analisis atas Alqur‟an Surat Albaqarah ayat 132-133, dan Relevansi di kehidupan sekarang.
BAB V : Penutup menguraikan tentang kesimpulan dan saran.
BAB II
BIOGRAFI IBNU KATSIR
1. Riwayat Keluarga
Ibnu Katsir adalah seorang ahli tafsir dan sejarah ternama. Nama lengkapnya
ialah Abu al-Fida, Imaduddin Ismail Ibnu Umar Ibnu Katsir al-Quraisyi al-
Basrawi ad-Dimasyqi, yang terkenal dengan Ibnu Katsir(IAIN Syarif
Hidayatullah, 1992: 365).
Ibnu Katsir merupakan seorang ahli fiqih, ahli hadis, ahli sejarah, dan ahli
tafsir. Hafiz Ibnu Hajar berkata ”Ia adalah seorang ahli hadis dan fuqaha. Karangan-karangan Ibnu Katsir itu memenuhi negeri selagi ia masih hidup dan
dimanfaatkan setelah ia meninggal” (Quthan, 1995: 228).
Ibnu Katsir lahir pada tahun 700 H/1300 M di timur Bashri yang masuk
wilayah Damaskus. Pada usia 3 tahun, kira-kira tahun 703 H, ayahnya wafat.
Sejak saat itu, Ibnu Katsir diasuh oleh kakaknya di Damaskus. Di kota inilah ia
pertama kali mengenyam pendidikan,(Ghofur, 2008: 105-106)yaitu pada masa
Dinasti Mamluk, dan yang berkuasa pada saat itu adalah Sultan an-Nashir Ibnu
Qalawun yang kemudian turun tahta pada tahun 1308 M, dan digantikan oleh al-
Malik al-Muzhaffar Baybars al-Jazhangir yang berpusat di Kairo (Jindan, 1999:
26).
Ibnu Katsir meninggal dunia tak lama setelah menulis kitab al-Ijtihâd fî
Talab al-Jihâd(Ghofur, 2008: 109).Ia wafat di Damaskus pada tahun 774
H(Thanthawi, 2013: 143). Ia dikebumikan di pemakaman sufi, tepat di samping
makam gurunya, Ibnu Taimiyah(Ghofur, 2008: 109).
Guru pertama yang membimbing Ibnu Katsir ialah Burhanuddin al-Fazari,
seorang ulama penganut mazhab Syafi‟i(Ghofur, 2008: 106). Pada saat itu, Imam
Syafi‟i dikenal sebagai salah seorang ahli teori dan sintesis hukum terbesar dalam
sejarah intelektual Islamsetelah wafatnya, karena Imam Syafi‟i diberkati memori
yang luar biasa dan intelektual yang tajam. Imam Syafi‟i mampu menyelaraskan metodologi hukum Abu Hanifah dan Malik dan menciptakan sebuah sintesis
hukum baru yang komprehensif dan original(Mojlum Khan, 2012: 141).
Selama bertahun-tahun Ibnu Katsir tinggal di Damaskus. Bersama kakaknya,
ia hidup sangat sederhana. Meski demikian, tekadnya untuk menuntut ilmu sangat
besar. Kecerdasan dan daya hafal yang kuat menjadi modal utama baginya untuk
mengkaji, memahami, dan menelaah berbagai disiplin ilmu. Misalnya, tafsir,
tarikh, hadis, fiqih, dan sejarah.
Walaupun dalam hukum fikih ia menyatakan diri sebagai pengikut aliran
Syafi‟i, namun hal itu tidak menghalanginya untuk belajar dan mendalami ilmu- ilmu keislaman dari tokoh Ibnu Taimiyah (661-738 H) walaupun sedikit ia
terpengaruh oleh jalan pemikiran tokoh tersebut. Oleh karena ia sangat dekat
dengan Ibnu Taimiyah dan menyayanginya. Ia pernah difitnah karena dekatnya
dengan gurunya tersebut(Ghofur, 2008: 106).Ibnu Taimiyah terjerat fitnah yang
menuduhnya sebagai ahli bid‟ah dan dituduh mengajarkan kepada masyarakat bahwa “Allah berada di atas singgasanaNya” itu dapat diterjemahkan dengan
Allah turun dari singgasana sebagaimana manusia turun dari tempat duduknya;
membela diri, namun para sufi terus mendiskreditkan dirinya dipimpin sufi yang
sangat berpengaruh pada kala itu, Syeikh Nashr al-Manjibi (Jindan,1999: 43).
