• Tidak ada hasil yang ditemukan

Relasi antara Hubungan Sosial dengan Agama

BAB IV. PRAKTIK SERTA DISKURSUS KEBERAGAMAAN JAMAAH

B. Praktik Keberagamaan Jamaah MCQ

1. Relasi antara Hubungan Sosial dengan Agama

Dua sifat aspek religiusitas yang selalu mempengaruhi manusia, yaitu yang bersifat transenden terhadap Tuhan dan aspek sosial dalam hubungan dengan sesamanya. Aspek ketuhanan menjadi suatu bentuk personal, antara seorang muslim

dengan Tuhannya serta secara emosional dipengaruhi oleh kepercayaan terhadap hal yang ghaib sehingga menuntut adanya rasa keimanan. Sementara aspek hubungan dengan sesama manusia dipengaruhi oleh pengalaman pribadi serta latarbelakang kehidupan sosial jamaah MCQ. Melalui kedua aspek tersebut, hubungan sosial bagi jamaah MCQ menjadi suatu bentuk amalan dalam beribadah, maka nilai-nilai agama selalu menyertai hubungan sosial tersebut.

Agama pada kenyataannya dapat dipakai sebagai perekat ikatan sosial untuk menekan potensi keantagonisan antar individu, juga menekan terjadinya konflik sehingga menjadi kontrol sosial yang utama dalam hubungan sosial.142 Namun timbul kesadaran bahwa nilai-nilai yang ada dalam agama terancam oleh perkembangan modernisasi. Hal tersebut ditujukan untuk kota sebagai objek dari industrialisasi, atau dalam definisi lain disebutkan bahwa masyarakat kota sebagai objek yang terancam sekularisasi. Pada akhirnya terjadi sebab-sebab perilaku yang mengakibatkan penurunan religiusitas yang dialami bagi masyarakat kota, salah satunya yang terjadi di ranah perkantoran.

“Teman-teman saya mesti kalo pulang ngajak saya ngumpul dulu, biasanya ke kafe. Disitu bukan cuma ngobrol biasa aja, tapi ada yang bawa perempuan, pacaranya udah ga sehat, ada yang minum alkohol, sampai mabuk.”143

Meskipun terjadi pergeseran nilai-nilai agama secara umum, masih ada individu muslim, dalam hal ini jamaah MCQ yang menjaga perilaku dan berinteraksi sosial dengan baik. Maka dari itu, jamaah MCQ lebih suka untuk duduk di masjid, mendengarkan ceramah, daripada berkumpul dengan teman-teman kantor untuk

142 Bryan S. Turner, Agama dan Teori Sosial, terj. Inyak R. M, Yogyakarta: Ircsod, 2005, hlm. 211.

sekadar mengobrol. Mereka lebih suka bergaul dengan teman-teman sesama jamaah MCQ. Hal tersebut berdasarkan pengetahuan dari jamaah MCQ, yaitu ajaran Islam yang menyatakan bahwa jika ingin menjadi orang yang soleh, maka berkumpulah hanya dengan orang-orang yang soleh.

Bagi jamaah MCQ, menjadi bagian dari sebuah komunitas keagamaan merupakan suatu yang amat berharga, dibandingkan dengan upah/gaji yang mereka dapatkan, pengajian MCQ memberikan suatu ketenangan yang lebih. Mendapat upah/gaji yang cukup besar bila dikaitkan dengan pengaruh westernisasi, dapat berpengaruh buruk bagi individunya. Hal tersebut dapat mengakibatkan perilaku konsumsi yang berlebihan (konsumerisme), yang mengakibatkan individu bersifat

mubazirin.144 Perilaku yang demikian sering terjadi pada pekerja kantor di perkotaan sepulang mereka dari bekerja. Jadi bagi mereka, pengajian MCQ adalah tempat yang baik sepulang kerja dimana mereka bisa berkumpul sekaligus menjadi filter dari pengaruh sekularisasi perkotaan, walaupun hanya dilaksanakan sepekan sekali.

