjang yang focus diperluakan untuk menjembatani kekosongan-kekosongan yang ada dalam pengetahuan dan implementasi.

2. Kurangnya Kebijakan yang Mendukung dan Kerangka Peraturan untuk Minyak Kelapa Sawit di propinsi Aceh.

(17)

3. Bantuan Pembangunan untuk Pemerintah dan Pejabat (ODA)- dan proyek proyek pembangunan minyak kelapa sawit yang didanai untuk petani kecil tidak memberikan pendanaan yang komprehensif ataupun jasa teknis.

Departemen Perkebunan pemerintah Aceh dan badan-badan internasional seperti BRR telah mendirikan proyek-proyek pembangunan minyak kelapa sawit untuk petani kecil setelah kesepakatan perdamaian. Hal-hal ini telah mentargetkan 37,000 hektar kreasi perkebunan baru dan 5,000 hektar untuk rehabilitasi dari tahun 2007-2010. Pendanaan dan pemasukan teknis seperti tanah titling, pengosongan tanah dan tunas seedlings diberikan oleh otoritas sentral, bersamaan dengan mengidentifikasi dan koordinasi dari petani kecil yang dituju dan lokasinya tentukan oleh kantor Dishutbun kabupaten lokal. Total dana yang disediakan sekitar Rp5-10 billion per kabupaten atau sekitar Rp 5-10 million per hektar. Wawancara di lapangan dengan pejabat lokal, LSM dan para petani menunjukkan terdapatnya prosedur-prosedur yang saling kontradiktif, dimana prosedurnya sendiri tidak selalu terintegrasi dan dapat mengakibatkan seleksi lokasi yang tidak efektif atau layanan yang tidak cocok. Di Bireun, contohnya, terdapat laporan bahwa hanya 500 dari 1,000 hektar yang masih dirawat oleh petani kecil satu tahun setelah penanaman awal di tahun planting in 2007. Rata-rata biaya per hektar saat ini untuk mendirikan perkebunan dari persiapan lahan hingga panen awal secara komersial 5-6 tahun kemudian mulai di batasan Rp 35-45 million. Hal ini berarti bahwa petani kecil menghadapi beban keuangan yang serius selama masa tahun-tahun kritis dalam perawatannya dan perlu mendapatkan penghasilan tambahan atau pendanaan melalui cara yang lain.

4. Ancaman besar terhadap Hutan Belukar (HCVFs) dan area kritis rawa ekosistem Kuala Tripa tetap ada dalam konsesi yang ada maupun yang baru akan tawarkan (HGUs).

Sekalipun dengan larangan total terhadap penebangan oleh Gubernur Irwandi pada June 2007, koservasi pada hutan residual dan ekosistem rawa yang rentan tetap menjadi permasalahan utama dalam konsesi yang ada maupun konsesi yang baru di anjurkan (HGUs) di Aceh. Tindakan Gubernur yang unilateral telah berhasil dalam menghentikan konsesi penebangan yang ada (HPH) di seluruh Aceh dan secara signifikan menurunkan –walaupun tidak menghentikan – penebangan liar di kebanyakan keadaan. Walaupun konsesi yang berdiri kebanyakan telah didatakan ke kebanyakan dari area nya pada tahun 1990 an ataupun sebelumnya, ada hutan alam

(18)

konsesi akhir (HGU), ada beberapa operator tidak baik atau elemen pihak ketiga yang memulaikan konsersi yang tanpa persetujuan sebelumnya.

5. Pengadaan dari biji berkualitas tinggi bersertifikasi dan materi tanaman tidak memadai untuk memenuhi permintaan untuk perluasan perkebunan minyak kelapa sawit.

Rencana ambisius untuk meningkatkan sektor minyak kelapa sawit Aceh dengan penanaman di 200,000 hektar atau lebih dalam lima tahun kedepan mengakibatkan kekurangan yang besar dalam biji kualitas tinggi bersertifikasi (kecamba) dan bibit di berbagai pelosok propinsi. Dengan kecepatan pertumbuhan saat ini, lebih dari 6.3 million kecamba dan/atau bibit dibutuhkan per tahun hingga 5 tahun kedepan dengan densitas rata-rata dari 137 pohon per hektar dan kebutuhan untuk menelan 15% kerugian. Kualitas bibit, ketahanan, dan produktifitas merupakan salah satu factor penentu dari kesuksesan perkebunan minyak kelapa sawit. Di masa lalu, banyak perkebunan di Aceh memiliki pengadaan dan/atau kontrak bantuan teknis dengan PPKS-Pusat Penelitian Kelapa Sawit pemerintah dan Stasiun Penelitian Marihat di Pematang Siantar, Sumatera Utara. Menurut sumber Gaperda, produksi bibit tahunan Marihat sekitar15 juga bibit, yang perlu di alokasikan ke tiga propinsi (Sumatera Utara, Riau, dan Aceh). Pada saat ini, banyak perusahaan dan petani kecil mencari untuk membeli bibit hybrid yang memiliki hasil dasar tinggi dan variasi tahan penyakit Tenera yang diproduksi oleh Socfindo dan LonSum di tempat pembibitan mereka di masing masih daerah Aceh Tamiang dan Pematang Siantar. Kedua perusahaan ini member prioritas kepada perluasan perkebunan besar dan kebutuhan penanaman mereka sendiri, dan sisa stok mereka ini menjadi permintaan tinggi. Apapun sumbernya, sangat penting bagi semua bibit bersertifikasi sebagai Grade 1 dan dengan garansi germination rate. Ada laporan yang beredar tentang para kontraktor yang menjual kelas bibit yang lebih rendah atau menukarkan materi tanaman sebagai kelas 1 agar melindungi dan meningkatkan margin keuntungan mereka.