Nama Ibnu Katsir mulai diperhitungkan di jagat intelektual Damaskus,
Suriyah, ketika terlibat dalam sebuah penelitian untuk menetapkan hukuman
terhadap seorang zindik yang didakwa menganut paham hulûl, yakni suatu paham
yang berkeyakinan bahwa Allah bersemayam dalam diri hamba. Penelitian itu
diprakarsai Gubernur Suriah, yakni Altunbuga an-Nasiri.
Walau reputasi akan sikap pribadi dan kecerdasan Ibnu Katsir mulai meroket,
namun ia tak cepat puas. Ia bermaksud mendalami ilmu hadis kepada Jamaluddin
al-Mizzi (Ghofur, 2008: 106) (654-742 H) seorang tokoh hadis terkenal di
Syam/Syiria (yang sekarang di kenal dengan Suriyah) ibu kotanya di Damaskus
yaitu pada zaman sebelum Islam adalah ibu kota Kerajaan Romawi Timur.
Damaskus merupakan kota lama yang dibangun kembali dalam zaman Daulah
Bani Umayyah dan dijadikan ibu kota negara sejak pemerintahan Muawiyah bin
Abi Sufyan, khalifah pertama Bani Umayyah (Amin, 2010: 288).
Buku-buku karya tokoh tersebut, sempat dibaca dan dipelajari Ibnu Katsir
langsung dari pengarangnya tersebut. Begitu tertarik Syeh al-Hafiz al-Mizzy
dengan sikap pribadi dan kecerdasan muridnya itu, sehingga pada akhirnya Ibnu
Katsir diambilnya menjadi menantu(IAIN Syarif Hidayatullah, 1992: 365-366).
Di usia yang relatif muda, ia sanggup menghafal banyak matan, mengenali sanad,
memeriksa kualitas perawi, biografi tokoh, dan sejarah. Tak tanggung-tanggung ia
juga sempat mendengar hadis langsung dari ulama Hijaz serta memperoleh ijazah
sesuai dengan ilmunya. Ia juga berguru kepada Kamaluddin bin Qadi Syuhbah
dan Ibnu Taimiyah(Ghofur, 2008: 106).
Al-Badr al-Aini mengatakan bahwa Ibnu Katsir menjadi panutan ulama pada
masanya. Ia terkenal sebagai seorang yang amat tekun mendengarkan kajian-
kajian agama, kendatipun bukan dari ulama yang sealiran dengannya. Ia tekun
mengumpulkan hasil-hasil kajian, dan rajin mengajarkan dan merawikan hadis
yang didengarnya. Dalam sejarah tercatat, bahwa ia termasuk orang yang paling
banyak mengetahui hadis Rasulullah, fatwa sahabat dan ulama tabiin, disamping
pengetahuannya yang amat terinci dalam bidang sejarah.
Kitab Tafsir dan Tarikh yang terkenal itu adalah sebagai bukti dari pernyataan
tersebut. Dengan demikian, ia terkenal sebagai seorang yang berpandangan luas
dalam bidang tafsir dan sejarah. Ketelitiannya dalam ilmu pengetahuan tersebut
membuat ia amat populer di kalangan ulama. Dalam bidang hadis, seperti
dikatakan oleh seorang muridnya ahli sejarah Syihabuddin Ibnu Hijji, Ibnu Katsir
disamping banyak hafal teks-teks hadis, juga tahu membedakan hadis yang punya
cacat dan hadis yang sahih. Keahliannya itu dikenal di kalangan para gurunya.