Agar jamaah MCQ tidak mendapat pertentangan dengan teman kantornya, atau dalam hal ini tetap mendapat tempat dan dihargai oleh mereka, maka jamaah MCQ tetap berinteraksi dengan mereka. Interaksi tersebut dikonstruksikan oleh mereka sebagai suatu hal yang kemudian disisipkan basis agama, yang dalam hal ini menjadi interaksi sosial keagamaan. Seperti misalnya sepulang kerja ketika sedang berkumpul sejenak dengan teman-temannya, jamaah MCQ sering menyisipkan obrolan dengan sesuatu yang mencerminkan nilai agama. Bagi jamaah MCQ sendiri

hal tersebut berkaitan dengan pengajaran agama atau dakwah kepada orang lain. Pengajaran yang mereka sampaikan pun bukan semata-mata selalu dalil yang keluar dari Al-Qur’an, tetapi dari segi intelektualitas yang mereka miliki, supaya interaksi tersebut dapat betul-betul diterima oleh yang lain.

Bahkan di sisi lain, justru dari teman-temannya, yang masih menganggap agama adalah sesuatu yang penting, walaupun malas untuk mengikuti pengajian, meminta untuk diceritakan apa saja yang didapat oleh jamaah MCQ sepulang dari pengajian. Lalu menjadi menarik ketika sebuah obrolan yang bersifat biasa saja, menjadi suatu perbincangan yang bermakna pengetahuan Islam. Pengajian yang dilaksanakan di perkantoran, kemudian dibawa oleh jamaah MCQ kepada teman-teman kantornya yang tidak hadir di pengajian MCQ. Hal tersebut sebagai bagian dari nilai-nilai religiusitas yang dimiliki oleh jamaah MCQ yang selanjutnya diimplementasikan kepada hubungan sosialnya.

Pengamalan keagamaan yang dimiliki oleh jamaah MCQ terhadap hubungan sosialnya dipengaruhi oleh pengetahuan serta keyakinan mereka yang juga berlandaskan agama. Pengajaran yang diberikan oleh jamaah MCQ kepada teman kerjanya yang lain dipengaruhi oleh ajaran Islam yang berkaitan dengan dakwah kepada sesama. Lalu dipengaruhi pula dengan keyakinan terhadap pahala yang didapat ketika mengajarkan ilmu agama kepada orang lain. Seperti yang penulis paparkan sebelumnya, bahwa menurut ajaran Islam seorang muslim yang memberikan pendidikan kepada orang lain, maka pahala akan selalu didapat walaupun seorang muslim itu sudah meninggal dunia.

Penulis kemudian memaknai salah satu praktik keberagamaan jamaah MCQ melalui konsep interaksi sosial keagamaan yang dilakukan oleh mereka kepada orang lain sebagai gerakan sosial yang sifatnya individual. Artinya walaupun nilai-nilai religiusitas jamaah MCQ terkonstruksi melalui gerakan yang sifatnya kelompok, namun dari segi mengubah tatanan idealismenya dilakukan secara individual melalui interaksi sosial keagamaan jamaah MCQ. Sehingga seperti yang penulis paparkan di bagian pengantar, konteks tindakan yang dilakukan oleh MCQ adalah sifatnya hanya mengubah idealisme individu-individu muslim kelas menengah di kantor Bank Indonesia, bukan sebagai gerakan yang reformatif yang dalam hal ini mengubah sistem perekonomian yang dianut oleh Bank Indonesia.

Jadi dari dimensi pengamalan agama terhadap hubungan sosial, bukan hanya berkaitan dengan hubungan horizontal antara individu yang beragama dengan masyarakat, lebih jauh ada faktor idealisme agama yang dapat mempengaruhi hubungan tersebut. Faktor agama tersebut dijadikan sebagai amalan vertikal, atau dalam hal ini sebagai bentuk amalan kepada Tuhan. Lalu jika hubungan sosial yang dilatarbelakangi oleh keagamaan tersebut berlangsung dengan baik, maka akan terpenuhi fungsi dari agama yaitu sebagai penekan konflik sosial atau sebagai kontrol sosial.