KAJIAN HUKUM ISLAM ATAS ASPEK KRIMINALISASI DALAM UNDANG-UNDANG PORNOGRAFI
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh:
FARIS SATRIA ALAM NIM: 106045101500
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
KAJIAN HUKUM ISLAM ATAS ASPEK KRIMINALISASI DALAM UNDANG-UNDANG PORNOGRAFI
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
FARIS SATRIA ALAM NIM : 106045101500
Di bawah Bimbingan Pembimbing
ttd
Dr. Asmawi, M.Ag NIP.197210101997032088
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul KAJIAN HUKUM ISLAM ATAS ASPEK KRIMINALISASI DALAM UNDANG-UNDANG PORNOGRAFI telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 17 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Jinayah Siyasah.
Jakarta, 17 Juni 2010 Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum ttd
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM. NIP. 195505051982031012
Ketua : Dr. Asmawi, M.Ag (………ttd………..…..) NIP. 197210101997032088
Sekretaris : Sri Hidayati, M.Ag (………ttd….………..) NIP. 197102151997032002
Pembimbing : Dr. Asmawi, M.Ag (………ttd……….….)
NIP. 197210101997032088
Penguji I : Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag (………ttd………….) NIP. 197308022003121001
Penguji II : Sri Hidayati, M.Ag (………ttd………….)
Lembar Pernyataan
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil dari jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 21 Juni 2010
ttd
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan penulisan Skripsi dengan judul “KAJIAN HUKUM ISLAM ATAS ASPEK KRIMINALISASI DALAM UNDANG-UNDANG PORNOGRAFI” yang merupakan kewajiban bagi Mahasiswa Program Sarjana (S-1) Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Kepidanaan Islam pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, untuk memenuhi salah satu persyaratan dan merupakan tugas akhir untuk memperoleh Gelar Sarjana (S1).
Dalam penulisan Skripsi ini, sudah tentu Penulis banyak memperoleh bantuan dan bimbingan serta dorongan dari berbagai pihak baik moril maupun materil yang tentunya sangat bermanfaat dalam penulisan Skripsi ini. Untuk itu dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih, yang setulus-tulusnya kepada :
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asmawi, M.Ag. Selaku Ketua Program Studi Jinayah Siyasah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan sekaligus sebagai dosen pembimbing.
4. Seluruh Dosen/ Pengajar/ Staff, pada Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.
5. Kepala dan Seluruh Staff/Karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum maupun Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan bantuan buku-buku referensi yang berkaitan dengan penulisan Skripsi ini.
6. Bapak Nunu Nugraha, SH.,MH selaku staff Sekretariat Komisi VIII DPR RI yang telah membantu penulis dalam memperoleh data primer Undang-Undang Pornografi sebagai bahan utama penulisan skripsi ini.
7. Lebih khusus lagi adalah ucapan terima kasih kepada :
a. Seluruh Keluarga Besar Maksus bin Maksum (Alm) dan Hj. Uminah (Yangti) yang tiada henti-hentinya memanjatkan do‟a kepada Allah SWT, agar penulis senantiasa menjadi manusia yang berguna bagi Orang Tua, Keluarga, Agama, Nusa, dan Bangsa.
b. Kepada Ayahanda (H. Syaeful Anwar, SH., M.Hum) dan Ibunda (Mahmudah), yang tiada terkira jasanya dalam membantu penulisan Skripsi ini serta memberikan dukungan moril maupun materil hingga Penulis bisa menyelesaikan studi ini.
d. Kepada adik-adik Penulis tercinta Bowo, Lia, Ope, Dinda, Fia, serta adik-adik sepupu penulis juga Anis, Rani, Athif, Rian, Djody AW, Faruq, Farhan, serta yang masih kecil dan belum sekolah seperti Mujib, Azzam, dan Mahib. Tetap semangat dalam menuntut ilmu dan melanjutkan Pendidikan.
8. Teman-teman Satu Kontrakan & Seperjuangan di DN, seperti Ramdhani “Bintil” dan Randi ”Cipan” yang telah meminjamkan “modem” untuk membantu penulis
mencari data-data di internet serta juga mewarnai segala aktivitas Penulis. Temen-temen se-angkatan DN Angk. XXIX di UIN seperti Aji “Tole”, Ubai, Fikri “Arob”, Salman, Boggie, Kobet, Anifah, Fatin, Afifah, Rahmi,Lina
“bolin”, dsb. Kebersamaan, canda-tawa, senda-gurau, dan kunjungan ilmiah kalian ke Kontrakan “Mungil, Klassik, dan Eksotis” di sebelah sudut Pesantren
Darussunnah memberikan makna yang cukup berarti yang tanpa penulis sadari memberikan motivasi yang luar biasa dasyatnya.
9. Teman-teman PI angkatan 2006 seperti, Mahfuddin, Dayat ”Bali”, Muchsin, Fandi, Safrowi “Aconk”, Fitroh, Isa, Amir, J-men, Eril, Husen, Buldan, Haris
duluan Lulus, Tetap semangat kawan-kawan! Doa dan Harapanku senantiasa selalu menyertai kalian semua agar temen-temen semua cepat lulus dan sama-sama menjadi orang yang sukses. Amien
10.Seluruh mahasiswa PI dan teman-teman Pengurus BEM Pidana Islam 2007-2008 yang sempat memberikan Amanah kepada Penulis menjadi Ketua BEM Pidana Islam pada periode tersebut & sama-sama bekerja keras membangun BEM sebagai wadah organisasi Mahasiswa PI. Good Luck Dhori, Fahdun, Tamidzi, Mamet, Hurry, dsb. Jadikanlah BEM sebagai wadah organisasi intra bagi mahasiswa/i PI yang membantu meningkatkan keilmuan mahasiswa PI disamping ilmu dalam perkuliahan.
11.Teman-teman Pengurus & Anggota DPC Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (PERMAHI) Jakarta 2009-2011 yang juga memberikan Amanah dan kesempatan kepada Penulis menjadi Ketua DPC PERMAHI Jakarta pada periode tersebut dan sama-sama akan mensukseskan semua program kerja hingga akhir kepengurusan nanti.
13.Teman-teman Pengurus dan anggota diskusi di Pusbakum (Pusat Studi dan Bantuan Hukum) Semesta yang sedikit memberikan ilmu khususnya di bidang Hukum yaitu Eko, Boggie, Ucox‟s, dll. Kajian, pelatihan, dan segala terobosan -terobosan aktivitas Pusbakum ini dinanti oleh mahasiswa/i yang “haus” akan
ilmu Hukum. Kegiatan semacam pelatihan “paralegal” tempo lalu harus ada dan semakin diperbanyak lagi. Mengingat kondisi hukum di negeri ini sangat memprihatinkan dan tentunya membutuhkan calon-calon praktisi hukum yang profesional dan berintegritas dari anak bangsa.
