• Tidak ada hasil yang ditemukan

Relevansi Konsepsi Hukum Pidana Islam dalam Undang-Undang Pornografi

Berbicara tentang penerapan syari‟at Islam, kita akan segera teringat pada berbagai gerakan-gerakan Islam yang tidak pernah lelah menyuarakan diberlakukannya syari‟at Islam, mulai dari mereka yang tergolong radikal sampai pada yang moderat, mulai dari yang menginginkan penerapan itu sekarang juga sampai pada yang memberikan toleransi terhadap penerapan secara bertahap atau setelah siap infrastrukturnya. Ini menunjukkan bahwa dikalangan Islam sendiri

100

Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam; Penerapan Syariat Islam dalam Konteks Modernitas, Cet. II, (Bandung: Asy-Syamil Press, 2001), h. 113.

terdapat berbagai versi yang muncul dengan berbagai aspirasi dalam menanggapi isu kemungkinan diberlakukannya syari‟at Islam di Indonesia.

Syari‟at Islam sangat memperhatikan soal akhlak, di mana tiap-tiap perbuatan yang bertentangan dengan akhlak yang tinggi tentu diancam dengan hukuman. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan hukum positif yang boleh dikatakan telah mengabaikan persoalan-persoalan akhlak dan baru mengambil tindakan, apabila perbuatan tersebut membawa kerugian langsung bagi perseorangan atau ketentuan masyarakat. Sebagai contoh perbuatan zina atas dasar suka sama suka.

Dalam sistem hukum Indonesia, dikenal berbagai sumber hukum nasional yang berasal dari hukum adat, hukum Islam, dan hukum Barat. Ketiga sumber tersebut selalu berlomba untuk menjadi hukum nasional sehinggga berlakulah berbagai teori hukum.101 Sesungguhnya UUD 1945 sangat akomodatif terhadap kepentingan warga negara dalam menjalankan ibadahnya. Dalam perspektif tata hukum Indonesia, fungsi negara adalah melindungi setiap agama dan pemeluknya melalui peran menjamin pelaksanaan ibadah, memberikan dukungan fasilitas dan menjaga kerukunan antar umat beragama. Agama haruslah menjadi landasan moral karena, setiap peraturan dan perundang-undangan yang bertentangan dengan moral dan agama mesti dikesampingkan.

101

A. Rosyadi dan H. M. Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam dalam Perspektif Tata Hukum Indonesia, Ed. I (Bogor, Ghalia Indonesia, 2006), h. 9.

Dalam memasalahkan budaya hukum Islam, kita dihadapkan pada dua kemungkinan, yaitu : (a). mengenai hukum positif Islam sehingga kita terbatas mempermasalahkan hukum yang berlaku bagi mereka yang beragama Islam, atau (b). mengenai nilai-nilai hukum Islam, yang akan berlaku bagi seluruh warga negara, bahkan mungkin seluruh penduduk (termasuk yang bukan warga negara). Kedua alternatif ini dapat mempengaruhi pembentukan hukum nasional.102

Ada lima agama yang dianut oleh bangsa Indonesia, yaitu agama Islam, Katolik, Protestan, Hindu, dan Budha. Penduduk Indonesia yang beragama Islam merupakan jumlah mayoritas yaitu sekitar 87,25 %. Hukum yang diyakini kebenarannya oleh sejumlah mayoritas ini yaitu hukum Islam menjadi pertimbangan dan dijadikan sebagai salah satu dasar acuan pokok dalam membuat hukum yang akan diberlakukan di Indonesia. Kalau hukum Islam tersebut diabaikan atau tidak menjadi pertimbangan dalam membuat hukum, maka hukum yang dibuat tersebut tidak akan dapat dilaksanakan atau akan ditentang oleh masyarakat karena pada dasarnya penegakan hukum dan keadilan akan tergantung kepada tiga komponen, diantaranya:

a. Diperlukan adanya peraturan hukum yang sesuai dengan aspirasi masyarakat.

