• Tidak ada hasil yang ditemukan

Relevansi akhlak guru terhadap murid perspektif Imam Ghozali dalam konteks pendidikan zaman modern

BAB V PENUTUP Dalam bab ini berisi kesimpulan, saran, daftar pustaka, dan lampiran-lampiran.

PENDIDIKAN ZAMAN MODERN

B. Relevansi akhlak guru terhadap murid perspektif Imam Ghozali dalam konteks pendidikan zaman modern

Budi pekerti berasal dari bahasa Indonesia. Akhlak berasal dari bahasa arab. Sedangkan moral berasal dari bahasa latin, dan etika berasal dari bahasa yunani. Akhlak adalah istilah yang tepat dalam bahsa arab untuk arti moral dan etika. Seperti halnya akhlak, secara etimologis etika juga memiliki makna yang sama dengan moral.

Dalam dunia pendidikan, keberadaan dan fungsi guru merupakan salah satu faktor yang sangatsignifikan. Guru merupakan bagian terpenting dalam proses belajar mengajar, di jalur pendidikan formal, informal, atau nonformal. Oleh sebab itu, dalam setiap upaya peningkatan kualitas pendidikan di tanah air, guru tidak dapat dilepaskan dari berbagai hal yang berkaitan dengan eksistensi mereka. Salah satu kompetensi yang harus dikuasai oleh seorang guru adalah merencanakan, mengelola, dan melakukan evaluasi pembelajaran. Untuk menguasai kompetensi tersebut, seorang guru senantiasa berlatih untuk meningkatkan kemampuan mengajarnya yang dilakukan

67

secara terus-menerus melalui pendidikan lanjutan, pelatihan berkala, atau pengembangan ketrampilan (Jumanta, 2016: 1).

Maka dari itu penulis mencoba menganalisis tentang konsep yang di kemukakan imam Ghozali dengan undang-undang yang berlaku pada masa kini serta sekaligus menjadi jembatan jika terapat ketidak samaan dalam hal pemahaman ataupun terjadi ketidak singkronan antara konsep imam ghozali dan Undang-Undang yang dimana pada proses penerapan tidak sesuai dengan konsep ataupun UU berikut analisis yang berhasil dihipun oleh penulis:

1. Guru harus memiliki rasa kasih sayang

Menurut Imam Ghozali dalam hal ini guru menjadi peran yang sangat penting bagi seorang murid, karena dia akan menjadi juru selamat murid dari neraka di akhirat nanti. Dan tugas dari orang tuanyalah sebagai juru selamat di neraka dunia, oleh karena itu guru mempunyai tanggung jawab yang sangat besar terhadap murid.

Guru adalah orang yang memberikan kemanfaatan bagi murid dalam menggapai kehidupanyang abadi, yakni kehidupan akhirat. Hal ini senada dengan adannya Undang-Undang yang mengatur guru dan dosen pada UU No.14 Tahun 2005 pasal 10 pada kompetensi kepribadian, yang di jelaskan dalam Undang-Undang tersebut salah satunya adalah kompetensi kepribadian sekurang-kurangnya mencakup (a) berakhlak mulia

68

Dan jika di tarik pada konsep Imam Ghozali akan menemukan keselarasan, yaitu dimana jika guru tidak berakhlak mulia maka dia (guru) tidak akan mampu menjadi penanggung jawab atas muridnya kelak di akhirat, ini sesuai dengan perkataan sang imam “jika guru

diibaratkan sebatang tongkat, dan murid adalah bayangan. Bagaimana bayangan diharapkan lurus jika tonkat tersebut bengkok”.

Maka dapat di tarik kesimpulan antara konsep sang imam dan Undang-Undang terjadi kesamaan dalam hal tujuan, dan masih relevan jika diterapkan dalam pendidikan zaman modern.

2. Guru harus mengikuti teladan Rasul

Menurut Imam Ghozali seharusnya guru tidak meminta upah atas tugasnya. Tetapi mengajar hanya karena Allah SWT. tidaklah ia melihat apa yang telah dikerjakan kepada murid akan tetapi kewajiban bagi murid untuk selalu mengingat budi baik guru kepadanya. Karena guru adalah penyebab petunjuk kebenaran pada murid. Dengan kata lain guru tidak meminta imbalan atas tugas sebagaimana Allah dan Rasulnya yang mengajar manusia tanpa imbalan (Jurnal As-salam vol III, 2013: 33).