14.Teman-teman organisasi Penulis seperti Aswin, Aab, Zarken, Gilang, Jazuli, Hamdi, Chandra, Hadi “Botit”, Sukri, dsb. Walaupun kita pernah berbeda
pendapat dalam segala hal dikampus khususnya dalam berproses dan konsepsi pengkaderan. Pada prinsipnya tujuan kita sama akan tetapi hanya cara & prosesnya saja yang berbeda. Perbedaan semakin membuat kita semakin kaya dalam segala proses. Pesan Penulis buat Boggie & Jazuli di BEM FSH, Ari dan Aswin di BEMU jagalah amanat mahasiswa/i! Berikanlah yang terbaik untuk kepentingan mahasiswa/i! Sorry saya duluan. Semoga Kalian juga Cepat Lulus. 15.Dengan tanpa mengurangi rasa hormat penulis kepada seluruh pihak yang tidak
Akhir kata, semoga tulisan ini dapat berguna bagi semua pihak yang sempat membacanya, serta menambah wawasan keilmuan bagi yang berkepentingan dengan masalah ini. Amin
Jakarta, 21 Juni 2010
ttd
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI vi
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah 10
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 11
D. Tinjauan Pustaka 12
E. Metode Penelitian 13
F. Sistematika Penulisan 15
BAB II : KRIMINALISASI DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF
DAN HUKUM PIDANA ISLAM
A. Kriminalisasi dalam Perspektif Hukum Positif 17
BAB III : DESKRIPSI UNDANG-UNDANG NO. 44 TAHUN 2008
TENTANG PORNOGRAFI
A. Rasionalitas 39
B. Substansi 52
BAB IV : PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP
KRIMINALISASI DALAM UNDANG-UNDANG PORNOGRAFI
A. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Pornografi dalam Undang- 63
Undang Pornografi ditinjau dalam Perspektif Hukum
Pidana Islam
B. Sanksi Tindak Pidana Pornografi dalam Undang-Undang 73
Pornografi ditinjau dalam Perspektif Hukum Pidana Islam
C. Relevansi Konsepsi Hukum Pidana Islam dalam 80
Undang-Undang Pornografi
BAB V : PENUTUP
B. Saran-Saran 98
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masalah pornografi dan pornoaksi merupakan masalah lama yang belum
dapat ditanggulangi oleh ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (Wetbook van Strafrecht voor Nederlandsh Indie) yang
disingkat KUHP dan berlaku di Indonesia sejak masa pemerintahan Hindia
Belanda, yaitu Januari tahun 1917. Setelah Indonesia merdeka, KUHP
diberlakukan berdasarkan undang Nomor 1 Tahun 1946 jo.
Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958.
Pornografi dan pornoaksi merupakan masalah yang sifatnya sudah nasional,
karena sudah merambah ke daerah-daerah pedesaan. Meskipun dalam Pasal 281,
282, 283, 532, dan 533 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) telah
mengatur masalah tersebut, namun kenyataanya ketentuan-ketentuan itu sangat
kurang efektif tidak seperti yang diharapkan. Merebaknya pornografi dipicu oleh
semakin agresifnya media massa menyajikan visualisasi pornografi. Selain itu
para model (aktris) ikut menjadikan pornografi sebagai konsumsi publik.
para aktris di media massa, seperti pakaian mini dan seronok tanpa sedikit pun
memperhatikan aspek akhlak yang sepatutnya dipatuhi oleh setiap individu.1
Kata Pornografi berasal dari bahasa Yunani, porne artinya pelacur, dan
graphos artinya gambar atau tulisan.2 Pornografi adalah gambar-gambar perilaku
pencabulan yang lebih banyak menonjolkan tubuh dan alat kelamin manusia.3
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pornografi adalah
penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk
membangkitkan nafsu birahi; bahan bacaan yang dengan sengaja dan semata-mata
dirancang untuk membangkitkan nafsu birahi dalam seks.4 Adapun definisi
pornografi menurut Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar
bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya
melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan dimuka umum,
1
Chairil A. Adjis dan Dudi Akasyah, Kriminologi Syariah: Kritik Terhadap Sistem Rehabilitasi, Cet. I, (Jakarta: RMBOOKS, 2007), h.81.
2
http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang_Pornografi
3
Burhan Bungin, Pornomedia: Sosiologi Media, Konstruksi Sosial Teknologi Telematika, dan Perayaan Seks di Media Massa, (Jakarta: Kencana, 2005), h.124.
4
yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma
kesusilaan dalam masyarakat. 5
Saat ini, masalah pornografi dan pornoaksi semakin memprihatinkan dan
dampak negatifnya semakin nyata, di antaranya sering terjadi perzinaan,
perkosaan, dan bahkan pembunuhan maupun aborsi. Orang-orang yang menjadi
korbannya tidak hanya perempuan dewasa, tetapi masih banyak yang masih
anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan. Para pelakunya pun tidak hanya
orang-orang yang tidak dikenal akan tetapi juga di antara pelakunya masih mempunyai
hubungan darah. Di samping itu korban daripada pornografi dan pornoaksi tidak
hanya orang yang masih hidup, tetapi orang yang sudah meninggal pun dijadikan
korban perkosaan. Selain itu, yang menjadi korban pun juga binatang atau
hewan.6
Hukum Islam merupakan salah satu sumber pembentukan hukum nasional di
Indonesia di samping hukum Adat dan hukum Barat.7 Dalam hukum Islam,
perbuatan-perbuatan yang sarat dengan pornografi dan pornoaksi sudah dilarang
secara tegas karena teramat jelas kemudharatannya. Namun yang perlu segera
5
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, (Jakarta: Mocomedia, 2008), h. 9.
6
Neng Djubaedah, Pornografi & Pornoaksi Ditinjau dari Hukum Islam, (Bogor: Kencana, 2003), h.1.
7
dikemukakan adalah sampai saat ini masih ada pendapat bahwa hukum Islam,
khususnya hukum pidana Islam, tidak sesuai dengan hak asasi manusia, karena
melanggar hak asasi kemanusiaan sebagai individu, kejam, dan demoralisasi.
Menurut mereka, tubuh bagi setiap orang adalah hak mutlak pribadi
masing-masing. Masing-masing individu bebas memperlakukan tubuhnya untuk hal-hal
yang pornografis atau untuk melakukan perbuatan-perbuatan pornoaksi. Apabila
ada anggota-anggota masyarakat atau orang lain yang terganggu atau terangsang
hasrat seksualnya, atau merasa jijik, atau malu, atau muak sebagai akibat dari
melihat, atau mendengar, atau menyentuh tindakan-tindakan yang porno tersebut.
Menurut mereka, adalah karena orang yang bersangkutan rusak moralnya, kotor
pikirannya. Jadi, menurut mereka, orang yang bersalah, amoral dan asusila adalah
yang merasa terangsang nafsu birahinya ketika ia atau mereka melihat, atau
mendengar, atau menyentuh hal-hal yang pornografis maupun pornoaksi. Setiap
orang, menurut mereka adalah berhak dan bebas memperlakukan tubuhnya tanpa
batas, sepanjang tidak melanggar kesusilaan masyarakat setempat. Karena itu
hukum publik menurut mereka dilarang ikut serta mengatur perilaku seseorang
terhadap sikap, perbuatan, tindakan, perlakuan terhadap tubuh masing-masing
karena tubuh adalah hak mutlak masing-masing orang atau individu, bukan hak
(hukum) publik.
KUHP tidak melarang pemanfaatan tubuh oleh pemiliknya untuk pornografi
menempelkan, menyiarkan, mempertunjukkan gambar-gambar atau
tulisan-tulisan yang erotis dan sensual, dan memperdengarkan suara-suara yang erotis
dan sensual di muka umum yang dapat membangkitkan nafsu birahi orang yang
melihatnya atau mendengarnya.
Ditinjau dari hukum Islam, pendapat tersebut sangat tidak sesuai, karena
hukum Islam telah mengatur secara tegas cara orang memelihara tubuh, seperti
yang diatur dalam surah An-Nur ayat 30 dan ayat 31. Tubuh, menurut ajaran
Islam, merupakan amanah Allah yang wajib dipelihara oleh setiap insan dalam
rangka memelihara kehormatan. Islam secara tegas menuntun, membimbing,
mengarahkan, dan menentukan manusia dalam memperlakukan dan
memanfaatkan tubuh agar terjaga kehormatan, derajat, dan martabat diri, baik
dalam keluarga, masyarakat, dan bangsa, untuk mencapai kebahagiaan hidup dan
kehidupan di dunia dan di akhirat kelak.
