• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI REMAJA TERHADAP PENDIDIKAN SEKS DARI ORANG TUA DENGAN PERILAKU SEKS PRANIKAH PADA REMAJA AKHIR Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI REMAJA TERHADAP PENDIDIKAN SEKS DARI ORANG TUA DENGAN PERILAKU SEKS PRANIKAH PADA REMAJA AKHIR Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi"

Copied!
137
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh : Laksmi Paramita

NIM :049114039

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

(2)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh : Laksmi Paramita

NIM :049114039

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2009

(3)

Oleh : Laksmi Paramita NIM : 049114039

Telah disetujui oleh :

Pembimbing, Tanggal:

Agnes Indar E., S.Psi., Psi., M.Si

(4)

Dipersiapkan dan ditulis oleh : Laksmi Paramita

NIM : 049114039

Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji Pada tanggal………

Dan dinyatakan memenuhi syarat

Susunan Panitia Penguji

Penguji I : Agnes Indar E. S.Psi., Psi., M.Si ………

Penguji II : Drs. Hadrianus Wahyudi, M.Si ………...

Penguji III : Aquilina Tanti Arini, S.Psi., M.Si ………

Yogyakarta, ………...

Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Dekan

P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si

(5)

Alhamdulillah,

Kupersembahkan karya ini kepada

mereka yang telah mempercayai, mendukung, dan mendorongku selama ini untuk

dapat berbuat yang terbaik. Semangat, usaha dan kerja keras selama ini tak akan

berbuah tanpa adanya kalian semua. Semoga apa yang telah kulakukan dapat

berarti walaupun hanya sedikit bagi kalian.

(6)

Hidup memiliki arti

Cita-cita perlu dikejar

Masa depan adalah harapan

Harapan harus diperjuangkan

Perjuangan tak akan pernah usai

Baik-buruk, senang-sedih

Kehidupan akan terus berjalan

(7)

sebagai kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 15 November 2008

Penulis

Laksmi Paramita

(8)

berhasil diselesaikan. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna

memperoleh gelar Sarjana Psikologi di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Proses dari awal hingga akhir pembuatan skripsi ini telah melibatkan

banyak pihak yang dengan terbuka memberikan bantuannya. Untuk itu, pada

kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada :

1. Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si , selaku Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan ijin penelitian untuk

skripsi ini.

2. Ibu Agnes Indar E., S.Psi., Psi., M.Si, selaku Dosen Pembimbing yang

telah membimbing peneliti dari awal hingga akhir dalam penyusunan

skripsi ini.

3. Ibu Dra. Lusia Pratidarmanastiti, M.Si, selaku Dosen Pembimbing

Akademik.

4. Segenap dosen fakultas Psikologi Universias Sanata Dharma yang telah

membantu peneliti selama ini hingga dapat terselesaikannya penulisan

skripsi ini.

5. Para subjek penelitian yang telah membantu peneliti dengan mengisi skala

penelitian yang diberikan oleh peneliti hingga skripsi ini dapat

terselesaikan.

(9)

7. Adikku, my lil’ sis’ Dian. Makasih ya atas bantuannya selama ini mulai

dari menemani dan membantu sampai akhir menyusun skripsiku. Makasih

ya jeng Dian. Kutunggu dirimu melakukan hal ini beberapa tahun lagi ya!

8. Seluruh keluarga besar penulis yang telah mendukung dan memberi

semangat serta mendoakan penulis agar cepat selesai kuliah, Mbah Uti,

Bulik-bulikku, Om-omku, dan juga tak lupa adik-adik sepupuku yang usil,

tapi baik yang jumlahnya tak terhitung.

9. Bapak-bapak dan Ibu-ibu di Sekretariat yang telah membantu penulis

dalam melancarkan kebingungan dalam urusan-urusan administrasi di

fakultas ini, Pak Gie’ yang selalu setia menyapa setiap hari, dan juga Mas

Doni di Ruang Baca, terima kasih sudah membantu penulis dengan

meminjamkan buku-buku yang dibutuhkan guna penyusunan skripsi ini.

10. Teman-temanku yang begitu banyak dan baik dalam menemani dan

membantu peneliti selama ini, Jeng Vani, Jeng Atik, Jeng Lala, Jeng

Nines, Jeng Tyas, Jeng Rury, Badai, Budi, Yuni “nyunz”, Pakdhe Doel,

Mas Desta, Mas Abe, Lia, Sasa, Betty, Wulan, Mbak Wiwid, Mbak Gothe,

Mas Rondang, dan masih banyak lagi yang tidak cukup jika penulis tulis

satu-satu. Pokoknya, Terima Kasih.

11.Komputerku yang selalu menyala menemaniku ketika aku membutuhkan

dirimu.

(10)

pikiran, hati dan jiwa ragaku sehingga aku bisa melakukan banyak hal

untuk menyelesaikan skripsi ini. Walaupun ada rasa senang, sedih, kesal,

marah dan sebagainya, tetap terima kasih banyak. Akhirnya aku bisa!!!

Penulis

(11)

pranikah pada remaja akhir. Persepsi remaja terhadap pendidikan seks dari orang tua dalam penelitian ini adalah suatu pemilihan, pengorganisasian dan penginterpretasian oleh remaja terhadap pendidikan yang diberikan oleh orang tua dalam hal seksualitas yang meliputi larangan, penerangan, diskusi, saran, contoh relasi ayah dan ibu dalam kehidupan bersama keluarga sehari-hari, dan pembicaraan singkat, sedangkan perilaku seks pranikah adalah perilaku seks yang dilakukan oleh remaja akhir di luar ikatan pernikahan yang meliputi bentuk-bentuk perilaku seks pranikah secara afeksi dan fisik mulai dari hasrat seksual, hasrat afeksi, pegangan tangan, berciuman, masturbasi, necking, petting, dan

coitus.

Subjek dalam penelitian ini meliputi remaja akhir berjumlah 61 orang, terdiri dari yaitu 43 orang remaja putri dan18 orang remaja putra. Penelitian menggunakan dua buah skala, yaitu Skala Persepsi Remaja Terhadap Pendidikan Seks dari Orang Tua dengan 51 aitem dengan reliabilitas α = 0.915 dan Skala Perilaku Seks Pranikah pada Remaja Akhir sebanyak 45 aitem dengan reliabilitas

α = 0.943. Analisis penelitian menggunakan teknik korelasi Pearson Product Moment program SPSS (Statistical Product and Service Solution) versi 12.0. Hasil yang diperoleh menunjukkan adanya hubungan negatif yang signifikan terhadap variabel persepsi remaja terhadap pendidikan seks dari orang tua dan perilaku seks pranikah pada remaja akhir ( r = -0.270, p = 0.018) dengan sumbangan efektif variabel pendidikan seks sebesar 7.3%.

Berdasarkan analisis data tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis yang diajukan dapat diterima, yaitu ada hubungan negatif antara pendidikan seks dari orang tua dengan perilaku seks pranikah pada remaja akhir.

Kata kunci : persepsi remaja terhadap pendidikan seks dari orang tua, perilaku seks pranikah

(12)

marital sex behavior. Adolescen’s perception of the parental sex education was the choosed, organized and interpreted process by the adolescence of the education that parents gave about sexuality that included prohibition, explanation, discussion, suggestion, father and mother modeling relation in daily family lives, and short conversation, premarital sex behavior was sex behavior that the late adolescence did outside the marital relation that included premarital sex behavior forms in affection dan phisical started from sexual desire, affection desire, hands handle, kissing, masturbation, necking, petting, and coitus.

The subject in this study was 61 late adolescence, consisted of 43 adolescence girls and 18 adolescence boys. This study was using two measurement scale, The Adolescence’s Perception of the Parental Sex Education Scale consisted of 51 items with reliability α = 0.915 and and The Late Adolescence Pre Marital Sex Behavior Scale consisted of 45 items with reliability

α = 0.943. The study analisys used the Pearson Product Moment Corelation by The SPSS 12.0 program. The result showed that there was a significant negative correlation between parental sex education with the late adolescence pre marital sex behavior (r = -0.270, p = 0.018) and 7.3% score of effective contribution of the parental sex education variable.

Depends from the analisys, it can be concluded that the proposed hipotesys could be received, that there was a negative correlation between adolescence’s perception of the parental sex education and the late adolescence pre marital sex behavior.