Pemikiran Imam Ghozali ini masih relevan dengan pendidikan saat ini. Hal tersebut dapat dilihat dalam UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) pasal 10 menyebutkan bahwa kompetensi guru sebagai pendidik meliputi salah satunya adalah kompetensi kepribadian, yang dijelaskan pada point terakhir yaitu guru

69

seharusnya memiliki akhlak mulia dan memiliki perilaku yang dapat diteladani oleh peserta didik, bertindak sesuai norma religius, jujur, ikhlas dan suka menolong. Sikap jujur dapat diartikan sebagai kelurusan hati, tidak berbohong, tidak curang, tulus dan ikhlas.

Tulus ikhlas berarti menjalankan pekerjaannya dengan penuh kerelaan dan pengorbanan tanpa pamrih. Suka menolong merupakan kesediaan guru dalam membantu peserta didik memecahkan masalah yang dialami, meringankan beban, penderitaan, kesukaran dan lain sejenisnya, membantu supaya dapat belajar dengan baik. Sikap ini perlu dimiliki setiap guru dalam melaksanakan tugasnya. Sebab siapapun pasti menyukai sikap guru yang tulus jujur dan suka menolong. Lurus hati berarti tidak bengkok, tidak becabang atau mendua hati, melainkan dengan sepenuh hati melakukan pekerjaannya seolah-olah untuk Tuhan. Tidak berbohong artinya apa yang dikatakannya sesuai dengan apa yang ada dalam hatinya, ya kalau ya, tidak kalau tidak, mengatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah. Tidak curang berarti sungguh-sungguh jujur, taat, dan setia melakukan perkerjaannya. Tulus ikhlas merupakan kesediaan, kerelaan dengan penuh pengorbanan tanpa pamrih menjalankan tugasnya dalam membimbing, mendidik, dan melatih peserta didik menjadi manusia seutuhnya. Dengan kata lain, antara konsep dan Undang-Undang yang mengatur pendidikan ini masih sangat relevan jika di terapkan oleh para guru.

70

3. Guru tidak boleh menyembunyikan nasihat

Menurut Imam Ghozali, seorang guru harus mengatakan kepada muridnya bahwa tujuan pendidikan adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT., bukan kepada kekuasaan atau kekayaan. Selain itu, seorang guru juga harus menyampaikan bahwa Allah menciptakan ambisi di dalam diri manusia sebagai sarana melestarikan ilmu yang merupakan hakikat bagi ilmu-ilmu yang tengah dipelajari. Sebagai contoh, dengan melarang murid mencari kedudukan sebelum mereka layak untuk mendapatkannya dan dengan melarang mereka menekuni ilmu yang tersembunyi (batin), sebelum menyempurnakan ilmu yang nyata (zahir) (Ghozali,2011: 125).

Pemikiran Imam Ghozali ini masih relevan dengan pendidikan saat ini. Hal tersebut dapat dilihat dalam UU No.14 Tahun 2005 pasal 7 ayat 1 yang menyatakan bahwa profesi guru dan profesi dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan dengan beberapa konsep, diantaranya adalah seorang guru dan dosen harus memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia.

Jika hal ini di sandingkan dengan konsep sang imam, maka akan menjadi kesatuan yang padu, jika pada Undang-Undang hanya menjelasakan secara garis besarnya saja/ universal, maka konsep dari imam Ghozali lah yang akan membahas secara terperinci,

71

dan pada kenyataanya di masyarakat tidak ditemukan oleh penulis hal- hal yang menjadi masalah pada konsep imam Ghozali ini di poin ke tiga.

4. Guru mencegah murid dari watak dan perilaku jahat

Menurut Imam Ghozali sudah sewajarnya seorang guru menasehati muridnya tidak secara terang-terangan, akan tetapi dengan cara yang halus, yakni dengan kasih sayang dan tidak dengan cara mengejek (sindiran). Sebab dengan cara ini akan lebih efektif yang menjadikan murid tidak minder dan takut kepada guru. Dalam hal ini sifat kasih sayang mempunyai kekuatan yang besar dalam menguasai dan menundukkan psikologi murid. Begitu juga dengan cara sindiran akan memberikan rangsangan bagi murid mencari apa tujuan dan maksud dari sindiran itu, sehingga murid akan lebih kreatif dan suka berfikir. Untuk itu guru harus senantiasa menjauhi akhlak yang buruk dengan cara menghindarinya sedapat mungkin (Jurnal As-salam vol III, 2013: 34).

