• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II (DASAR TEORI)

A. Remaja Akhir

penginterpretasian oleh remaja terhadap pendidikan yang diberikan oleh orang tua dalam hal seksualitas yang meliputi larangan, penerangan, diskusi, saran, contoh relasi ayah dan ibu dalam kehidupan bersama keluarga sehari-hari, dan pembicaraan singkat, sedangkan perilaku seks pranikah adalah perilaku seks yang dilakukan oleh remaja akhir di luar ikatan pernikahan yang meliputi bentuk-bentuk perilaku seks pranikah secara afeksi dan fisik mulai dari hasrat seksual, hasrat afeksi, pegangan tangan, berciuman, masturbasi, necking, petting, dan

coitus.

Subjek dalam penelitian ini meliputi remaja akhir berjumlah 61 orang, terdiri dari yaitu 43 orang remaja putri dan18 orang remaja putra. Penelitian menggunakan dua buah skala, yaitu Skala Persepsi Remaja Terhadap Pendidikan Seks dari Orang Tua dengan 51 aitem dengan reliabilitas α = 0.915 dan Skala Perilaku Seks Pranikah pada Remaja Akhir sebanyak 45 aitem dengan reliabilitas

α = 0.943. Analisis penelitian menggunakan teknik korelasi Pearson Product Moment program SPSS (Statistical Product and Service Solution) versi 12.0. Hasil yang diperoleh menunjukkan adanya hubungan negatif yang signifikan terhadap variabel persepsi remaja terhadap pendidikan seks dari orang tua dan perilaku seks pranikah pada remaja akhir ( r = -0.270, p = 0.018) dengan sumbangan efektif variabel pendidikan seks sebesar 7.3%.

Berdasarkan analisis data tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis yang diajukan dapat diterima, yaitu ada hubungan negatif antara pendidikan seks dari orang tua dengan perilaku seks pranikah pada remaja akhir.

Kata kunci : persepsi remaja terhadap pendidikan seks dari orang tua, perilaku seks pranikah

marital sex behavior. Adolescen’s perception of the parental sex education was the choosed, organized and interpreted process by the adolescence of the education that parents gave about sexuality that included prohibition, explanation, discussion, suggestion, father and mother modeling relation in daily family lives, and short conversation, premarital sex behavior was sex behavior that the late adolescence did outside the marital relation that included premarital sex behavior forms in affection dan phisical started from sexual desire, affection desire, hands handle, kissing, masturbation, necking, petting, and coitus.

The subject in this study was 61 late adolescence, consisted of 43 adolescence girls and 18 adolescence boys. This study was using two measurement scale, The Adolescence’s Perception of the Parental Sex Education Scale consisted of 51 items with reliability α = 0.915 and and The Late Adolescence Pre Marital Sex Behavior Scale consisted of 45 items with reliability

α = 0.943. The study analisys used the Pearson Product Moment Corelation by The SPSS 12.0 program. The result showed that there was a significant negative correlation between parental sex education with the late adolescence pre marital sex behavior (r = -0.270, p = 0.018) and 7.3% score of effective contribution of the parental sex education variable.

Depends from the analisys, it can be concluded that the proposed hipotesys could be received, that there was a negative correlation between adolescence’s perception of the parental sex education and the late adolescence pre marital sex behavior.

Key words : adolescence’s perception of the parental sex education, premarital sex behavior

Nama : Laksmi Paramita

NIM : 049114039

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

“Hubungan Antara Persepsi Remaja Terhadap Pendidikan Seks Dari Orang Tua Dengan Perilaku Seks Pranikah Pada Remaja Akhir”

beserta perangkat yang diperlukan. Dengan demikian saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak unutk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas dan mempublikasikannya di internet atau media cetak lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 15 November 2008 Yang menyatakan,

(Laksmi Paramita)