Abu Ishaq Asy-Syatibi telah merumuskan tujuan hukum Islam dalam al-
maqasid asy-syar‟iyyah, yaitu untuk memelihara agama, jiwa, akal, keturunan,
dan harta. Muhammad Muslehuddin menambahkannya dengan tujuan hukum
Islam yang keenam, yaitu untuk memelihara kehormatan dirinya. 8 Pemeliharaan
diri dari hal-hal pornografis dan perbuatan pornoaksi berarti merupakan
kebutuhan (daruriyyat) yaitu pemeliharaan tubuh, jiwa, akal, dan ruhani yang
8
menyatu dan terwujud dalam tubuh setiap manusia yang sekaligus berarti
memelihara agama, keturunan, dan harta, serta kehormatan diri. Pemeliharaan
terhadap tubuh sebagai amanah Allah, menurut ajaran Islam, tidak terlepas dari
pemeliharaan terhadap agama (yang terdiri dari memelihara aqidah, syari‟ah, dan
akhlaq), jiwa, akal, keturunan, harta dan kehormatan. Syariat Islam tidaklah
diturunkan untuk kepentingan Allah, tetapi untuk kepentingan manusia. Jadi,
pembuatannya bebas dari vested interest dari sang pembuat.9 Hukum ini juga
bertujuan melindungi kebutuhan sekunder (hajjiyat), dan kebutuhan akan
kebaikan hidup (tahsiniyat) manusia.
Islam mengajarkan bahwa tujuan utama hidup dan kehidupan manusia adalah
untuk mendapat ridha Allah semata, untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di
akhirat. Dalam upaya mencapai ridha Allah, Islam mengajarkan tentang rukun
iman yang terdiri dari, beriman kepada Allah, beriman kepada para Rasul-Nya,
beriman kepada Kitab-kitabnya, beriman kepada Malaikat-malaikat-Nya, beriman
kepada hari akhir, yaitu hari perhitungan bagi setiap insan untuk
mempertanggungjawabkan semua perbuatan selama hidup di dunia, termasuk
pertanggungjawaban dalam memperlakukan dan memanfaatkan tubuhnya
masing-masing sebagai amanah Allah Yang Maha Pengasih, Maha Adil, Maha
9
Bijaksana. Dan rukun iman yang terakhir yaitu, beriman kepada qada dan qadar Allah subhanahu wa ta‟ala.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, penulis belum menemukan ketentuan
mengenai sanksi atas tindak pidana pornografi dalam Syariah Islam (Al-Qur‟an
dan Sunnah) secara eksplisit. Akan tetapi tidak berarti hukum pidana Islam tidak
mengenal dan tidak dapat menentukan sanksi atas tindak pidana pornografi
tersebut . Sebagaimana larangan mendekati zina dalam Surah Al-Isra ayat 32:
( (QS. Al-Isra/17 : 32“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.”(QS. Al-Isra/17 : 32)
Dalam mengatur masalah pidana Islam ditempuh dengan dua macam cara10,
yaitu: (1). menetapkan hukuman berdasarkan nash, dan (2). menyerahkan
penetapannya kepada penguasa (ulil amri). Sebagaimana didasarkan dalam Surah
An-Nisa ayat 58-59 adalah sangat mungkin bagi ulil amri (penguasa atau pembuat
undang-undang) membentuk peraturan perundang-undangan dan menetukan
bentuk dan sanksinya dengan tetap bersumber kepada Syariat Islam yaitu melalui
takzir.
10
(QS. An-Nisa/4 : 58-59)“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat (58). Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya(59).”(QS. An-Nisa /4 : 58-59).
Setelah melalui proses sidang yang panjang dan beberapa kali penundaan,
pada 30 Oktober 2008 siang dalam Rapat Paripurna DPR, akhirnya RUU
Pornografi disahkan. Pengesahan Undang-Undang tersebut disahkan minus dua
Fraksi yang sebelumnya menyatakan 'walk out', yakni Fraksi PDS dan Fraksi
PDI-P. Menteri Agama Maftuh Basyuni mewakili pemerintah mengatakan setuju
atas pengesahan RUU Pornografi ini. Pengesahan Undang-Undang No. 44 Tahun
2008 tentang Pornografi ini juga diwarnai aksi 'walk out' dua orang dari Fraksi
Partai Golkar (FPG) yang menyatakan walk out secara perseorangan. Keduanya
Tisnawati Karna dan Gde Sumanjaya Linggih. Dari sisi substansi, undang-undang
ini dianggap masih mengandung sejumlah persoalan, antara lain undang-undang
ini mengandung atau memuat kata-kata atau kalimat yang ambigu, tidak jelas,
atau bahkan tidak bisa dirumuskan secara absolut. Misalnya, eksploitasi seksual,
erotis, kecabulan, ketelanjangan, aurat, gerakan yang menyerupai hubungan
seksual, gerakan menyerupai masturbasi, dan lain-lain. Di samping itu, hal-hal
yang menjadi kontroversi Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi
ini juga mengindikasikan kepada salah satu bentuk penyeragaman budaya dan
menyudutkan perempuan. Dari sudut hukum dan sosiologis, undang-undang ini
juga menabrak batas ruang hukum publik dan privat serta mengabaikan
unsur-unsur sosiologis. Hal ini tercermin dari banyaknya pertentangan dan argumen
yang muncul dari berbagai kelompok masyarakat. 11
Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis tertarik untuk mengeksplorasi lebih
jauh mengenai perbuatan-perbuatan yang dikriminalisasi beserta sanksinya dalam
undang-undang No. 44 tahun 2008 tentang pornografi, serta latar belakang dan
proses lahirnya undang-undang tersebut. Oleh karena itu, penelitian skripsi ini
penulis tuangkan dalam karya ilmiah yang berjudul “KAJIAN HUKUM ISLAM ATAS ASPEK KRIMINALISASI DALAM UNDANG-UNDANG PORNOGRAFI”.
11
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah
Agar dalam pembahasan penelitian ini terarah dan tersusun secara sistematis
pada tema bahasan yang menjadi titik sentral, maka perlu penulis perjelas tentang
pokok-pokok bahasan dengan memberikan perumusan dan pembatasan masalah.
Mengingat persoalan mengenai pornografi ini amat luas, maka dalam
penelitian skripsi ini penulis merumuskan dan membatasi kepada beberapa
permasalahan:
1. Bagaimana Perspektif Hukum Positif dan Hukum Pidana Islam
tentang Kriminalisasi?
2. Bagaimana Deskripsi Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang
Pornografi?
3. Bagaimana Perspektif Hukum Pidana Islam terhadap bentuk-bentuk
tindak pidana pornografi, sanksi, dan relevansinya terhadap perbuatan
yang dikriminalisasi dalam Undang-Undang No. 44 Tahun 2008
Tentang Pornografi?
Dari perumusan masalah di atas, kemudian penulis membatasi masalah
perspektif hukum Islam mengenai pengertian, bentuk-bentuk, dan sanksi tindak
pidana pornografi dalam kajian hukum pidana Islam terhadap Undang-Undang
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dan manfaat yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah:
1. Untuk menjelaskan mengenai bentuk-bentuk tindakan yang
dikriminalisasi dalam Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang
Pornografi beserta sanksinya.
2. Untuk menjelaskan mengenai nilai-nilai ke-Islaman yang terkandung
dalam Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi.
3. Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai salah satu bentuk
sosialisasi yang bisa penulis lakukan untuk menginformasikan kepada
masyarakat umum agar mengetahui bahwa telah diberlakukannya
Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi dan
mengajak mereka untuk mematuhinya.
4. Penelitian ini setidaknya diharapkan bermanfaat menjadi sumbangan
ilmiah penulis untuk perbaikan atas kekurangan dalam
Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi apabila diperlukan.