Pemikiran Imam Ghozali ini masih relevan dengan pendidikan saat ini. Hal tersebut dapat dilihat dalam UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) pasal 10 menyebutkan bahwa kompetensi guru sebagai pendidik meliputi salah satunya adalah kompetensi kepribadian, yang menekankan guru harus memiliki kemampuan sekurang-kurangnya (a) beraklak mulia (b) arif dan bijaksana, Yang mendukung kepribadian guru agar dapat membina

72

peserta didik menjadi lebi baik lagi dikemudian hari, karena guru dapat menempatkan anak didiknya secara arif dan bijaksana.

5. Guru tidak merendahkan ilmu lain

Menurut Imam Ghozali sebaiknya seorang guru tidak mewajibkan pada murid agar mengikuti guru tertentu dan kecenderungannya. Dalam hal ini Al-Ghozali melihat dari sebagian guru fikih yang menjelekkan ilmu bahasa dan begitu juga sebaliknya, seorang guru yang bertnggung jawab pada satu pelajaran hendaklah memberikan keleluasaan pada murid untuk mempelajari pelajaran yang lain. Tetapi bagi guru yang bertanggung jawab akan berbagai ilmu pengetahuan, maka banginya adalah menjaga dan mengetahui murid setingkat demi setingkat (Jurnal As-salam vol III, 2013: 34).

Setiap perkataan, tindakan, dan tingkah laku positif akan meningkatkan citra diri dan kepribadian sesorang, selama hal itu dilakukan dengan penuh kesadaran. Memang, kepribadian menurut Dzakiya drajat (1980) disebut sesuatu yang abstrak, sukar dilihat secara nyata, hanya dapat diketahui lewat penampilan, tindakan, dan ucapan ketika menghadapi suatu persoalan (Saiful,2013: 33).

Pemikiran Imam Ghozali ini masih relevan dengan pendidikan saat ini. Hal tersebut dapat dilihat dalam Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen (UUGD) pasal 10

yang di sebutkan dalam kompetensi kepribadian tertuang pada poin (e) stabil. Yang mana sudah seharusnya guru mencerinkan kepribadian

73

yang mantap dan stabil serta memiliki konsistensi dalam bertindak sesuai norma hukum, norma sosial, dan etika yang berlaku.

Secara garis besar antara konsep dan Undang-Undang yang berlaku tidaklah jauh berbeda.

6. Guru hendaknya mengetahui batas kemampuan murid

Peran guru sebagai pendidik disini bukan hanya sebagai teman, melainkan sebagai partner bahkan orang tua bagi murid tersebut, dalam sebuah proses pembelajaran, interaksi edukatif memegang peranan yang menentukan sebagai salah satu tolok ukur keberhasilan dalam hasil proses tersebut. Cara yang dipergunakan dengan metode penyampaian dari pendidik dan peserta didik bukan hanya terjadi satu arah saja (Agustinus,2014: 16).

Dengan demikian dapat di dasarkan pada UU No. 14 Tahun 2005 yang mengatur tentang guru dan dosen pada pasal 10 point (b) guru mengetahui atau memahami potensi dan keragaman peserta didik, sehingga dapat didesain strategi pelayanan belajar sesuai keunikan masing-masing peserta didik.

Jika di konfersikan dengan pemahaman dari konsep imam Ghozali maka hasilnya kurang lebih akan sama karena di dalam konsep ini pada dasar tujuannya adalah sama,

yaitu : guru hendaknya memperlakukan murid sesuai dengan kesanggupannya yaitu memberi pengetahuan sesuai pemahaman otak murid atau kadar pemahamannya. Para murid boleh dikembangkan

74

suatu ilmu apapun secara mendalam asalkan tingkat pemahamannya sudah sampai padanya. Lebih lanjut, kembangkanlah semua pengetahuan kepada murid secara mendalam. Apabila telah diketahui bahwa mereka telah dapat memahaminya sendiri. Berikanlah mereka menurut ukuran akalnya dan timbanglah mereka berdasarkan pemahamannya sehingga akan mendatangkan keselamatan dan juga kemanfaatan. Jika sebaliknya, maka pertentangan atau salah pengertian (miss understanding).