6. Harga rendah di batasan perkebunan dan tidak mudahnya mendapatkan akses ke penggilingan CPO membatasi perkebunan besar dan ekspansi perkebunan minyak kelapa sawit bagi petani kecil.

(19)

kualitas, dan margin perdagangan. Pada dasarnya, harga turun CPO pada saat ini dan kemungkinan harga fluktuasi di masa mendatang, dikombinasikan dengan ketidak efisiensi dan

inequitable mekasnisme harga rantai pengadaan barang menenggelamkan prospek dari industry minyak kelapa sawit dan petani kecil untuk ekspansi.

B. Permasalahan berikut juga merupakan hal signifikan, tetapi sekunder dalam kepentingan:

7. Terdapat tekanan yang bertambah pada tingkat kabupaten lokal untuk ekspansi konsesi minyak kelapa sawit baru tanpa perencanaan dan penilaian yang baik.

Sejak tiga tahun terakhir sejak hostilities beruntun setelah Kesepakatan Perdamaian ditanda tangani, tekanan untuk menghasilkan pemasukan legal dan extralegal serta kesempatan bekerja telah meningkat di berbagai tempat di Aceh. Hal ini terutama di area yang terkena dampak Tsunami dan bantuan pasca-bencana terbatas. Katerlalu bupaten yang mendekati batasan seperti Singkil, Subulussalam, Aceh Timur, dan Aceh Utara, yang juga termasuk sebagai area yang tingkat pertumbuhan minyak kelapa sawitnya terbesar di dalam kategori ini, sebagaimana banyaknya area tanah rendah di pedalaman yang tidak memakan korban manusia atau harta terlalu besar semasa Tsunami. Karena meningkatnya desentralisasi dari otoritas di Aceh dan Indonesia secara keseluruhan, kepemerintahan lokal secara aktif mencari kelapa sawit serta pengembangan tanaman perkebunan lainnya tanpa tergantung pada bimbingan dari tingkat propinsi atau nasional sebagaimana sebelumnya. Contohnya, mantan bupati dan kepala Departemen Perkebunan dari kotamadya yang baru diciptakan, Subulussalam, saat ini menunjukkan pada sebuah wawancara bahwa ada rencana yang sudah berjalan untuk meningkatkan wilayah/konsesi untuk meningkatkan kelapa sawit (HGUs) dari jumlah yang sekarang 25,000 hektar ke lebih dari 50,000 hectares, dari seluruh total tanah area 112,000 hektar. Pembangunan semacam ini terjadi dengan pengenalan keadaan lokal yang minim terhadap RSPO dan prinsip-prinsip serta praktek-praktek untuk minyak kelapa sawit yang berkelanjutan.

8. Keberadaan dari sumber investasi dalam ekspansi minyak kelapa sawit berkelanjutan di Aceh pelan dan diganggu oleh persepsi resiko tinggi/tidak aman, penumpukan pinjaman yang tidak berjalan, serta kurangnya promosi dan koordinasi investor yang efektif.

(20)

yang telah mendapatkan Izin Prinsips atau memiliki HGU yang ada sejak tahun terakhir. Perusahaan-perusahaan ini telah memilih untuk berinvestasi setelah upaya yang gigih untuk membina hubungan yang baik dengan pemimpin pemerintah Aceh serta diskon harga asset yang besar dibandingkan ke bagian lain dari Indonesia. Tetapi, mereka dan para pemain lokal yang sudah mapan menerima dukungan teknis dan administrasi yang minimal dari badan-badan promosi investasi propinsi seperti the Investment Coordination Agency (BKPMD)atau the Investor Outreach Office (IOO).

9. Infrastruktur public yang mendukung untuk pembangunan sektor kelapa sawit berkelanjutan seperti saluran pipa feeder, tank farms, dan jalanan panen difisien.

Pada saat ini, kebanyakan Bandar kota kecil yang dianggap kunci tempat berlabuh (ie., Calang, Meulaboh, Singkil, and Langsa) tidak siap untuk menangani CPO yang ada dan yang diproyeksikan untuk diproduksi dalam beberapa tahun kedepan, dengan pengertian peralatan percampuran (blending), kapasitas penyimpanan tank, serta drayage pelabuhan untuk dapat menerima kapal pengangkut barang yang lebih besar. Sebagai konsekwensi, kebanyakan CPO dikirimkan keluar dari Aceh melalui darat dengan kendaraan truk-truk dalam keadaan mentah atau bentuk CPO, sering melalui jarak yang begitu panjang. Hal ini berarti kualitas produk dapat dikurangi dan sering berakibat pengurangan harga pada terminal obral harga di Sumatera Utara.