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………. ii

HALAMAN PENGESAHAN………. iii

HALAMAN PERSEMBAHAN………. iv

HALAMAN MOTTO……… v

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………... vi

KATA PENGANTAR……… vii

ABSTRAK………. x

ABSTRACT……….. xi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI……. xii

DAFTAR ISI………. xiii

DAFTAR TABEL……… xvii

DAFTAR SKEMA……….. xviii

BAB I (PENDAHULUAN)………. 1

A. Latar Belakang……… 1

B. Rumusan Masalah……… 7

C. Tujuan Penelitian………. 7

D. Manfaat Penelitian……… 7

BAB II (DASAR TEORI)……… ….. 8

A. Remaja Akhir……… 8

1. Persepsi………. 14

2. Pendidikan Seks………. 15

a. Pengertian Pendidikan Seks……… 15

b. Tujuan Pendidikan Seks dari Orang Tua………… 17

c. Bentuk Pendidikan Seks………. 19

d. Materi Pendidikan Seks ……….... 22

e. Sumber-sumber Pendidikan Seks……… 24

3. Pendidikan dari Orang Tua……… 25

a. Hubungan antara Remaja dan Orang Tua………… 25

b. Pendidikan Seks dari Orang Tua………. 28

4. Persepsi Remaja terhadap Pendidikan Seks dari Orang Tua………. 31

C. Perilaku Seks Pranikah pada Remaja………. 32

1. Pengertian Perilaku Seks………. 32

2. Perilaku Seks Pranikah……… 36

3. Bentuk-bentuk Perilaku Seks Pranikah……… 37

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Munculnya Perilaku Seksual Pranikah……… 39 D. Hubungan Antara Persepsi Remaja terhadap Pendidikan Seks

dari Orang Tua dengan Perilaku Seks Pranikah pada

BAB III (METODOLOGI PENELITIAN)……… 50

A. Jenis Penelitian………. 50

B. Identifikasi Variabel……… 50

C. Definisi Operasional……… 51

D. Subyek Penelitian……… 52

E. Metode dan Alat Pengumpulan Data……… 54

F. Prosedur Penelitian……… 60

G. Uji Validitas dan Reliabilitas……… 60

H. Metode Analisis Data……… 65

BAB IV (HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN)………. 67

A. Pelaksanaan Penelitian……….. 67

B. Hasil Penelitian………. 67

1. Deskripsi Data Penelitian……… 67

2. Uji Asumsi Penelitian………. 69

a. Uji Normalitas……… 69

b. Uji Liniearitas……… 70

3. Pengujian Hipotesis Penelitian………. 70

C. Pembahasan……… 72

DAFTAR PUSTAKA……… 80

LAMPIRAN ……… 84

A. Skala Penelitian……….. 85

B. Skor Penelitian……… 98

C. Validitas dan Reliabilitas Skala Penelitian…………. 108

D. Uji Normalitas dan Linearitas……… 113

E. Uji Hipotesis……….. 116

F. Surat Keterangan Penelitian………... 117

Seks dari Orang tua Uji Coba……….. 55 Tabel 2 Pembobotan Inter Rater terhadap Bentuk Perilaku Seksual…… 58 Tabel 3 Blueprint Skala Perilaku Seks Pranikah pada Remaja Akhir

Uji Coba……… 59

Tabel 4 Blueprint Skala Persepsi Remaja terhadap Pendidikan Seks

dari Orang Tua Penelitian……… 64

Tabel 5 Blueprint Skala Perilakus Seks Pranikah pada Remaja

Akhir Penelitian……….. 65 Tabel 6 Deskripsi Data Hasil Penelitian……… 68 Tabel 7 Korelasi Antara Pendidikan Seks dengan Perilaku Seks Pranikah.. 71

A. Latar Belakang

Masa remaja merupakan masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa, yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Masa remaja dimulai kira-kira usia 10-13 tahun dan berakhir antara usia 18 dan 22 tahun (Santrock, 2003). Memasuki masa ini, biasanya remaja sudah mulai mengalami pubertas dan diikuti oleh perubahan-perubahan yang lain.

Perubahan dalam diri remaja yang menyangkut hubungan dengan lawan jenisnya dan menerima peran seksual secara dewasa menimbulkan dorongan dan minat terhadap masalah perilaku seksual (Masland dalam Nugraha, 2004). Perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis. Bentuk-bentuk tingkah laku seksual ini bisa bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu, dan bersenggama. Objek seksualnya bisa berupa orang lain, orang dalam khayalan atau diri sendiri (Sarwono, 1994). Salah satu contoh penelitian mengenai perilaku seksual remaja yaitu sebuah penelitian yang dilakukan oleh Centra Mitra Remaja (Eliyawati, 2007) Medan, Sumatra Utara. Dari penelitian ini, diperoleh lima tahapan yang sering dilakukan oleh remaja yaitu: dating, kissing, necking, petting dan coitus. Beberapa contoh lain mengenai perilaku seksual yang

dilakukan oleh para remaja tersebut adalah berkhayal berhubungan seks dan masturbasi (Sarwono, 1981).