3. Karya-karya Ibnu Katsir
Banyak karya-karya ilmiah yang diwariskan oleh Ibnu Katsir diantaranya
ialah Tafsîr al Qurân al „Azîm sebanyak sepuluh juz. Haji Khalifah dalam kitabnya Kasyf az Zunûn berkomentar bahwa bobot kitab tafsir tersebut terletak
pada penafsirannya yang didasarkan atas hadis Rasulullah dan al atsar (fatwa
Kitab-kitab lain karya ilmiahnya ialah kitab al Kâmil fî Ma‟rifat as Siqât
wa ad Du‟afâ‟ wa al Majâhil sebanyak lima juz dalam bidang penilaian terhadap perawi hadis, kitab Syarh Sahîh al Bukhâri, tapi sayang kitab ini tidak sempat
diselesaikannya. Kemudian kitab al Ijtihâd fî Talb al Jihâd, kitab Manâqib al
Imâm asy Syâfi‟i(IAIN Syarif Hidayatullah, 1992: 366).Selain itu, ia juga menulis
Fadâ‟il Al-Qurân yang berisi ringkasan sejarah Al-Qur‟an(Ghofur, 2008: 107). Sebagai ulama Hadis, selain Ibnu Katsir mengajarkan hadis, ia juga
menghasilkan beberapa kitab ilmu hadis diantaranya Jâmi‟ al-Masânîd wa as- Sunan (sejumlah delapan jilid yang berisi nama-nama sahabat periwayat hadis),
al-Kutub as-Sittah, al Muhtasar (ringkasan Muqaddimah Ibnu Salâh) dan Adillah
at-Tanbîh lî „Ulûm al-Hadîs (lebih dikenal dengan nama al-Bâ‟is al-Hadîs). Bidang ilmu sejarah juga dikuasai Ibnu Katsir.Ia menulis beberapa kitab
sejarah, antara lain, al-Bidâyah wa an-Nihâyah (sebanyak 14 jilid), al-Fusûl fî
Sîrah ar-Rasûl, dan Tabaqât asy-Syâfiiyyah. Dari jajaran kitab sejarah, al-Bidâyah
wa an-Nihâyah dianggap paling penting. Bahkan, kitab ini merupakan sumber
primer untuk menguak sejarah Dinasti Mamluk di Mesir.Ada dua penggalan
sejarah yang tertuang dalam buku tersebut, Pertama, sejarah kuno yang mencakup
sejarah penciptaan alam sehingga masa kenabian Rasulullah SAW.Kedua, sejarah
Islam mulai periode dakwah Nabi di Mekah hingga pertengahan abad ke-8 H.
Peristiwa penting yang berangsung setelah hijrah disusun berdasarkan tahun
kejadian tersebut(Ghofur, 2008: 109).
Pengarang kitab Kasyf az Zunûn berkomentar bahwa buku al Bidâyat wa an
terletak pada penyajian yang banyak didasarkan atas dalil-dalil al Qur‟an dan hadis, terutama dalam mengungkapkan kejadian alam, termasuk kejadian umat
manusia(IAIN Syarif Hidayatullah, 1992: 366).
Di bidang fikih, kepakaran Ibnu Katsir juga tak diragukan. Bahkan oleh
penguasa tempo itu, ia kerap dimintai pendapat menyangkut pelbagai persoalan
kenegaraan dan kemasyarakatan. Umpamanya, dalam kasus pengesahan
keputusan tentang pemberantasan korupsi tahun 1358 M, upaya rekonsiliasi
pascaperang saudara, peristiwa Pemberontakan Baydamur (1361 M), dan seruan
Jihad (1368 M – 1369 M)(Ghofur, 2008: 109). 4. Riwayat Pengabdian
Tahun 1348 H, Ibnu Katsir menggantikan gurunya, Adz-Dzahabi, di Turba
Umm Salih (Lembaga Pendidikan). Selanjutnya ia diangkat menjadi kepala Dar
al-Hadis al-Asyrafiyah (Lembaga Pendidikan Hadis) setelah wafatnya Hakim
Taqiyyudin as-Subki tahun 1355 H(Ghofur, 2008: 106).
Tafsîr Ibnu Kasîr penulisannya dimulai setelah ia diangkat menjadi guru besar
oleh Gubernur Mankali Bugha di Masjid Umayyah, Damaskus, pada tahun 1366
M. Hingga saat ini Tafsîr Ibnu Kasîr masih menjadi bahan rujukan, karena
pengaruhnya begitu besar dalam bidang keagamaan(Ghofur, 2008: 107).