10. Kurangnya konsistensi dalam kesehatan dan keamanan pekerjaan, udara, air, control polusi tanah, efisiensi energy antara fasilitas proses pasca-panen di Aceh.

Dengan beberapa perkecualian, kebanyakan dari 23 CPO Penggilingan di Aceh (PKS) sudah mulai beroperasi lagi are. Studi ini memperkirakan bahwa separuh dari penggilingan yang ada tidak memiliki dasar standar kualitas dan keamanan termasuk kesehatan dan keamanan pada pekerjaan, serta kontrol polusi udara dan air. Sisanya adalah penggilingan-penggilingan yang berjalan dengan baik, dan merupakan penggilingan yang secara efisien di jalankan oleh perusahaan-perusahaan besar swasta. Perusahaan-perusahaan ini mencapai hasil 22-25% CPO dengan tingkat Free Fatty Acid (FFA): tingkat asam yang tidak berlemak di bilangan 1-4%. Mereka mengelola sampah padat dan cairnya dalam batasan minimal polusi air, udara dan tanah. Banyak telah membongkar pembakaran abu mereka, yang masih digunakan oleh penggilingan lama untuk membuang kelopak kosong buah dengan pembakaran. Dengan beberapa perbaikan dan modifikasi, banyak dari penggilingan ini telah menjadi RSPO-proses penggilingan CPO yang patuh dan mendemonstrasikan praktek efisiensi energy, teknologi bersih serta praktek-praktek manufakur/pabrik yang baik (GMP).

11. Informasi, pengetahuan dan pengalaman dalam menjalankan praktek produksi yang paling baik relative tidak tersedia untuk petani kecil dan bervariasi antara perkebunan.

(21)

tipe transmigrasi, justru tidak sukses atau terhalang konflik. Karena isolasi yang relative terjadi terhadap propinsi ini, sedikit dari inovasi/pembaharuan teknologi pembibitan dalam industry minyak kelapa sawit Indonesia, manajemen terintegrasi untuk hama, perputaran nutrisi telah di pindahkan selain ke beberapa perkebunan besar yang sangat produktif. Inovasi-inovasi ini dapat memperbaiki hasil dasar dan pemasukan dengan estimasi 30-75%.

12. Data untuk konsesi perkebunan yang ada (HGUs) dan perkebunan kecil sering tidak benar dan tidak akurat.

Kurangnya data yang akurat tentang konsesi minyak kelapa sawit (HGUs) dan perkebunan merupakan kekurangan dalam menyelesaikan permasalahan penggunaan tanah dan menciptakan proses perencanaan yang rasional. Walaupun ada perkembangan data digital/system inforamsi geografis dan dan proyek-proyek perencanaan pengaturan tanah di Aceh setelah Tsunami, masih terdapat kekosongan data yang utama diarea kritis ini. Menurut beberapa sumber, beberapa celah ini merupakan hasil dari dokumentasi yang tidak baik pada dasar aslinya atau kehilangan yang di alami karena bencana Tsunami dan pasca. Faktor lain yang sering disebutkan adalah beberapa pemegang konsesi tanah secara tida baik memperluas diri melewati batas asli awal HGU. Apapun alasannya, akan memakan banyak waktu dan biaya untuk mengisi kekosongan data tersebut. Tetapi, hal ini merupakan investasi yang di butuhkan untuk secara akurat menilai kepatuhan HGU dengan standar RSPO atau secara aktif mengejar penekanan dari legislative baru (Qanun) di perkebunan.

13. Pengunaan tanah dan kepemilikan sering tidak diakui secara hukum atau demarkasi, sehingga menimbulkan persengketaan tanah dan mengekang investasi perluasan perkebunan.

(22)

14. Ketersediaan tenaga kerja lokal dan kapasitas organisasi petani kecil merintangi di beberapa hal dan dapat menekan atau mengalihkan pembangunan perkebunan.

Ketersediaan tenaga kerja untuk rehabilitasi dan perluasan dari sektor minyak kelapa sawit di Aceh sangat bervariasi di tingkat lokal dan propinsi. Tidak seperti tanaman perkebunan lainnya seperti kopi dan coklat (cocoa) yang memiliki orientasi musiman, kebutuhan tenaga kerja untuk operasional produksi minyak kelapa sawit contohnya: memanen, penyiangan, aplikasi pemupukan (fertilizer), dan pekerjaan pabrik biasanya konstan sepanjang tahun. Hal ini membutuhkan pangkalan tenaga kerja yang konsisten atau kerja keluarga petani kecil yang stabil, yang tidak ada di beberapa area produksi minyak kelapa sawit tertentu. Karena waktu yang lebih lama yang dibutuhkan perkebunan tersebut untuk mencapai kematangan dan ketergantungan dari industry minyak kelapa sawit untuk teknologi, transportasi, dan infrastruktur, perkebunan besar sering mencapai efisiensi yang lebih besar dari petani kecil. Agar banyak dari petani kecil dapat mencapai hasil dasar yang baik serta penghasilan, mereka perlu membentuk perkebunannya dalam pola yang terkoordinasi dengan baik dengan petani kecil lainnya melalui koperasi atau asosiasi.