5. Serta bertujuan untuk mencari solusi atas kontroversi yang
berkembang di masyarakat mengenai definisi dan batasan pornografi
yang terkandung dalam Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang
D. Tinjauan Pustaka
Dari beberapa literatur buku-buku dan penelitian-penelitian sebelumnya yang
ada, penulis akan mengambil untuk dijadikan sebuah perbandingan mengenai
pornografi. Adapun judul-judul buku itu adalah:
Pornografi dan Pornoaksi ditinjau dari Hukum Islam yang ditulis oleh Neng
Djubaedah, S.H., M.H. Adapun mengenai pokok masalah yang dikaji adalah
Kedudukan hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Tinjauan umum atas
KUHP dan RUU-KUHP, Hubungan Pornografi dan Pornoaksi dengan Tujuan
Hukum Islam, Pornografi dan Pornoaksi dalam KUHP dan RUU-KUHP ditinjau
dari Hukum Islam, Usulan-usulan dalam Penyusunan RUU Pornografi dan
Pornoaksi. Dan temuan masalah yang dikajinya adalah hukum Islam tidak
mengatur secara eksplisit mengenai pornografi dan pornoaksi dalam nash dan
memerintahkan kepada pemerintah (ulil amri) untuk menentukan bentuk dan jenis
sanksinya dengan tetap bersumber kepada Al-Qur‟an dan Hadits, yaitu melalui
takzir.12
Kriminologi Syariah: Kritik Terhadap Sistem Rehabilitasi, karya Chairil
Adjis, SH., MSi. dan Dudi Akasyah, S.Ag., MSi. Pokok masalah yang dikajinya
adalah Pornografi : Efek Negatif Tak Berjilbab. yaitu hanya fokus pada kajian
pornografi, di mana perempuan tak berjilbab menjadi objek dalam berbagai media
12
massa (media cetak seperti surat kabar, majalah, tabloid, komik, dan media
elektronik: televisi, video, internet, dan sejenisnya) yang menjadi konsumsi
publik sehari-hari dalam lingkup sangat luas, tidak hanya lingkup nasional
melainkan menjadi konsumsi masyarakat internasional.13
Dari beberapa literatur-literatur, buku-buku, dan penelitian-penelitian
sebelumnya, penulis menilai bahwa belum ada penelitian yang sama persis
dengan pokok permasalahan penelitian skripsi yang penulis buat pada saat ini,
yang mana penulis menekankan kepada kajian hukum Islam atas aspek
kriminalisasi dalam Undang-undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang penulis pergunakan adalah penelitian hukum
normatif atau penelitian hukum doktrinal, yaitu penelitian hukum yang
mempergunakan sumber data sekunder,14 yang mana pada hakekatnya berarti
mengadakan kegiatan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis.
Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum
tertulis tersebut. Penelitian hukum normatif yang penulis maksud adalah
13
Chairil A. Adjis dan Dudi Akasyah, Kriminologi Syariah: Kritik Terhadap Sistem Rehabilitasi, Cet. I, (Jakarta: RMBOOKS, 2007), h.78.
14
penelaahan terhadap hukum tertulis. Di sini penulis tidak meninjau peraturan
perundang-undangan dari sudut penyusunannya secara teknis akan tetapi yang
ditelaahnya adalah pengertian-pengertian dasar mengenai bentuk-bentuk
perbuatan yang dikriminalisasi dari peraturan perundang-undangan tersebut
berikut sanksi dan relevansinya.
Adapun jenis data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini adalah
jenis kualitatif karena data yang diperoleh berupa data kualitatif yakni berupa
kata-kata, norma atau aturan-aturan dari fenomena yang diteliti.
2. Sumber Data
Adapun dalam penelitian hukum ini sumber data yang penulis
gunakan adalah sumber data sekunder yang mencakup15:
a. Bahan hukum primer, yaitu Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang
Pornografi, Al-Qur‟an dan Al-Hadits.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer seperti buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum,
kamus-kamus hukum, termasuk data-data atau dokumen-dokumen dari
internet yang berkaitan dengan pembahasan dalam penelitian ini.16
15
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Cet. IV, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), h.12-13.
16
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penelitian ini
adalah studi dokumententasi, yaitu proses pengumpulan data yang dilakukan
melalui penggunaan bahan-bahan dokumen yang diperlukan, dalam hal ini
adalah Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi sebagai
rujukan utama dan buku-buku atau literatur-literatur serta data-data yang lain.
4. Teknik Analisis Data
Sedangkan teknik analisis data yang digunakan berupa analisis
normatif kualitatif.
5. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan penelitian skripsi ini, penulis menggunakan buku “Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah &
Hukum Universitas Islam negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 2007”.
F. Sistematika Penulisan
BAB I : Berisi pendahuluan yang mencakup tentang latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II : Membahas mengenai tinjauan umum kriminalisasi dalam perspektif
BAB III : Pada bagian ini menjelaskan mengenai deskripsi undang-undang no.
44 tahun 2008 tentang pornografi yang memuat tentang rasionalitas
dan substansi dari undang-undang no. 44 tahun 2008 tentang
pornografi.
BAB IV : Pada bagian ini mengkaji dengan menggunakan analisis perspektif
hukum pidana Islam terhadap aspek kriminalisasi dalam
undang-undang no. 44 tahun 2008 tentang pornografi yang meliputi
bentuk-bentuk tindak pidana pornografi, sanksi, dan relevansinya.
BAB V : Merupakan bagian penutup yang berisikan kesimpulan dari
pembahasan skripsi dan saran. Serta di akhir dilengkapi dengan daftar
BAB II
KRIMINALISASI DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF
DAN HUKUM PIDANA ISLAM
A. Kriminalisasi dalam Perspektif Hukum Positif
Dalam memberikan pengertian kriminalisasi kita perlu mempelajari ilmu
kriminologi, karena kriminalisasi merupakan bagian dari ilmu kriminologi.
Abdussalam dalam bukunya ”kriminologi”melihat bahwa objek dari kriminologi
adalah kesatu adalah kejahatan kedua adalah pelaku atau penjahat ketiga adalah
reaksi masyarakat.17
Kriminologi berasal dari kata crimen yang berarti kejahatan dan logos yang
berarti ilmu pengetahuan. Jadi kriminologi adalah ilmu/pengetahuan tentang
kejahatan yang secara umum berarti kriminologi untuk mempelajari kejahatan
dari berbagai aspek sehingga diharapkan dapat memperoleh pemahaman
mengenai fenomena kejahatan dengan lebih baik.18
17
Abdussalam, Kriminologi, (Jakarta : Restu Agung, 2007), h. 15.
18
Dalam kamus bahasa Indonesia kejahatan adalah prilaku yang bertentangan
dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku yang telah disahkan oleh
hukum tertulis (hukum pidana).19
Istilah kejahatan dalam pengertian tata bahasa adalah suatu tindakan atau
perbuatan yang jahat. Seperti orang yang menderita perbuatan yang jahat seperti
pembunuhan, pencurian, perampokan termasuk di dalamnya penipuan dan lain
sebagainya yang dilakukan oleh manusia.
Para pakar dalam ilmu kriminologi, sebagai orang yang ahli dalam ilmu
mengenai kejahatan banyak membuat rumusan tentang kejahatan. Antara lain
seperti yang di ungkapkan oleh W.A. Bonger (1936), seperti yang dikutip oleh
Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa kejahatan merupakan perbuatan anti
sosial yang secara sadar mendapat reaksi terhadap rumusan-rumusan hukum
mengenai kejahatan. Pengertian ini senada dengan Sutherland (1949), yang
menekankan bahwa ciri pokok dari kejahatan adalah perilaku yang dilarang oleh
negara, oleh karena merupakan perbuatan yang merugikan negara, dan terhadap
perbuatan tersebut negara bereaksi dengan hukuman sebagai suatu upaya
pamungkas. 20
19
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , Kamus Besar Bahasa Indonesia , Cet. III, (Jakarta: Balai Pustaka. 1990), h. 344.