Maka dapat disimpulkan penulis, bahwa konsep dari Imam Ghozali di atas masih relevan dengan Undang-Undang guru dan dosen No.14 Tahun 2005 pasal 10.

7. Guru hendaknya mengajar sesuatu yang jelas

Menurut Imam Ghozali guru mengajarkan kepada para murid yang berkemampuan terbatas hanya sesuatu yang jelas, lugas, dan yang sesuai dengan tingkat pemahamannya yang terbatas. Orang yang awam acapkali menilai, bahwa kebijaksanaan yang ditempuh seorang guru dalam cara-cara mengajar yang digunakan dianggap menyalahi aturan umum yang berlaku.

Mereka baru merasa puas jika pengetahuan yang disampaikan seorang guru, mereka anggap update, sesuai dengan perkembangan kemajuan zaman (Ghozali,2011: 128).

Pemikiran Imam Ghozali ini masih relevan dengan pendidikan saat ini. Hal tersebut dapat dilihat dalam UU No. 14 Tahun 2005 yang

75

mengatur tentang guru dan dosen pada pasal 10 point (b) guru mengetahui atau memahami potensi dan keragaman peserta didik, sehingga dapat didesain strategi pelayanan belajar sesuai keunikan masing-masing peserta didik.

Dengan kata lain dapat ditarik kesimpulan, guru berkewajiban mengetahui seberapa mampukah murid menerima pelajaran, dan tidak mungkin seorang guru memaksakan hal yang belum tentu difahami oleh murid. Dan tugas guru harus mampu menerangkan pelajaran sesuai kadar batas murid dengan jelas.

8. Guru harus mempraktikkan lebih dahulu

Menurut Imam Ghozali seorang guru haruslah melakukan terlebih dahulu apa yang diajarkannya, dan tidak boleh berbohong dengan apa yang disampaikannya. Ilmu dapat diserap dengan mata batin, dan amal dapat disaksikan melalui pandangan mata lahir. Dengan demikian guru tidak boleh mempraktikan sesuatu yang tidak sesuai dengan norma dan hukum yang berlaku,

dengan kata lain jika guru melakukan perbuatan dosa, dan itu dilihat kemudian diteruskan oleh muridnya, maka berlipat gandalah dosa seorang guru tersebut.

Pemikiran Imam Ghozali ini masih relevan dengan pendidikan saat ini. Hal tersebut dapat dilihat dalam Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen (UUGD) pasal 10 yang di

76

sebutkan dalam kompetensi kepribadian tertuang pada poin (h) mampu menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat.

Dalam hal ini menurut analisis penulis, dapat ditarik kesimpulan bahwa, jika orang berilmu melakukan tindakan jahat dan dilanjutkan oleh orang bodoh (awam), akan lebih berdosa daripada orang bodoh yang melakuaknnya, karena mereka akan menyesatkan banyak orang yang telah mengikutinya.

Dari berbagai penjelasan yang sudah penulis paparkan diatas. Konsep akhlak guru perspektif Imam Ghozali secara garis besar masih bisa diterapkan dalam pendidikan zaman modern. Dan masih ideal antara kosep yang dikemukakan Imam Ghozali denganUndang-Udang yang berlaku saat ini, dan jika diterapkan dalam proses pendidikan maka tidak hanya tujuan pendidikan yang dicapai, tetapi jauh yang lebih substansial yakni terbentuknya relasi (hubungan) guru dan murid yang baik, guru dinilai bukan sebagai penjual ilmu tetapi dinilai dari keikhlasan hati dan tujuannya (transfer of knowledge dan penyempurnaan akhlak). Dengan demikian akan membuahkan hasil bagi kebaikan di dunia dan juga di akhirat.

Akan tetapi pada kenyatanya dan fakta dilapangan yang terjadi saat ini masih banyak kasus-kasus penyimpangan yang dilakukan oleh oknum guru, yang sangat bertolak belakang dengan konsep Imam Ghozali ataupun dari Undang-Undang yang berlaku, banyak dari mereka yang menurut analisis penulis tidak secara betul memahami

77

makna dari belajar mengajar yang menjadikan kasus-kasus terjadi dimana-mana, seperti kasus kekerasan yang terjadi di Purwokerto yang melibatkan seorang guru bertindak kekerasan terhadap muridnya.