Studi ini menemukan beberapa area dengan kekurangan tenaga kerja yang trampil untuk perkebunan besar dan organisasi petani kecil yang relative lemah. Di masa lalu, perkebunan besar bergantung kepada tenaga kerja eksternal atau transmigran, yang sering menimbulkan konflik social dalam populasi lokal. Kebanyakan dari tenaga kerja eksternal ini segan untuk kembali ke Aceh setelah era konflik. Ada juga persepsi menyebar di Aceh bahwa orang etnik Aceh sendiri lebih berorientasi kepada usaha kecil, perikanan dan sektor pemerintah daripada sektor perkebunan, khususnya dalam industri minyak kelapa sawit yang bentuk industrinya sangat intensif kepada tenaga kerja. Dengan itu, masalah kekurangan tenaga kerja dan kapasitas organisasi petani kecil perlu di tanggapi agar industrinya dapat maju kedepan.

15. Peran dan status dari badan koordinasi untuk Pembangunan Perkebunan Aceh (APDA): Aceh Plantation Development Authority, tidak jelas.

APDA merupakan komponen kunci dalam pembentukan awal visi “Aceh Green”. Diskusi awal di tahun 2007 dengan kandidat organisasi Malaysia FELDA, Felcra, dan YAPEIM yang semunya menurut hasil adalah positif dan menjanjikan were. Konsep dari badan koordinasi yang dinamis untuk sektor minyak kelapa sawit Aceh yang didasari oleh sejarah pengalaman sukses Malaysia dalam menciptakan kesempatan untuk petani kecil sangat menarik. Tetapi, kemajuan sangat minimal sejak waktu itu, menumpuk dengan penahanan di pihak pemerintah Indonesia melalui

(23)

III. Rekomendasi Tindakan Prioritas dan Sekunder

A. Rekomendasi-rekomendasi Prioritas

Rekomendasi-rekomendasi berikut berhubungan dengan enam masalah pertama yang di jabarkan di bagian sebelumnya:

Permasalahan No 1: Kurangnya Pengertian, Kesadaran dan Pengalaman dalam bidang Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan dan Rapat meja bundar akan Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan (RSPO).

Rekomendasi No. 1: Menciptakan Kelompok Kerja untuk Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan Aceh (Pokja Perkebunan Sawit Berkelanjutan Aceh) untuk membimbing proses beragam pemangku kepentingan dengan pemerintah, sektor swasta, LSM-LSM dan petani kecil dalam tema Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan.

Rekomendasi: Mendirikan secara formal kelompok kerja (Pokja Perkebunan Sawit Berkelanjutan Aceh) yang bertindak sebagai pendukung organisasi propinsi untuk mempromosikan kebijakan minyak kelapa sawit berkelanjutan, praktek-prakteknya dan proyek-proyek perintis. Konsensus yang kuat timbut pada lokakarya Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan December 2008 lalu, antara partisipan tokoh-tokoh pemerintah, sektor swasta, dan LSM untuk membentuk sebuah mekanisme untuk para pemangku kepentingan, yang diharapkan akan didukung dengan Surat Keputusan (SK) resmi dari Gubernur Irwandi. Kelompok kerja ini dapat dibentuk sejajar dengan kelompok kerja beragam pemangku kepentingan saat ini, yang telah ada di Kalimantan Tengah dengan dukungan kuat dari Gubernur propinsinya.

Kelompok kerja ini dapat berlokasi dengan Dishutbun seperti TIPERESKA dan berfungsi dalam kerangka kerja yang fleksibel Komisi Minyak Kelapa Sawit Indonesia. Pokja Perkebunan Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan Aceh dapat bekerja sama dengan Rapat meja bundar akan Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan (RSPO) di Jakarta dan Kuala Lumpur. Kelompok ini dapat mendirikan beberapa objektif dan proyek yang praktis dan dapat dicapai dalam beberapa bulan dan tahun kedepan. Guna mempertahankan momentum yang ada sekarang untuk minyak kelapa sawit berkelanjutan di Aceh, organisasi-organisasi yang berpartisipasi dan individu-individunya dapat berkontribusi kepada pendanaan yang ada maupun sebagai sumber kepegawaian, dan mengakses pendanaan lain dalam jangka panjang.

Obyektif: 1) Untuk mendirikan mekanisme pendukung yang berkelanjutan untuk mempromosikan, mengimplementasikan dan mendanai minyak kelapa sawit berkelanjutan di Aceh. 2) Untuk menciptakan kerangka kerja koperasi beragam pemangku berkepentingan yang menghubungkan antara pemerintah, sektor swasta, LSM dan masyarakat umum.