Key words : adolescence’s perception of the parental sex education, premarital sex behavior

(13)

Nama : Laksmi Paramita

NIM : 049114039

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

“Hubungan Antara Persepsi Remaja Terhadap Pendidikan Seks Dari Orang Tua Dengan Perilaku Seks Pranikah Pada Remaja Akhir”

beserta perangkat yang diperlukan. Dengan demikian saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak unutk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas dan mempublikasikannya di internet atau media cetak lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 15 November 2008 Yang menyatakan,

(Laksmi Paramita)

(14)

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………. ii

HALAMAN PENGESAHAN………. iii

HALAMAN PERSEMBAHAN………. iv

HALAMAN MOTTO……… v

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………... vi

KATA PENGANTAR……… vii

ABSTRAK………. x

ABSTRACT……….. xi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI……. xii

DAFTAR ISI………. xiii

DAFTAR TABEL……… xvii

DAFTAR SKEMA……….. xviii

BAB I (PENDAHULUAN)………. 1

A. Latar Belakang……… 1

B. Rumusan Masalah……… 7

C. Tujuan Penelitian………. 7

D. Manfaat Penelitian……… 7

BAB II (DASAR TEORI)……… ….. 8

A. Remaja Akhir……… 8

(15)

1. Persepsi………. 14

2. Pendidikan Seks………. 15

a. Pengertian Pendidikan Seks……… 15

b. Tujuan Pendidikan Seks dari Orang Tua………… 17

c. Bentuk Pendidikan Seks………. 19

d. Materi Pendidikan Seks ……….... 22

e. Sumber-sumber Pendidikan Seks……… 24

3. Pendidikan dari Orang Tua……… 25

a. Hubungan antara Remaja dan Orang Tua………… 25

b. Pendidikan Seks dari Orang Tua………. 28

4. Persepsi Remaja terhadap Pendidikan Seks dari Orang Tua………. 31

C. Perilaku Seks Pranikah pada Remaja………. 32

1. Pengertian Perilaku Seks………. 32

2. Perilaku Seks Pranikah……… 36

3. Bentuk-bentuk Perilaku Seks Pranikah……… 37

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Munculnya Perilaku Seksual Pranikah……… 39

D. Hubungan Antara Persepsi Remaja terhadap Pendidikan Seks

dari Orang Tua dengan Perilaku Seks Pranikah pada

(16)

BAB III (METODOLOGI PENELITIAN)……… 50

A. Jenis Penelitian………. 50

B. Identifikasi Variabel……… 50

C. Definisi Operasional……… 51

D. Subyek Penelitian……… 52

E. Metode dan Alat Pengumpulan Data……… 54

F. Prosedur Penelitian……… 60

G. Uji Validitas dan Reliabilitas……… 60

H. Metode Analisis Data……… 65

BAB IV (HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN)………. 67

A. Pelaksanaan Penelitian……….. 67

B. Hasil Penelitian………. 67

1. Deskripsi Data Penelitian……… 67

2. Uji Asumsi Penelitian………. 69

a. Uji Normalitas……… 69

b. Uji Liniearitas……… 70

3. Pengujian Hipotesis Penelitian………. 70

C. Pembahasan……… 72

(17)

DAFTAR PUSTAKA……… 80

LAMPIRAN ……… 84

A. Skala Penelitian……….. 85

B. Skor Penelitian……… 98

C. Validitas dan Reliabilitas Skala Penelitian…………. 108

D. Uji Normalitas dan Linearitas……… 113

E. Uji Hipotesis……….. 116

F. Surat Keterangan Penelitian………... 117

(18)

Seks dari Orang tua Uji Coba……….. 55

Tabel 2 Pembobotan Inter Rater terhadap Bentuk Perilaku Seksual…… 58

Tabel 3 Blueprint Skala Perilaku Seks Pranikah pada Remaja Akhir

Uji Coba……… 59

Tabel 4 Blueprint Skala Persepsi Remaja terhadap Pendidikan Seks

dari Orang Tua Penelitian……… 64

Tabel 5 Blueprint Skala Perilakus Seks Pranikah pada Remaja

Akhir Penelitian……….. 65

Tabel 6 Deskripsi Data Hasil Penelitian……… 68

Tabel 7 Korelasi Antara Pendidikan Seks dengan Perilaku Seks Pranikah.. 71

(19)
(20)

A. Latar Belakang

Masa remaja merupakan masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa, yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Masa remaja dimulai kira-kira usia 10-13 tahun dan berakhir antara usia 18 dan 22 tahun (Santrock, 2003). Memasuki masa ini, biasanya remaja sudah mulai mengalami pubertas dan diikuti oleh perubahan-perubahan yang lain.

Perubahan dalam diri remaja yang menyangkut hubungan dengan lawan jenisnya dan menerima peran seksual secara dewasa menimbulkan dorongan dan minat terhadap masalah perilaku seksual (Masland dalam Nugraha, 2004). Perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis. Bentuk-bentuk tingkah laku seksual ini bisa bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu, dan bersenggama. Objek seksualnya bisa berupa orang lain, orang dalam khayalan atau diri sendiri (Sarwono, 1994). Salah satu contoh penelitian mengenai perilaku seksual remaja yaitu sebuah penelitian yang dilakukan oleh Centra Mitra Remaja (Eliyawati, 2007) Medan, Sumatra Utara. Dari penelitian ini, diperoleh lima tahapan yang sering dilakukan oleh remaja yaitu: dating, kissing, necking, petting dan coitus. Beberapa contoh lain mengenai perilaku seksual yang

(21)

dilakukan oleh para remaja tersebut adalah berkhayal berhubungan seks dan masturbasi (Sarwono, 1981).

Masalah seksualitas pada remaja sering menjadi bahan yang menarik untuk dibicarakan dan didiskusikan, karena sifatnya yang sensitif dan rawan menyangkut moral, etika, agama serta latar belakang sosial ekonomi. Eliyawati (2007) menyebutkan bahwa hampir 10 % remaja sudah pernah melakukan hubungan seks. Penelitian PKBI DI Yogyakarta selama tahun 2001 menunjukkan data angka sebesar 722 kasus kehamilan tidak diinginkan pada remaja. Menurut Fakta HAM 2002 data PKBI Pusat menunjukkan 2,3 juta kasus aborsi setiap tahun dimana 15 % diantaranya dilakukan oleh remaja yang belum menikah (Eliyawati, 2007).

(22)

remaja. Data tersebut menunjukkan betapa sudah begitu banyaknya terjadi perilaku seks pranikah di kalangan remaja Indonesia saat ini.

Perilaku seks pranikah itu sendiri adalah perilaku seks yang dilakukan tanpa melalui proses pernikahan yang resmi menurut hukum maupun menurut agama dan kepercayaan masing-masing individu (Luthfie, 2002). Remaja yang memiliki intimacy lepas kontrol akan mengarah pada terjadinya seks pranikah. Namun, bagi remaja yang matang secara fisik dan memiliki kematangan emosional maka ia akan dapat menjalin intimacy dengan penyaluran yang tepat.

Remaja sering mencari-cari informasi yang berkaitan dengan seks. Banyak sekali sumber-sumber informasi mengenai masalah seksualitas yang ada di sekitar remaja. Namun, tidak semua sumber informasi tersebut dapat dipercaya dan bertanggung jawab. Menurut Utomo & McDonald (dalam Jones, 1998), banyak sumber informasi seperti film, video, majalah, buku, dan internet memaparkan aktivitas seksual pra-nikah begitu saja.

(23)

Beberapa hal yang dapat mempengaruhi perilaku seks pranikah antara lain adalah umur menarche yang semakin menurun sejak permulaan abad 20, meningkatnya usia perkawinan (Delamater&Friedrich dalam Santrock 2003), lingkungan sosial, hubungan dengan anggota keluarga, teman dan teman kencannya (Bancroft dalam Luthfie,2002).

Keluarga merupakan lingkungan sosial terkecil yang ada di sekeliling remaja. Orang tua adalah figur terdekat dengan remaja di dalam keluarganya. Menurut Mudijana (1993) hasil survey yang pernah dilakukan di Kodya Yogyakarta menunjukkan bahwa 74,6% remaja berusia 15-19 tahun mengatakan bahwa sumber informasi ideal yang diharapkan untuk masalah kesehatan reproduksi dan seksualitas adalah orang tua. Namun, hanya sekitar 5-10% remaja putra dan 16-20% remaja putri saja yang mendapatkan informasi tersebut dari orang tuanya. Hal ini bertolak belakang dengan pendapat yang diberikan oleh Agung (2002) yang menyatakan bahwa sebaiknya pendidikan seks pada anak diberikan oleh orang tua, karena orang tualah yang paling mengerti kebutuhan anak. Selain itu, WHO (Lentera Sahaja PKBI, 2002) juga menyatakan bahwa salah satu diktum Konsensus Geneva mengenai pendidikan seks adalah setiap orang berhak untuk mendapatkan pendidikan seks.

(24)

Sarlito (1985), pendidikan seks merupakan cara-cara untuk mengurangi atau mencegah penyalahgunaan seks, khususnya untuk mencegah dampak-dampak negatif yang tidak diharapkan, seperti kehamilan yang tidak direncanakan (sebagian besar remaja tidak mengetahui bagaimana kehamilan tersebut bisa terjadi), penyakit menular seksual, depresi, dan perasaan berdosa.

Pendidikan seks menurut Sahaja PKBI DIY (2002) adalah segala macam pengetahuan dan ketrampilan yang berkaitan dengan seksualitas yang sehat baik secara fisik, psikis dan sosial yang diberikan sejak dini sesuai perkembangan usia dan kebutuhan untuk menghasilkan individu yang bertanggung jawab. Dalam berbagai kebudayaan yang ada kini, masih ada kecenderungan untuk melarang membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan seks di depan umum karena dianggap tabu sehingga dampak dari hal tersebut adalah pendidikan seks di keluarga masih tertutup (Sarwono, 1994).

Orang tua pada umumnya merasa bahwa mereka seharusnya memberikan pendidikan seks pada anaknya, tetapi merasa kurang nyaman untuk melakukannya (UNFPA, 1995). Kemudian, sebuah riset juga menunjukkan bahwa 94% orang tua lebih suka bila pendidikan seks menjadi tanggung jawab sekolah (Allen dalam Mellanby dkk, 1996).

(25)

menunda sexual intercourse yang pertama (Zelnik & Kim, 1982) dan mengembangkan sikap seksual yang serupa dengan orang tuanya (Fisher, 1987).