Masalah seksualitas pada remaja sering menjadi bahan yang menarik untuk dibicarakan dan didiskusikan, karena sifatnya yang sensitif dan rawan menyangkut moral, etika, agama serta latar belakang sosial ekonomi. Eliyawati (2007) menyebutkan bahwa hampir 10 % remaja sudah pernah melakukan hubungan seks. Penelitian PKBI DI Yogyakarta selama tahun 2001 menunjukkan data angka sebesar 722 kasus kehamilan tidak diinginkan pada remaja. Menurut Fakta HAM 2002 data PKBI Pusat menunjukkan 2,3 juta kasus aborsi setiap tahun dimana 15 % diantaranya dilakukan oleh remaja yang belum menikah (Eliyawati, 2007).

Menurut catatan Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi (BKKBN, 2007), diperkirakan setiap tahunnya terjadi dua juta hingga 2,6 juta kasus aborsi yang sepertiganya dilakukan oleh perempuan usia 15 sampai 24 tahun yang termasuk dalam golongan remaja akhir. Penelitian lain yang dilakukan oleh PKBI Jakarta menunjukkan bahwa dari 2.479 responden usia 15 sampai 24 tahun yang mengaku telah berhubungan seksual saat berpacaran sebanyak 14,73% dengan persentase sebanyak 74,89% dilakukan dengan pacarnya. Hasil temuan lain yang mendukung fakta ini dikemukakan oleh Oka (2006) yang menyatakan bahwa 15 sampai 20% remaja usia sekolah di Indonesia sudah melakukan hubungan seks di luar nikah. Sekitar 15 juta remaja perempuan di Indonesia usia 15 sampai 19 tahun melahirkan tiap tahun, dan sekitar 2,3 juta kasus aborsi tiap tahunnya dilakukan oleh 20%

remaja. Data tersebut menunjukkan betapa sudah begitu banyaknya terjadi perilaku seks pranikah di kalangan remaja Indonesia saat ini.

Perilaku seks pranikah itu sendiri adalah perilaku seks yang dilakukan tanpa melalui proses pernikahan yang resmi menurut hukum maupun menurut agama dan kepercayaan masing-masing individu (Luthfie, 2002). Remaja yang memiliki intimacy lepas kontrol akan mengarah pada terjadinya seks pranikah. Namun, bagi remaja yang matang secara fisik dan memiliki kematangan emosional maka ia akan dapat menjalin intimacy dengan penyaluran yang tepat.

Remaja sering mencari-cari informasi yang berkaitan dengan seks. Banyak sekali sumber-sumber informasi mengenai masalah seksualitas yang ada di sekitar remaja. Namun, tidak semua sumber informasi tersebut dapat dipercaya dan bertanggung jawab. Menurut Utomo & McDonald (dalam Jones, 1998), banyak sumber informasi seperti film, video, majalah, buku, dan internet memaparkan aktivitas seksual pra-nikah begitu saja.

Para remaja yang memiliki sifat penuh dengan rasa ingin tahu dan suka mencoba-coba hal baru yang menarik minatnya dapat terjerumus ke dalam jalur yang salah dengan mencoba-coba hal tersebut. Sebagai konsekuensinya, remaja masa kini jauh lebih banyak mendapatkan rangsangan seks daripada remaja 25 tahun lalu (Singarimbun dalam Sa’abah, 2001). Hal ini tentunya menimbulkan kekhawatiran berbagai pihak baik orang tua, pengajar, pendidik maupun orang dewasa lainnya (Mu’tadin, 2002).

Beberapa hal yang dapat mempengaruhi perilaku seks pranikah antara lain adalah umur menarche yang semakin menurun sejak permulaan abad 20, meningkatnya usia perkawinan (Delamater&Friedrich dalam Santrock 2003), lingkungan sosial, hubungan dengan anggota keluarga, teman dan teman kencannya (Bancroft dalam Luthfie,2002).