(24)

Kegiatan:

 Mengatur sebuah tim inti terdiri dari 8-10 orang yang dari pemerintah, sektor swasta, LSM dan dari kalangan masyarakat yang memiliki pangkat untuk bertindak sebagai koordinator upaya ini. Daftar calon tersebut dapat menyertakan:

1. Samsul Bahri, Eye on Aceh

2. Isa Rahmadi, Aceh Social Development (ASD) 3. Ian Singleton, PanEco/YEL

4. Afridal Darmi, LBH-Aceh 5. Pak Masnun, Dishutbun 6. Ibu Ida, Dishutbun

7. Pak Sastra, Tim Penasehat Ekonomi Gubernur 8. Pak Yakob, Tim Penasehat Ekonomi Gubernur 9. Sabri Basyah, Mopoli Raya/Gaperda

10. Adi Zain, PT Boswa Megalopolis

 Mendukung kebijakan dan inisiatif-inisiatif yang absah untuk perkebunan berkelanjutan (Rekomendasi 2)

 Sosialisasi dan pelatihan dalam prinsip-prinsip perkebunan minyak kelapa sawit berkelanjutan, praktek-praktek, dan sertifikasi, dalam kolaborasi dengan Rapat meja bundar akan minyak kelapa sawit berkelanjutan (RSPO)

 Pengantar selektif dari praktek-praktek paling baik dan teknik-teknik yang biaya rendah serta teknologi untuk rehabilitasi dan

 Pengantar selektif dari praktek-praktek yang baik dan teknik yang biaya rendah serta teknologi untuk rehabilitasi, peningkatan produktifitas dan potensi pemasukan di perkebunan yang ada

 Identifikasi, evaluasi, monitor proyek-proyek perintis kerjasama antara publik dan swasta (Rekomendasi 3)

 Menciptakan “Pasukan Kerja” (Task Force) untuk pendanaan berkelanjutan. Ide ini direkomendasikan oleh pembicara konferensi, Amol Titus dari IndonesiaWISE, dan di dukung oleh kelompok diskusi untuk ekonomi dan pemasaran.

Hasil yang direncanakan: Menciptakan mekanisme praktis jangka panjang untuk mempromosikan minyak kelapa sawit berkelanjutan di Aceh dan mengimplementasikannya dengan semua pemangku kepentingan utama.

Target Pemangku Kepentingan (klien) dan pendukungnya: -Badan-badan pemerintah utama, ie. Dishutbun,

-Gaperda dan sektor perusahaan swasta lainnya

-Lingkungan lokal dan internasional, pembangunan dan kebijakan LSM -Masyarakat madani dan organisasi petani kecil

(25)

Permaslahan No. 2. Kurangnya kebijakan mendukung dan kerangka kerja peraturan untuk Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan di propinsi Aceh.

Rekomendasi No. 2: Menghidupkan, Merevisi, dan Mempresentasikan Peraturan Qanun dari Perkebunan Berkelanjutan kepada Badan Legislatif Propinsi untuk di perbaharui pada pertengahan -2009

Rekomendasi: Memperbaharui dan memperbaiki Qanun peraturan Aceh untuk

perkebunan guna menciptakan kapasitas dan konsensus akan perencanaan penggunaan tanah, konsesi persetujuan dan proses monitor/pengawasan, perlindungan lingkungan dan tenaga kerja, serta produksi minyak kelapa sawit berkelanjutan dan prosesnya. Rancangan sebelumnya yang diproduksi melalui proses konsultasi melibatkan Dishutbun, WWF-Aceh, dan para pemangku kepentingan lainnya pada tahun 2004 dapat menjadi landasan untuk upaya ini. Bahan materi dan bimbingan teknis yang dihasilkan oleh RSPO dapat membantu lebih lanjut sumber perencanaan dari Qanun. Keanggotaan di RSPO harus digiatkan tetapi tetap dengan dasar

voluntary.

Rasionalisasi: Sektor perkebunan Aceh dalam fase persimpangan jalan saat ini. Sebuah kerangka kerja yang abash dengan bimbingan aturan jangka panjang untuk kebijakan dan prakteknya diperlukan agar sektor perkebunan Aceh (khususnya minyak kelapa sawit) dapat berkembang deang cara yang strategis dan berkelanjutan. Menjalankan hokum legislative sangat diperlukan sekarang di tingkat propinsi untuk menciptakan kesempatan ekonomi yang efektif dan mempersiapkan diri dari potensi dampak negative dari lingkungan dan masyarakat.