102

Bustanul Arifin, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 167.

b. Adanya aparat penegak hukum yang professional dan bermental tangguh atau memiliki integritas moral yang tinggi.

c. Adanya kesadaran hukum yang memungkinkan dilaksanakannya penegakan hukum tersebut.103

Hukum Islam di Indonesia berlaku di bagi menjadi dua di antaranya: 1). secara normatif, hukum Islam yang berlaku secara normatif yaitu bagian hukum Islam yang mempunyai sanksi kemasyarakatan apabila hukum itu dilanggar. Bagian hukum ini terutama hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Dipatuhi atau tidaknya hukum Islam yang berlaku secara normatif dalam masyarakat, akan tergantung pada kesadaran iman umat Islam itu sendiri, pelaksanaanya pun diserahkan kepada orang yang bersangkutan. 2). Secara yuridis formal, hukum Islam yang berlaku yuridis formal adalah bagian hukum Islam yang mengatur hubungan antar manusia dan mengatur hubungan manusia dengan makhluk lainnya. Bagian hukum Islam ini berlaku menjadi positif berdasarkan atau karena ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan, misalnya: hukum perkawinan Islam berdasarkan pasal 2 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, hukum kewarisan berdasarkan pasal 49 UU No. 7 tahun

103

Baharudin Lopa, Permasalahan Pembinaan dan Penerapan Hukum di Indonesia, Cet. I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), h. 4

1989 tentang Peradilan Agama jo. Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI).104

Menurut Juhaya S. Praja, setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan hukum Islam masih memiliki peranan besar dalam kehidupan bangsa. Pertama, hukum Islam telah turut serta menciptakan tata nilai yang mengatur kehidupan umat Islam, minimal dengan menetapkan apa yang seharusnya dianggap baik dan buruk, apa yang menjadi perintah, anjuran, perkenaan, dan larangan agama. Kedua, banyak keputusan hukum dan yurisprudensi dari hukum Islam telah diserap menjadi bagian hukum positif yang berlaku. Ketiga, adanya golongan yang masih memiliki aspirasi teokratis dikalangan umat Islam sehigga peranan hukum Islam secara penuh masih menjadi slogan perjuangan yang masih mempunyai pengaruh cukup besar.105

Syariat Islam adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Rasulullah untuk disampaikan kepada umatnya. Ia bukan sebuah teori, tetapi merupakan ajaran ilahi yang harus dipelajari dan diberlakukan untuk menciptakan keteraturan dalam kehidupan masyarakat serta keseimbangan antara kewajiban dan hak. Syariat Islam akan berlaku bagi semua umat manusia di dunia dan akhirat, tetapi bila syariat Islam dijadikan hukum positif di suatu negara, maka keberlakuannya

104

Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta; Gaya Media Pratama, 2001), h. 4-5.

105

Juhaya S. Praja, Hukum Islam di Indonesia, Pemikiran dan Praktik (Bandung: Rosda karya, 1991), h. 15

hanya bagi masyarakat Islam. Ajaran tentang penataan hukum dalam kajian ilmu hukum memang merupakan sebuah teori yang dikemukakan oleh ahli hukum berdasarkan proses hukum yang terjadi di masyarakat, tetapi dari segi syariat Islam hal itu tidak saja disebut sebagai teori, melainkan merupakan prinsip yang wajib diberlakukan.106 Ajaran tentang penataan hukum ini menyatakan bahwa

bagi setiap orang yang beriman agar menjalankan syariatnya secara kaffah. Sebagaimana dalam firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 208:

                            (QS. Al-Baqarah/02: 208)



Artinya: Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. (QS. Al-Baqarah/02: 208).

Dalam teori penerimaan otoritas hukum yang diperkenalkan oleh seorang orientalis Kristen HAR. Gibbs dalam bukunya The Modern Trend of Islam seperti dikutip H. Ichtijanto bahwa orang Islam jika menerima Islam sebagai agamanya, ia akan menerima otoritas hukum Islam kepada dirinya. Berdasarkan teori ini, secara sosiologis, orang yang memeluk agama Islam akan menerima otoritas hukum Islam dan taat dalam menjalankan syariat Islam. Namun ketaatan ini akan

106

H. Ichtijanto S.A, Hukum Islam di Indonesia: Perkembangan dan Pembentukan, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1991), h. 95.

berbeda satu dengan yang lainnya, dan sangat bergantung pada tingkat ketakwaan masing-masing.107

Sedangkan berdasarkan teori eksistensi yang dikemukakan H. Ichtijanto bahwa menurut teori ini keberadaan hukum Islam dalam hukum nasional itu ialah:

1. Ada, dalam arti hukum Islam berada dalam hukum nasional sebagai bagian yang integral darinya;

2. Ada, dalam arti adanya kemandirian yang diakui berkekuatan hukum nasional dan sebagai hukum nasional;

3. Ada, dalam hukum nasional dalam arti norma hukum Islam (agama) berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional Indonesia;

4. Ada, dalam hukum nasional dalam arti sebagai bahan utama dan unsur utama hukum nasional Indonesia. 108

107

Ibid, h. 114

108

Mustofa dan Abdul Wahid, Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 150.