PURWOKERTO - Seorang guru sebuah sekolah menengah kejuruan (SMK) di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah melakukan tindak kekerasan dengan cara menampar siswanya di depan siswa lainnya. Ironisnya, kejadian ini justru direkam salah satu siswanya atas perintah guru tersebut.

Video tindakan kekerasan yang dilakukan LK terhadap L itu berdurasi 29 detik. Video itu beredar luas. Di video itu terlihat LK menampar L di depan siswa lainnya. Sebelum menampar L, LK terlihat terlebih dahulu mengelus-elus pipi L. Dalam hitungan detik, LK tiba-tiba menampar L.

Rekaman peristiwa tindak kekerasan ini pun dalam sekejap langsung menjadi viral. Peristiwa kekerasan yang terjadi Kamis (19/4/2018) pagi ini dalam hitungan jam sudah menyebar ke berbagai grup di media sosial.

Pihak sekolah pun langsung berinisiatif memanggil guru pelaku tindak kekerasan dan siswa korban kekerasan. Sementara, saat sejumlah wartawan meminta konfirmasi terkait kejadian tersebut, pihak sekolah melalui wakil kepala SMK membenarkan telah terjadi tindak kekerasan seperti yang beredar dalam rekaman video tersebut.

"Tapi yang jelas sudah diselesaikan, tadi pagi langsung kita panggil tidak perlu menunggu berjam-jam. Kita panggil juga anak yang nge-share (video). Gurunya sebenarnya sangat santun, dia juga pembina PMR, jadi tidak ada perilaku buruk sebenarnya pada guru itu. Mungkin karena dia masih muda dan mungkin dalam menegur anak dia belum banya pengalaman," ujar IR, wakil kepala sekolah SMK itu.

Pihak sekolah sendiri mengaku jika saat ini sudah melakukan tindakan tegas terhadap guru tersebut. Meski demikian, pihak sekolah menyatakan bahwa tindakan guru ini karena terdorong emosi melihat perilaku siswa yang sudah melakukan kesalahan berulang-ulang kali seperti tidak mengerjakan tugas dari gurunya, makan di kantin saat jam sekolah, dan pelanggaran lainnya.

Siswa tersebut sudah sering diberi peringatan oleh sang guru karena melakukan kesalahan. Kesalahan siswa tersebut menumpuk hingga hampir satu tahun.

Sementara menurut siswa yang melakukan perekaman terhadap tindakan ini mengatakan, perekaman yang ia lakukan atas perintah gurunya. Semula rekaman ini hanya untuk dikonsumsi di grup kejuruan kelas, namun akhirnya video ini beredar di media sosial secara luas.

78

Kasus kekerasaan ini dilaporkan ke pihak Polres Banyumas. Sementara, LK dan siswanya yang menjadi korban kekerasan masih dimintai keterangan oleh polisi (Sindo,2018: 02:00).

Hal ini juga mendapat sorotan dari beberapa psikolog dan ahli pendidikan di Indonesia salah satunya adalah Najelaa Sihab “Saya melihat kekerasan ini dari kejadian demi kejadian, hari ini di sini, nanti minggu depan di sana, cuma giliran saja nih, kejadiannya di satu sekolah ke sekolah lain. Kekerasan di dalam sekolah itu makin tinggi,” kata wanita yang akrab disapa Ella itu. Menurut Ella, kekerasan di Indonesia tidak hanya terjadi di sekolah tapi juga di rumah. Tingginya angka kekerasan dilatarbelakangi faktor budaya. “Masalah utama di dunia pendidikan kita itu budaya kekerasan.

Pola disiplin yang dipakai guru di sekolah, bahkan orangtua di rumah, masih sering menggunakan kekerasan.

Bahkan anak tumbuh dengan terbiasa digunakan cara kekerasan, meski bukan kekerasan fisik, tapi kekerasan verbal seperti ancaman, itu masih umum sekali,” terang Ella.

Sementara itu, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Dr. Susanto, MA, menilai apa pun bentuk kekerasan meski tujuannya baik, tidak dapat dibenarkan. “Meski tujuannya baik, tetap dianggap sebagai pelanggaran (Mutia, 2018: 12).