Persepsi adalah suatu pengorganisasian dan penginterpretasian data-data yang berdasarkan pengalaman masa lalu individu (Crow & Crow, 1973). Remaja yang mendapatkan pendidikan seks dari orang tuanya akan menginterpretasikan pendidikan seks yang mereka dapatkan dari orang tuanya tersebut dalam perilaku seksual mereka ketika menjalin hubungan dengan lawan jenis sehingga diharapkan akan membentuk perilaku seksual yang sehat dan tidak melakukan perilaku seks pranikah.

Ada beberapa resiko jika remaja tidak mendapatkan pendidikan seks sejak dini, antara lain pendapat para remaja bahwa jika sekali saja melakukan hubungan seks tidak akan terjadi kehamilan. Selain itu, pengetahuan tentang seks yang setengah-setengah saja dari orang tua tidak hanya mendorong remaja untuk mencoba-coba, tetapi juga bisa menimbulkan salah persepsi antara lain, berciuman atau berenang di suatu kolam renang yang “tercemar sperma” bisa mengakibatkan kehamilan. Kurangnya informasi tentang seksualitas yang didapat oleh remaja mengakibatkan banyak muncul kasus-kasus kehamilan sebelum menikah dan sebagian besar remaja tersebut tidak mengetahui bagaimana kehamilan itu bisa terjadi (Astuti, 2007).

(26)

B. Rumusan Masalah

Apakah ada hubungan antara persepsi remaja terhadap pendidikan seks dari orang tua denganperilaku seks pranikah pada remaja akhir ?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan antara persepsi remaja terhadap pendidikan seks dari orang tua dengan perilaku seks pranikah pada remaja akhir.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat menambah kajian teoritis di area Psikologi Perkembangan Remaja, khususnya tentang perilaku seks dan remaja dari faktor pengetahuan terhadap pendidikan seks.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi para remaja : penelitian ini dapat memberikan informasi pada para remaja mengenai pentingnya komunikasi dengan orang tua untuk mendapatkan pendidikan seks.

(27)

A. Remaja Akhir

1. Batasan Remaja Akhir

Pengertian remaja dalam ilmu kedokteran dan ilmu-ilmu lain seperti biologi dan faal adalah suatu tahap perkembangan fisik di mana alat-alat kelamin manusia mencapai kematangannya. Secara anatomis berarti alat-alat kelamin khususnya dan keadaan tubuh pada umumnya memperoleh bentuknya yang sempurna dan secara faali alat-alat kelamin tersebut sudah berfungsi secara sempurna pula (Sarwono, 1994).

Masa remaja merupakan masa perkembangan transisi antara masa masa anak dan masa dewasa, yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Masa remaja dimulai kira-kira usia 10-13 tahun dan berakhir antara usia 18 dan 22 tahun (Santrock, 2003).

Menurut Santrock (2003), masa remaja dapat dibagi ke dalam dua kategori, yaitu :

a. Masa remaja awal, biasanya remaja sudah banyak yang mengalami pubertas dan diikuti oleh perubahan-perubahannya. Mereka biasanya sudah duduk di bangku SMP.

b. Masa remaja akhir terjadi kira-kira setelah usia 15 tahun dan mulai berminat pada karir, eksplorasi identitas dan pacaran.

(28)

Dari beberapa definisi di atas mengenai batasan remaja, maka dapat disimpulkan bahwa remaja akhir adalah suatu masa perkembangan transisi antara anak-anak dan dewasa yang terjadi pada usia 15 sampai 18-22 tahun yang mencakup perubahan biologis atau fisik, kognitif dan sosio-emosional di mana alat-alat kelaminnya sudah mencapai kematangannya dan mulai berminat pada pacaran.

2. Karakteristik Remaja Akhir

Pada masa remaja akhir, keadaan perkembangan fisik dan sosialnya sudah terlihat lebih jelas dan matang dibandingkan masa-masa awal remaja. Untuk lebih mengetahui karakteristik yang terjadi pada masa remaja akhir, maka dapat dilihat perkembangan fisik dan sosialnya sebagai berikut.

a. Perkembangan Fisik

(29)

dan mimpi basah pada laki-laki) dan tanda-tanda seksual sekunder yang tumbuh. Pada masa remaja akhir, perubahan-perubahan tersebut sudah terjadi dan berlangsung dengan urutan-urutan yang ada.

Secara lengkap, Muss (dalam Sarwono, 1994) membuat urutan perubahan-perubahan fisik tersebut sebagai berikut :

1) Anak perempuan

Pertumbuhan tulang-tulang (badan menjadi tinggi, anggota-anggota badan menjadi panjang), pertumbuhan payudara, tumbuh bulu yang halus dan lurus berwarna gelap di kemaluan, mencapai pertumbuhan ketinggian badan yang maksimal setiap tahunnya, bulu kemaluan menjadi keriting, haid dan tumbuh bulu-bulu ketiak. Pada masa remaja akhir, semua perubahan fisik tersebut kebanyakan sudah terjadi dan bentuk tubuh sudah terlihat jelas.

2) Anak laki-laki

(30)

b. Perkembangan Sosial

Remaja yang berada dalam keadaan dewasa secara jasmaniah dan seksual masih terbatas dalam kemungkinan-kemungkinan perkembangannya, mereka masih tinggal bersama dengan orang tuanya dan merupakan bagian dari keluarga. Mereka secara ekonomik masih tergantung pada orang tua, kadang-kadang sampai jangka waktu yang lama. Mereka belum bisa menikah, hubungan seksual tidak diperkenankan sesuai dengan norma-norma agama dan sosial, meskipun mereka sudah bisa mengadakan kencan-kencan dengan teman lain jenis (Monks, 1987).

Mengenai bagaimana remaja menjalankan kehidupan sosialnya berkaitan dengan orang tua dan lawan jenis, Hurlock memberikan penjelasan yang lebih lanjut tentang hal tersebut. Menurut Hurluck (1990), remaja akan mengalami masa yang sulit untuk melakukan penyesuaian sosial. Ia harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam hubungan yang sebelumnya belum pernah ada dan harus menyesuaikan dengan orang dewasa di luar lingkungan keluarga dan sekolah. Remaja yang lebih banyak berada di luar rumah bersama dengan teman-teman sebaya sebagai kelompok akan mendapatkan pengaruh yang lebih besar dari pada pengaruh keluarga pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan, dan perilaku.

(31)

tahun dan untuk memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa. Remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa, salah satunya adalah terlibat dalam perbuatan seks.

Perilaku sosial remaja mengalami perubahan pada bidang hubungan heteroseksualnya. Dalam waktu yang singkat remaja mengadakan perubahan radikal, yaitu dari tidak menyukai lawan jenis sebagai teman menjadi lebih menyukai teman dari lawan jenisnya daripada teman sejenis. Berbagai kegiatan sosial, baik kegiatan dengan sesama jenis atau lawan jenis biasanya mencapai puncaknya selama tahun-tahun tingkat sekolah menengah atas.

(32)

dengan jenis kelamin yang sama. Kelompok heteroseksual ini juga berinteraksi satu sama lain dalam kegiatan-kegiatan kelompok yang lebih luas.

Perkembangan pada diri remaja tersebut mencakup beberapa macam tugas perkembangan yang perlu untuk dipenuhi agar dapat melangkah ke tahap kehidupan yang selanjutnya. Menurut Robert Havighurst (dalam Sarwono, 1994), setiap individu pada setiap tahapan usia mempunyai tujuan untuk mencapai suatu kepandaian, ketrampilan, pengetahuan, sikap dan fungsi tertentu sesuai dengan kebutuhan pribadi yang timbul dari dalam dirinya sendiri dan tuntutan yang datang dari masyarakat di sekitarnya. Pada masa remaja, tugas perkembangannya adalah :

1) menerima kondisi fisiknya dan memanfaatkan tubuhnya secara efektif.

2) menerima hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya dari jenis kelamin yang mana pun.

3) menerima peran jenis kelamin masing-masing (laki-laki atau perempuan).

4) berusaha melepaskan diri dari ketergantungan emosi terhadap orang tua dan orang dewasa lainnya.

5) mempersiapkan karir ekonomi.

(33)

8) mencapai sistem nilai dan etika tertentu sebagai pedoman tingkah lakunya.

Menurut Havighurst, tercapai atau tidaknya tugas-tugas tersebut ditentukan oleh kematangan fisik, desakan dari masyarakat dan motivasi dari individu yang bersangkutan (Sarwono, 1994).

Dari beberapa penjelasan mengenai karakteristik remaja akhir, maka dapat disimpulkan bahwa pada masa remaja akhir, remaja sudah mengalami perubahan fisik yang jelas dan alat-alat reproduksi sudah berfungsi serta adanya perubahan sosial pada perilaku mereka untuk menyesuaikan diri dengan lawan jenis pada kegiatan sosialnya dan memiliki tugas perkembangan untuk menerima kondisi fisiknya, memanfaatkan tubuhnya secara efektif, menerima hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya dari jenis kelamin mana pun dan menerima peran jenis kelamin masing-masing (laki-laki atau perempuan).

B. Persepsi Remaja Terhadap Pendidikan Seks dari Orang Tua 1. Persepsi

(34)

Persepsi merupakan pengorganisasian dan penginterpretasian data-data yang berdasarkan pengalaman masa lalu individu (Crow & Crow, 1973).