B. Sistematika Tafsir Ibnu Katsir
1. Gambaran Umum Tafsir Ibnu Katsir
Tafsîr Al-Qur‟ân al-Karîm, terdiri dari 10 jilid. Kitab ini termasyhur dengan sebutan Tafsîr Ibnu Kasîr. Berbagai cetakan dan penerbitan lainnya
pada umumnya formatnya hampir sama, hanya saja dengan semakin majunya
teknologi naskah cetakan tafsir ini dicetak dengan semakin bagus. Bahkan
sekarang kitab ini telah banyak beredar dalam bentuk CD dan e-book
(elektronic book) dalam bentuk file dan umumnya berakhiran .pdf yang dapat
didownload atau dikirim langsung kedalam email (electronic mail) sehingga
dengan memanfaatkan teknologi komputer dan menggunakan jaringan internet
pengkajian dapat dilakukan secara relatif cepat dan akurat. Seperti bisa dilihat
di www.mukomukoshare.com/2015/01/tafsir-ibnu-katsir-30-juz-bahasaArab.
html.
Karya yang terkenal dengan Tafsîr Ibnu Katsîr ini telah diringkas oleh
seorang ahli tafsir Muhammad Ali as Sabuni berkebangsaan Siria, guru besar
pada Universitas Umm al Qura di Mekah. Ringkasan tersebut terdiri dari tiga juz, dicetak atas biaya seorang miliuner di Saudi Arabia, untuk diwakafkan
kepada umat Islam, tanpa diperjual belikan(IAIN Syarif Hidayatullah, 1992:
366).
Ibnu Katsir menafsirkan firman Allah itu dengan hadis-hadis yang
sanad-sanadnya itu sampai kepada Rasulullah SAW. Kata-kata tentang apa
yang diperlukan itu mudah dipahami dan sederhana dan sebagian kata-kata itu
menguatkan yang sebagian lagi. Dia menilai riwayat-riwayat itu, katanya ada
sebahagian yang dhaif dan ada pula yang sah(Quthan, 1995: 207).
Seperti contoh tentang riwayat yang dhoif:
Tentang israiliyat, Ibnu Katsir membolehkan mencantumkannya dalam
tidak bertentangan dengan syariat dan ini digunakan hanya untuk istidlal atau
bukti penafsiran pada surah al Baqarah ayat 67. Dalam penafsiran dari ayat ini,
dapat ditemukan satu cerita aneh dan panjang yang menceritakan tentang laki-
laki dari Bani Israil (Anonim. 31 Desember2012. Telaah Tafsir Alqur‟an al Adzim Karya Ibnu Katsir. http://hijausegarsaja.blogspot.com/2012/12/telaah-
tafsir-al-quran-al-adzim-karya.html. Diakses pada tanggal 23 Juni 2015).
Sedangkan riwayat yang sah seperti halnya dalam surat al Baqarah ayat
133 yaitu:
ٍثَّلاَع ُدَلاْوَأ ِءاَُِبْوَلأْا ُرَشْعَم ُهْحَو(
).ٌدِحاَو اَىُىَِْد
“Kami para nabi adalah anak-anak yang berlainan ibu, sedang agama
kami adalah satu” (Bukhari, Muslim dan abu Dawud) (Ghoffar, 2004: 279). Tafsir ini disusun oleh Ibnu Katsir berdasarkan sistematika tertib
susunan ayat-ayat dan surat-surat dalam mushaf al-Quran yang lazim disebut
sebagai sistematika tertib mushafi. Secara rinci kandungan dan urutan tafsir
yang terdiri dari empat jilid ini ialah jilid 1 berisi tafsir surah al-Fatihah (1) s/d
an-Nisa (4), jilid II berisi tafsir surah al-Maidah (5) s/d an-Nahl (16), jilid III
berisi tafsir surah al-Isra‟ (17) s/d Yasin (36), dan jilid IV berisi surah as- Saffat (37) s/d an-Nas (114)(Anonim. 17 April 2012. Metode Tafsir Ibnu
Katsir dalam Tafsirnya. http://helfinarayya.blogspot.com/2012/04/metode-
ibnu-katsir-dalam -tafsirnya.html. Diakses pada tanggal 15 Mei 2015).