Adapun karakteristik yang membedakan hukum Islam dari hukum lainnya yaitu bahwa hukum Islam sampai mengatur masalah moral pada setiap insan. Berikut ini adalah beberapa karakterististik hukum Islam yang diantaranya:109

1. Hukum Islam bersifat Sempurna dan Universal. Tingkat kesempurnaanya adalah karena hukum Islam bersumber dari Allah yang pastinya mengatur segala aspek di dunia maupun akhirat. Sedangkan bersifat universal berarti hukum Islam mencakup seluruh manusia tanpa ada batasnya. Tidak dibatasi oleh negara, benua, daratan, atau lautan tertentu.

2. Hukum Islam itu Dinamis dan Elastis. Adapun yang dimaksud dinamis berarti mampu menghadapi perkembangan sesuai dengan tuntutan waktu dan tempat (zaman). Sedangkan elastisnya adalah karena ada Ijtihad yang memungkinkan bagi orang Islam untuk menyesuaikan hukum yang ada pada masa Rasul dengan keadaan sekarang yang terjadi di lingkungannya.

3. Hukum Islam itu sistematis. Artinya bahwa hukum Islam itu mencerminkan sejumlah ajaran yang sangat bertalian. Contohnya: wajib hukumnya shalat tidak terpisahkan dengan wajibnya zakat.

4. Memperhatikan Aspek Kemanusiaan dan Moral. Maksudnya adalah bahwa manusia merupakan makhluk sosial dimana ia tidak dapat hidup

109Alhudaz, “Karakteristik Hukum Islam” Artikel ini diakses pada 17 april 2010 dari

sendiri tanpa adanya bantuan orang lain. Untuk itu sifat tolong menolong merupakan hal yang wajib bagi setiap insan. Seperti ta‟awun, zakat, infaq, waqaf, dan sedekah yang kesemuanya merupakan wujud kemanusiaan yang sangat dijunjung tinggi oleh nilai-nilai hukum Islam.

5. Sedangkan yang kedua yaitu aspek moral, untuk membentuk suatu interaksi sosial kemanusiaan tentu manusia harus memiliki aspek moral (akhlak) yang baik. Karena untuk mewujudkan pergaulan yang sehat, akhlaklah yang menjadi fondasi utama.

Apabila dikaitkan dengan pokok permasalahan penelitian skripsi ini, bahwa pada prinsipnya undang-undang no. 44 tahun 2008 tentang pornografi merupakan salah salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang banyak mengadopsi nilai-nilai hukum Islam di dalamnya.

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa dalam Judicial Review Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi di Mahkamah Konstitusi terdapat tiga kelompok pemohon yang berbeda dan tentunya juga dengan nomor perkara yang berbeda pula. Berikut ini adalah pokok permasalahan hukum utama para Pemohon adalah akibat ditetapkannya UU Pornografi, khususnya Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat (1), Pasal 4 ayat (1) huruf d, dan Pasal 4 ayat (2), Pasal 10, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 23, dan Pasal 43, dengan alasan-alasan yang pada pokoknya sebagai berikut:

1. Para Pemohon dalam Perkara Nomor 10/PUU-VII/2009 adalah perorangan warga negara Indonesia menyatakan UU Pornografi akan membatasi hak masyarakat Sulawesi Utara untuk mengekspresikan identitas budayanya, khususnya kebudayaan Minahasa dan Manado;

2. Para Pemohon dalam Perkara Nomor 17/PUU-VII/2009 adalah badan hukum privat dan perorangan warga negara Indonesia yang mendalilkan bahwa UU Pornografi telah menetapkan rumusan-rumusan yang sangat rancu dan multitafsir, sehingga berpeluang menimbulkan permasalahan dalam penerapannya;

3. Para Pemohon dalam Perkara Nomor 23/PUU-VII/2009 mendalilkan bahwa UU Pornografi berpotensi merugikan bahkan mengkriminalisasikan kaum perempuan yang seringkali menjadi objek pornografi. Selain itu, para Pemohon mendalilkan bahwa UU Pornografi telah mengesampingkan dan tidak menghargai kemajemukan yang selama ini diakui di negara Indonesia.110 Menurut Soetandyo Wignjosoebroto bahwa adanya kebudayaan yang majemuk harus diterima sebagai suatu yang given, yang tidak bisa dihindarkan. Memaksakan keseragaman nilai, norma, atau konsep berdasarkan kekuatan Undang-Undang dengan mekanisme kontrol yang terpusat hanya akan melahirkan kontroversi; Penyeragaman konsep tentang realitas kultural yang sebenarnya