Dapat disimpulkan bahwa persepsi merupakan suatu proses pemilihan, pengorganisasian data-data yang ada untuk diinterpretasikan sesuai dengan diri kita masing-masing.

2. Pendidikan Seks

a. Pengertian Pendidikan Seks

Menurut Bruess dan Greenberg (2004), pendidikan seks adalah pandangan yang jujur dan terbuka mengenai seks dan sifat realistiknya. Pendidikan seks sebaiknya diberikan oleh orang tua sejak usia dini. Pendidikan seks menurut BKKBN (2007) meliputi pemberian pengertian tentang seks, perilaku seksual, akibat pendidikan seks dan keragaman seks. Pendapat ini memberikan batasan istilah seksual sebagai sesuatu yang ada hubungannya dengan seks atau yang muncul dari seks, misalnya pelecehan seksual yaitu menunjuk kepada jenis kelamin yang dilecehkan.

(35)

peran pria dan wanita dalam masyarakat, hubungan pria-wanita dalam pergaulan, peran ayah-ibu dan anak-anak dalam keluarga dan sebagainya.

Menurut Martono (dalam Sarwono, 1981), pendidikan seks adalah proses pendewasaan manusia sebagai makhluk berjenis kelamin untuk mencapai kehidupan seks yang sehat. Makin tinggi kesadaran manusia, yang dicapai melalui proses pendewasaan atau pendidikan, makin kompleks bentuk hubungan seks tersebut.

Menurut Sahaja PKBI DIY (2002), pendidikan seks itu sendiri adalah segala macam pengetahuan dan ketrampilan yang berkaitan dengan seksualitas yang sehat baik secara fisik, psikis, dan sosial yang diberikan sejak dini sesuai perkembangan usia dan kebutuhan untuk menghasilkan individu yang bertanggung jawab.

Menurut Baraas (1985), dalam pendidikan seks sesungguhnya para remaja ingin mengetahui tentang tubuh mereka sendiri, tentang bentuk dan wujudnya, juga perubahan-perubahan yang terjadi selama puber, baik secara jasmaniah maupun rohaniah. Mereka sangat mengharapkan ketegasan dari orang tua mengenai ukuran-ukuran moral yang meliputi masalah itu, tentang boleh dan tidak boleh.

(36)

fungsi alat-alat kelamin, kesehatan, penanaman nilai-nilai dan norma dalam perilaku seks untuk mencegah munculnya penyalahgunaan seks oleh remaja sebagai akibat ketidaktahuan akan dampak dari perilaku seks yang tidak bertanggung jawab.

b. Tujuan Pendidikan Seks dari Orang Tua

Di dalam sebuah keluarga, orang tua perlu untuk memberikan pendidikan seks kepada anak-anaknya. Menurut Bruess dan Greenberg (2004), pendidikan seks perlu diberikan dengan tujuan : 1) Membantu individu menempatkan seks pada perspektif yang

semestinya, karena penyesuaian terhadap seksualitas merupakan bagian dari penyesuaian kepribadian secara utuh.

2) Mengembalikan posisi seksualitas pada perspektif yang lebih tepat, tidak hanya negatif saja yang ditonjolkan, tetapi justru pada hubungan antara seksualitas dengan hubungan antar manusia yang positif, karena orang sering menerima pandangan tentang hidup, terutama tentanng seks yang terdistorsi melalui media massa seperti televisi dan koran.

3) Memberikan informasi faktual yang dapat membantu untuk mengambil keputusan yang lebih bertanggung jawab, karena banyak orang terutama remaja mendapatkan informasi dari kelompok sebaya dan sumber lain yang tidak benar.

(37)

Scales (dalam Bruess&Greenberg, 2004), tujuan-tujuan tersebut adalah :

1) Memberikan informasi yang akurat tentang seksualitas. 2) Memfasilitasi pengertian tentang perilaku seksual individu.

3) Mengurangi ketakutan dan kecemasan tentang perasaan dan perkembangan seksual yang dimiliki anak.

4) Memberikan informasi, tanggung jawab dan keberhasilan dalam pengambilan keputusan dalam hal seksualitas.

5) Memberanikan anak bertanya, mengeksploitasikan dan mengakses perilaku seksual mereka.

6) Meningkatkan sikap toleran terhadap perilaku seksual orang lain. 7) Memfasilitasi komunikasi tentang seksualitas dengan orang tua

maupun orang lain.

8) Meningkatkan kemampuan untuk mengatur dan menghadapi masalah-masalah seksual yang dihadapi oleh anak termasuk mendidik anak agar mampu mengambil keputusan dalam masalah seksual.

9) Memfasilitasi penghargaan terhadap ekspresi seksual.

10)Mengintegrasikan seks ke dalam kehidupan secara seimbang sesuai dengan tujuannya.

(38)

12)Mengurangi dan mengantisipasi masalah-masalah yang berhubungan dengan seks seperti penyakit menular seksual ataupun kehamilan yang tidak diiinginkan.

Dari beberapa pendapat di atas mengenai tujuan diberikannya pendidikan seks dari orang tua, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan seks adalah untuk membantu individu, dalam hal ini adalah remaja menempatkan seks pada perspektif yang semestinya, memberikan informasi faktual dan akurat tentang seks yang dapat membantu untuk mengambil keputusan yang lebih bertanggung jawab, memfasilitasi komunikasi tentang seksualitas dengan orang tua dan mengurangi serta mengantisipasi masalah yang berhubungan dengan seks seperti penyakit menular seksual ataupun kehamilan yang tidak diinginkan.

c. Bentuk Pendidikan Seks

Pendidikan seks yang diberikan oleh orang tua kepada anak-anak mereka dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, yaitu :

(39)

kepada anak perempuannya sedangkan ayah memberikan penerangan kepada anak laki-laki.

2) Larangan. Bentuk pendidikan seks yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya juga dapat berupa larangan (Bu Kar dalam Sarwono 1981). Larangan yang diberikan ini adalah suatu bentuk larangan atau peringatan untuk menjauhi lawan jenisnya. Orang tua memberikan larangan kepada anak-anaknya untuk tidak bergaul dengan lawan jenisnya terlalu dekat agar tidak terjadi hal-hal tidak baik seperti melakukan hubungan seks di luar ikatan pernikahan. 3) Diskusi. Menurut Fox & Inazu (dalam Sarwono, 1994), pendidikan

seks yang diberikan oleh orang tua kepada anak-anaknya dapat berupa suatu bentuk percakapan atau diskusi antara orang tua dan anak untuk membahas masalah-masalah seputar seksualitas yang menjadi pertanyaan anak-anaknya. Hal yang senada juga diungkapkan oleh Kriswanto (2006). Pendidikan seks yang diberikan oleh orang tua kepada anak-anaknya dapat berupa diskusi dengan menanyakan pendapat anak-anaknya tentang pertanyaan-pertanyaan yang diajukan anak, dari jawaban anak orang tua bisa menilai sejauh mana pemahaman anak tentang seksualitas sehingga orang tua dapat menanamkan nilai-nilai keluarga yang ingin dianut anak-anaknya.

(40)

dalam perbuatan-perbuatan yang belum selayaknya dilakukan sebelum ada ikatan pernikahan (Spock, 1969).

5) Contoh-contoh atau modelling relasi antara ayah dan ibu dalam kehidupan bersama keluarga sehari-hari dalam suatu unit keluarga. Di dalam kehidupan sehari-hari tersebut, anak-anak memperoleh perasaan pokok mengenai apa sebenarnya arti laki-laki dan perempuan serta hubungan-hubungan antara mereka dari cara bagaimana ayah dan ibu saling menghormati dan mencintai. Maka anak-anak laki-laki ataupun perempuan mengharapkan hubungan-hubungan semacam itu juga bagi mereka sendiri. Dengan sendirinya, mereka akan menghindari teman-teman sebaya yang punya keinginan-keingan lain dari itu (Spock, 1969).

(41)

Dari uraian pendapat para tokoh mengenai berbagai bentuk pendidikan seks di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan seks yang diberikan oleh orang tua kepada anak-anaknya dapat berupa larangan untuk menjauhi lawan jenis, penerangan mengenai masalah seksualitas dari orang tua berdasarkan pengalaman pribadi kepada anak-anak dengan jenis kelamin yang sama, diskusi bersama antara orang tua dan anak untuk membahas masalah seksualitas, saran yang simpatik dari orang tua kepada anak-anaknya agar tidak terjerumus dalam perbuatan yang tidak layak untuk dilakukan, kehidupan bersama keluarga sehari-hari dalam suatu unit keluarga dengan contoh-contoh atau modelling relasi antara ayah dan ibu, dan pembicaraan-pembicaraan singkat antara orang tua dan anak mengenai tingkah laku teman sebaya dan diri anak sendiri untuk menentukan ukuran-ukuran nilai dalam berperilaku.

d. Materi Pendidikan Seks

Hal-hal yang diberikan dalam suatu pendidikan seks berupa materi-materi tertentu ada beberapa macam. Menurut Wiyantoro (dalam Sarwono, 1981), beberapa materi dalam pendidikan seks adalah :

(42)

2) Proses reproduksi manusia, mulai dari bagaimana terjadinya konsepsi diteruskan dengan pertumbuhan janin dalam kandungan dan diakhiri dengan proses kelahiran.

3) Segi etika dari perilaku seksual, peran sosial dari laki-laki dan perempuan serta tanggung jawab masing-masing baik sebelum maupun sesudah perkawinan. Hal yang perlu ditekankan adalah nilai manusia yang lebih dari hewan dan akibat-akibat yang timbul kalau segi etika ini dilanggar.

