• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian ini dapat memupuk rasa percaya diri dan penerimaan diri agar remaja dapat mengetahui gaya kelekatan dan konsep diri mereka, sehingga mereka dapat menjalani hidup dengan lebih baik.

12

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Gaya Kelekatan

1. Pengertian Gaya Kelekatan

Manusia adalah makhluk sosial yang berarti bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri. Oleh karena itu, manusia membutuhkan orang lain demi kelangsungan hidupnya. Hal tersebut menyebabkan manusia terus berusaha untuk membuat ikatan dengan orang lain dan kelekatan merupakan salah satu caranya.

Bowlby (dalam Laumi dan Adiyanti, 2012) menyatakan bahwa kelekatan merupakan ikatan afeksi yang akan terus berlanjut antara seorang individu dengan figur penting dalam kehidupannya. Selain itu, Santrock (2002) juga mendefinisikan kelekatan sebagai suatu ikatan emosional yang kuat antara bayi dan pengasuhnya.Kelekatan adalah suatu hubungan emosional antara satu individu dengan individu lainnya yang memiliki arti khusus, dalam hal ini biasanya ditujukan kepada ibu atau pengasuhnya.Hubungan tersebut dapat bertahan cukup lama, terdapat hubungan timbal balik, dan memberikan rasa aman walaupun figur lekat tidak tampak dalam pandangan anak (Ainsworth dalam Bayani dan Sarwasih, 2013).

Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Monks dkk (2002) yang menyatakan bahwa kelekatan adalah usaha individu untuk mempertahankan kontak dengan orang-orang tertentu. Ketika individu

mempertahankan kontak dengan orang-orang tertentu mungkin saja akan timbul prediksi bahwa individu tersebut akan memiliki ketergantungan dengan orang-orang tertentu tersebut. Namun, kelekatan tidak sama dengan ketergantungan. Ketergantungan merupakan kecenderungan umum pada anak untuk mencari kontak sosial lepas dari identitas orang tersebut.Ketergantungan timbul karena rasa takut, khawatir, dan gelisah.Pada kelekatan, anak mencari dan mempertahankan kontak dengan orang-orang tertentu saja.Kelekatan muncul karena anak merasa dipenuhi kebutuhannya baik secara fisik maupun psikis.

Definisi kelekatan dalam penelitian ini adalah suatu hubungan emosional antara satu individu dengan individu lain yang memiliki arti khusus, biasanya ditujukan kepada ibu atau pengasuhnya. Hubungan tersebut dapat bertahan cukup lama, terdapat hubungan timbal balik, dan memberikan rasa aman walaupun figur lekat tidak tampak dalam pandangan anak.

2. Figur Kelekatan

Bowlby (dalam Ervika, 2005) menyatakan bahwa ada dua macam figur lekat, yaitu:

a. Figur lekat utama, yaitu individu yang responsif dan memberikan perawatan fisik pada anaknya.

b. Figur lekat pengganti, yaitu individu yang selalu siap memberikan respon ketika anak menangis tetapi tidak memberikan perawatan fisik.

3. Kelekatan pada Masa Remaja

Ketika masa kanak-kanak tujuan utama dari kelekatan adalah mengalami kedekatan secara fisik. Namun, ketika masa remaja tujuan itu berubah menjadi kedekatan secara emosional dari figur kelekatan. Steinberg (dalam Barber dkk, 2003) menyatakan bahwa keadaan psikologis remaja yang sehat ditumbuhkembangkan melalui relasi orang tua dan remaja. Relasi antara orang tua dan remaja yang memiliki kelekatan aman dan kedekatan emosi yang tinggi merupakan prediktor yang akan menghasilkan kondisi psikologis remaja yang sehat dan remaja akan mengalami tekanan psikologis yang rendah (Armsden & Greenberg; Bradford & Lyddon dalam Barber dkk, 2003). Sedangkan kelekatan tidak aman antara orang tua dan remaja serta kurangnya kedekatan secara emosi merupakan prediktor yang akan menghasilkan kondisi psikologis remaja yang negatif (Rubi, Hymel, & Mills dalam Barber dkk, 2003). Papini dan Roggman (1992) dalam penelitiannya menemukan bahwa remaja yang memiliki kelekatan lebih kuat dengan orang tuanya selama transisi menuju Sekolah Menengah Pertama berasosiasi dengan perasaan mengenai kompetensi diri dan nilai diri yang lebih kuat serta perasaan depresi dan kecemasan yang lebih rendah.