110 Mahkamahkonstitusi.go.id, “Putusan” Artikel ini diakses pada 06 mei 2010 dari

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_Putusan%20No.10-17-23-PUU-VII-2009.pdf

relatif, antara lain konsep pornografi, adalah suatu tindakan yang tidak hanya terkesan otokratik dan sentralistik tetapi juga suatu kebijakan yang tidak menghormati the cultural right of the people yang merupakan bagian dari

economic social and cultural right, yang dijamin oleh konstitusi nasional bahkan

oleh kovenan internasional berikut protokol-protokolnya; Undang-Undang yang ideal adalah Undang-Undang yang responsif dan fasilitatif terhadap rakyat yang mendambakan kehidupan damai dan berkesejahteraan tanpa adanya perlakuan-perlakuan yang diskriminatif. Undang-Undang akan jauh dari sifatnya yang ideal apabila secara sepihak dibuat dan dimanfaatkan untuk merealisasikan secara koersif nilai atau norma yang belum terwujud sebagai norma sosial yang diterima secara umum.

Sedangkan menurut J.E.Sahetapy bahwa UU Pornografi bukan suatu

responsive law sebab sama sekali melecehkan perempuan dan menginjak-injak

hak asasi manusia yang secara eksplisit diagungkan dalam UUD 1945.111 Hal berbeda diungkapkan oleh saksi ahli pemerintah yaitu Tjipta Lesmana dan Soemartono yang sama-sama mengungkapkan bahwa secara universal, terdapat lima bidang yang tidak bisa dikategorikan pornografi, yaitu seni, sastra, custom

atau adat istiadat, kemudian ilmu pengetahuan dan olahraga.112

111

Ibid, h. 355-356.

112

Adapun menurut Arief Sidharta yang juga merupakan saksi ahli pemohon bahwa Kaidah-kaidah yang bekerja dalam masyarakat itu dapat dibedakan ke dalam kelompok (i) kaidah budi nurani; (ii) kaidah moral positif; (iii) kaidah kesopanan; (iv) kaidah agama; dan (v) kaidah hukum. Secara umum keseluruhan kaidah tersebut dibedakan ke dalam dua kelompok, yaitu (i) kelompok kaidah hukum dan (ii) kelompok bukan kaidah hukum; Penyelenggaraan kaidah-kaidah hukum adalah tugas, kewenangan, dan tanggung jawab negara yaitu pemerintah dan aparat pemerintahannya, sedangkan pelaksanaan kaidah bukan kaidah hukum adalah tugas, kewenangan, dan tanggung jawab para orang tua, ulama, pendidik, dan moralis.113 Menurut Ingke Maris bahwa secara universal ada beberapa unsur yang harus dipenuhi untuk dikategorikan sebagai pornografi, antara lain (i) unsur kesengajaan; (ii) unsur kecabulan; (iii) unsur ekploitasi seksual; (iv) unsur melanggar norma-norma kesusilaan dalam masyarakat (setempat).114

Sedangkan menurut sudut pandang pendapat yang berbeda yang dikemukakan oleh Taufik Ismail bahwa bersamaan dengan gelombang reformasi, masuk ke Indonesia nilai-nilai destruktif, permisif, adiktif, brutalistik, transgresif, hedonisitik, dan materialistis. Maka dari itu perilaku permisif, yaitu serba boleh melakukan apapun akhirnya berujung pada korupsi; hak penggunaan kelamin orang lain diambil tanpa rasa risih; perilaku adiktif atau serba kecanduan

113

Ibid, h. 360.

