• Tidak ada hasil yang ditemukan

d Relevansi peran Indonesia sebagai representasi negara negara Muslim dalam G-

Dalam dokumen yulius p hermawan peran indonesia dalam g 20 (Halaman 116-119)

Sebagaimana telah didiskusikan dalam Bab 1 dan 2, pemimpin-pemimpin Indonesia melihat G-20 bukan saja sekedar rumah ekonomi tetapi juga rumah peradaban. Indonesia mempersepsikan dirinya sebagai jembatan dari peradaban yang berbeda-beda. Namun demikian terdapat pernyataan seberap relevan sebetulnya persepsi tersebut menggambarkan realitas proses G-20. Tidak ada keraguan bahwa G-20 adalah suatu bentuk kerjasama ekonomi. Pemimpin-pemimpin G-20 secara berulang-ulang mendeklarasikan posisi ini. Sejak dibentuk tahun 1999, G-20 telah memfokuskan dirinya pada agenda ekonomi dan membuat komitmen-komitmen ekonomi. Sejak KTT Pittsburgh pemimpin-pemimpin G-20 mulai untuk membicarakan isu-isu relevan yang lain, tetapi menekankan juga bahwa isu-isu tersebut penting untuk mendorong pertumbuhan yang kuatm bekelanjutan dan seimbang.

Dalam proses deliberasi, tidak ada pemisahan antara Barat dan peradaban lain. Diskusi dalma G-20 tidak membicarakan ideologi khusus atau agama tertentu, tetapi isu-isu umum yang menjadi kepentingan komunitas internasional apakah mereka sekuler atau religius. Apa yang nyata dari dua KTT pertama adalah perbedaan mencolok di antara negara maju tentang pendekatan yang tepat untuk menangani dampak krisis finansial dalam perekonomian nasional mereka: apakah akan memakai regulasi dalam pasar finansial atau memperkenalkan stimulus fiskal untuk menghidupkan perekonomian nasional mereka. Dalam KTT Seoul, perbedaan yang mencolok

antara negara-negara maju yang dipimpin Amerika Serikat dan negara-negara

emerging economy, khususnya China terkait dengan nilai tukar mata uang dan stabilisasi moneter. Sekalipun muncul perdebatan besar, pemimpin-pemimpin membuat komitmen dan setuju bahwa setiap anggota G-20 dapat mengadopsi cara-cara yang cocok untuk memenuhi komitmen mereka.

Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa pembelahan terjadi antara peradaban-peradaban yang berbeda: Barat versus Konfusianisme ataupun Barat versus Islam. Negara-negara Islam tidak berupaya keras untuk mempromosikan sistem finansial Islam sebagai komplemen sistem konvensional yang ada meskipun mereka telah mengembangkan sistem finansial khusus dalam kerangka Organisasi Konferensi Islam. Tidak ada juga diskusi yang menunjukkan kepedulian OKI pada upaya oleh negara-negara sekuler untuk memaksakan sistem finansial konvensional dan bahwa sistem konvensional tidak dipengaruhi oleh sistem perbankan Islam yang telah diadopsi negara-negara Muslim.

Seperti telah dikemukakan sebelumnya, pemimpin-pemimpin OKI telah membentuk suatu mekanisme untuk menangani isu-isu ekonomi dalam orngaisasi yang disebut Komite bagi kerjasama ekonomi dan komersial (COMCEC). Mekanisme ini, mirip dengan G-20 beroperasi pada tingkat pemimpin. Kerjasama ini dibangun pada tahun 1981 jauh sebelum G-20 memulai KTT mereka.

Mengenai G-20 dan kaitannya dengan citra Islam, tidak terdapat suatu hubungan yang signifikan di antara keduanya. Dalam perkembangannya, mungkin saja G-20 dapat membahas terorisme, tetapi isu ini lebih menyangkut isu keamanan dan stabilitas ekonomi daripada isu Muslim, di mana stabilitas ekonomi diperlukan oleh seluruh masyarakat internasional, bukan hanya negara-negara Muslim. Apabila terorisme berhasil diberantas dan stabilitas ekonomi maupun keamanan tercipta, maka dengan sendirinya citra negatif terhadap Islam akan berubah menjadi positif.

