• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

C. Terapi Obat Antihipertensi

2. Rekomendasi Terapi Hipertensi Berat dalam Kehamilan

2. Rekomendasi Terapi Hipertensi Berat dalam Kehamilan

Tujuan terapi hipertensi berat dalam kehamilan adalah untuk mencapai tekanan darah diastolik 90-100 mmHg. Adapun obat lini pertama adalah hidralazin (grade B), labetalol (grade B), nifedipin (grade B). Hal-hal yang harus diperhatikan antara lain fungsi neuromuscular dan takanan darah ketika menggunakan nifedipin bersamaan dengan magnesium sulfat (grade B) dan perlu monitor denyut jantung bayi selama terapi akut (Rey dkk, 1997).

3. Tabel III. Rekomendasi Penggunaan Obat Antihipertensi Pada Ibu Hamil ( Rey dkk, 1997).

Kategori CHS NHBPEP ASSH

Hipertensi ringan Obat pilihan Metildopa, labetol,

pindolol, oxrenelol, nifedipine metildopa Metildopa, labetol, oxrenelol, klonidin Obat yang harus dihindari Penghambat ACE, antagonis reseptor angiotensin II Penghambat ACE Penghambat ACE, diuretik Hipertensi berat Obat pilihan Hidralazin, labetol,

nifedipin Hidralazin Hidralazin, labetol, nifedipin, diazoxida Kejang Obat untuk pencegahan

Magnesium sulfat Magnesium sulfat Magnesium sulfat, fenitoin Obat untuk pengobatan

Magnesium sulfat Magnesium sulfat

Diazepam secara i.v Keterangan :

CHS : Canadian Hypertension society (Kanada)

ASSH : Australasian Society for Study of Hypertension (Australia) Obat antihipertensi yang digunakan:

a. Diuretik kuat

Diuretik kuat bekerja menurunkan tekanan darah dengan cara menghambat reabsorpsi natrium dan klorida pada acending lope hanle dan tubulus distal ginjal, mempengaruhi sistem transport pengikatan klorida sehingga menyebabkan peningkatan ekskresi dari air, natrium, klorida, magnesium dan kalsium (Lacy dkk, 2005).

a. Hidralazin

Merupakan vasodilator arteriolar langsung yang menyebabkan takikardi dan peningkatan cardiac output. Hidralazin membantu meningkatkan aliran darah ke uterus dan mencegah hipotensi. Hidralazin dimetabolisir di hati (Saseen dan Carter, 2005).

c. Labetalol

Digunakan sebagai pengobatan alternatif dari hidralazin pada penderita eklampsia. Aliran darah ke uteroplasenta tidak dipengaruhi oleh pemberian labetalol (Saseen dan Carter, 2005).

d. Obat yang bekerja sentral

Metildopa dan klonidin merupakan contoh golongan obat ini. Metildopa dan klonidin bekerja dengan jalan menstimulasi reseptor andrenergik α2 di otak. Stimulasi ini menyebabkan pengurangan aliran simpatis dari pusat vasomotor di otak dan meningkatkan denyut vagal.

26

Pengurangan aktifitas saraf parasimpatis, dapat menurunkan denyut jantung, curah aliran jantung, dan tahanan perifer (Saseen dan Carter, 2005).

e. Penghambat enzim pengkonversi angiotensin (penghambat ACE)

Penghambat ACE bekerja dengan cara menghambat pengubahan angiotensin I menjadi angiotensin II (Anonim, 2000). Enzim pengkonersi angiotensin (ACE) terdistribusi dalam banyak jaringan dan terdapat dari beberapa tipe sel yang berbeda, tetapi secara umum ACE terletak pada sel endotelial. Oleh karena itu, produksi utama angiotensin II terletak di pembuluh darah bukan di ginjal (Saseen dan Carter, 2005).

Angiotensin II merupakan vasokonstriktor yang poten yang juga menstimulasi pengeluaran aldosteron. Penghambat ACE juga menghambat pembongkaran bradikinin dan merangsang sintesis dari beberapa substansi vasodilator termasuk prostaglandin E2 protasiklin. Peningkatan bradikinin akan meningkatkan efek hipotensi dari penghambat ACE sehingga hal ini menimbulkan batuk kering yang menjadi efek samping dari obat golongan penghambat ACE. Contoh obatnya ialah kaptopril, enalapril maleat, benazepril, lisinopril, peridropil, kuinapril, ramipril, dan fosinopril (Saseen dan Carter, 2005).

f. Antagonis kalsium

Antagonis kalsium bekerja dengan cara menghambat influks ion kalsium trans membran, yaitu mengurangi masuknya ion kalsium lambat ke dalam sel otot polos, otot jantung dan saraf. Contoh golongan ini adalah nifedipin, verapamil, diltiazem, felodipin, nimodipin (Anonim, 2000).