Doherty dan Beaton (dalam Laumi, 2012) memandang penting untuk melihat relasi antara ibu dengan anak dan ayah dengan anak secara terpisah karena masing-masing relasi memiliki kualitas yang berbeda sehingga berdampak pada perkembangan anak selanjutnya. Leaper (2000) melakukan penelitian observasi terhadap interaksi antara orang tua dengan anak saat bermain. Dalam penelitiannya, Leaper menyatakan bahwa adanya perbedaan interaksi antara ibu dengan anak dan ayah dengan anak. Hal tersebut membuktikan bahwa setiap orang tua memberikan kontribusi yang berbeda terhadap perkembangan anak.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa kelekatan masa remaja bukan lagi tentang kedekatan fisik melainkan kedekatan secara emosional.

4. Aspek-aspek Kelekatan

Armsden dan Greenberg dalam Barrocas (2008) menyatakan bahwa kelekatan terdiri dari tiga aspek, yaitu:

a. Kepercayaan

Kepercayaan didefinisikan sebagai perasaan aman dan keyakinan bahwa orang lain akan memenuhi kebutuhannya. Kepercayaan dapat meningkatkan kepercayaan diri dalam menjalin hubungan interpersonal (Larzelere & Huston, 1980).Kepercayaan merupakan satu komponen dari hubungan yang kokoh antara anak dengan figur lekatnya. Hal tersebut dapat dilihat pada anak yang

membangun rasa percaya dalam suatu hubungan dengan belajar bahwa orang lain selalu ada untuknya.

b. Komunikasi

Komunikasi merupakan cara individu untuk berhubungan dengan individu lain. Hal tersebut dapat terjadi diantara ibu atau pengasuh dan anak. Segrin dan Flora dalam Barrocas (2008) menyatakan bahwa komunikasi timbal balik yang terjadi secara harmonis akan membantu ikatan emosional yang kuat antara ibu atau pengasuh dan anak. Individu pada masa remaja akan mencari kedekatan dan kenyamanan dalam bentuk nasihat ketika individu merasa membutuhkannya. Hal tersebut membuat komunikasi menjadi sangat penting antara pengasuh dan anak pada masa remaja.

c. Alienasi

Alienasi atau keterasingan terjadi karena adanya pengabaian yang dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya. Individu merasa bahwa figur lekat yang diharapkan tidak hadir sehingga anak merasa tertolak dan tidak diharapkan.Alienasi terjadi karena adanya penghindaran dan penolakan seperti amarah, tidak bertanggung jawab, dan pengasuh yang tidak selalu ada ketika anak membutuhkannya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kelekatan terdiri dari tiga aspek, yaitu kepercayaan, komunikasi, dan alienasi. Kepercayaan adalah perasaan aman dan keyakinan bahwa orang lain akan memenuhi kebutuhannya. Komunikasi merupakan cara individu untuk berhubungan dengan individu lain, biasanya terjadi antara ibu atau pengasuhnya dan anak. Sedangkan alienasi adalah perasaan tertolak dan tidak diharapkan karena adanya pengabaian yang dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya.

5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kelekatan

Bowlby (dalam Mayasari, 2008) menyatakan bahwa ada tiga faktor yang mempengaruhi timbulnya kelekatan, yaitu:

a. Kondisi anak

Anak akan membutuhkan adanya kontak fisik ketika anak berada pada keadaan yang tidak menyenangkan, misalnya sakit. Hal tersebut akan membuat perilaku lekat menjadi muncul. Perilaku lekat yang muncul biasanya menangis. Oleh karena itu, anak akan melakukan kontak fisik dengan figur lekatnya.

b. Kondisi lingkungan

Kondisi lingkungan yang membuat anak merasa terancam atau takut akan cenderung membuat perilaku lekat menjadi aktif. Ada dua stimulus lingkungan yang menyebabkan anak akan merasa terancam, yaitu stimulus yang bentuknya besar dan obyek-obyek asing yang muncul dalam konteks yang tidak diharapkan.