2. Metode Tafsir Ibnu Katsir
Ibnu Kasir dalam menafsirkan al-Qur‟an dapat dikategorikan sebagai manhaj tahlili (metode analitis). Metode tahlily ialah pendekatan yang dipakai
mufassir dalam membahas al-Qur‟an ayat demi ayat sesuai dengan rangkaiannya yang tersusun di dalam al Qur‟an (Kuswaya, 2009: 54).
Dalam menulis tafsir, Ibnu Katsir merumuskan metode sendiri. Ia
menafsirkan [ayat] Al-Qur‟an [yang lain]. Bila tidak didapatkan, maka mengacu kepada hadis. Jika tidak ada, maka merujuk pendapat para sahabat.
Apabila langkah ketiga juga menemui sandungan, pendapat tabiin merupakan
pijakan (Ghofur, 2008: 107).
Di sana-sini secara kritis dibedakan antara berita yang benar dan berita
yang dinilai tidak benar. Dalam sejarah periode sesudah hijrah Rasulullah ke
Madinah disusun berdasarkan urutan tahun, sampai ke akhir masa hidup
pengarangnya (IAIN Syarif Hidayatullah, 1992: 366).
3. Corak Tafsir Ibnu Katsir
Tafsir Ibnu Katsir yaitu tafsir yang terkenal dengan tulisan ma‟tsur/tafsir bi al-riwayah. Karena pengarang selalu memperhatikan riwayat dari ahli-ahli
tafsir salaf. Ia meriwayatkan hadis dan atsar dengan disandarkan kepada yang
mengatakan, namun ia membicarakan pula tentang kerajihan hadis dan atsar
itu serta menolak hadis yang munkar atau yang tidak shahih. Itulah sebabnya
tafsir ini tergolong tafsir ma‟tsur yang baik.
Adapun cara Ibnu Katsir dalam menafsirkan al Qur‟an; pertama-tama dengan menyebutkan satu ayat kemudian menafsirkannya dengan redaksi yang
mudah serta ringan dan menyertainya dengan dalil-dalil dari ayat yang lain,
lalu membandingkan ayat-ayat tersebut sehingga arti dan maksudnya menjadi
bisa diperincikan. Apabila menemui kesulitan dalam melakukan hal itu maka
menafsirkan dengan sunah (Ash-Shabuuniy, 1991: 314-315) atau hadis-hadis
marfu‟ yang bersangkut dengan ayat dan menerangkan apa-apa yang diperlukan. Keduanya itu diberikutkan kepada atsar sahabat dan perkataan
Tabi‟in. Sudah itu kepada Ulama Salaf(Quthan, 1995: 228). 4. Karakteristik
Para ulama tafsir yang menafsirkan Al Qur‟an menurut tarikat kebanyakan Salaf, yang datang sesudah terkumpul riwayat dan menerima kekayaan riwayat
yang ditinggalkan sahabat dan tabi‟in terbagi menjadi dua: yang dipelopori
oleh Ibnu Jarir At Thabary dan oleh Ibnu Katsir. Ibnu Katsir termasuk
golongan yang bersungguh-sungguh memperhatikan riwayat dan mempelajari
sanad-sanadnya.
Ibnu Katsir lebih teliti dalam memperhatikan sanad.Karenanya, beliau
menolak segala riwayat-riwayat Ibnu Jarir mengenai kisah Zaid dan
Zainab.Sedangkan Ibnu Jarir At Thabary termasuk golongan yang memilih
Atsar dari himpunan-himpunan itu, mana yang dipandang lebih munasabah
bagi al-Qur‟an dan mana yang lebih dekat kepada lughah dan mana yang sesuai dengan yang Ma‟tsur dari Nabi dan mudah diketahui dari agama.Golongan ini tiada terlalu memperhatikan nilai matan.Dalam pada itu
dapat juga riwayat-riwayat itu dimasuki oleh Israiliyat dan hadis maudlu‟ (Ash-Shiddieqy, 1980: 242-243).