Keluarga merupakan lingkungan sosial terkecil yang ada di sekeliling remaja. Orang tua adalah figur terdekat dengan remaja di dalam keluarganya. Menurut Mudijana (1993) hasil survey yang pernah dilakukan di Kodya Yogyakarta menunjukkan bahwa 74,6% remaja berusia 15-19 tahun mengatakan bahwa sumber informasi ideal yang diharapkan untuk masalah kesehatan reproduksi dan seksualitas adalah orang tua. Namun, hanya sekitar 5-10% remaja putra dan 16-20% remaja putri saja yang mendapatkan informasi tersebut dari orang tuanya. Hal ini bertolak belakang dengan pendapat yang diberikan oleh Agung (2002) yang menyatakan bahwa sebaiknya pendidikan seks pada anak diberikan oleh orang tua, karena orang tualah yang paling mengerti kebutuhan anak. Selain itu, WHO (Lentera Sahaja PKBI, 2002) juga menyatakan bahwa salah satu diktum Konsensus Geneva mengenai pendidikan seks adalah setiap orang berhak untuk mendapatkan pendidikan seks.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa diskusi dengan remaja mengenai perilaku seks, program pendidikan HIV, maupun penggunaan kontrasepsi yang aman, tidak meningkatkan aktivitas seksual mereka, dibanding penitikberatan pada sex abstinence (Mulvihill dalam Agnew, 2007). Menurut

Sarlito (1985), pendidikan seks merupakan cara-cara untuk mengurangi atau mencegah penyalahgunaan seks, khususnya untuk mencegah dampak-dampak negatif yang tidak diharapkan, seperti kehamilan yang tidak direncanakan (sebagian besar remaja tidak mengetahui bagaimana kehamilan tersebut bisa terjadi), penyakit menular seksual, depresi, dan perasaan berdosa.

Pendidikan seks menurut Sahaja PKBI DIY (2002) adalah segala macam pengetahuan dan ketrampilan yang berkaitan dengan seksualitas yang sehat baik secara fisik, psikis dan sosial yang diberikan sejak dini sesuai perkembangan usia dan kebutuhan untuk menghasilkan individu yang bertanggung jawab. Dalam berbagai kebudayaan yang ada kini, masih ada kecenderungan untuk melarang membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan seks di depan umum karena dianggap tabu sehingga dampak dari hal tersebut adalah pendidikan seks di keluarga masih tertutup (Sarwono, 1994).

Orang tua pada umumnya merasa bahwa mereka seharusnya memberikan pendidikan seks pada anaknya, tetapi merasa kurang nyaman untuk melakukannya (UNFPA, 1995). Kemudian, sebuah riset juga menunjukkan bahwa 94% orang tua lebih suka bila pendidikan seks menjadi tanggung jawab sekolah (Allen dalam Mellanby dkk, 1996).

Hal ini sangat disayangkan jika orang tua tidak mau memberikan informasi mengenai seksualitas yang dapat bermanfaat bagi anaknya. Hasil penelitian membuktikan bahwa ketika orang tua dapat menerima ketertarikan anak terhadap seksualitas dan mempunyai kehendak untuk mendiskusikan seksualitas tersebut dengan mereka, maka anak-anak tersebut cenderung

menunda sexual intercourse yang pertama (Zelnik & Kim, 1982) dan mengembangkan sikap seksual yang serupa dengan orang tuanya (Fisher, 1987).

Persepsi adalah suatu pengorganisasian dan penginterpretasian data-data yang berdasarkan pengalaman masa lalu individu (Crow & Crow, 1973). Remaja yang mendapatkan pendidikan seks dari orang tuanya akan menginterpretasikan pendidikan seks yang mereka dapatkan dari orang tuanya tersebut dalam perilaku seksual mereka ketika menjalin hubungan dengan lawan jenis sehingga diharapkan akan membentuk perilaku seksual yang sehat dan tidak melakukan perilaku seks pranikah.

Ada beberapa resiko jika remaja tidak mendapatkan pendidikan seks sejak dini, antara lain pendapat para remaja bahwa jika sekali saja melakukan hubungan seks tidak akan terjadi kehamilan. Selain itu, pengetahuan tentang seks yang setengah-setengah saja dari orang tua tidak hanya mendorong remaja untuk mencoba-coba, tetapi juga bisa menimbulkan salah persepsi antara lain, berciuman atau berenang di suatu kolam renang yang “tercemar sperma” bisa mengakibatkan kehamilan. Kurangnya informasi tentang seksualitas yang didapat oleh remaja mengakibatkan banyak muncul kasus-kasus kehamilan sebelum menikah dan sebagian besar remaja tersebut tidak mengetahui bagaimana kehamilan itu bisa terjadi (Astuti, 2007).

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti ingin mengetahui apakah ada hubungan antara persepsi remaja terhadap pendidikan seks dari orang tua dengan perilaku seks pranikah pada remaja akhir.