114

melingkupi alkohol, nikotin, narkotika, dan pornografi; brutalistik atau serba kekerasan menyebabkan Indonesia tidak lagi ramah dan sopan; transgresif atau serba melanggar peraturan menjadikan perilaku merusak tatanan dan mendobrak tabu; hedonistik atau mau serba enak dan foya-foya menghasilkan pamer kekayaan di tengah lautan kemiskinan; materialistik atau serba benda mengakibatkan segala aspek kehidupan diukur dengan uang semata-mata. Semua hal tersebut adalah Gerakan Syahwat Merdeka.115 Sedangkan menurut Roy Suryo bahwa Indonesia menduduki peringkat paling bawah dalam teknologi informasi, tetapi menduduki peringkat dua dalam kejahatan dunia maya yang didukung oleh konten pornografi maka dari itu teknologi perlu untuk diwaspadai. Filternya selain oleh teknologi adalah juga oleh perangkat hukum.116

Maka dari itu Pery Umar Farouk berpendapat UU Pornografi sampai saat ini tidak membawa dampak sebagaimana dikhawatirkan seperti penerapan norma secara luas dengan semena-mena, pemberangusan adat, seni, budaya, kriminalisasi perempuan, disintegrasi sosial, dan kekerasan horizontal di masyarakat. Hal itu terbukti setelah seminggu diundangkannya UU Pornografi yaitu penyedia content porno asli Indonesia yang menutup secara sukarela bisnisnya.117 115 Ibid, h. 366-367. 116 Ibid, h. 366. 117 Ibid, h. 369.

Sebagaimana telah diketahui dalam doktrin kriminalisasi takzir dalam sistem hukum pidana Islam bahwa tindak pidana pornografi merupakan bagian daripada tindak pidana yang diancam dengan hukuman takzir karena memiliki tingkat kemaksiatan yang ditimbulkan karenanya cukup besar dan bervariatif. Namun demikian semuanya itu dalam rangka memelihara dan mewujudkan sebagaimana yang disyariatkan ( يع شلا لاص لا ىعع ظفاح لا).

Maka dari itu sangatlah tepat apabila masalah pornografi diatur dalam Undang-Undang No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi karena hal itu sejalan dengan keluwesan dan kedinamisan takzir dalam hukum pidana Islam. Di samping itu dengan ditolaknya permohonan uji materi (judicial review) Undang-undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi tersebut oleh Mahkamah Konsitusi pada hari Kamis 25 Maret 2010, bahwa majelis hakim MK dalam konklusinya memutuskan menolak permohonan tersebut untuk seluruhnya dengan alasan dalil yang dikemukakan pemohon tidak berdasar dan beralasan hukum.

Di lain pihak, salah seorang hakim MK yaitu Maria Farida Indrati menyampaikan alasan berbeda (dissenting opinion) yang pada intinya mengkritisi soal masalah ketidakjelasan tujuan dan asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan Undang-Undang Pornografi tersebut.118

Dalam pertimbangan, majlis hakim yang dipimpin oleh Mahfud MD bahwa majelis hakim menilai ketentuan Pasal 1 angka 1 dalam UU No 44/2008 tersebut

118

memberikan gambaran yang jelas tentang apa yang disebut pornografi. Dan majelis hakim juga berpendapat, suatu hal tidak dapat dikategorikan sebagai pornografi jika hal itu terkait seni, sastra, adat istiadat, pengetahuan, serta olahraga dan digunakan sesuai tempat dan waktu.119

Dengan demikian dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum. Berarti hal tersebut secara tidak langsung menepis pandangan negatif bahwa UU No. 44/2008 melanggar UUD 1945. Akan tetapi justru sebaliknya, yaitu UU No. 44/2008 tentang Pornografi berarti sejalan dan selaras dengan UUD 1945.

119

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kebijakan kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi suatu tindak pidana, kebijakan kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana hukum pidana. Kebijakan kriminalisasi pada hakikatnya merupakan bagian dari kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana hukum pidana, dan dalam kriminalisasi itu sendiri harus berusaha melakukan harmonisasi dengan sistem hukum pidana atau aturan pemidanaan umum yang sedang berlaku saat ini, bertujuan agar kebijakan kriminalisasi dapat diterima oleh masyarakat.

Sedangkan dalam hukum pidana Islam yaitu, suatu perbuatan baru dianggap jinayah atau jarimah apabila dilarang oleh syara‟.Berbuat atau tidak berbuat tidak dianggap sebagai jarimah kecuali apabila diancam dengan hukuman terhadapnya Pengertian jarimah tersebut di atas tidak berbeda dengan pengertian tindak pidana (peristiwa pidana, delik) pada hukum pidana positif. Jadi, Kriminalisasi dalam hukum pidana Islam disebut jarimah. Dan kategori jarimah tersebut ada tiga bentuk yaitu: Jarimah hudud, qishas diyat, dan takzir.