Materi lain yang dapat diberikan dalam pendidikan seks menurut Bruess dan Greenberg (2004) adalah penekanan nilai-nilai baik agama, sosial, adat-istiadat, maupun nilai keluarga sebagai suatu sarana untuk membantu remaja dalam mengambil keputusan tentang perilaku seksual mereka.

Dari beberapa pendapat oleh Wiyantoro (dalam Sarwono, 1981) serta Bruess dan Greenberg (2004) mengenai materi-materi dalam pendidikan seks, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa materi pendidikan seks yang dapat diberikan yaitu :

1) Biologis. Pemberian pendidikan seks meliputi perkembangan dan perubahan fisik dari anak-anak menuju dewasa, proses reproduksi dan kesehatan reproduksi manusia.

(43)

3) Moral. Pendidikan seks yang diberikan menyangkut hal tentang hubungan dengan orang lain dilihat dari segi agama dan moral yang juga diajarkan oleh orang tua dan lingkungan yang ada di sekeliling remaja.

4) Pendidikan seks yang diberikan menyangkut bagaimana pembelajaran dari keluarga tentang peran sosial laki-laki dan perempuan beserta tanggung jawabnya masing-masing.

e. Sumber-sumber Pendidikan Seks

Menurut Sarwono (1981), dari beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya di Jakarta, ada beberapa sumber pendidikan seks bagi para remaja. Berikut ini adalah sumber-sumber pendidikan seks yang didapatkan oleh remaja, diurutkan dari jumlah yang paling banyak ke sedikit :

1) teman-teman sebaya 2) guru sekolah

3) orang tuaa 4) psikolog 5) dokter

6) lain-lain (kakak, organisasi, gereja, film, media massa, ceramah, tante dan pastor).

(44)

kenyataannya justru teman-teman sebaya yang menjadi sumber informasi utama sehingga penerangan yang diberikan hanya setengah-setengah atau keliru. Nilai-nilai dan etika tentang seksualitas yang seharusnya disampaikan oleh orang tua akhirnya tidak bisa tersampaikan. Hal ini akan mengakibatkan adanya pergeseran nilai dari nilai lama yang masih dianut oleh orang tua kepada nilai baru masa kini yang jadi panutan anak-anak muda sekarang.

Dari keterangan di atas mengenai sumber-sumber pendidikan seks bagi remaja, maka dapat disimpulkan bahwa sumber-sumber pendidikan seks bagi remaja berasal dari teman-teman sebaya, guru sekolah, orang tua, psikolog, dokter dan sumber-sumber lainnya.

3. Pendidikan dari Orang Tua

a. Hubungan antara Remaja dan Orang tua

Menurut Widjanarko (dalam Mukti dkk, 2005), menjalin hubungan yang harmonis antara orang tua dan anak yang menginjak usia remaja merupakan persoalan sendiri dalam keluarga. Pada tahap perkembangannya menuju dewasa, remaja muncul dengan perasaan atau emosi yang mau menang sendiri, pendebat dan tidak mau tahu dalam bertingkah laku.

(45)

bahwa anak menjadi remaja yang sulit diatur kemauannya atau muncul indikasi pola asuh orang tua yang otoriter atau demokratis dalam suatu keluarga. Perbedaan yang tajam cara menilai antara orang tua dan anak menyebabkan remaja melakukan sosialisasi pada teman-teman sebayanya yang muncul dari strata sosial yang beraneka macam.

Pada usia 12 tahun ke atas, ikatan emosi antar kawan bertambah kuat dan mereka makin saling membutuhkan tetapi juga saling memberi kesempatan untuk mengembangkan kepribadiannya masing-masing (Selman & Selman dalam Sarwono, 1994). Pengaruh teman yang kuat ini sering dianggap sebagai biang keladi dari tingkah laku remaja yang buruk (Sarwono, 1994).

(46)

yang makin bertambah usianya sebagai orang sebaya, hubungan yang terjalin diantara mereka akan makin baik.

Terkait dengan masalah seks, orang tua adalah sosok yang paling baik mengalihkan nilai-nilai sebagai suatu proses pendidikan. Hal ini disebabkan karena seks adalah masalah yang peka dan pribadi sifatnya. Orang tua adalah sosok yang paling dekat dengan anak-anaknya sehingga anak-anak tersebut akan terbiasa dan dekat dengan mereka. Orang tua akan menjadi sosok model yang banyak diidolakan oleh anaknya. Hal ini sesuai dengan teori belajar sosial dari Bandura (dalam Santrock, 2002) yang menyatakan bahwa kita belajar dengan mengamati apa yang dilakukan oleh orang lain, dalam hal ini adalah anak mengamati orang tuanya. Melalui belajar mengamati atau modeling, secara kognitif kita akan menampilkan perilaku orang lain dan kemudian barangkali mengadopsi perilaku ini dalam diri kita sendiri.

(47)

Dari beberapa penjelasan di atas mengenai hubungan antara orang tua dan anak remajanya, maka dapat disimpulkan bahwa hubungan yang ada antara remaja dan orang tua adalah hubungan yang berbentuk saling memberi dan menerima dalam keadaan yang nyaman dan penuh kasih sayang antara keduanya walaupun kadang ada pertentangan karena perbedaan nilai sehingga dapat muncul arus komunikasi yang tidak seimbang membuat remaja beralih pada teman-teman sebayanya apalagi menyangkut masalah seksual yang seharusnya paling baik diberikan oleh orang tua.

b. Pendidikan Seks dari Orang Tua

Pendidikan seks yang diberikan oleh orang tua merupakan pendidikan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan seksualitas yang diberikan kepada anak-anaknya dan dapat terdiri dari berbagai macam bentuk.

Menurut Sarwono (1986), orang tua dapat memberikan pendidikan seks dalam suatu bentuk penerangan mengenai masalah seksualitas berdasarkan pengalaman mereka pribadi di masa lalu kepada anak-anaknya. Penerangan ini dilakukan oleh orang tua yang memiliki jenis kelamin sama dengan si anak, sehingga seorang ibu dapat memberikan penerangan kepada anak perempuannya sedangkan ayah memberikan penerangan kepada anak laki-laki.

(48)

Larangan yang diberikan ini adalah suatu bentuk larangan atau peringatan untuk menjauhi lawan jenisnya. Orang tua memberikan larangan kepada anak-anaknya untuk tidak bergaul dengan lawan jenisnya terlalu dekat agar tidak terjadi hal-hal tidak baik seperti melakukan hubungan seks di luar ikatan pernikahan.

(49)

mereka akan menghindari teman-teman sebaya yang punya keinginan-keingan lain dari itu.

Menurut Spock (1969), pembicaraan singkat atau sepintas lalu pun dapat menjadi suatu bentuk pendidikan seks. Pembicaraan singkat antara remaja dengan orang tua mengenai tingkah laku teman-teman sebayanya dan tingkah laku mereka sendiri akan membantu mereka untuk menentukan ukuran-ukuran mereka. Remaja-remaja itu sesungguhnya menghormati penilaian-penilaian orang tua dan membutuhkan bimbingan, meskipun tidak selalu memperlihatkannya. Orang tua harus mendengarkan dengan penuh pengertian pada remaja sehingga remaja dapat mencoba menceritakan atau menanyakan sesuatu pada mereka.

Dapat disimpulkan bahwa pendidikan seks yang diberikan oleh orang tua kepada anak-anaknya dapat berupa larangan untuk menjauhi lawan jenis, penerangan mengenai masalah seksualitas dari orang tua berdasarkan pengalaman pribadi kepada anak-anak dengan jenis kelamin yang sama, diskusi bersama antara orang tua dan anak untuk membahas masalah seksualitas, saran yang simpatik dari orang tua kepada anak-anaknya agar tidak terjerumus dalam perbuatan yang tidak layak untuk dilakukan, contoh-contoh atau modelling

(50)

anak mengenai tingkah laku teman sebaya dan diri anak sendiri untuk menentukan ukuran-ukuran nilai dalam berperilaku.

4. Persepsi Remaja terhadap Pendidikan Seks dari Orang Tua

Persepsi merupakan pengorganisasian dan penginterpretasian data-data yang berdasarkan pengalaman masa lalu individu (Crow&Crow, 1973).

Remaja merupakan masa perkembangan transisi antara masa anak-anak dan dewasa, yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Masa remaja dimulai pada usia 10-13 tahun dan berakhir antara usia 18-22 tahun (Santrock, 2003).

(51)

anak-anak dari orang tua agar mereka tidak terjerumus yang belum layak dilakukan sebelum ada ikatan pernikahan (Spock, 1969).

Dari uraian teori di atas, maka dapat disimpulkan bahwa persepsi remaja terhadap pendidikan seks dari orang tua adalah suatu proses pemilihan, pengorganisasian data-data yang berupa pendidikan seks yaitu pemberian pengertian akan perilaku dan akibat dari seks yang berasal dari orang tua kepada remaja sebagai anak-anaknya dan meliputi penerangan tentang masalah seksualitas, larangan untuk menjauhi lawan jenis, diskusi bersama antara orang tua dan anak untuk membahas masalah seksualitas, saran yang simpatik dari orang tua kepada anak-anaknya agar tidak terjerumus kepada perilaku yang tidak layak untuk dilakukan, contoh atau modeling dari orang tua kepada anak-anaknya dalam suatu kehidupan bersama keluarga sehari-hari, dan pembicaraan singkat antara orang tua dan anaknya mengenai tingkah laku dirinya dan teman-teman sebayanya untuk menentukan ukuran nilai dalam berperilaku.