Kontraksi otot halus pembuluh darah bergantung pada konsentrasi ion Ca2+ di intrasel. Penghambatan pergerakan dari ion Ca2+ yang mencapai intrasel, sehingga terjadi penurunan kontraktilitas otot jantung. Penurunan kontraktilitas otot jantung akan mengakibatkan penurunan curah jantung. g. Magnesium sulfat

Magnesium menekan saraf pusat sehingga menimbulkan anestesi dan mengakibatkan penurunan reflek fisiologis. Pengaruhnya terhadap SSP mirip dengan ion kalium. Hipomagnesemia mengakibatkan peningkatan iritabilitas SSP, disorientasi, kebingungan, kegelisahan, kejang dan perilaku psikotik. Suntikan magnesium sulfat secara intravena cepat dan dosis tinggi dapat menyebabkan terjadinya kelumpuhan dan hilangnya kesadaran. Hal ini mungkin disebabkan karena adanya hambatan pada neuromuskular perifer. Pada sistem syaraf otonom Magnesium menghambat aktifitas dan ganglion simpatis dan dapat digunakan untuk mengontrol penderita tetanus yang berat dengan cara mencegah pelepasan katekolamin sehingga dapat menurunkan kepekaan reseptor adrenergik alfa (Saseen dan Carter, 2005).

Kategori berdasarkan faktor risiko yang digunakkan United States Food and Drug Administration (FDA) berdasarkan risiko obat terhadap sistem reproduksi, kemungkinan timbulnya efek samping, dan perbandingan besarnya faktor risiko :

Kategori A: Stusi terkontrol pada wanita tidak memperlihatkan adanya risiko terhadap janin pada kehamilan trimester 1 (dan tidak ada bukti mengenai risiko

28

pada trimester selanjutnya), dan sangat rendah keungkinannya untuk membahayakan janin.

Kategori B: Studi pada sistem reproduksi binatang percobaan tidak memperhatikan adanya risiko terhadap janin, tetapi studi terkontrol terhadap wanita hamil belum pernah dilakukan. Atau studi terhadap reproduksi binatang percobaan memperlihatkan adanya efek samping obat (selain penurunan fertilitas) yang tidak diperlihatkan pada studi terkontrol pada wanita hamil trimester 1 (dan bukti mengenai risiko pada trimester berikutnya.

Kategori C: Studi pada binatang percobaan memperlihatkan adanya efek samping pada janin (teratogenik atau embriosidal atau efek samping lainya) dan belum ada studi kontrol pada wanita, atau studi terhadap wanita dan binatang percobaan tidak dilakukan. Obat hanya dapat diberikan jika manfaat yang diperoleh melebihi besarnya risiko yang mungkin timbul pada janin.

Kategori D: Terbukti menimbulkan risiko terhadap janin manusia, tetapi besarnya manfaat yang diperoleh jika digunakan pada wanita hamil dapat dipertimbangkan (misalnya obat diperlukan untuk mengatasi situasi yang mengancam jiwa atau penyakit serius dimana obat yang lebih aman tidak efektif atau tidak dapat diberikan).

Kategori X: Studi pada binatang percobaan atau manusia telah memperlihatkan adanya abnormalitas janin dan besarnya risiko obat ini pada wanita hamil jelas-jelas melebihi manfaatnya. Dikontraindikasikan bagi wanita hamil usia subur (Anonim, 2008).

29   

Penelitian mengenai drug related problem pengobatan hipertensi pasien pre-eklamsia di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sarjito Yogyakarta Tahun 2007-2008 termasuk jenis penelitian non eksperimental dengan rancangan deskriptif evaluatif yang bersifat retrospektif. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data retrospektif dengan melakukan penelusuran dari dokumen terdahulu yaitu lembar rekam medis pasien pre-eklampsia di instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sarjito Yogyakarta Periode Tahun 2007-2008.

Penelitian ini bersifat non eksperimental karena tidak ada perlakuan pada subyek penelitian (Pratiknya, 2001). Rancangan penelitian deskriptif evaluatif bertujuan melakukan eksplorasi deskriptif terhadap fenomena kesehatan yang terjadi kemudian mengevaluasi data dari rekam medik (Notoatmodjo, 2005).

 

Dokumen terkait