Argumentasi ini pun didukung oleh responden dari berbagai kalangan, bahkan tidak ada responden yang menjawab bahwa terdapat suatu relevansi untuk Indonesia menrepresentasikan aspirasi negara-negara Muslim. Salah satu responden penelitian berargumen bahwa:

”Indonesia adalah negara dengan mayoritas Muslim terbesar dalam G-20, namun isu mewakili negara-negara Muslim tidaklah mendesak. Ini

tidaklah mendesak untuk mewakili agama tertentu. Terorisme sebagai contoh dapat didiskusikan dalam G-20, terutama karena efeknya pada aspek ekonomi dank arena ini akan membawa pengaruh global pada kerjasama internasional.”157

Pandangan serupa juga dikemukakan oleh Ketua Sherpa G-20 Indonesia, Mahendra Siregar. Dia menyatakan bahwa G-20 tidak memiliki hubungan dengan ideologi tertentu.

”Dalam arti global, saya tidak melihat ada perbedaan antara negara Muslim dengan non-Muslim. Sebagai contoh, mengenai pencapaian MDGs pada tahun 2015 yang kelihatannya akan berat memenuhi target tempo hari. Saya rasa, Muslim atau tidaknya suatu negara tidak akan mempengaruhi tantangan yang dihadapi negara tersebut. Persoalannya tidak ada yang terkait ideologi.” 158

Pertanyaan yang perlu dijawab adalah bagaimana memuat peran yang dipersepsikan penting oleh Indonesia menjadi relevan dengan negara-negara Muslim lain di dalam G-20? Seorang perwakilan asing dari negara yang merupakan negara dimana Islam menjadi agama mayoritas menjawab hal senada:

”Kita harus ingat bahwa G-20 bukan hanya soal perwakilan. Ini adalah tentang siapa negara-negara yang berpengaruh dalam bidang ekonomi, atau di dalam parameter ekonomi. Sehingga ini bukan sebuah kelompok yang dapat mewakili bidang ataupun sebuah wilayah. Setiap negara hanya bisa mewakili dirinya sendiri. Indonesia menjadi bagian dari G-20 karena kapasistasnya sebagai suatu emerging economy. Sehingga tidak ada yang mewakili negara lain karena forum ini murni tentang ekonomi, bukan agama atau ideologi. Ya, sebagian besar negara-negara Asia dan Afrika adalah negara-negara berkembang menghadapi isu dan tantangan yang mirip, seperti kemiskinan, pendidikan dan perumahan. Hanya pada poin ini Indonesia dapat berbicara mengatas namakan negara-negara Muslim

157 Wawancara dengan peneliti tanggal 19 Mei 2011.

karena mereka menghadapi permasalahan yang sama.”159

Persepsi tentang payung peradaban tidak sesederhana karena G-20 semata- mata merangkul baik negara maju dan berkembang yang berasal dari peradaban yang berbeda. Dari sisi penduduk yang besar, Indoensia dikategorikan sebagai negara Muslim. Indonesia berupaya untuk membutkikan kesiapannya menerima, dan membangun sistem konvensional yang sekuler dengan berargumentasi bahwa hanya negara Muslim yang toleran dan akomodatiflah yang dapat melakukannya. Ini tentu saja peran simbolik. Terdapat banyak forum internasional di mana baik negara sekuler dan negara Muslim menjadi anggotanya. PBB, dalam hal ini, adalah organisasi universal yang tidak mempermasalahkan asal muasal peradaban negara-negara anggotanya.

e. Agenda untuk mengkontekstualisasi keterwakilan dunia

Dalam dokumen yulius p hermawan peran indonesia dalam g 20 (Halaman 116-119)