C. Perilaku Seks Pranikah pada Remaja 1. Pengertian Perilaku Seks

(52)

sebagai proses mental yang tidak tampak atau tidak dapat diamati dan perilaku yang dapat diamati.

Seksualitas itu sendiri mencakup segi-segi biologis dan psikis, bahkan merupakan suatu perpaduan psikofisik, juga meliputi perasaan senang dan tak senang. Seksualitas meliputi bidang yang lebih luas, lebih dari perbedaan jenis serta mencakup segi-segi psikisnya dan kaitannya antara kedua segi tersebut (Gunarsa & Gunarsa, 1991).

Menurut Sarwono (1994), perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis. Bentuk-bentuk tingkah laku ini bisa bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu, dan bersenggama. Objek seksualnya bisa berupa orang lain, orang dalam khayalan atau diri sendiri.

(53)

Chilman (1980), menyatakan bahwa perilaku seksual itu dimulai dari adanya perasaan saling tertarik yang diikuti perasaan cinta lalu saling memberi respon secara fisik mulai dari petting hingga bersenggama yang semuanya itu diperoleh dari pengalaman berpacaran.

Menurut Reuben (dalam Sarwono, 1981), ada tiga macam kehidupan seks, yaitu :

a. Seks untuk tujuan reproduksi atau “reproseks” yang tidak dibutuhkan persyaratan yang sulit dan hubungan seks ini adalah yang paling mudah, walaupun ada beberapa pasangan suami istri tidak berhasil mendapat keturunan. Anggapan bahwa fungsi hubungan seks ini hanya untuk mendapat keturunan memunculkan pendapat bahwa seks itu suci, dan tabu serta tidak patut untuk dibicarakan secara terbuka.

b. Seks untuk peryataan cinta yang juga tidak sulit, meskipun lebih kompleks dari bentuk pertama karena kejadian ini didukung oleh ikatan cinta yang mendalam.

c. Seks untuk kesenangan atau kenikmatan, dituntut kemampuan untuk menghayati hubungan yang cukup lama dan mampu mengalami orgasme, tanpa merugikan salah satu pihak.

(54)

dorongan seksual yang sebenarnya di masa yang akan datang (Eliyawati, 2007).

Hurlock (1992) menyatakan bahwa manifestasi dorongan seksual dalam perilaku seksual dipengaruhi oleh :

a. Faktor internal, yaitu stimulus yang berasal dari dalam diri individu yang berupa bekerjanya hormon-hormon alat reproduksi sehingga menimbulkan dorongan seksual pada individu yang bersangkutan dan hal ini menuntut untuk segera dipuaskan.

b. Faktor eksternal, yaitu stimulus yang berasal dari luar individu yang menimbulkan dorongan seksual sehingga memunculkan perilaku seksual. Stimulus eksternal tersebut dapat diperoleh melalui pengalaman kencan, informasi mengenai seksualitas, diskusi dengan teman, pengalaman masturbasi, jenis kelamin, pengaruh orang dewasa serta pengaruh buku-buku bacaan dan tontonan porno.

Pada masa remaja, rasa ingin tahu mengenai seksualitas sangat penting dalam pembentukan hubungan baru dengan lawan jenisnya karena hal ini sesuai dengan perkembangan fisiologis remaja.

(55)

2. Perilaku Seks Pranikah

Menurut Luthfie (2002), perilaku seks pranikah adalah perilaku seks yang dilakukan tanpa melalui proses pernikahan yang resmi menurut hukum maupun menurut agama dan kepercayaan masing-masing individu. Pada seorang remaja, perilaku seks pranikah tersebut dapat dimotivasikan oleh rasa sayang dan cinta dengan didominasi oleh perasaan kedekatan dan gairah yang tinggi terhadap pasangannya, tanpa disertai komitmen yang jelas atau sering disebut sebagai romantic love oleh Sternberg, atau karena pengaruh kelompok konformitas di mana remaja tersebut ingin menjadi bagian dari kelompoknya dengan mengikuti norma-norma yang telah dianut oleh kelompoknya karena kelompoknya telah melakukan perilaku seks pranikah (dhe de, 2002).

(56)

Dari beberapa definisi di atas tentang perilaku seks pranikah, maka dapat disimpulkan bahwa perilaku seks pranikah adalah segala bentuk naluri seksual serta perilaku atau aktivitas-aktivitas seksual yang dilakukan oleh para remaja di luar ikatan pernikahan yang resmi dan sah secara hukum dan agama masing-masing.

3. Bentuk-bentuk Perilaku Seksual Pranikah

Menurut Walgito (2002), perilaku itu dapat dibedakan dalam dua bagian. Pertama, yaitu proses mental yang terjadi seperti perasaan, tanggapan, keinginan, harapan dan sikap. Kedua, yaitu apa yang dilakukan, dikatakan atau tindakan seseorang.

Perilaku seksual itu sendiri, terdiri atas proses mental dan juga apa yang dilakukan atau tindakan seseorang. Proses mental di dalam perilaku seksual yang tidak dapat diamati contohnya adalah perasaan, harapan ataupun keinginan untukk melakukan perilaku atau tindakan yang berhubungan dengan seksualitas. Pada bagian ini, ada proses munculnya harapan, keinginan seksual yang belum diwujudkan seperti keinginan untuk berdekatan dengan lawan jenis, fantasi seksual dan lain-lain serta munculnya hasrat afeksi atau perasaan yaitu perasaan menyayangi, tertarik dengan lawan jenis, berkencan dan usaha pendekatan pada lawan jenis yang disukai (Setiyati, 2006).

(57)

remaja menurut Baseline Survei Lentera Sahaja PKBI Yogyakarta (2002), tersebut mencakup kegiatan-kegiatan sebagai berikut :

a. Pegangan tangan, yaitu saling memegang tangan dan bergandengan dengan pasangan.

b. Berpelukan, yaitu memeluk tubuh pasangan.

c. Berciuman, yaitu saling mencium pipi, kening sampai berciuman antara bibir dengan bibir.

d. Masturbasi, yaitu merangsang alat kelamin sendiri dengan tangan. e. Necking, yaitu berciuman sampai seluruh wajah, leher dan

sebagian dada pasangan.

f. Petting, yaitu merasakan dan mengusap-usap tubuh pasangan, termasuk lengan, dada, buah dada, kaki, dan terutama daerah kelamin baik itu di luar maupun di dalam pakaian.

g. Hubungan seksual (coitus, senggama), yaitu masuk, bersatunya alat kelamin laki-laki (penis) dengan alat kelamin perempuan (vagina).

(58)

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Munculnya Perilaku Seksual Pranikah

Munculnya perilaku seksual pranikah pada remaja dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik itu yang berasal dari dalam dirinya sendiri (internal) ataupun dari luar dirinya (eksternal). Beberapa faktor yang dapat menyebabkan perilaku seks pada remaja antara lain adalah :

a. Faktor dari dalam diri (internal)

1) Kematangan biologis. Dengan adanya kematangan biologis pada diri remaja, seorang remaja sudah dapat melakukan fungsi reproduksi sebagaimana layaknya orang dewasa lainnya, sebab fungsi organ seksualnya telah bekerja secara normal. Hal ini membawa konsekuensi bahwa seorang remaja akan mudah terpengaruh oleh stimulasi yang merangsang gairah seksualnya. Kematangan biologis yang tidak disertai dengan kemampuan mengendalikan diri cenderung berakibat negatif, yaitu terjadinya perilaku seksual pranikah di masa pacaran. Namun, jika kematangan biologis disertai dengan kemampuan mengendalikan diri maka akan membawa kebahagiaan remaja di masa depan karena ia tidak akan melakukan perilaku seks pranikah (Sarwono, 1994).

(59)

tanpa dipengaruhi oleh situasi kondisi apapun. Bagi individu yang rapuh imannya, cenderung akan mudah melakukan pelanggaran terhadap ajaran-ajaran agamanya (Sarwono, 1994). 3) Kesalahan persepsi terhadap pacaran. Remaja memiliki

pandangan yang salah bahwa pada saat berpacaran, mereka bisa mengungkapkan kasih sayang dengan berbagai cara terutama melakukan hubungan seksual dengan pacarnya (Kaiser Family Foundation dalam Dariyo, 2002).

4) Pergaulan yang makin bebas. Kebebasan pergaulan antar jenis kelamin yang kini makin meningkat bisa terlihat dalam kehidupan sehari-hari kita. Dari beberapa penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, hampir semua remaja sudah berpacaran dan melakukan berbagai tahap-tahap perilaku seksual bahkan sampai bersenggama (Sarwono, 1994).

b. Faktor dari luar diri (eksternal)

(60)

2) Kurangnya informasi tentang seks. Para remaja memasuki usia ini tanpa pengetahuan yang memadai tentang seks dan selama hubungan pacaran berlangsung, pengetahuan itu bukan saja tidak bertambah, akan tetapi malah bertambah dengan informasi-informasi yang salah. Hal ini membuat remaja mencari-cari sendiri informasi tentang seks dari media-media lain yang tidak bisa memberikan jawaban dengan baik dan bertanggung jawab seperti teman-teman sebaya dan majalah-majalah ataupun media lain (Sarwono, 1994).