Kegiatan:

 Mendapat mandat tertulis/ resmi berupa surat SK-Surat Keputusan dari Gubernur untuk meluncurkan upaya ini

 Membentuk kelompok kerja yang padat terdiri dari perwakilan pemerintah, sektor swasta, dan LSM/Masyarakat madani untuk bimbingan perencanaan dan proses konsultasi

 Menunjuk sebuah tim yang terdiri dari 2-3 fasilitator utama untuk peninjau ulang dan memperbarui rancangan peraturan Qanun 2004 antara WWF-Dishutbun tentang Perkebunan dengan modifikasi khusus untuk prinsip-prinsip produksi yang berkelanjutan,

 criteria, dan prakteknya, seperti konservasi dari hutan dengan nilai konservasi tinggi (HCVF), dengan menggunakan materi RSPO sebagai sumber

 Menjalankan konsultasi public dan sesi peninjauan ulang masalah teknis guna mensosialisasikan Qanun dan menjajarkannya dengan prinsip-prinsip upaya berkelanjutan serta visi “Aceh Green”

 Merangkumkan rancangan Qanun pada Maret 2009 dan menyerahkannya untuk ditinjau dan diratifikasikan oleh baadn legislative propinsi.

Hasil yang direncanakan: Mencapai konsensus garis besar dan mendukung peraturan Qanun

untuk Perkebunan berkelanjutan, dengan harapan untuk merangkumkan dalam rancangan akhir dan ratifikasi oleh badan legislative Aceh pada pertengahan -2009.

Target Pemangku Kepentingan (klien) dan pendukungnya:

-Pemimpin politik saat ini di Aceh: Gubernur Irwandi, Wakil Gubernur Nazir, dan legislative propinsi

-Pokja Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan

(26)
(27)

Permasalahan No. 3. Proyek pembangunan pemerintah saat ini untuk petani kecil minyak kelapa sawit tidak memberikan pendanaan yang komprehensif dan tidak memberikan dukungan jasa teknis.

Rekomendasi No. 3. Menciptakan model perintis untuk kerjasama minyak kelapa sawit berkelanjutan antara public-swasta dengan badan-badan pemerintah, investor perusahaan swasta minyak kelapa sawit dan petani kecil dapat member contoh untuk Aceh. Beragam lembaga seperti Departemen Perkebunan propinsi, Menteri Keuangan Revitalisasi Kebun program, UNDP, etc. harus terlibat untuk mendukung proyek-proyek perintis.

Objektif: Menciptakan beberapa proyek perintis yang memiliki dampak tinggi langsung bagi investor-petani kecil minyak kelapa sawit dalam area-area produksi utama di Aceh (Annex 1) yang akan memberikan jasa komprehensif dan pendanaan kepada seluruh partisipan. Proyek perintis ini akan mendemonstrasikan model kerjasama yang akan menstimulasikan investasi lebih lanjut dalam sektor minyak kelapa sawit dan memberikan keuntungan maksimal untuk ekonomi, social dan ekologi Aceh.

Rasionalisasi: Model investasi yang dapat dijalankan, yang secara efektif mengumpulkan sumber-sumber teknis dan keuangan dari pemerintah, sektor swasta dan petani kecil sangat dibutuhkan sekarang dalam industry kelapa minyak sawit Aceh. Proyek-proyek perintis ini dapat terbentuk di 60,000 hektar lebih dalam pusat perkebunan dan lebih dari 50,000 hektar dalam skema petani kecil dalam lima tahun mendatang. Hal ini dapat memberikan konstribusi signifikan ke pemulihan ekonomi Aceh untuk 15 tahun kedepan.

Kegiatan:

 Menunjukkan satu spesialis minyak kelapa sawit dari Pokja Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan untuk bertindak sebagai coordinator upaya ini

 Mengelola komite peninjauan proyek perintis dan penasehat

 Mengidentifikasikan dan mengevaluasikan kandidat proyek perintis

 Penetapan investor untuk proyek khusus dan model kerjasama pembangunan

 Koordinasi bantuan pendanaan dan teknis dari berbagai sumber, ie., investasi swasta, Departemen Perkebunan, Program Revitalisasi Kebun, etc.

 Meninjau ulang analisa feasibility, perencanaan bisnis, dan proposal pendanaan

 Dokumentasi dan monitoring dari proyek dalam portfolio.

Hasil yang direncanakan: Peluncuran dari beberapa proyek perintis dalam kerjasama public-swasta dalam area produksi utama Aceh, dengan potensi seluruh nilai investasi yang dapat lebih dari Rp 5 trillion (US$ 450 million). Setelah lokakarya di Banda Aceh, Sekretaris General dari GAPERDA Pak Sabri Basyah, yang juga merupakan principal dari PT. Basyah Putra Investama (BPI), Nusantara Bio Energy (NBE) dan PT. Mopoli Raya, menganjurkan menstimulasi pembangunan petani kecil di Aceh dengan mengumpulkan sumber pendanaan dari pemerintah Aceh, sektor swasta, dan skema nasional Revitalisasi pemerintah. Hal ini dapat bekerja dengan cara berikut:

(28)

-Dishutbun akan mendistribusikan Rp160 billion ($15 million) per tahun untuk mendirikan 15,000 hektar perkebunan bagi petani kecil per tahun hingga tiga tahun mendatang. Hal ini dapat menjadi equity fund bagi petani kecil

-Sektor perusahaan-perusahaan swasta akan komit ke –setidaknya- 35,000 hektar dari perkebunan swasta per tahun, dengan nilai total investasi melebihi $110 million

-Dishutbun dan beberapa perusahaan swasta terpilih akan mensponsori dan pada dasarnya menyediakan garansi untuk sekitar Rp480 billion ($44 million) dalam pinjaman per tahun dalam tiga tahun mendatang dari Revit Kebun-bank-bank yang berhubungan kepada skema petani kecil.