B. Rumusan Masalah

Apakah ada hubungan antara persepsi remaja terhadap pendidikan seks dari orang tua denganperilaku seks pranikah pada remaja akhir ?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan antara persepsi remaja terhadap pendidikan seks dari orang tua dengan perilaku seks pranikah pada remaja akhir.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat menambah kajian teoritis di area Psikologi Perkembangan Remaja, khususnya tentang perilaku seks dan remaja dari faktor pengetahuan terhadap pendidikan seks.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi para remaja : penelitian ini dapat memberikan informasi pada para remaja mengenai pentingnya komunikasi dengan orang tua untuk mendapatkan pendidikan seks.

b. Bagi para orang tua dan masyarakat pada umumnya : penelitian ini dapat memberikan informasi kepada para orang tua sebagai orang yang paling dekat dengan anak remajanya mengenai pentingnya pendidikan seks terhadap para remaja berkaitan dengan perilaku seks pranikah.

A. Remaja Akhir

1. Batasan Remaja Akhir

Pengertian remaja dalam ilmu kedokteran dan ilmu-ilmu lain seperti biologi dan faal adalah suatu tahap perkembangan fisik di mana alat-alat kelamin manusia mencapai kematangannya. Secara anatomis berarti alat-alat kelamin khususnya dan keadaan tubuh pada umumnya memperoleh bentuknya yang sempurna dan secara faali alat-alat kelamin tersebut sudah berfungsi secara sempurna pula (Sarwono, 1994).

Masa remaja merupakan masa perkembangan transisi antara masa masa anak dan masa dewasa, yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Masa remaja dimulai kira-kira usia 10-13 tahun dan berakhir antara usia 18 dan 22 tahun (Santrock, 2003).

Menurut Santrock (2003), masa remaja dapat dibagi ke dalam dua kategori, yaitu :

a. Masa remaja awal, biasanya remaja sudah banyak yang mengalami pubertas dan diikuti oleh perubahan-perubahannya. Mereka biasanya sudah duduk di bangku SMP.

b. Masa remaja akhir terjadi kira-kira setelah usia 15 tahun dan mulai berminat pada karir, eksplorasi identitas dan pacaran.

Dari beberapa definisi di atas mengenai batasan remaja, maka dapat disimpulkan bahwa remaja akhir adalah suatu masa perkembangan transisi antara anak-anak dan dewasa yang terjadi pada usia 15 sampai 18-22 tahun yang mencakup perubahan biologis atau fisik, kognitif dan sosio-emosional di mana alat-alat kelaminnya sudah mencapai kematangannya dan mulai berminat pada pacaran.

2. Karakteristik Remaja Akhir

Pada masa remaja akhir, keadaan perkembangan fisik dan sosialnya sudah terlihat lebih jelas dan matang dibandingkan masa-masa awal remaja. Untuk lebih mengetahui karakteristik yang terjadi pada masa remaja akhir, maka dapat dilihat perkembangan fisik dan sosialnya sebagai berikut.

a. Perkembangan Fisik

Masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa, bukan hanya secara psikologis namun juga fisik. Bahkan perubahan-perubahan fisik yang terjadi itulah yang merupakan gejala primer dalam pertumbuhan remaja, sedangkan perubahan-perubahan psikologis muncul antara lain sebagai akibat dari perubahan-perubahan fisik itu. Di antara berbagai perubahan fisik yang terjadi, yang memiliki pengaruh terbesar pada perkembangan jiwa remaja adalah pertumbuhan tubuh (badan menjadi makin panjang dan tinggi), mulai berfungsinya alat-alat reproduksi (ditandai dengan haid pada wanita

dan mimpi basah pada laki-laki) dan tanda-tanda seksual sekunder yang tumbuh. Pada masa remaja akhir, perubahan-perubahan tersebut sudah terjadi dan berlangsung dengan urutan-urutan yang ada.

Secara lengkap, Muss (dalam Sarwono, 1994) membuat urutan perubahan-perubahan fisik tersebut sebagai berikut :

1) Anak perempuan

Pertumbuhan tulang-tulang (badan menjadi tinggi, anggota-anggota badan menjadi panjang), pertumbuhan payudara, tumbuh bulu yang halus dan lurus berwarna gelap di kemaluan, mencapai pertumbuhan ketinggian badan yang maksimal setiap tahunnya, bulu kemaluan menjadi keriting, haid dan tumbuh bulu-bulu ketiak. Pada masa remaja akhir, semua perubahan fisik tersebut kebanyakan sudah terjadi dan bentuk tubuh sudah terlihat jelas.