20
Melihat dari dua pengertian di atas, ada empat point yang dapat diambil dan
bisa dijadikan sebagai unsur-unsur dari sebuah kejahatan yaitu :
1. Adanya suatu tindakan kesengajaan;
2. Merupakan perbuatan yang melanggar hukum;
3. Yang dilakukan tanpa adanya suatu pembelian atau pembenaran yang
diakui secara hukum; dan
4. Yang diberikan sanksi oleh negara berupa hukuman dari pelanggaran yang
dilakukan.
Sedangkan Abdulsyani dalam bukunya ”sosiologi kriminalitas” melihat
bahwa pengertian kejahatan dapat dilihat dari beberapa aspek, diantaranya :
1. Kejahatan ditinjau dari aspek yuridis ialah bahwa jika seseorang
dinyatakan melakukan pelanggaran terhadap peraturan pidana dan ia
dinyatakan bersalah oleh pengadilan dengan disertai pemberian hukuman.
Pada aspek yuridis ini, apabila pelaku pelanggaran belum dijatuhi
hukuman, maka pelaku tersebut belum bisa dikatakan sebagai penjahat.
2. Kejahatan ditinjau dari aspek sosial bahwa apabila seseorang tidak bisa
menyesuaikan diri dalam lingkungan masyarakatnya dan dengan sadar
atau tidak sadar telah menyimpang dari norma-norma yang berlaku.
Sehingga ia dinyatakan telah berbuat yang tidak dibenarkan oleh
masyarakat yang bersangkutan.
3. Kejahatan ditinjau dari aspek ekonomi bahwa apabila seseorang
orang lain merasa terganggu yang pada akhirnya kebahagiaan orang lain
terhambat karena perbuatannya.21
Salah satu sarjana kriminologi yang bernama Thoesten Sellin berpendapat
bahwa kriminologi tidak hanya mencakup pada pelanggaran dan kejahatan
sebagaimana yang telah ditentukan dalam hukum pidana, akan tetapi bahwa
kriminologi harus diperluas dengan memasukan conduct norm (norma-norma
kelakuan) yaitu norma-norma tingkah laku yang telah digariskan oleh berbagai
kelompok-kelompok masyarakat. Sebagaimana diketahui ”conduct norm” dalam
masyarakat mencakup norma kesopanan, norma susila, norma adat, norma agama,
norma hukum. Jadi objek studi kriminologi tidak hanya menyangkut tingkah laku
yang tidak disukai oleh masyarakat, meskipun tingkah laku tersebut bukan
merupakan suatu pelanggaran dalam hukum pidana.22
Kriminalisasi (criminalization) dalam ilmu kriminologi adalah sebuah proses
saat terdapat sebuah perubahan perilaku individu-individu yang cenderung untuk
menjadi pelaku kejahatan dan menjadi penjahat.23 Akan tetapi dalam
perkembangan penggunaannya kriminalisasi mengalami neologisme, yaitu
menjadi sebuah keadaan saat seseorang dapat dinyatakan sebagai pelaku
kejahatan atau penjahat oleh karena adanya sebuah pemaksaan interpretasi atas
21
Abdulsyani, Psikologi Krimialitas, (Bandung : Remadja Karya, 1987), h. 11.
22
Topo Santoso, Kriminologi, Cet. III, ( Jakarta : Raja Grafindo, 2002), h. 2.
23Wikipedia, “Kriminalisasi”
perundang-undangan melalui anggapan mengenai penafsiran terhadap perlakuan
sebagai kriminalisasi formal dalam peraturan perundang-undangan.24 Sebagai
contoh dalam perseteruan KPK dan polisi, kata kriminalisasi digunakan media
untuk mendefinisikan upaya polisi menjerat pemimpin KPK.25
Dalam Kamus Hukum Internasional dan Indonesia kriminalisasi adalah
proses yang memperhatikan prilaku yang semula tidak dianggap sebagai peristiwa
pidana tetapi kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana oleh masyarakat,26
sedangkan dalam kamus hukum lain mendefinisikan bahwa kriminalisasi adalah
proses semakin banyaknya sikap yang dianggap sebagai kejahatan oleh hukum
pidana atau perundang-undangan pidana.27
Dalam kamus Black Law Dictionary menjelaskan bahwa criminalization
adalah the rendering of an act criminal (e.g. by statutory enactment) and hence
punishable by the government in proceeding in its name yang artinya bahwa
kriminalisasi adalah perbuatan dalam bentuk pidana contohnya karena
perbuatannya itu, maka berdasarkan undang-undang dan melalui pemerintahan
24
Patrialis Akbar, “Tidak Ada Kriminalisasi KPK” artikel diakses pada 07 Januari 2010 dari
http://nasional.kompas.com/read/xml/2009/10/30/14413653/patrialis.tidak.ada.kriminalisasi.kpk
25
DetikNews, “Polri Ingin Selamatkan Diri dari Kriminalisasi KPK”artikel diakses pada 07 Januari 2010 dari http://www.detiknews.com/read/2009/10/30/120119/1231698/10/polri-ingin-selamatkan-diri-dari-kriminalisasi-kpk
26
Soesilo Prayogo, Kamus Hukum Internasional dan Indonesia , (Jakarta: Wacana Intelektual, 2007), h. 266.
27
mendapatkan sanksi.28 Sedangkan dalam Kamus Bahasa Indonesia, kriminalisasi
adalah proses yang memperlihatkan prilaku yang semula tidak dianggap sebagai
peristiwa pidana, tetapi kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana.29
Sedangkan Abdussalam dalam bukunya ”kriminologi” melihat bahwa pengertian
kriminalisasi adalah pandangan serta tanggapan masyarakat terhadap perbuatan
atau gejala yang timbul di masyarakat yang dipandang sebagai merugikan atau
membahayakan masyarakat luas tetapi undang-undang belum mengaturnya.30
Proses penyusunan konsep, yang meliputi juga proses kriminalisasi dan
dekriminalisasi dalam konsep tidak berangkat dari “titik nol”, artinya bukan tanpa
bahan. Konsep kriminalisasi berawal dari Tim Basaroedin yang telah menyusun
Konsep Buku II (tentang Kejahatan) dan Konsep Buku III (tentang Pelanggaran).
Konsep ini tersusun pada tahun 1977 dan dikenal dengan “Konsep BAS”.
Sistematika dan materi Konsep ini bersumber dari KUHP (WvS) yang berlaku
dengan penyesuaian dan penambahan beberapa delik baru. Jadi, Kebijakan
penyusunan delik-delik (kriminalisasi) di dalam konsep selama ini mengambil
dari tiga sumber bahan yang sudah ada sebelumnya yaitu terdiri dari:
1. KUHP (Wvs) yang masih berlaku,
2. Konsep BAS tahun 1977,
28
Henry Campbell, Black Law Dictionary, (USA : West Publisthing co), h. 374.
29
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia , Cet. III, (Jakarta : Balai Pustaka, 2005), h. 600.
30
3. Undang-undang di luar KUHP.31
Salah seorang sarjana kriminologi yang bernama H. Mannheim terhadap
kriminalisasi menyatakan bahwa terdapat berbagai bentuk perubahan anti sosial
yang tidak dijadikan tindak pidana dan banyak di antaranya yang seharusnya tidak
boleh dijadikan tindak pidana.
1. Bahwa efisiensi dalam menunjukkan undang-undang pidana banyak
tergantung pada adanya dukungan dan masyarakat luas, sehingga harus
diselidiki apakah tentang kelakuan yang bersangkutan itu ada sikap yang sama
dalam masyarakat.
2. Sekalipun ada sikap yang sama maka harus diselidiki pula apakah tingkah
laku yang bersangkutan merupakan tingkah laku yang penindakannya secara
teknis sangat sulit atau tidak. Sebab apabila ini terjadi akan menimbulkan
manipulasi dalam pelaksanaanya.