Target Pemangku Kepentingan (klien) dan pendukungnya: - Departmen Perkebunan Aceh

- Pokja Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan

- Perusahaan swasta minyak kelapa sawit lokal, nasional, dan internasional - Organisasi dan koperasi petani kecil

-Menteri Keuangan, Program Revitalisasi Kebon -LSM-LSM dan organisasi multilateral

Permasalahan No. 4. Walaupun ada Larangan Penebangan (Logging) Total yang diberlakukan oleh Gubernur Irwandi pada Juni 2007, ancaman besar terhadap hutan dengan nilai konservasi tinggi (HCVFs) dan rawa kritis ekosistem kecamba berkualitas tinggi bersertifikat tetap ada.

Rekomendasi No. 4: Menciptakan inisiatif diseluruh propinsi dalam menanggapi dan membangun mekanisme kompensasi untuk ancaman kepada hutan dengan nilai konservasi tinggi (HCVFs) dan rawa kritis ekosistem oleh perkebunan minyak kelapa sawit dibawah sponsor secretariat “Aceh Green”, didanai oleh dana khusus seperti IFC’s Biodiversity and Agricultural Commodities Program (BACP).

Objektif: Melalui proses beragam pemangku kepentingan, menunjukkan bahwa industry minyak kelapa sawit Aceh dapat mengejar pertumbuhan efektif dan pengembangkan strategi tanpa konversi hutan lebih lanjut atau degrasi sumber.

Rationalisasi: Inisiatif khusus diperlukan untuk melindungan tanah rendah yang terancam HCVFs dan peat swamps, hingga propinsi Aceh dapat menghindari kerusakan pada deposit carbon utama dan hilangnya habitat margasatwa. Insentif yang efektif, pengendalian dan mekanisme kompensasi akan perlu direncanakan untuk mengumpulkan kerjasama dan dukungan oleh perusahaan sektor swasta dan masyarakat lokal saat bersamaan. Bila upaya ini sukses dalam mencegah hilangnya carbon utama dan melindungi diversifikasi biologis di Aceh, hal ini akan menjadi model lebih luas bagi Indonesia dan Negara tropis lainnya.

Kegiatan:

 Membuat konsep dan mengatur inisiatif dengan beragam pemangku kepentingan pada seluruh propinsi untuk hutan dengan nilai konservasi tinggi (HCVFs) dan rawa kritis ekosistem (Critical Peat Swamp Ecosystems)

 Menunjukkan pemimpin (pemimpin) tim, staff inti, dan penasehat program

(29)

 Survei organisasi pendanaan untuk carbon yang ada Carbon Conservation, McQuorry Bank dan programs-program seperti the AusAid Forest Carbon Initiative

 Menjalankan penelitian lapangan di area-area terkena dampak untuk mengukur carbon dan biodiversity valuations

 Merancang Memoranda of Understanding (MOUs) dan Letters of Intent (LOI) antara organisasi-organisasi pendana, perusahaan swasta minyak kelapa sawit, masyarakat local dan pihak ketiga

 Sponsor HCVF secara periodic untuk kesadaran –kreasi dan acara pelatihan bagi perusahaan swasta, LSM dan masyarakat lokal, dengan menggunakan keahlian yang ada

Hasil yang direncanakan:: Menciptakan konsensus dan dukungan didalam pemerintah, industry minyak kelapa sawit dan masyarakat madani untuk melindungi ekosistem tanah-rendah kritis di Aceh (hutan dan rawa berlumpur) melalui kombinasi dari insentif, pengendalian, dan mekanisme pendanaan.

Target Pemangku Kepentingan (klien) dan pendukungnya:   - Departemen Perkebunan Aceh

- Pokja Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan - Pimpinan dan pejabat kabupaten lokal Local

-Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL), - LSM Konservasi (ie., FFI, PanEco, YEL)

- Perusahaan swasta minyak kelapa sawit lokal, nasional, dan internasional - Organisasi dan koperasi petani kecil

Permasalahan No. 5. Pengadaan dari bibit berkualitas tinggi bersertifikat dan bahan-bahan penanaman tidak memadai untuk memenuhi permintaan dari perluasan perkebunan minyak kelapa sawit.

Rekomendasi No. 5: Menciptakan sertifikasi bibit kelapa sawit propinsi dan program distribusi dalam kerjasama antara Departemen Perkebunan dan Gabungan asosiasi produsen perkebunan Aceh (Gaperda).