2) Anak laki-laki

Pertumbuhan tulang-tulang, testis membesar, tumbuh bulu kemaluan yang halus dan lurus berwarna gelap, awal perubahan suara, ejakulasi (keluarnya air mani), bulu kemaluan menjadi keriting, pertumbuhan tinggi badan mencapai tingkat maksimal setiap tahunnya, tumbuh rambut-rambut halus di wajah (kumis, jenggot), tumbuh bulu ketiak, akhir perubahan suara, rambut-rambut di wajah bertambah gelap dan tebal dan tumbuh bulu di dada. Pada masa remaja akhir, bentuk tubuh remaja sudah terlihat jelas.

b. Perkembangan Sosial

Remaja yang berada dalam keadaan dewasa secara jasmaniah dan seksual masih terbatas dalam kemungkinan-kemungkinan perkembangannya, mereka masih tinggal bersama dengan orang tuanya dan merupakan bagian dari keluarga. Mereka secara ekonomik masih tergantung pada orang tua, kadang-kadang sampai jangka waktu yang lama. Mereka belum bisa menikah, hubungan seksual tidak diperkenankan sesuai dengan norma-norma agama dan sosial, meskipun mereka sudah bisa mengadakan kencan-kencan dengan teman lain jenis (Monks, 1987).

Mengenai bagaimana remaja menjalankan kehidupan sosialnya berkaitan dengan orang tua dan lawan jenis, Hurlock memberikan penjelasan yang lebih lanjut tentang hal tersebut. Menurut Hurluck (1990), remaja akan mengalami masa yang sulit untuk melakukan penyesuaian sosial. Ia harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam hubungan yang sebelumnya belum pernah ada dan harus menyesuaikan dengan orang dewasa di luar lingkungan keluarga dan sekolah. Remaja yang lebih banyak berada di luar rumah bersama dengan teman-teman sebaya sebagai kelompok akan mendapatkan pengaruh yang lebih besar dari pada pengaruh keluarga pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan, dan perilaku.

Semakin mendekatnya usia kematangan yang sah membuat para remaja akhir ini menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotip belasan

tahun dan untuk memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa. Remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa, salah satunya adalah terlibat dalam perbuatan seks.

Perilaku sosial remaja mengalami perubahan pada bidang hubungan heteroseksualnya. Dalam waktu yang singkat remaja mengadakan perubahan radikal, yaitu dari tidak menyukai lawan jenis sebagai teman menjadi lebih menyukai teman dari lawan jenisnya daripada teman sejenis. Berbagai kegiatan sosial, baik kegiatan dengan sesama jenis atau lawan jenis biasanya mencapai puncaknya selama tahun-tahun tingkat sekolah menengah atas.

Hasil studi observasi oleh Dunphy (dalam Santrock, 2002) menyatakan bahwa partisipasi jenis kelamin yang berbeda dalam kelompok meningkat selama masa remaja. Pada masa sebelum remaja, anak-anak menjalin relasi sosial dalam kelompok dengan teman-teman dari jenis kelamin yang sama, yaitu anak laki-laki dengan anak laki-laki dan anak perempuan dengan anak perempuan. Kemudian ketika memasuki masa remaja, lingkungan sosial mereka mulai meluas. Mereka mulai menjalin relasi sosial dengan jenis kelamin yang berbeda. Saat mereka berada dalam masa remaja akhir, secara berangsur-angsur para pemimpin dan anggota-anggota yang berstatus lebih tinggi membentuk kelompok lebih lanjut yang didasarkan atas relasi heteroseksual dan pada akhirnya kelompok-kelompok ini menggantikan kelompok-kelompok

dengan jenis kelamin yang sama. Kelompok heteroseksual ini juga berinteraksi satu sama lain dalam kegiatan-kegiatan kelompok yang lebih luas.

Perkembangan pada diri remaja tersebut mencakup beberapa macam tugas perkembangan yang perlu untuk dipenuhi agar dapat melangkah ke tahap kehidupan yang selanjutnya. Menurut Robert Havighurst (dalam Sarwono, 1994), setiap individu pada setiap tahapan usia mempunyai tujuan untuk mencapai suatu kepandaian, ketrampilan, pengetahuan, sikap dan fungsi tertentu sesuai dengan kebutuhan pribadi

Dokumen terkait