3) Tabu-larangan. Ada anggapan tentang hubungan seks luar perkawinan itu tidak baik dan seharusnya tidak boleh ada, hanya boleh ada di dalam pernikahan, sehingga akan menyebabkan sifat negatif masyarakat tentang seks. Orang tua dan para pendidik jadi tidak mau terbuka atau berterus terang kepada anak-anak tentang seks, takut jika anak-anak itu ikut-ikutan mau melakukan seks. Sulitnya komunikasi, khususnya dengan orang tua pada akhirnya akan menyebabkan perilaku seksual yang tidak diharapkan (Sarwono, 1994).

(61)

Dari penjelasan di atas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya perilaku seksual pranikah, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya perilaku seksual pranikah secara internal adalah kematangan biologis, kehidupan iman yang rapuh, kesalahan persepsi terhadap pacaran, dan pergaulan yang makin bebas serta dari faktor eksternal adalah penundaan usia perkawinan, kurangnya informasi tentang seksualitas, tabu larangan, dan faktor sosial ekonomi.

D. Hubungan Antara Persepsi Remaja terhadap Pendidikan Seks dari Orang Tua dengan Perilaku Seks Pranikah pada Remaja Akhir

Remaja merupakan masa yang penting dalam rentang kehidupan seseorang. Pada masa ini, akan terjadi banyak perubahan baik secara fisik maupun psikologis yang dapat menimbulkan konflik atas berbagai masalah. Selain itu, konflik-konflik dalam diri remaja yang seringkali menimbulkan masalah pada remaja, tergantung sekali pada keadaan masyarakat di mana ia tinggal (Sarwono, 1994).

(62)

Remaja mencapai puncak perkembangan fisik, yaitu adanya perubahan hormon yang mempengaruhi kematangan organ-organ secara seksual. Pada sisi psikologisnya, kematangan organ-organ secara fisik tersebut mengakibatkan timbulnya dorongan seksual yang akan terwujud dalam perilaku seksualnya. Hal tersebut wajar terjadi dalam diri remaja. Namun, yang perlu diingat adalah ciri remaja yang penuh dengan rasa ingin tahu yang besar akan segala hal yang ada di sekelilingnya, terutama mengenai masalah seksualitas yang tengah jadi perhatian utamanya saat itu. Mereka bisa punya keinginan untuk mencoba-coba hal baru yang disebut sebagai seks.

(63)

untuk menghadapi akibat-akibat yang dapat terjadi atas perilaku seksnya sendiri. Remaja perlu mendapatkan bimbingan dan perlindungan dari lingkungannya agar tidak melakukan hal-hal yang pada akhirnya dapat merugikan diri dan masa depan mereka.

Bimbingan dan perlindungan yang didapatkan remaja dapat berasal dari beberapa pihak, dan salah satu yang paling dekat dan mudah didapatkan adalah dari keluarga. Keluarga adalah lingkungan sosial terkecil yang ada di kehidupan remaja. Orang tua adalah sosok terdekat yang berada dalam lingkungan sosial remaja. Orang tua yang menghadapi anaknya yang memasuki usia remaja perlu untuk dapat memahami kebutuhan-kebutuhan dan permasalahan yang mereka hadapi.

Remaja perlu mendapatkan suatu bimbingan mengenai masalah seksualitas sebagai salah satu usaha mencegah terjadinya perilaku mencari-cari dan mencoba-coba seks yang tidak bertanggung jawab. Salah satu bentuk usaha pemberian bimbingan tersebut adalah pendidikan seks. Prinsip pendidikan seksualitas pada anak adalah membuat anak tahu benar tentang jenis kelaminnya, paham bahwa perasaan seksual adalah bagian hidup yang menyenangkan, dapat mengembangkan kontrol terhadap diri sendiri, dan memberikan penilaian yang tepat tentang suatu tindakan yang terkait dengan urusan seksualitas (Fitrisia, 2000).

(64)

menunjukkan hasil yang mendukung perlunya pendidikan seks untuk remaja, khususnya yang dilakukan oleh orang tua. Makin sering terjadi percakapan tentang seks antara ibu dan anak, tingkah laku seksual anak makin bertanggung jawab.

Hasil survey menunjukkan bahwa sekitar 17% pendidikan seks yang diterima remaja diperoleh dari ibu, dan hanya 2% yang diperoleh dari ayah (Thornburg dalam Santrock, 2003). Walaupun orang tua terutama ayah jarang sekali menjadi sumber pendidikan seks bagi remaja, para remaja mengatakan bahwa jika mereka bisa berbicara dengan orang tua secara terbuka dan bebas mengenai seks, mereka akan cenderung tidak aktif secara seksual.

Orang tua adalah sosok yang paling baik mengalihkan nilai-nilai sebagai suatu proses pendidikan dalam hal seks karena seks adalah masalah yang peka dan pribadi sifatnya. Orang tua adalah sosok yang paling dekat dengan anak-anaknya sehingga anak-anak tersebut akan terbiasa dan dekat dengan mereka. Orang tua akan menjadi sosok model yang banyak diidolakan oleh anaknya. Hal ini sesuai dengan teori belajar sosial dari Bandura (dalam Santrock, 2002) yang menyatakan bahwa kita belajar dengan mengamati apa yang dilakukan oleh orang lain, dalam hal ini adalah anak mengamati orang tuanya. Melalui belajar mengamati atau modeling, secara kognitif kita akan menampilkan perilaku orang lain dan kemudian barangkali mengadopsi perilaku ini dalam diri kita sendiri.

Menurut Montessori (2002), remaja mulai mencari figur idola sebagai

(65)

ingin tahu tentang seks dan mulai melakukan rangsangan-rangsangan ringan. Jika orang tua berada dalam keadaan tidak cukup terbuka mengenai masalah seks, biasanya anak akan mencari informasi dari sumber lain. Dalam hal ini, sumber lain yang bisa dijangkau secara mudah oleh remaja adalah teman-teman sebayanya. Namun, mereka sama-sama sedang mencari informasi, sehingga mereka biasanya mencari informasi secara diam-diam dari sumber-sumber lain yang bermacam-macam, antara lain dari buku-buku, majalah atau video. Mereka sendiri belum dapat memilih mana informasi yang baik atau perlu bagi dirinya. Mereka mungkin malah menyerap hal-hal yang negatif dari sumber yang biasanya memang bersifat porno. Hal-hal seperti inilah yang kemudian dapat berpengaruh negatif pada remaja bila ia belum memiliki dasar-dasar pengetahuan yang jelas mengenai seks. Oleh karena itu peranan orang tua cukup penting dalam memberikan penerangan-penerangan seks pada remaja agar ia tidak keliru dalam menanggapi masalah-masalah seks yang mereka hadapi (Sarwono, 1986).

(66)

terjerumus dalam perilaku coba-coba yang tidak bertanggung jawab seperti perilaku seks pranikah.

Komunikasi adalah penyampaian informasi atau pengertian dari seseorang ke orang lain dengan menggunakan lambang-lambang dan melalui suatu proses. Komunikasi merupakan hal yang penting dalam hubungan antara anak dan orang tuanya. Orang tua adalah orang terdekat yang diharapkan remaja untuk dapat membicarakan masalah tentang seksualitas. Jika terjadi kesulitan komunikasi antara orang tua dan remaja, akhirnya akan menyebabkan perilaku seksual yang tidak diharapkan. Dari hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa makin jelek taraf komunikasi antara orang tua dan anak, makin besar kemungkinannya remaja melakukan tindakan-tindakan seksual ( Sarlito dalam Sarwono, 1994).

Masalah yang dapat muncul selanjutnya ketika remaja tidak mendapatkan informasi dalam bentuk pendidikan seks yang bertanggung jawab adalah perilaku coba-coba untuk mencari tahu sendiri tentang seks. Remaja yang tidak memiliki pengetahuan yang benar dan bertanggung jawab akan akibat yang dapat terjadi dapat terjerumus ke dalam bentuk penyaluran rasa ingin tahu yang tidak tepat yaitu, perilaku seks pranikah.

(67)

Ketika para remaja tersebut mendapatkan suatu pendidikan seks yang bertanggung jawab dan dapat dipercaya, maka diharapkan dapat menurunkan tingkat perilaku seks pranikah yang akan terjadi. Namun, jika mereka tidak mendapatkan informasi yang benar dan bertanggung jawab akan masalah seksualitas tersebut, maka akan muncul perilaku coba-coba untuk mencari tahu sendiri apakah seks itu yang dapat muncul dalam perilaku seks pranikah yang tidak bertanggung jawab.

E. HIPOTESIS

(68)

Skema Dinamika Psikologis

Remaja akhir :

-kematangan fisik, organ seks -penuh rasa ingin tahu tentang seks

-pergaulan sosial meluas, memiliki hubungan sosial dengan lawan jenis

-saling berinteraksi dengan lawan jenis, muncul ketertarikan dengan lawan jenis

-persepsi remaja terhadap orang tua yang memberi pendidikan seks, dalam bentuk : larangan,

penerangan, diskusi, saran, kehidupan bersama keluarga sehari-hari, pembicaraan singkat melalui komunikasi tentang seks yang bertanggung jawab dengan nilai yang menyertai antara orang tua dan remaja

-kemungkinan ada pengalihan nilai-nilai dan hal yang berkaitan dalam pendidikan seks yang lebih tinggi

-perilaku seks pranikah lebih rendah

(69)

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah penelitian kuantitatif korelasional. Peneliti memilih jenis penelitian ini karena ingin mengetahui apakah ada hubungan antara variabel persepsi remaja terhadap pendidikan seks dari orang tua dengan perilaku seks pranikah pada remaja akhir. Pada penggunaan jenis penelitian korelasional, kita dapat menyelidiki apakah variasi pada satu variabel berkaitan dengan variasi pada satu atau lebih variabel lain berdasarkan koefisien varibel korelasi (Azwar, 1999).