3. Perlu diingat pada apakah tingkah laku yang bersangkutan sebenarnya
merupakan sesuatu yang tidak sesuai untuk dijadikan objek hukum pidana
artinya apakah nantinya tidak terlalu banyak mencampuri urusan kehidupan
pribadi dari individu.
Kebijakan kriminalisasi pada hakikatnya merupakan bagian dari kebijakan
kriminal dengan menggunakan sarana hukum pidana, dan dalam kriminalisasi itu
sendiri harus berusaha melakukan harmonisasi dengan sistem hukum pidana atau
31
aturan pemidanaan umum yang sedang berlaku saat ini yang mana bertujuan agar
kebijakan kriminalisasi dapat diterima oleh masyarakat.32
Kebijakan kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan
suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi suatu tindak pidana,
kebijakan kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan kriminal dengan
menggunakan sarana hukum pidana.33
Adapun upaya kebijakan melakukan pencegahan dan penanggulangan
kejahatan tidak terlepas dari kebijakan sosial yang terdiri dari kebijakan atau
upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial dan kebijakan upaya-upaya perlindungan
masyarakat, adapun aspek yang sangat penting untuk kesejahteraan atau
perlindungan masyarakat adanya nilai kepercayaan, kebenaran, kejujuran dan
keadilan. Untuk menanggulangi kejahatan dapat dilakukan dengan cara
pendekatan integral yang dilakukan dengan cara menyeimbangkan sarana penal
dan non penal.34
Sedangkan dasar pembenaran untuk mengkriminalisasi suatu perbuatan
sebagai tindak pidana lebih banyak terletak di luar bidang hukum pidana artinya
dasar pembenaran tersebut berkaitan dengan faktor-faktor yang termasuk dasar
32
Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandingan, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2005), h. 127.
33
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2003), h. 240.
34
pembenaran tersebut adalah faktor nilai, ilmu pengetahuan, dan faktor kebijakan.
Nilai-nilai atau kaidah-kaidah sosial yang menjadi sumber pembentukan kaidah
hukum pidana meliputi nilai-nilai dan kaidah-kaidah agama, serta norma-norma
budaya yang hidup dalam kesadaran masyarakat.
Hukum pidana mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan moral,
khususnya pengaruh nilai-nilai dan kaidah-kaidah hukum pidana. Hubungan
moral dan hukum pidana menambahkan diri terutama pada norma-norma prilaku
yang diatur oleh hukum pidana, tetapi moral juga mengatur prilaku tersebut,
apabila perbuatan-perbuatan amoral dijadikan sebagai perbuatan illegal menurut
hukum pidana berarti ada kesesuaian antara kaidah moral dan kaidah hukum
pidana. Hubungan hukum pidana dan moral melahirkan konsepsi kejahatan mala
in se dan mala prohibita.35
B. Kriminalisasi dalam Perspektif Hukum Pidana Islam
Istilah tindak pidana, di dalam hukum pidana Islam sendiri ada dua kata yang
cukup mewakili kata tersebut yaitu jinayah dan jarimah.
Jinayah ةيانج : ىنجي – ىنج menurut istilah adalah hasil perbuatan seseorang
yang terbatas pada perbuatan yang dilarang pada umumnya, para fuqaha
menggunakan istilah tersebut hanya untuk perbuatan-perbuatan yang mengancam
35
keselamatan jiwa seperti pemukulan dan pembunuhan. Selain itu para fuqaha
memakai istilah tersebut pada perbutan-perbuatan yang diancam dengan hukuman
hudud dan qishash.36 Di kalangan fuqaha, yang dimaksud dengan kata-kata “jinayah” ialah perbuatan yang dilarang oleh syara‟, baik perbuatan itu mengenai
(merugikan) jiwa atau harta-benda, ataupun lain-lainnya.37 Oleh sebab itu jinayah
bersifat umum, meliputi seluruh tindak pidana atau mengacu kepada hasil
perbuatan seseorang.
Jarimah berasal dari kata ( َ َ َ ) yang sinonimnya ( َ َ َ َ َ َ َ ) artinya berusaha
dan bekerja. Hanya saja pengertian usaha di sini khusus untuk usaha yang tidak
baik atau usaha yang dibenci oleh manusia.38 Sedangkan secara istilah, Imam
Mawardi mendefinisikan sebagai berikut:
ي ع ا دحب ا ع ىلاع ه يع ش ا ظحم مئا جلا
Artinya: Jarimah (tindak pidana) adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara‟ yang diancam oleh Allah dengan hukuman had atau takzir.39
36
H. A. Djazuli, Fiqih Jinayah; Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, (Jakarta, P.T Raja Grafindo Persada, 1997), h. 1.
37
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Cet. V, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 1-2.
38
Muhammad Abu Zahrah, Al Jarimah wa Al „Uqubah fi Al Fiqh Al Islamy, (Kairo: Maktabah Al Angelo Al Mishriyah, t.th.,), h. 22.
39
Hal senada juga diungkapkan oleh Abdul Qadir al Audah dalam buku
karangannya sebagai berikut:
ي ع ادحبا ع ه يع ش ا ظحم ا نأب يما أا عي شلا ىف مئ ا جلا
.
Artinya:”Jarimah menurut syariat Islam adalah larangan-larangan syara‟ yang diancam oleh Allah dengan hukuman had atau takzir”.40
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan :
a. Pemakaian istilah jinayah dikalangan fuqaha sama dengan jarimah.
b. Suatu perbuatan baru dianggap jinayah atau jarimah apabila dilarang oleh syara‟.
c. Berbuat atau tidak berbuat tidak dianggap sebagai jarimah kecuali apabila
diancam dengan hukuman terhadapnya.
Ulama fiqh mengemukakan beberapa unsur yang harus terdapat dalam suatu
tindak pidana sehingga suatu perbuatan itu dapat dikategorikan dalam perbuatan
jarimah. Unsur-unsur umum jarimah tersebut adalah:
a. Adanya nash, yang melarang perbuatan-perbuatan tertentu yang disertai
ancaman hukuman atas perbuatan-perbuatannya. Unsur ini dikenal dengan
istilah “unsur formal” (al-Rukn al-Syar‟i).
b. Adanya unsur perbuatan yang membentuk jinayah, baik berupa melakukan
perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diharuskan.
Unsur ini dikenal dengan istilah “unsur material” (al-Rukn al-Madi).
40Abdul Qadir „Audah, Tasyri‟ al
c. Pelaku kejahatan adalah orang yang dapat menerima khitab atau dapat
memahami taklif, artinya pelaku kejahatan tadi adalah mukallaf, sehingga
mereka dapat dituntut atas kejahatan yang mereka lakukan. Unsur ini
dikenal dengan istilah “unsur moral” (al-Rukn al Adabi).41
Sesuatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai perbuatan jarimah jika
perbuatan tersebut mempunyai unsur-unsur atau rukun-rukun yang telah
disebutkan di atas. Hal ini menunjukkan bahwa tanpa ketiga unsur tersebut,
sesuatu perbuatan tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan jarimah (tindak
pidana).
Larangan-larangan di atas adakalanya berupa mengerjakan perbuatan yang
dilarang, atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan.42 Dengan kata-kata “ Syara‟ ” pada pengertian tersebut di atas, yang dimaksud ialah bahwa sesuatu
perbuatan baru dianggap jarimah apabila dilarang oleh Syara‟. Juga berbuat atau
tidak berbuat tidak dianggap sebagai sebuah jarimah, kecuali apabila diancamkan
hukuman terhadapnya. Dengan kata lain, melakukan (commission) atau tidak
melakukan (ommission) suatu perbuatan yang membawa kepada hukuman yang
ditentukan oleh syariat adalah kejahatan.43 Pengertian jarimah tersebut di atas
41
H.A. Djazuli, Fiqih Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), h. 3.
42
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Cet. V, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h.1.
43
tidak berbeda dengan pengertian tindak pidana (peristiwa pidana, delik) pada
hukum pidana positif.