Adapun menurut Imam Ghozali tentang pemberian hukuman, Al-Ghozali juga tidak sependapat dengan pemberian hukuman pada anak didik. Beliau menjelaskan bahwa pemberian hukuman harus

79

melalui proses atau beberapa kriteria yaitu : jika ada seorang anak didik yang berperilaku menyimpang, maka seorang guru maupun orang tua memberikan hukuman melalui tiga tahapan, yaitu tahap

pertama : apabila anak didik melakukan kesalahan, maka sebagai gurunya harus memberikan kesempatan pada anak didik untuk memperbaiki diri. Dalam hal ini, anak didik diharapkan mampu menyadari kesalahan yang diperbuatnya sehingga menjadikannya untuk tidak mengulanginya lagi. Jika pada tahap pertama, anak didik belum bisa memperbaikinya, maka dilakukan tahap kedua yaitu dengan memberi teguran, kritikan atau celaan. Dan ketika menegur, mengeritik ataupun mencela anak didik tidak diperkenankan dilakukan di depan umum. Hal tersebut dikhawatirkan dapat menimbulkan rasa malu. Teguran yang diberikan pada anak didik harus singkat dan bijaksana, apabila tahap kedua telah dilakukan, tetapi anak didik belum bisa memperbaikinya, maka dilakukan tahap ketiga yaitu pemberian hukuman. Hukuman yang dimaksudkan adalah hukuman fisik. Hukuman ini tidak boleh menimbulkan penderitaan bagi anak didik. Dan jika memungkinkan maka hukuman yang diberikan harus ringan. Al-Ghozali mengibaratkan guru atau pendidik sebagai seorang dokter yang harus mengetahui jenis penyakit yang diderita oleh pasiennya. Dan segera memberikan obat yang sesuai dengan penyakit oleh pasiennya.

80

Begitu pula guru harus mampu memberi solusi yang terbaik apabila terjadi perilaku yang menyimpang. Guru harus mampu menyesuaikan kesalahan anak didik dengan hukuman yang akan diterimanya. Dalam kitab Ihya Ulumuddin, Al-Ghozali menjelaskan bahwa salah satu kewajiban seorang guru adalah berusaha mencegah anak didiknya dari perbuatan yang tidak baik dengan penuh kehati- hatian dan dengan cara sindiran. Tetapi tidak dengan cara kekerasan, karena dapat mengakibatkan anak didik menjadi lebih berani dan tidak patuh lagi kepada gurunya.

Sementara itu pada kasus diatas menjadikan perhatian pada dunia pendidikan zaman modern ini menurut penulis sangatlah tidak pantas, karena jika saja seorang guru lebih bisa memahami makna yang disampaikan oleh Imam Ghozali ataupun Undang-Undang yang berlaku maka tidak akan terjadi hal yang sedimikan rupa, karenanya menurut penulis berkenaan dengan konsep dan analisis yang telah berhasil penulis paparkan diatas maka sudah seharusnya pada dunia pendidikan zaman modern ini pemerintah lebih memperhatikan proses calon-calon guru yang nantinya sebelum mereka benar-benar terjun pada dunia yang sebenarnya agar dipastikan lebih siap mengemban tugas sesuai Konsep dari Imam Ghozali maupun Undang-Undang yang berlaku pada saat ini.

Kemudian jika pemerintah sudah memperhatikan proses calon guru agar benar-benar siap menjadi guru yang sesuai undang-undang,

81

maka akan menjadikan tujuan pendidikan pada saat ini sesuai dengan ungkapan Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 3, bahwa pendidikan Nasional Indonesia bertujuan untuk berkembangnya potensi agar menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Agustinus,2014: 17).

Hal ini berarti bahwa secara umum tujuan pendidikan di Indonesia akan tercermin dalam tujuan sekolah, perguruan tinggi, maupun tujuan nasional yang mana di dalam tujuan tersebut sudah mencakup ketiga ranah perkembangan manusia, yaitu: afektif, kognitif, dan psikomotorik.

82 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Berdasarkan dari data-data beserta analisa sebagaimana yang telah diuraikan diatas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Konsep akhlak guru terhadap murid menururt Imam Ghozali dalam