Objektif: Untuk memberikan kepastian bahwa perusahaan dan petani kecil di propinsi Aceh akan mendapatkan akses ke stok bibit berkualitas tinggi bersertifikat dan kecamba dari produsen bibit yang memiliki kualifikasi dan propagation pembibitan. Untuk menciptakan cara yang dapat dipertanggung jawabkan asal dan kualitas dari semua materi penanaman minyak kelapa sawit yang masuk ke Aceh dalam tahun-tahun.

Rationalisasi: Pemerintah Aceh perlu mengambil peran yang aktif dalam mengadakan bahan penanaman minyak kelapa sawit dan integritasnya, karena kualitas bibit, ketahanannya, produktifitasnya merupakan satu-satunya penentu dari suksesnya perkebunan minyak kelapa sawit. Inisiatif ini akan memberikan kontribusi kuat untuk tujuan meningkatkan sektor penanaman minyak kelapa sawit Aceh hingga 200,000 hektar atau lebih dalam lima tahun kedepan

Kegiatan:

(30)

 Penanda-tanganan Memorandum of Understanding (MOU) antara Dishutbun dan Gaperda untuk menetapkan parameter sebuah kerjasama antara pemerintah dan sektor swasta minyak kelapa sawit Aceh didalam proyek ini

 Memperkerjakan satu konsultan dari badan sertifikasi/penetapan kualitas SGS International dan/atau Sucofindo dan satu lagi yang merupakan spesialis bibit tanaman perkebunan dari Universitas yang dekat guna membantu dalam pola teknis program tersebut

 Berkonsultasi dengan produsen besar untuk bibit dan kecamba minyak kelapa sawit berkualitas, Marihat Research Station, PT Lonsum, dan PT Socfindo, untuk mendiskusikan keberadaan, protokoler sertifikasi, dan efisiensi distribusi

 Menentukan import bibit bagi seluruh propinsi secara tahunan dan target produksi kecamba

 Menciptakan rencana tindakan dan manual operasional yang sederhana untuk penyimpanan bibit dan distribusi, pola pembibitan, manajemen transportasi, dll

Staff recruitment dan peluncuran programmnya di Banda Aceh dan pusat-pusat regional

 Monitoring yang rutin dari masukan bibit/kecamba minyak kelapa sawit shipments dan penilaian secara berkala untuk produsen bibit

 Mengamankan pendanaan yang dijanjikan secara internal maupun eksternal untuk mempertahankan program selama setidaknya lima tahun

Hasil yang direncanakan: Menciptakan kerjasama yang memiliki kredibilitas dan efektif pada sektor pemerintah-swasta di Aceh untuk bibit kelapa sawit dan sertifikasi kecamba, kepastian kualitas, dan distribusi. Inisiatif ini akan mampu defray sebagian dari porsi biayanya melalui fee korporat dan kontribusi nya.

Target Pemangku Kepentingan (klien) dan pendukungnya:   - Departemen Perkebunan Dishutbun Aceh

- Anggota Gaperda

- Perusahaan Produsen Besar Bibit Minyak Kelapa Sawit (Marihat Research Station, Lonsum, and Socfindo)

- Organisasi dan koperasi petani kecil

- Calon pendanan proyek (ie., Unilever, Nestle, etc.)

Permasalahan No. 6: Harga di batas perkebunan yang rendah dan kurang adanya

penggilingan CPO yang mudah di akses membatasi perluasan perkebunan besar dan petani kecil perkebunan minyak kelapa sawit.

Rekomendasi No. 6: Memperbaiki rantai pengadaan dengan mempromosikan tanaman dan diversifikasi penghasilan di perkebunan, mendukung perbaikan berkualitas, memberikan insentif untuk pembangunan penggilingan lokal dan menciptakan transparensi harga.

Gambar

Table 3:  Konsesi Nagan Raya (HGU) dan data petani kecil 2005

Referensi

Dokumen terkait

Pendidikan di sekolah adalah sarana pengembangan pribadi manusia untuk dapat menjadi manusia yang mampu bersanding dengan manusia lainnya dalam bingkai

Kavling bagian utara mempunyai dimensi urat relatif kecil, tipe alterasi advance argilik dan inner propilitik, mineral logam emas, pirit, kalkopirit,

pada daerah yang memiliki kecepatan arus yang tinggi jumlah jenis. makrozoobenthos yang hidup di dalamnya

Dapat diinterpretasikan bahwa ada pengaruh positif dan signifikan antara variabel tayangan fashion dari internet dengan hasil belajar desain busana karena r hitung

[r]

WONG PING FOO KLINIK KESIHATAN CHERAS BARU, JALAN 16, KAMPUNG CHERAS BARUOFF JALAN KUARI, 59200 KUALA LUMPUR.

Berdasarkan pada Tabel 2 dapat dilihat peningkatan penggunaan bahan bakar oleh BRT hingga tahun 2030. Peningkatan penggunaan bahan bakar BRT terjadi sampai tahun

Untuk kajian QSAR dalam penelitian ini digunakan analisis regresi multilinear dengan data log (1/IC 50 ) sebagai variabel tidak bebas, sedangkan data muatan bersih atom pada