Apabila ditinjau dari segi berat ringannya hukuman, jarimah dapat dibagi
kepada tiga bagian antara lain: Jarimah Hudud, Jarimah Qishas Diyat, dan
Jarimah Takzir.44 Adapun klasifikasinya sebagai berikut:
a. Jarimah Hudud
Jarimah hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had, yaitu
hukuman yang telah ditentukan macam dan jumlahnya dan menjadi hak Allah.
Dengan demikian, maka hukuman tersebut tidak mempunyai batas terendah dan
batas tertinggi. Pengertian hak Allah ialah hukuman tersebut tidak bisa
dihapuskan baik oleh manusia (yang menjadi korban jarimah), ataupun oleh
masyarakat yang diwakili negara.
Hukuman yang termasuk hak Allah ialah setiap hukuman yang dikehendaki
oleh kepentingan umum (masyarakat), seperti untuk memelihara ketentraman dan
keamanan masyarakat, dan manfaat penjatuhan hukuman tersebut akan dirasakan
oleh keseluruhan masyarakat.
44
Jarimah hudud ini ada tujuh macam, yaitu: jarimah zina, qadzaf (menuduh
orang lain berbuat zina), syurbul khamr (minum minuman keras), pencurian,
hirabah (perampokan), riddah (murtad), dan pemberontakan (al-baghyu).
b. Jarimah Qishas Diyat
Jarimah qishas diyat ini adalah jarimah yang diancamkan dengan hukuman
qishas atau diyat. Baik qishas maupun diyat keduanya adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara‟. Akan tetapi perbedaannya dengan hukuman had adalah
bahwa had merupakan hak Allah(masyarakat), sedangkan qishas diyat adalah hak
manusia (individu).45
Dalam hubungannya dengan hukuman qishas diyat maka pengertian manusia
disini adalah bahwa hukuman tersebut bisa dihapuskan atau dimaafkan oleh
korban atau keluarganya.
Jarimah qishas diyat ini hanya ada dua macam, yaitu pembunuhan dan
penganiayaan. Namun apabila diperluas maka ada lima macam yaitu :
1. Pembunuhan sengaja (
ُدْ َعْلَا ُ ْ َ ْلَا
)
2. Pembunuhan menyerupai sengaja (
ِدْ َعلْا ُ ْ ِش ُ ْ َ ْلَا
)
3. Pembunuhan karena kesalahan (
ْأَ َللْا ُ ْ َ ْلَا
)
45
4. Penganiayaan sengaja (
ُدْ َعلا ن لا و ام ىعع ي ا جلا
)
5. Penganiayaan tidak sengaja (أ خ ن لا و ام ىعع ي ا جلا).46
c. Jarimah Takzir
Jarimah takzir adalah jarimah yang diancam dengan hukuman takzir.
Pengertian takzir menurut bahasa ialah ta‟dib atau memberi pengajaran.
Sedangkan untuk hukum pidana Islam istilah tersebut mempunyai pengertian tersendiri yaitu bahwa syara‟ tidak menentukan macam-macamnya hukuman
untuk tiap-tiap jarimah takzir, akan tetapi hanya menyebutkan sekumpulan
hukuman, dari yang se-ringan-ringannya sampai yang se-berat-beratnya. Dalam
hal ini hakim diberi kebebasan untuk memilih hukuman-hukuman mana yang
sesuai dengan macam jarimah takzir serta keadaan si pembuatnya juga. Di
samping itu, menurut istilah sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Al
Mawardi, pengertiannya adalah sebagai berikut.
ُ ْ ُدُحلْا اَ ْيِف ْ َ ْشُ ْمَل ِ ْ ُنُ ىَعَع ٌ ْيِ ْأَ ُ ْيِ ْعَ لاَ
Takzir itu adalah hukuman pendidikan atas dosa (tindak pidana) yang belum ditentukan hukumannya oleh syara‟.47
46 Abdul Qadir „Audah, At Tasyri‟ Al Jina‟i Al Islami, Juz I, (Beirut: Dar Al Kitab Al „Araby,
1985), h.79.
47
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa hukuman takzir itu adalah hukuman yang belum ditetapkan oleh syara‟, melainkan diserahkan kepada ulil amri, baik
penentuannya maupun pelaksanaannya. Dalam menentukan hukuman tersebut,
penguasa hanya menetapkan hukuman secara global saja. Artinya pembuat
undang-undang tidak menetapkan hukuman untuk masing-masing jarimah takzir,
melainkan hanya menetapkan sekumpulan hukuman, dari yang
se-ringan-ringannya sampai yang se-berat-beratnya.48
Jarimah takzir terdiri atas perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak dikenakan
hukuman had dan tidak pula kifarat. Dengan demikian inti dari jarimah takzir
adalah perbuatan maksiat. Adapun yang dimaksud dengan maksiat adalah
meninggalkan perbuatan yang diwajibkan dan melakukan perbuatan yang
diharamkan (dilarang).49 Para fuqaha memberi contoh seperti meninggalkan
shalat fardhu, tidak membayar zakat padahal termasuk orang yang mampu, dsb.
Adapun contoh melakukan perbuatan yang dilarang adalah seperti mencium
perempuan lain yang bukan istrinya, sumpah palsu, melindungi dan
menyembunyikan pelaku kejahatan, dsb.
Adapun meninggalkan kewajiban dan melakukan perbuatan yang diharamkan
merupakan maksiat, apakah meninggalkan yang mandub dan mengerjakan yang
48
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h.19.
49
makruh juga termasuk maksiat yang dikenakan hukuman takzir?. Menurut
sebagian ahli ushul, mandub adalah sesuatu yang diperintahkan dan dituntut
untuk dikerjakan, sedangkan makruh adalah sesuatu yang dilarang dan dituntut
untuk ditinggalkan. Adapun yang membedakan antara mandub dan wajib adalah
bahwa orang yang mendapat mandub tidak mendapat celaan, sedangkan yang
orang yang meninggalkan kewajiban mendapat celaan. Adapun yang
membedakan antara makruh dan haram adalah bahwa orang yang mengerjakan
makruh tidak mendapat celaan, sedangkan orang yang yang mengerjakan yang
haram mendapat celaan. Berdasarkan pengertian tersebut orang yang
meninggalkan yang mandub atau mengerjakan yang makruh tidak dianggap
melakukan maksiat, karena celaan telah gugur dari keduanya, hanya saja mereka
dianggap menyimpang atau melakukan pelanggaran ( نلالم) dan tidak patuh
(ghair mumtatsil).
Adapun kelompok lain berpendapat bahwa mandub tidak termasuk ke dalam
kelompok perintah (amar), dan makruh juga tidak termasuk ke dalam kelompok
larangan (nahyi), melainkan hanya dianjurkan untuk dikerjakan (dalam mandub),
dan dianjurkan untuk ditinggalkan (dalam makruh). Berdasarkan asumsi tersebut
maka baik orang yang meninggalkan mandub maupun mengerjakan yang makruh
(perintah dan larangan).50 Dari uraian tersebut jelaslah bahwa meninggalkan
mandub dan mengerjakan makruh bukanlah suatu maksiat.
