• Tidak ada hasil yang ditemukan

Religiusitas dan Kemasyarakatan

BAB I. PENDAHULUAN

E. Kerangka Konsep

3. Religiusitas dan Kemasyarakatan

Bagi seorang muslim, berdasarkan teori Glock, keberagamaan dapat dilihat dari seberapa dalam keyakinan ibadah ritual keagamaan, seberapa dalam penghayatan atas agama Islam serta seberapa jauh implikasi agama tercermin dalam perilaku keagamaan.30 Esensi Islam sendiri adalah tauhid, yaitu pengesaan Tuhan sebagai pencipta yang mutlak dan transenden, penguasa segala yang ada, dapat disimpulkan tauhid adalah intisari Islam, dan suatu tindakan tidak dapat disebut bernilai Islam tanpa dilandasi oleh kepercayaan kepada Tuhan. Sejalan dengan pandangan Islam, Glock menilai bahwa kepercayaan keagamaan atau teologi adalah jantungnya keyakinan.31

Teologi terdapat dalam seperangkat kepercayaan mengenai kenyataan terakhir, mengenai alam dan kehendak-kehendak supranatural, sehingga aspek-aspek lain dalam agama menjadi koheren, ritual dan kegiatan yang menunjukan ketaatannya baru dapat dipahami jika kegiatan-kegiatan tersebut berada dalam kerangka kepercayaan yang mengandung dalil bahwa ada suatu kekuatan yang besar yang harus disembah.

Konteks keagamaan di dalam penelitian sosial lebih dikenal dengan religiusitas. Sedangkan religiusitas itu sendiri lebih bersifat personal, yaitu melihat

30 Lihat, Charles Y. Glock, Religion and Society in Tension, US: Rand Mc Nally, 1966, hlm. 27.

31

aspek-aspek yang berada di dalam hati nurani, lebih mengarah pada nilai-nilai keagamaan yang diyakini oleh individu, kemudian diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari.32 Agama sebagai rangkaian manifestasi dari fenomena yang berkaitan dengan sesuatu yang dipandang sebagai sistem ilahiyah (divine system) berdasarkan analisis Glock dan Stark, keberagamaan muncul dalam empat dimensi:33

1) Dimensi Pengetahuan

Mengacu pada pengetahuan agama, apa yang tengah atau harus diketahui seseorang tentang ajaran agamanya. Dalam Islam, dimensi ini menyatakan pengetahuan tentang isi dan kandungan Al-Quran, pokok-pokok ajaran Islam yang harus diimani dan dilaksanakan, hukum-hukum Islam, sejarah Islam dan sebagainya. Pada dimensi ini pula penelitian dapat diarahkan untuk mengetahui seberapa jauh mengerti agama (religious

literacy) pada pengikut agama atau tingkat ketertarikan mereka mempelajari

pengetahuan tentang agama yang mereka anut. 2) Dimensi keyakinan

Dimensi keyakinan merupakan seperangkat kepercayaan yang memberikan “premis eksistensial” untuk menjelaskan Tuhan, alam, manusia dan hubungan diantara mereka. Kepercayaan ini dapat berupa makna yang menjelaskan tujuan Tuhan dan peranan manusia dalam mencapai tujuan itu (purpose beliefs) kepercayaan pada tingkat akhir dapat berupa pengetahuan

32 Sofyan Efendi, Metodologi Penelitian Survei, Jakarta: LP3ES, 1989, hlm. 127.

33

tentang perangkat tingkah laku yang dikehendaki agama (dogma). Kepercayaan inilah yang didasari struktur etis agama. Dalam dimensi ini juga menunjuk pada seberapa jauh keyakinan seseorang muslim terhadap kebenaran ajaran agamanya, yaitu yang menyangkut tentang rukun-rukun keimanan di dalam Islam.

Selain itu dimensi keyakinan berkaitan dengan kepercayaan para penganut agamanya dalam hal keterlibatan emosional dan sentiment pada pelaksanaan ajaran agama. Dalam hal ini apa yang disebut sebagai religious

feeling memiliki empat tingkat: konfirmatif (merasakan kehadiran Tuhan atau

apa saja yang diamatinya), responsif (merasa bahwa Tuhan menjawab kehendaknya atau keluhannya), eskatik (merasakan hubungan yang akrab dan penuh cinta dengan Tuhan), partisipatif (merasa menjadi kawan setia, kekasih/wali Tuhan dan menyertai Tuhan dalam melakukan karya ilahiyah atau darma bakti).

3) Dimensi Ritual

Dimensi ritual merupakan tingkat sejauh mana seseorang melakukan kewajiban ritual agama. dimensi ini meliputi pedoman-pedoman pokok pelaksanaan ritus dalam kehidupan sehari-hari yang diperintahkan oleh agama. Dalam hal ini apa yang disebut di dalam Islam sebagai syariah atau peraturan-peraturan yang diciptakan Allah yang menjadi pokok-pokok agama manusia. Para penganutnya berpegang teguh pada peraturan tersebut dalam rangka pelaksanaan peribadatan.

