• Tidak ada hasil yang ditemukan

Relevansi Nilai – Nilai Pendidikan Islam dalam Novel Sang Pencerah Karya Akmal Nasery Basral Terhadap Dakwah Muhammadiyah

Nilai – nilai pendidikan Islam dalam novel Sang Pencerah tidak luput dari perjuangan K.H. Ahmad Dahlan dalam berdakwah. Nilai – nilai pendidikan Islam yang peneliti temukan dalam novel Sang Pencerah diantaranya adalah akhlak, aqidah, dan syariah. Nilai – nilai pendidikan Islam tersebut memiliki relevansi atau hubungan dengan dakwah Muhammadiyah, diantaranya adalah: 1. Nilai pendidikan aqidah dalam novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery

Basral dan relevansinya terhadap dakwah Muhammadiyah

Perjuangan K.H. Ahmad Dahlan dalam berdakwah tidak lepas dari tuduhan – tuduhan dari masyarakat Kauman tentang sarana maupun metode K.H. Ahmad Dahlan dalam berdakwah yang menyebabkan beliau dianggap kafir oleh mereka.

Adapun dialog maupun kutipan teks dalam novel Sang Pencerah yang membuktikan bahwa metode dan sarana prasarana beliau dalam berdakwah dianggap kafir oleh mereka adalah:

“tetapi karena makin seringnya anak – anak non muslim itu datang ke rumahku, serta caraku mengajar yang kadang – kadang menggunakan musik sebagai bagian dari cara belajar, telah membuat sebagian masyarakat dan para Kiai melontarkan tuduhan yang semakin sadis kepadaku sebagai anak Kristen, dan bahkan sudah murtad dari agama Islam!”.

“nak Sudja, ndak perlu pinter – pinter amat ngaji buat tahu bahwa kalau ada orang yang sehari – harinya menyerupai orang kafir, berpakaian seperti orang kafir, dan hidup dengan cara orang kafir, maka orang itu adalah bagian dari orang – orang kafir”.

K.H. Ahmad Dahlan dalam berdakwah memang sering menggunakan alat musik biola dan cara berpakaian beliau menyerupai orang – orang Belanda pada saat itu, sehingga tuduhan – tuduhan Kiai kafir terus dilontarkan oleh warga – warga Kauman maupun Kiai – Kiai di Kauman kepada K.H. Ahmad Dahlan.

Menurut Shalih (2015: 3) sebagaimana telah dipaparkan pada halaman sebelumnya, menyatakan bahwa akidah secara syara‟ yaitu iman kepada Allah, para MalaikatNya, Kitab – KitabNya, para RasulNya dan kepada Hari Akhir serta kepada qadar yang baik maupun yang buruk. Hal ini disebut juga sebagai rukun iman.

Dari pendapat diatas dapat dipahami bahwa sesungguhnya K.H. Ahmad Dahlan bukanlah Kiai kafir, karena beliau hanya mendakwahkan ilmunya melalui cara – cara seperti yang dipergunakan oleh orang – orang Belanda pada saat itu, hal tersebut tidak ada kaitannya dengan kekafiran seseorang, karena masalah cara mengajar yang menyerupai orang – orang barat atau Belanda tersebut tidak berkaitan dengan cara beriman seseorang kepada Tuhannya, sedangkan Hakikat kafir yang sebenarnya ialah keluarnya atau murtadnya seseorang dari agama Islam dan tidak percaya akan adanya Tuhan, serta mempersekutukan Tuhan dengan sesuatu yang lain.

Nilai pendidikan aqidah yang terdapat dalam novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral adalah nilai keimanan yang ditunjukkan melalui tokoh dalam novel Sang Pencerah, yang mencakup iman kepada Allah, iman kepada kitab Allah, dan iman kepada Nabi dan Rasul. Pertama, iman kepada

Allah yang ditunjukkan melalui teks penanda pada halaman 29, 19, 44 – 45, 106, 308, 415, 46, 59, 60, 65, 81, 84, 91, 110, 113, 135 – 136, 137, 141, 176, 214, 237, 275, 274 – 275, 278, 344, 341, 365, 419, dan 430. Kedua, iman kepada Kitab Allah yang ditunjukkan melalui teks penanda pada halaman 6, 44 – 45, 415, 97, 141, 176, 214, 275, 274 – 275, dan 344. Ketiga, iman kepada Nabi dan Rasul yang ditunjukkan melalui teks penanda pada halaman 81, 137, 214, 275, 274 – 275, dan 344.