Keistimewaan Ibnu Katsir di dalam tafsirnya itu seringkali dia
dia menyebutkan kata-kata Ulama dalam hukum-hukum yang berkenaan
dengan fikhi.Dan mendiskusikan mazhab-mazhab mereka dan kadang-kadang
menunjukkannya (Quthan, 1995: 207).
Disamping itu, ada beberapa hal yang menyebabkan kelemahan dari
Tafsir bi al-Ma‟tsûr tersebut, yaitu:
a) Banyaknya riwayat yang disiapkan musuh Islam, seperti orang zindik, baik
dari Yahudi maupun Nasrani.
b) Bercampur baurnya riwayat yang shahih, juga banyaknya perkataan yang
di bangsakan kepada sahabat dan tabi‟in tanpa seleksi, sehingga tercampurlah yang hak dan yang batil.
c) Adanya riwayat-riwayat israiliyat yang mengandung dongeng dan hal itu
tidak dapat dibenarkan (Al Munawar, 2003: 79).
Kata Israiliyat adalah bentuk jamak dari kata israiliyah.Menurut para
peneliti, israiliyyah berarti sebuah cerita atau peristiwa yang dinukil dari
sumber israiliy.Israiliy adalah segala yang berkaitan dengan Israil dan Israil itu
sendiri adalah julukan bagi Nabi Ya‟qub as.Yang dimaksud dengan Bani Israil
adalah kaum Yahudi anak keturunan Ya‟qub dengan demikian, lafal israiliyat digunakan untuk menunjukkan cerita-cerita dan dongeng-dongeng yang dinukil
dan diambil dari sumber-sumber Yahudi. Kata Israiliyat, secara berangsur
menemukan arti yang lebih luas lagi, yang dalam istilah para mufasir juga
digunakan untuk menunjukkan setiap hikayat dan cerita fiktif yang disadur dari
sumber-sumber agama Yahudi dan Nasrani atau setiap sumber terdahulu.
sehingga kata israiliyat digunakan untuk menunjukkan segala sesuatu yang
tidak berdasar dari musuh-musuh Islam, baik Yahudi maupun yang lain, yang
tersusup dalam sumber-sumber hadis dan tafsir (kaum muslim). Dengan
demikian, penggunaan kata israiliyat untuk hal-hal yang memiliki warna
Yahudi, merupakan penggunaan secara mayoritas (taghlib) karena memang
kebanyakan dari hal-hal yang batil dan bersifat khurafat yang tersebar di
tengah masyarakat (Islam) dengan sebutan israiliyat, berasal dari sumber-
sumber Yahudi, sementara kaum Yahudi sesuai dengan penegasan al Qur‟an
adalah orang-orang yang paling memusuhi mukminin (Ma‟arif, 2012: 131). Seperti hadis:
ٍءاَىْبأ ِتَعْبَس ًَلِاتَّىَجلا ُلُخْدَََلااَوِّسلاُدَلَو
“Anak zina tidak masuk ke surga hingga tujuh turunan”Hadis tersebut menyalahi firman:
يرْخُأَرْزِو ٌةَرِزاَوُرِسَتَلاَو
“Dan tiada seseorang yang bersalah memikul kesalahan orang lain” (QS.BAB III
KONSEP PENDIDIKAN TAUHID DALAM KELUARGA
A. Pengertian
Menurut Kamus Kebahasaan dan Kesusastraan yang dimaksud dengan
konsep yaitu gambaran mental dari objek, proses atau segala sesuatu yang
berada di luar bahasa dan yang digunakan akal budi untuk memahami
sesuatu (Haryanta, 2012: 135).
Sedangkan pendidikan adalah proses untuk memberikan manusia
berbagai macam situasi yang bertujuan memberdayakan diri. Jadi, banyak
hal ketika membicarakan pendidikan. Aspek-aspek yang biasanya paling
dipertimbangkan antara lain: penyadaran, pecerahan, pemberdayaan, dan
perubahan perilaku (Soyomukti, 2010: 27).
Menurut Ki Hajar Dewantara pendidikan merupakan tuntutan bagi
pertumbuhan anak-anak. Artinya pendidikan menurut segala kekuatan
kodrat yang ada pada diri anak-anak, agar mereka sebagai manusia
sekaligus sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan
kebahagiaan setinggi-tingginya.
