Dalam konteks G-20, pemerintah Indonesia merespon gerakan masyarakat sipil dengan moderat. Ini misalnya ditunjukkan Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono yang menganggap demonstrasi di KTT G-20 sudah menjadi model dan wajar terjadi. Demonstrasi bukan sesuatu yang luar biasa dan tidak menjadi masalah selama dapat berlangsung dengan tidak anarkis dan tertib. Menurut Presiden, tuntutan para demonstran baik karena bertema tujuan pembangunan milenium seperti kelaparan, kerusakan lingkungan, perdagangan yang tidak adil, dan biaya perhelatan yang mahal. Namun dia sangat menyayangkan aksi anarkis yang terjadi.218
Mantan Kepala Badan Koordinasi Fiskal, Anggito Abimanyu, menyesalkan tuntutan demonstran dalam pertemuan KTT G-20 yang tidak relevan dan tidak terkait dengan perkumpulan kapitalisme. Anggito menilai G-20 tak terkait dengan perkumpulan kapitalis karena isu pembangunan juga dibahas dalam setiap pertemuan KTT G-20. Dia menjelaskan bahwa “Yang dibahas tidak hanya sektor keuangan tapi juga regulasi untuk melindungi rakyat yang selama ini justru terlalu liberal.”219
218 SBY Anggap Demonstrasi di KTT G-20 Bukan Luar Biasa. http://www.detiknews. com/read/2010/06/29/045808/1388886/10/-sby-anggap-demonstrasi-di-ktt-G-20- bukan-luar-biasa-. Civil society for a proactive Indian role in G-20. http://southasia. oneworld.net/todaysheadlines/civil-society-for-a-proactive-indian-role-in-G-20. diakses tanggal 26 Juli 2010.
219 Sering Didemo, G-20 Masih Dibutuhkan oleh Negara Berkembang. http://www. detikfinance.com/read/2010/06/28/075058/1387958/4/sering-didemo-G-20- masih-dibutuhkan-oleh-negara-berkembang. Civil society for a proactive Indian role in G-20. http://southasia.oneworld.net/todaysheadlines/civil-society-for-a- proactive-indian-role-in-G-20. diakses tanggal 26 Juli 2010.
Salah seorang responden dari LSM berpendapat bahwa pemerintah Indonesia belum serius memandang LSM sebagai partner setara dalam G-20. dia telah berhasil bertemu dengan pemimpin-pemimpin lain dari negara- negara lain, tetapi belum bertemu langsung degnan delegasi Indonesia dalam pertemuan-pertemuan G-20.
“Dalam G-20, kita belum bisa bertemu dengan pemerintah Indonesia, China, Turki, dan Arab Saudi. Arab Saudi tidak memiliki serikat buruh, possibility China rendah karena serikat buruhnya hanya satu dan masih menjadi bagian partai komunis China sehingga tak banyak hal yang akan kami dapatkan, Turki memiliki kecenderungan politik ke Eropa, sementara Indonesia ternyata sulit sekali bersuara.”220
Menurut pandangan aktivis LSM tersebut, Indonesia belum terlalu paham mengenai materi ITUC sehingga tidak siap. Juga ada kekhawatiran Indonesia bahwa pertemuan-pertemuan dengan ITUC akan menghasilkan komitmen- komitmen yang sulit ditindaklanjuti. Kedua adalah manajemen waktu. Meski ITUC termasuk global player, presiden Indonesia lebih memilih hadir dalam pertemuan keluarga besar Indonesia di New York, berbicara di Harvard University, dan seterusnya. Di sisi lain, pemimpin Brazil, Argentina, Australia, Jerman, Jepang, justru menyediakan waktu untuk bertemu dengan LSM.221
Keengganan pemerintah Indonesia terhadap masyarakat sipil dipengaruhi oleh cara pandang yang konservatif terhadap peran LSM. Indonesia masih lambat dalam menerima masyarakat sipil sebagai genuine partner dalam G-20.222
Pemerintah Indonesia lebih mendengar kelompok-kelompok kepentingan seperti pelaku bisnis, Ikatan Dagang, Asosiasi Pengusaha Indonesia, NU, Muhammadyah, dan lain-lain yang merupakan pemain lama.223 Kolaborasi
dengan kelompok-kelompok kepentingan dilihat lebih memperkuat peran negara dan rejim saat ini. Dalam konteks ini, politik domestik membentuk cara pemerintah Indonesia merespon organisasi masyarakat sipil.224