2. Nilai pendidikan akhlak dalam novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral dan relevansinya terhadap dakwah Muhammadiyah

Cobaan demi cobaan dilalui oleh K.H. Ahmad Dahlan dalam berdakwah, salah satu cobaan terberat beliau ialah saat dihancurkannya langgar kidul yang merupakan saung dakwah beliau kepada murid – muridnya yang setia kepadanya. Meskipun beliau tidak menyaksikan secara langsung tragedi yang dapat menyayat hati beliau tersebut, tetapi beliau tetap sedih dan tersakiti hatinya akibat perbuatan orang – orang suruhan dari Kiai Kholil Penghulu Kamaludiningrat dan atas perintahnya untuk mengahncurkan langgar kidul.

Adapun dialog maupun kutipan teks novel Sang Pencerah yang membuktikan bahwa langgar kidul milik K.H. Ahmad Dahlan dihancurkan adalah:

“mereka terlihat seperti para kuli yang membawa banyak perkakas: linggis, palu, cangkul. Bayangkan mereka hanya diterangi secercah nyala obor di tengah gelap malam, membuat banyak bayangan hitam

yang kurang menyenangkan. Apalagi mereka terus saja menyerukan kalimat tahlil “Laa ilaaha illallah...” berulang – ulang, seperti hendak mengumpulkan keberanian dan kekuatan untuk menghantam pasukan Belanda”.

“di tempat lain, Kiai Lurah Muhammad Noor yang rupanya sudah tau rencana itu memperhatikan bersama para santrinya pergerakan kelompok itu menuju langgar kidul. Awalnya dia berniat untuk tidak terlibat terlalu jauh, selain menyerahkan rencana itu sesuai dengan keinginan Kiai Penghulu Kholil Kamaludiningrat. Namun melihat cara para kuli itu berjalan rupanya membuat Mas Noor cemas, sehingga dia meminta salah seorang santrinya untuk menjemput Kiai Muhsin”. “aku sendiri sudah sampai di depan rumah mertuaku Kiai Fadlil. Hatiku terasa perih. Mataku perih dan terasa sembap. Tampaknya tak ada kemungkinan lain yang akan terjadi malam ini. Aku sangsi apakah Pakde Fadlil akan bisa menghentikan tindakan Kiai Penghulu Kamaludiningrat”.

Tindakan yang dilakukan oleh Kiai Penghulu Kholil Kamaludiningrat merupakan tindakan zalim, yaitu zalim terhadap hamba Allah atau orang lain. “Kezaliman adalah dosa besar dalam Islam. Secara akal dan syariat, kita tidak melihat dosa yang lebih besar dari kezaliman.” (Mazaheri, 2005: 82)

Menurut Al – Qur‟an dan riwayat – riwayat Ahlulbait as sebagaimana dikutip Mazaheri (2005:) menyatakan bahwa zalim kepada hamba – hamba Allah bahkan kepada makhluk – makhluk-Nya, dan termasuk ekstensinya yang nyata ialah merampas jiwa dan harta orang lain yang dikatakan itu adalah hak milik orang – orang.

Dari kutipan teks Novel yang telah disebutkan, terbukti bahwa hak dari K.H. Ahmad Dahlan ini telah dirampas oleh Kiai Penghulu Kholil Kamaludiningrat, karena Kiai Kamaludiningrat telah memaksa K.H. Ahmad Dahlan untuk menutup langgar miliknya, tetapi K.H. Ahmad Dahlan tidak mau melakukannya, sampai akhirnya Kiai Kamaludiningrat menyuruh

pasukan – pasukannya untuk merobohkan langgar milik K.H. Ahmad Dahlan secara paksa.

Nilai pendidikan akhlak yang terdapat dalam novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral adalah nilai pendidikan akhlak yang terpuji yang ditunjukkan melalui tokoh dalam novel Sang Pencerah, tetapi berdasarkan relevansinya, peneliti menganalisis akhlak yang kurang baik (tercela) yang dialami K.H. Ahmad Dahlan pada saat beliau berdakwah di masyarakatnya. Nilai akhlak terpuji terdapat pada teks penanda halaman 2, 10, 44, 62, 63, 84, 127, 129, 192, 221 – 222, 292, 3, 50, 19, 30, 33, 37, 46, 59, 62, 64, 76, 91, 89, 99, 113, 159 – 160, 166, 229, 235, 262, 264, 357, 370, 404, 445, dan 447 – 448.