Di dalam UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
tercantum pengertian pendidikan: bahwa pendidikan adalah usaha sadar
dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar anak didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya sehingga
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan oleh dirinya,
masyarakat, bangsa, dan negara (Suwarno, 2006: 21-22).
Kata tauhid adalah awal dan akhir dari seruan Islam. Ia adalah suatu
kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Suatu kepercayaan yang
menegaskan bahwa hanya Tuhanlah yang menciptakan, memberi hukum-
hukum, mengatur dan mendidik alam semesta ini (Tauhid Rububiyah).
Sebagai konsekuwensinya, maka hanya Tuhan itulah yang satu-satunya
yang wajib disembah, dimohon petunjuk dan pertolongannya, serta yang
harus ditakuti (Tauhid Uluhiyah). Bahwa Tuhan itu Zat yang luhur dari
segala-galanya, Hakim Yang Maha Tinggi, Yang tiada terbatas, Yang
Kekal, Yang tiada berubah-ubah. Yang tiada kesamaannya sedikit pun di
alam ini, sumber segala kebaikan dan kebenaran, Yang Maha Adil dan
Suci. Tuhan itu bernama Allah SWT (Subhanahu Wa Ta‟ala= Maha Suci Dia dan Maha Tinggi). Lawan tauhid adalah syirik, yaitu
mempersekutukan Tuhan. Suatu kepercayaan tentangadanya lagi Tuhan
selain Allah SWT (Razak, 1996: 39). Untuk sekarang ini banyak teknologi
canggih dan uang yang dijadikan sebagai sesuatu yang serba guna dan
sebagai sesuatu yang tiada batas dalam melakukan sesuatu, sehingga
disadari atau tidak telah mengalihkan perhatian dan waktunya dalam
mengingat serta mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Tauhid dapat membebaskan manusia dari seribu satu macam belenggu-
belenggu kejahatan duniawi. Tauhid membebaskan manusia dari
maupun oleh hawa nafsu dan harta benda. Karena tauhid, manusia hanya
akan menghambakan diri kepada Allah semata (Razak, 1996: 43).
Adapun kata keluarga memiliki beberapa pengertian di antaranya yaitu:
1. Sekelompok orang yang berketurunan dari nenek moyang yang sama
(Komaruddin, 1987: 98).
2. kelompok orang yang ada hubungan darah atau perkawinan.
Kelompok tersebut terbagi atas:
a. keluarga nuklir (Orang-orang yang termasuk keluarga ialah ibu,
bapak dan anak-anaknya)
b. keluarga luas (mencakup semua orang yang berketurunan
daripada kakek nenek yang sama, termasuk keturunan masing-
masing istri dan suami)
c. keluarga prokreasi (keluarga dimana individu itu merupakan
orang tua)
d. keluarga orientasi (keluarga dimana individu itu merupakan salah
keturunan. Dalam arti kata kiasan, istilah keluarga juga digunakan
untuk segolongan orang yang hidup bersama dan ada ikatan-
ikatan jiwa bersama; atau segolongan orang yang hidup dalam
suatu rumah besar/ rumah keluarga)
e. keluarga batin/ nuclear family (kelompok kekerabatan terdiri dari
ayah, ibu dan anak-anak yang belum memisahkan diri sebagai
f. keluarga luas/ extended family (kelompok kekerabatan yang
terdiri dari tiga anak empat keluarga batin yang terikat oleh
hubungan orang tua anak atau saudara-saudara kandung dan oleh
satu tempat tinggal bersama yang besar) (Saddily, 1973: 645-
646).
Keluarga adalah wadah pertama dan utama bagi pertumbuhan dan
pengembangan anak. Jika suasana dalam keluarga itu baik dan
menyenangkan, maka anak akan tumbuh baik pula. Jika tidak, maka akan
terhambatlah pertumbuhan anak tersebut. Pertumbuhan iman terhadap
anak dimulai dari sejak awal pembentukan keluarga, karena itu hanya dari
calon ayah dan ibu yang saleh akan tumbuh jiwa keberagamaan anak.