Dimensi ritual sendiri dibagi menjadi dua jenis yaitu pertama; yang berkaitan dengan peribadatan personal atau sejenis shalat, puasa, melaksanakan haji, membaca doa, dzikir, kurban, dan zakat untuk mensucikan harta pribadinya. Sedangkan jenis yang lainnya yaitu; yang berkaitan dengan peribadatan sosial semisal membayar zakat atau sedekah untuk menyantuni orang-orang yang kekurangan harta, melakukan shalat berjamaah dan berbuka puasa bersama untuk kepentingan silaturahmi.

4) Dimensi Pengamalan

Dimensi ini menunjukkan pada seberapa jauh seorang muslim berperilaku dan bersikap sesuai dengan ajaran agamanya. Dimensi ini meliputi dua hal yaitu yang berkaitan dengan personal seperti sifat amanah, sabar, tawakal, rendah hati dan lain-lain. Selain itu yang berkaitan dengan hubungan sosial dengan makhluk lain seperti perilaku menolong, bekerja sama, menegakkan keadilan dan kebenaran, serta menjaga lingkungan. Hal tersebut semata-mata diniatkan karena aturan yang Allah buat kepada umat Islam.

Penulis selanjutnya mendefinisikan nilai-nilai keagamaan yang terkonstruksi oleh muslim kelas menengah yaitu tergambar dari keempat dimensi yang telah penulis paparkan tersebut. Keempat dimensi tersebut memiliki perbedaan penghayatan untuk setiap individu beragama yang melaksanakan ajaran agamanya. Maksudnya adalah masing-masing individu, maupun individu yang masuk ke dalam masyarakat beragama memiliki pemahaman tentang agamanya sendiri. Melalui

pemahaman tersebut, maka setiap individu pun memiliki cara aktualisasi yang berbeda di dalam kesempatan yang mereka miliki.

Inti keagamaan seperti iman dan taqwa pada dasarnya adalah individual (hanya Tuhan sendiri yang mengetahui iman dan taqwa seseorang, dan itulah yang banyak ditegaskan dalam ajaran agama itu sendiri). Kendati begitu pemeluk agama tidaklah berdiri sendiri-sendiri sebagai pribadi yang terpisah. Mereka membentuk masyarakat atau komunitas, serta dalam pembentukannya itu terjadilah kadar intensitas keagamaannya itu sehingga membentuk tingkatan masyarakat yang bersifat sangat agamis, agamis, sampai kepada yang kurang atau tidak agamis. Jika prosedur-prosedur yang ada telah menjadi mapan, mantap dan melembaga ditengah-tengah komunitas atau masyarakat, maka dengan sendirinya akan terbentuk pranata atau institusi.34 Singkatnya pranata adalah organ-organ kemasyarakatan yang memberi kerangka terlaksananya berbagai fungsi kemasyarakatan itu.

Memang tidak ada alasan yang menyatakan adanya keterkaitan satu-satu (one

to one correspondence) antara pranata dengan pemenuhan kebutuhan mendasar

masyarakat. Maka dalam hal pranata yang bersifat keagamaan, juga tidak selalu dan tidak harus berarti ada hubungan tersebut. Masyarakat Islam ataupun masyarakat dari agama lain, apalagi perorangan anggotanya, selalu mungkin mendapatkan jalan pemenuhan kebutuhan mendasarnya termasuk yang bersifat keagamaan, dari saluran diluar wilayah pranata keagamaan itu sendiri, seperti misalnya dari kantor dinas atau perusahaan tempat ia bekerja.

34

Kenyataannya banyak sekali faktor yang ikut membentuk pribadi individu yang menjadi anggota dalam masyarakat, baik faktor psikologis, sosial, ekonomi, politik, dan seterusnya diluar atau selain nilai-nilai keagamaan.35 Bahkan dalam beberapa kasus tingkah laku yang tampak bersifat keagamaan pun, setelah dianalisa lebih mendalam, ternyata memiliki motif kesukuan, kedaerahan, kedudukan, kekuasaan, dan berbagai “vested interest” yang lain.

Keberagamaan tidak bisa dilepaskan dari masyarakat, konsep-konsepnya yang mapan telah menjadi haluan tersendiri bagi kelompok-kelompok yang ada di masyarakat. Sehingga banyak konsep-konsep keagamaan yang terinterpretasi dalam kehidupan bermasyarakat, meskipun konsep-konsep tersebut tidak selalu murni sebagaimana yang tertera secara tekstual dalam agama tersebut. Konsep-konsep kemasyarakatan memang tidak selamanya murni karena konsep murni dari suatu agama selalu bersifat global dan tidak spesifik. Kemudian dari konteks kemasyarakatan yang ada itulah konsep-konsep agama terinterpretasikan untuk memenuhi kebutuhan sosial yang ada.