3. Nilai pendidikan syari‟ah dalam novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral dan relevansinya terhadap dakwah Muhammadiyah

Salah satu aspek yang berpengaruh atau yang berhubungan dengan dakwah K.H. Ahmad Dahlan adalah syari‟ah atau hukum Islam. “hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari dan menjadi bagian agama Islam”. (Ali, 2015: 42)

Jika kita berbicara tentang hukum, secara sederhana segera terlintas dalam pikiran kita peraturan – peraturan atau seperangkat norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa. (Ali, 2015: 43)

Dakwah K.H. Ahmad Dahlan di lingkungan masyaraktnya sering mendapat perlakuan aneh, terlebih apabila beliau pada saat berdakwah mengenakan pakaian orang – orang Budi Utomo, dan dianggap oleh sebagian besar masyarakat Kauman pada saat itu merupakan kombinasi yang aneh, karena pada saat itu K.H. Ahmad Dahlan memakai jas dan dasi seperti para anggota Budi Utomo lainnya. Bedanya adalah hanya beliau yang memakai serban.

Adapun dialog maupun kutipan teks novel Sang Pencerah yang membuktikan bahwa K.H. Ahmad Dahlan dianggap sebagai Kiai Kafir karena cara berpakaian beliau yang menyerupai orang – orang kafir Belanda adalah:

“apakah tidak ada kesulitan yang Kiai hadapi karena berpakaian begini?” tanya kepala sekolah yang rupanya sudah jauh lebih terbuka kepadaku sekarang.

“tentu ada Meneer,” jawabku. “bahkan ada yang menuduh saya kafir.” “Kiai kafir? Apa maksudnya? Apakah karena Kiai Dahlan tidak sembahyang?”

“Oh tidak, saya dianggap kafir karena pakaian seperti ini dianggap pakaian orang – orang kafir Belanda.”

Mahmud Syaltout dalam Rosyada (1999: 3) menyatakan bahwa syari‟ah itu adalah ketentuan – ketentuan yang ditetapkan Allah, atau hasil pemahaman atas dasar ketentuan – ketentuan tersebut, untuk dijadikan pegangan oleh umat manusia baik dalam hubungannya dengan Tuhan, dengan manusia lainnya, orang Islam dengan non-muslim, dengan alam, maupun dalam menata kehidupan ini.

Dari penjelasan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwasannya K.H. Ahmad Dahlan dalam berpakaian seperti orang – orang kafir Belanda hanya untuk menjaga hubungan dengan para anggota Budi Utomo, karena beliau juga sempat bergabung dengan organisasi Budi Utomo, bukan berarti beliau

kafir karna pakaian tersebut, karena kafir merupakan urusan akidah atau tauhid, yaitu hubungan horizontal antara manusia dengan Tuhan.

Nilai pendidikan syariah yang terdapat dalam novel Sang Pencerah Karya Akmal Nasery Basral adalah mengenai shalat, thaharah, menuntut ilmu, pernikahan, puasa, sedekah, ibadah haji, dalil cara berpakaian, dan tradisi yang menyangkut hukum Islam yang ditunjukkan melalui tokoh dalam novel. Pertama, nilai pendidikan syariah mengenai shalat terdapat pada teks penanda halaman 19, 239, 37, 60, 155, 169, dan 379. Kedua, nilai pendidikan syariah mengenai thaharah terdapat pada teks penanda halaman 32 dan 60. Ketiga, nilai pendidikan syariah tentang menuntut ilmu terdapat pada teks penanda halaman 42. Keempat, nilai pendidikan syariah tentang pernikahan terdapat pada teks penanda pada halaman 156. Kelima, nilai pendidikan syariah mengenai puasa terdapat pada teks penanda halaman 100. Keenam, nilai pendidikan syariah tentang sedekah yang terdapat pada teks penanda halaman 64. Ketujuh, nilai pendidikan syariah mengenai ibadah haji yang terdapat pada teks penanda halaman 297. Kedelapan, nilai pendidikan syariah mengenai dalil cara berpakaian yang ditunjukkan pada teks penanda halaman 392. Kesembilan, nilai pendidikan syariah tentang tradisi yang menyangkut hukum Islam yang ditunjukkan melalui teks penanda pada halaman 40, 98, 99, 385, 298, 299, dan 358.

Dokumen terkait