B. Identifikasi Variabel

Variabel adalah obyek penelitian atau apa yang menjadi pusat perhatian suatu penelitian yang bervariasi (Arikunto, 1989). Variabel yang akan digunakan dalam penelitian adalah :

1. Variabel bebas

Persepsi remaja terhadap pendidikan seks dari orang tua. 2. Variabel tergantung

Perilaku seks pranikah.

(70)

C. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah spesifikasi kegiatan penelitian dalam

mengukur variabel, atau penegasan arti dari variabel yang digunakan dan cara

yang dipakai untuk mengukur (Kerlinger, 2004). Berikut ini adalah definisi

operasional masing-masing variabel yang akan digunakan dalam penelitian

ini.

1. Persepsi remaja terhadap pendidikan seks dari orang tua.

Persepsi remaja terhadap pendidikan seks dari dari orang tua dalam

penelitian ini adalah suatu pemilihan, pengorganisasian dan

penginterpretasian oleh remaja terhadap pendidikan yang diberikan oleh

orang tua dalam hal seksualitas yang meliputi larangan, penerangan,

diskusi, saran, contoh atau modeling relasi antara ayah dan ibu dalam

kehidupan bersama sehari-hari, dan pembicaraan-pembicaraan singkat.

Tingkat pendidikan seks dari orang tua dalam penelitian ini

ditentukan oleh skor total yang diperoleh subyek penelitian dari skala

persepsi remaja terhadap pendidikan seks dari orang tua. Semakin tinggi

skor yang diperoleh subjek dalam skala ini mengindikasikan bahwa

semakin tinggi pula tingkat pendidikan seks dari orang tua yang mereka

terima.

2. Perilaku seks pranikah

Perilaku seks pranikah dalam penelitian ini adalah perilaku seks

yang dilakukan oleh remaja akhir di luar ikatan pernikahan yang meliputi

(71)

hasrat seksual, hasrat afeksi, pegangan tangan, berciuman, masturbasi,

necking, petting, dan coitus (senggama).

Tinggi atau rendahnya tingkat perilaku seks pranikah dalam

penelitian ini ditentukan oleh tinggi atau rendahnya skor total yang

diperoleh subyek. Tinggi rendahnya skor berkenaan dengan sejauh mana

perilaku yang dilakukan subyek dalam bentuk-bentuk perilaku seks

pranikah dari skala perilaku seks pranikah pada remaja akhir. Semakin

tinggi skor yang diperoleh subjek dalam skala ini mengindikasikan bahwa

semakin tinggi pula tingkat perilaku seks pranikah yang mereka lakukan.

D. Subyek Penelitian

Untuk memberikan batasan-batasan yang lebih jelas mengenai obyek

penelitian, maka peneliti akan memberikan batasan-batasan mengenai masalah

populasi dan sampel dalam penelitian. Arikunto (1989) menjelaskan bahwa

populasi adalah keseluruhan subyek penelitian. Dari populasi yang ada akan

diambil contoh atau sampel yang diharapkan dapat mewakili populasinya.

Populasi dari penelitian ini adalah remaja akhir.

Proses pengambilan sebagian subyek pada populasi disebut dengan

sampel. Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Arikunto,

1989). Sampel yang diambil harus representatif dalam arti karakteristik dan

sifat sampel mampu menggambarkan sifat dan karakteristik populasinya.

Dalam pengambilan sampel harus benar-benar dapat berfungsi sebagai sampel

(72)

Penelitian yang dilakukan oleh peneliti menggunakan teknik purposive

sampling untuk mengambil subyek sebagi sampel. Purposive sampling adalah

suatu teknik pengambilan sampel berdasarkan ciri-ciri atau sifat-sifat,

karakteristik tertentu yang merupakan ciri pokok populasi yang diteliti

(Arikunto, 1989).

Subjek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah remaja

akhir dengan kriteria sebagai berikut :

1. Rentang usia subjek penelitian adalah 16-21 tahun. Alasan dipilihnya

subjek penelitian dengan kriteria tersebut karena pada rentang usia remaja

akhir ini minat remaja meningkat terhadap pacaran dan seks yang

kemudian akan mendorong mereka mencari lebih banyak informasi

mengenai seks dan menyalurkannya dalam berbagai bentuk perilaku

seksual.

2. Subjek penelitian memiliki status pernah atau sedang berpacaran Alasan

dipilihnya subjek penelitian ini adalah mereka dimungkinkan sudah pernah

melakukan bentuk-bentuk perilaku seksual yang biasanya terjadi selama

mereka berpacaran atau pranikah.

Cara mendapatkan subjek dalam penelitian ini yaitu dengan cara

menyebarkan skala penelitian kepada remaja akhir yang sesuai dengan kriteria

subjek penelitian di sebuah perpustakaan daerah yang sering dikunjungi oleh

banyak orang ketika mereka berada di sana. Subjek dalam penelitian ini

seluruhnya berjumlah 94 orang. Subjek untuk uji coba berjumlah 33 orang,

(73)

berjenis kelamin perempuan sejumlah 43 orang, sedangkan subjek yang

berjenis kelamin laki-laki berjumlah 18 orang.

E. Metode dan Alat Pengumpulan Data

Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan menggunakan dua macam

skala, yaitu Skala Persepsi Remaja terhadap Pendidikan Seks dari Orang Tua

dan Skala Perilaku Seks Pranikah pada Remaja Akhir.

1. Skala Persepsi Remaja terhadap Pendidikan Seks dari Orang Tua

Skala persepsi remaja terhadap pendidikan seks dari orang tua

disusun oleh peneliti berdasarkan teori-teori mengenai bentuk-bentuk

pendidikan seks dari Sarwono (1981), Bu Kar (dalam Sarwono, 1981),

Fox & Inazu (dalam Sarwono, 1994), Spock (1969), dan Kriswanto,(2006)

untuk mengukur tingkat pendidikan seks yang diberikan oleh orang tua

kepada anak-anaknya. Bentuk pendidikan seks dari orang tua dalam skala

ini meliputi :

a. larangan untuk menjauhi lawan jenis agar tidak terjadi hal-hal yang

tidak boleh dilakukan tanpa ikatan pernikahan

b. penerangan mengenai masalah seksualitas dari orang tua berdasarkan

pengalaman pribadi kepada anak-anak dengan jenis kelamin yang

sama

a. diskusi bersama antara orang tua dan anak untuk membahas masalah

(74)

b. saran yang simpatik dari orang tua kepada anak-anaknya mengenai

masalah seksualitas agar tidak terjerumus dalam perbuatan yang tidak

layak untuk dilakukan di luar pernikahan

c. contoh-contoh atau modelling relasi antara ayah dan ibu dalam

kehidupan bersama keluarga sehari-hari kepada anak-anaknya

d. pembicaraan-pembicaraan singkat antara orang tua dan anak mengenai

tingkah laku teman sebaya dan diri anak sendiri untuk menentukan

ukuran-ukuran nilai dalam berperilaku

Selanjutnya, keenam komponen tersebut dikembangkan menjadi 60

aitem yang terdiri dari 30 aitem yang favorable (pernyataan yang mendukung

teori yang akan diungkap) dan 30 aitem yang unfavorable (pernyataan yang

tidak mendukung teori yang akan diungkap) seperti yang tertera dalam tabel di

bawah ini.

Tabel 1

Blueprint Skala Persepsi Remaja terhadap Pendidikan Seks dari Orang Tua Sebelum Uji Coba

Favorable

1. Larangan 1,15,23,25,57 5 8,16,26,42,59 5 10

2. Penerangan 2,21,43,50,52 5 22,38,44,53,47 5 10

3. Diskusi 3,11,36,46,49 5 6,20,30,45,48, 5 10

Gambar

Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3
Tabel 4
+3

Referensi

Dokumen terkait

terasa di awal tahun 2009, yang ditunjukkan dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi Jawa Barat sebesar 4,1% (yoy) pada triwulan I-2009, melambat dibandingkan dengan triwulan

Pada kondisi awal, kemampuan pemecahan masalah siswa SMP N 1 Ngemplak masih rendah. Hal tersebut disebabkan oleh guru yang masih menerapkan strategi pembelajaran

Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik

Aktualisasi diri yang terdapat dalam UKM Sepak Bola USU dapat dilihat dari kebutuhan fisiologis yang didapat oleh mahasiswa, kenyamanan berada dilingkungan

P Permanen: 2) P-O-P Temporer; dan 3) Media in store (di dalam toko). Bagi para manajer ritel penerapan Point-of-Purchase dilakukan karena keinginan untuk mencapai: 1) Hasil

RANO

Dapat dikatakan faktor-faktor dalam negri mampu menjadikan dan mendorong indonesia membangun kemampuan pertahanan yang kuat serta mampu bersaing dengan kekuatan

menggunakan berbagai jenis wacana tulis untuk mengungkapkan pikiran, gagasan, pendapat, perasaan, dan informasi dalam bentuk teks naratif, deskriptif, eksposisi, argumentatif,