220 Wawancara dengan presiden KSBSI tanggal 12 Agustus 2010. 221 Ibid.
222 Ibid. 223 Ibid. 224 Ibid.
Pemerintah Indonesia sebenarnya memiliki banyak inisiatif dan mekanisme dalam merangkul masyarakat sipil di tanah air. Persoalannya, Indonesia belum memandang masyarakat sipil sebagai partner yang bersifat simbiosis mutualisme (saling menguntungkan). Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, memang pernah menghadiri Kongres Serikat Buruh juga mengundang KSBSI saat memperingati Hari Buruh. Masyarakat sipil diterima sebagai keniscayaan yang tak mungkin diabaikan, namun belum terlalu optimal. Sifatnya masih seremonial dan mengandalkan pendekatan ad- hoc, bukan kerjasama yang berumur panjang.225
Dalam hal ini, perlu ada inisiatif baru untuk mempertemukan LSM dan pemerintah. FGD tentang G-20 dan Agenda Pembangunan dapat dilihat sebagai terobosan baru yang perlu ditindaklanjuti dengan pertemuan-pertemuan serupa.226 FGD mendapatkan apresiasi baik dari aktivis LSM maupun
perwakilan pemerintah dan dilihat sebagai forum penting bagi dialog antara pemerintah dan LSM. Di satu sisi LSM dapat mengemukakan pandangan mereka terhadap proses G-20 dan mengusulkan posisi yang pemerintah perlu perjuangkan dalam pertemuan denga pemimpin-pemimpin G-20 yang lain. Di sisi lain, perwakilan pemerintah dapat membuktikan bahwa pemerintah siap untuk mendengar usulan-usulan LSM dan dapat membawanya ke proses G-20. Dalam forum tersebut, koordinator G-20 untuk isu-isu finansial menginformasikan kepada peserta bahwa dia telah menerima surat ITUC dan menjadikannnya referensi dalam memformulasikan posisi Indonesia dalam G-20.227 Ini meyakinkan aktivis ITUC bahwa pemerintah Indonesia telah
melihat kepedulian ITUC dengan serius.228 Satu aktivis LSM yang hadir dalam
Civil G-20 di Seoul menyebut bahwa “ini adalah kali pertama kami bertemu sama lain.”229
Ketua Sherpa G-20 Indonesia mendukung inisiatif tersebut dan menyambut
225 Ibid.
226 Focus Group Discussion tentang G-20 dan Agenda Pembangunan, diselenggarakan oleh FES Indonesia dan Universitas Katolik Parahyangan tanggal 4 Nopember 2010. 227 Seperti dikemukakan Koordinator G-20 untuk isu-isu financial kementerian
Keuangan RI pada versitas Katolik Parahyangan tanggal 4 Nopember 2010.
228 Seperti dikemukakan oleh pembicara dari perwakilan LSM dalam FGD tentang G-20 dan Agenda Pembangunan, tanggal 4 Nopember 2010.
229 Seperti dikemukakan oleh pembicara dari perwakilan LSM dalam FGD tentang G-20 dan Agenda Pembangunan, tanggal 4 Nopember 2010.
kontribusi serupa oleh LSM, akademisi dan unsur masyarakat sipil lain: “Untuk kolega-kolega lain dan pemimpin LSM, ini yang akan kita lakukan di masa yang akan datang. G-20 telah memberikan perhatian khusus pada isu-isu finansial sejak pendiriannya di tahun 1999. Namun sekarang kita ingin untuk memberikan perhatian lebih dengan membicarakan isu anti korupsi, perubahan iklim dan agenda pembangunan yang menjadi kepentingan negara-negara berkembang. Karenanya kita ingin melibatkan semakin banyak pemangku kepentingan untuk mensharingkan perhatian besar pada isu-isu ini. Saya menyambut baik upaya menyelenggarakan diskusi ini.”230
Sebagai kesimpulan, meskipun peran LSM dalam proses G-20 masih terbatas, LSM telah mencoba memainkan peran mereka. Mereka telah berinisiatif untuk mengangkat isu-isu bersama dalam jagnkauan internasional. Banyak LSM menuntuk G-20 mengakomodasi kepentingan baik negara maju maupun negara berkembang. Mereka telah menunjukkan kepedulian mereka pada keadilan ekonomi global, reformasi sistem finansial internasional, pendidikan, perbedaan budaya, dan isu-isu lingkungan.
Beragam pendekatan telah dipakai LSM dalam memainkan pengaruh mereka. LSM telah mengeluarkan pernyataan pers bersama dan mempublikasikan di media. Banyak pernyataan dibuat menyusul diskusi antara LSM dan pemerintah. LSM yang lain menyelenggarakan kampanye global dan demonstrasi besar-besaran.
Beberapa pemerintah seperti Kanada, Turki dan India telah secara resmi membuka dialog dengan LSM. Mereka telah berupaya mengakomodasi perkembangan ini dan menjadikan LSM gerakan yang akomodatif sebagai partner pemerintah daripada yang garis keras yang sering membuat demonstrasi jalanan yang anarkis dan kekacauan.
230 Seperti dikemukakan oleh Ketua Sherpa G-20 Indonesia dalam FGD tentang G-20 dan Agenda Pembangunan, tanggal 4 Nopember 2010.