Pengaturan pornografi dalam Undang-Undang Pornografi meliputi (1) pelarangan dan pembatasan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi; (2) perlindungan anak dari pengaruh pornografi; dan (3) pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi, termasuk peran serta masyarakat dalam pencegahan.

Undang-Undang Pornografi ini menetapkan secara tegas tentang bentuk hukuman dari pelanggaran pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang disesuaikan dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan, yakni berat, sedang, dan ringan, serta memberikan pemberatan terhadap perbuatan pidana yang melibatkan anak. Di samping itu, pemberatan juga diberikan terhadap pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dengan melipatgandakan sanksi pokok serta pemberian hukuman tambahan.

Sanksi pidana yang dapat dijatuhkan beragam, sesuai dengan tingkat kejahatannya. Sanksi pidana penjara maksimal 12 tahun dan minimal 6 bulan. Sedangkan sanksi pidana denda maksimal 7,5 milyar dan minimalnya 250 juta. Khusus untuk tindak pidana di atas yang melibatkan anak sanksi pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari maksimum ancaman pidananya. Sementara bagi pelaku korporasi ketentuan maksimum pidana dendanya dikalikan 3 (tiga).

Pada prinsipnya undang-undang pornografi dibentuk dalam rangka menjunjung tinggi nilai-nilai moral yang bersumber pada ajaran agama,

memberikan ketentuan yang sejelas-jelasnya tentang batasan dan larangan yang harus dipatuhi oleh setiap warga negara serta menentukan jenis sanksi bagi yang melanggarnya, dan melindungi setiap warga negara, khususnya perempuan, anak, dan generasi muda dari pengaruh buruk dan korban pornografi.

Dalam hukum Islam, pornografi itu sudah termasuk dalam kategori mendekati zina, karena pornografi merupakan faktor yang paling dominan yang mendorong seseorang berbuat zina karena bisa membangkitkan nafsu seksual seseorang. Dalam ajaran Islam, jangankan sampai berbuat zina, mendekati zina saja sudah dilarang. Karena dapat menghancurkan sendi-sendi kehidupan manusia, baik secara individu maupun masyarakat.

Pada dasarnya sanksi terhadap perbuatan-perbuatan yang termasuk ke dalam kategori Tindak Pidana Pornografi dalam Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi kalau dilihat dari hukum pidana Islam sebenarnya termasuk ke dalam kategori takzir yang mana bentuk dan ketentuannya diatur oleh Pemerintah atau Ulil Amri.

Maka untuk mewujudkan tatanan masyarakat Indonesia yang serasi dan harmonis dalam keanekaragaman suku, agama, ras, dan golongan/kelompok, diperlukan adanya sikap dan perilaku masyarakat yang dilandasi moral, etika, akhlak mulia, dan kepribadian luhur yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Maka dari itu sangatlah tepat apabila masalah pornografi diatur dalam Undang-Undang No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi karena hal itu

sangat sejalan dengan keluwesan dan kedinamisan takzir dalam hukum pidana Islam dalam rangka memelihara dan mewujudkan sebagaimana yang disyariatkan

( يع شلا لاص لا ىعع ظفاح لا).

B. Saran

Dalam rangka penerapan sanksi pidana dan pengenaan pidana bagi pelaku tindak pidana pornografi maka sebaiknya ketentuan pidana dalam undang-undang pornografi diharuskan dapat diobyektivikasi sesuai dengan perbuatan yang dilakukan oleh pelaku. Misalnya dalam hal penerapan atau pengenaan pidana denda yang terlalu besar bagi pelaku individu yang melakukan tindak pidana pornografi akan menjadi penghambat pelaksanaan Undang-Undang Pornografi tersebut di masyarakat.

Di samping itu, agar tidak terjadi tumpang tindihnya peraturan perundang-undangan yang juga mengatur masalah pornografi, maka diharuskan adanya kejelasan dan ketegasan dalam pelaksanaan dan status Lex Specialis Undang-Undang Pornografi tersebut.

Di sisi lain maksimalisasi sosialisasi Undang-Undang Pornografi di masyarakat dan pembuatan peraturan pemerintah menjadi sangat penting (urgent) dalam rangka efektivitas dan keberlangsungan dalam pelaksanaan undang-undang pornografi tersebut. Karena jika tidak segera disosialisasi dan dibentuk Peraturan Pemerintah sebagai aturan atau pedoman pelaksana dari Undang-undang

Dokumen terkait