Apabila meninggalkan mandub dan mengerjakan makruh bukan suatu
perbuatan maksiat, apakah keduanya dapat dikenakan hukuman?. dalam hal ini
para fuqaha berbeda pendapat. Menurut sebagian fuqaha, seseorang yang
meninggalkan mandub atau mengerjakan makruh tidak bisa dikenakan hukuman
takzir. Alasannya takzir hanya dapat dikenakan apabila ada taklif (perintah dan
larangan), sedangkan dalam nadb dan karahah tidak ada taklif. Di samping itu,
adanya hukuman dianggap sebagai indikator apakah perbuatan itu haram atau
wajib di satu sisi, dan makruh atau mandub di sisi lain. Apabila hukuman
diterapkan atas perbuatan maka hal itu merupakan suatu pertanda yang
menunjukkan bahwa perbuatan itu wajib atau haram. Akan tetapi, apabila
hukuman tidak dikenakan terhadap perbuatan maka hal itu menunjukkan bahwa
perbuatan itu mandub atau makruh.51
Menurut sebagian fuqaha yang lain, seseorang yang meninggalkan mandub
atau mengerjakan makruh bisa dikenakan hukuman takzir. Mereka beralasan
dengan tindakan Sayyidina Umar yang menghukum dengan takzir seseorang yang
membaringkan kambingnya untuk disembelih, dan dia mengasah pisaunya
dengan membiarkan kambingnya dalam posisi demikian. Perbuatan laki-laki itu
50
Ibid, h.86.
51
merupakan perbuatan makruh, tetapi tetap dikenakan hukuman sebagai pelajaran
terhadap pelaku dan juga orang lain agar ia tidak mengulangi perbuatannya dan
orang lain tidak melakukan perbuatan semacam itu.52 Hukuman takzir semacam
itu bukan takzir atas perbuatan maksiat, melainkan takzir atas perbuatan
pelanggaran (At-ta‟zir „ala Al-Mukhalafah).53
Di samping itu juga hukuman takzir dapat dijatuhkan apabila hal itu
dikehendaki oleh kemaslahatan umum, meskipun perbuatannya bukan maksiat,
melainkan pada awalnya mubah. Perbuatan-perbuatan yang termasuk kelompok
ini tidak bisa ditentukan, karena perbuatan tersebut tidak diharamkan karena
zatnya, melainkan karena sifatnya. Apabila sifat tersebut ada maka perbuatannya
diharamkan, dan apabila sifat tersebut tidak ada maka perbuatannya mubah. Sifat
yang menjadi alasan (illat) dikenakannya hukuman atas perbuatan tersebut adalah
membahayakan atau merugikan kepentingan umum. Apabila dalam suatu
perbuatan terdapat unsur merugikan kepentingan umum maka perbuatan tersebut
dianggap jarimah dan pelaku dikenakan hukuman. Akan tetapi apabila dalam
perbuatan tersebut tidak terdapat unsur merugikan kepentingan umum maka
perbuatan tersebut bukan jarimah dan pelaku tidak dikenakan hukuman.
52
Ibid,
53
Penjatuhan hukuman takzir untuk kepentingan umum ini di dasarkan kepada
tindakan rasulullah SAW yang menahan seorang laki-laki yang di duga mencuri
unta. Setelah diketahui ternyata ia tidak mencurinya, maka Rasulullah SAW
melepaskannya. Analisis terhadap tindakan rasulullah SAW tersebut adalah
bahwa penahanan merupakan hukuman takzir, sedangkan hukuman hanya dapat
dikenakan terhadap suatu jarimah yang telah dapat dibuktikan. Apabila pada
peristiwa tersebut tidak terdapat unsur pidana maka artinya Rasulullah
mengenakan hukuman penahanan (penjara) hanya karena tuduhan semata-mata
(tuhmah).
Hal ini mengandung arti bahwa Rasulullah SAW membolehkan penjatuhan
hukuman terhadap seseorang yang berada dalam posisi tersangka, meskipun ia
tidak melakukan perbuatan yang dilarang.54 Tindakan yang diambil Rasulullah
SAW tersebut dibenarkan oleh kepentingan umum, sebab membiarkan si
tersangka hidup bebas sebelum dilakukan penyelidikan tentang kebenaran
tuduhan terhadap dirinya bisa mengakibatkan ia lari, dan bisa juga menyebabkan
dijatuhkannya vonis yang tidak benar terhadap dirinya, atau menyebabkan tidak
dapat dijalankannya hukuman yang telah diputuskan.
54
Dari uraian di atas tersebut, dapat diambil intisari bahwa jarimah takzir dibagi
kepada tiga bagian, yaitu:
a. Takzir karena melakukan perbuatan maksiat( ّيصع لا ىعع);
b. Takzir karena melakukan perbuatan yang membahayakan untuk
kepentingan umum) ماعلا حعص لا ىعع (;
c. Takzir karena melakukan pelanggaran ( نلال لا ىعع).
Disamping itu, dilihat dari segi dasar hukum (penetapannya), takzir juga dapat
dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu:
a. Jarimah takzir yang berasal dari jarimah-jarimah hudud atau qishas, tetapi
syarat-syaratnya tidak terpenuhi, atau ada syubhat, seperti pencurian yang
tidak mencapai nishab, atau oleh keluarga sendiri;
b. Jarimah takzir yang jenisnya disebutkan dalam nash syara‟ tetapi
hukumannya belum ditetapkan, seperti: riba, suap, dan mengurangi
takaran dan timbangan;
Jenis ketiga ini sepenuhnya diserahkan kepada ulil amri, seperti
pelanggaran disiplin pegawai pemerintah.55
Disamping itu tujuan diberikannya hak penentuan jarimah-jarimah takzir dan
hukumannya kepada penguasa adalah agar mereka dapat mengatur masyarakat
dan memelihara kepentingan-kepentingannya, serta bisa menghadapi dengan
sebaik-baiknya keadaan yang bersifat mendadak.
55
BAB III
DESKRIPSI UNDANG-UNDANG NO. 44 TAHUN 2008
TENTANG PORNOGRAFI
A. Rasionalitas
Setelah sekian lama mengalami perdebatan, akhirnya pemerintah telah
menetapkan Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU
APP) menjadi sebuah undang-undang, yakni Undang-Undang Nomor 44 Tahun
2008 tentang Pornografi (selanjutnya ditulis Undang-Undang Pornografi).
Jauh sebelum ditetapkannya RUU APP menjadi Undang-Undang, berbagai
perdebatan antara yang pro dan kontra dengan dibentuknya Undang-Undang
Pornografi sering bermunculan di berbagai ajang diskusi atau siaran berbagai
media massa.
Dasar pemerintah menerbitkan Undang-Undang Pornografi ini adalah karena
pemerintah beranggapan bahwa pengaturan pornografi yang terdapat dalam
peraturan perundang-undangan yang ada, seperti Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP), Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers,
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, dan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak kurang memadai dan belum
memenuhi kebutuhan hukum serta perkembangan masyarakat sehingga perlu
Pengaturan pornografi dalam Undang-Undang Pornografi meliputi (1)
pelarangan dan pembatasan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan
pornografi; (2) perlindungan anak dari pengaruh pornografi; dan (3) pencegahan
pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi, termasuk peran serta
masyarakat dalam pencegahan.
Undang-Undang Pornografi ini menetapkan secara tegas tentang bentuk
hukuman dari pelanggaran pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan
pornografi yang disesuaikan dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan, yakni
berat, sedang, dan ringan, serta memberikan pemberatan terhadap perbuatan
pidana yang melibatkan anak. Di samping itu, pemberatan juga diberikan
terhadap pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dengan
melipatgandakan sanksi pokok serta pemberian hukuman tambahan.56
Sejak awal RUU Pornografi diusulkan dan dibahas, sudah menimbulkan pro
kontra dan polemik. Salah satunya dalam perumusan definisi pornografi. Dari
kacamata agama bisa dinilai sebagai pornografi, namun dari kacamata seni belum
tentu. Sepertinya sulit sekali untuk merumuskan definisi pornografi yang bersifat
universal, yang dapat diterima semua pihak. Dalam penal policy (kebijakan
hukum pidana), sebenarnya setiap perumusan dalam undang-undang tidak ada
56
kewajiban untuk selalu membuat atau mendefinisikan setiap istilah yang
digunakan dalam undang-undang tersebut. Termasuk istilah pornografi dalam
RUU Pornografi.57 Di samping itu, kriminalisasi pada hakikatnya merupakan
kebijakan untuk mengangkat/menetapkan/menunjuk