Stimulus yang bentuknya besar, misalnya suara keras atau stimulus yang datang dengan tiba-tiba dan berubah dengan cepat.Sedangkan obyek-obyek asing yang muncul dalam konteks yang tidak diharapkan, misalnya anak berada dalam tempat yang asing bersama dengan orang-orang asing.

c. Tingkah laku dan kedudukan ibu

Tingkah laku yang ibu lakukan akan mempengaruhi kelekatan antara anak dengan ibu, misalnya ibu tidak menolak bila anak mendekat atau duduk di pangkuannya. Hal tersebut akan membuat kelekatan yang aman antara ibu dengan anak. Selain itu, kedudukan ibu yang tidak mengancam, misalnya ibu selalu berada dalam pandangan dan jangkauan anak juga mempengaruhi kelekatan antara ibu dengan anak.

Pikunas (dalam Ervika, 2005) menyatakan bahwa ada dua kondisi yang dapat menimbulkan kelekatan, yaitu:

a. Pengasuh anak

Kelekatan akan timbul pada anak dan orang dewasa yang sering berinteraksi, yang dimaksud dengan berinteraksi adalah orang dewasa tersebut mendidik dan membesarkan anak. Hal ini menyangkut tentang kualitas hubungan antara pengasuh dan anak.Dalam hal ini pengasuh secara intensif berhubungan dengan anak.

b. Komposisi keluarga

Anak memiliki kemungkinan untuk memilih salah seorang anggota keluarganya untuk dijadikan figur lekat. Figur lekat yang dipilih biasanya adalah orang dewasa yang memenuhi kebutuhannya. Ibu biasanya menduduki peringkat pertama figur lekat utama pada anak.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya kelekatan adalah kondisi lingkungan, tingkah laku dan kedudukan ibu serta pengasuh anak. Kondisi lingkungan dapat mempengaruhi timbulnya kelekatan, misalnya remaja merasa terancam dalam lingkungannya. Hal tersebut akan membuat perilaku lekat menjadi muncul. Selain itu, tingkah laku dan kedudukan ibu juga mempengaruhi timbulnya kelekatan. Ketika ibu tidak menolak bila anak mendekat atau duduk di pangkuannya serta ibu selalu berada dalam jangkauan anak. Hal tersebut akan membuat timbulnya kelekatan aman. Sedangkan pengasuh anak adalah orang dewasa yang sering berinteraksi dengan anak. Selain itu, orang dewasa tersebut juga mendidik dan membesarkan anak serta memiliki kualitas hubungan yang baik dengan anak.

6. Jenis Gaya Kelekatan

Bowlby dalam Baron dan Bryne (2005) menekankan pada dua sikap dasar dalam kelekatan, yaitu diri (self) dan orang lain. Perilaku interpersonal setiap individu dipengaruhi oleh positif atau negatifnya individu mengevaluasi dirinya. Selain itu, orang lain juga akan menilai perilaku interpersonal individu tersebut positif atau negatif.

Berlandaskan teori Bowlby, Bartholomew (dalam Baron dan Bryne, 2005) mengusulkan bahwa kedua sikap dasar tersebut harus dipertimbangkan secara bersamaan. Oleh karena itu, Bartholomew membagi gaya kelekatan menjadi empat, yaitu gaya kelekatan aman (secure attachment style), gaya kelekatan takut-menghindar

(fearfull-avoidant attachment style), gaya kelekatan terpreokupasi (preoccupied attachment style), dan gaya kelekatan menolak (dismissing attachment style).

a. Gaya kelekatan aman

Individu yang memiliki gaya kelekatan aman percaya bahwa masa depannya akan menjadi lebih baik. Hal tersebut dikarenakan individu tersebut mempersepsikan kehidupan keluarga di masa lampau dan masa sekarang secara positif (Diehl dkk dalam Baron dan Bryne, 2005). Selain itu, individu dengan gaya kelekatan aman memiliki komunikasi yang baik. Individu dengan gaya kelekatan ini cenderung tidak mudah marah, tidak memiliki keinginan untuk bermusuhan dengan orang lain, dan

mengharapkan hasil yang positif dari konflik (Mikulincer dalam Baron dan Bryne, 2005). Menurut Shaver dan Brennan dalam Baron dan Bryne (2005), individu dengan kelekatan aman mampu membentuk hubungan dengan orang lain dalam jangka waktu yang lama, memiliki komitmen yang tinggi, dan memuaskan dalam hubungannya dengan orang lain. Individu dnegan gaya kelekatan ini memiliki alienasi dalam kategori yang rendah karena individu jarang mengalami penolakan.

b. Gaya kelekatan takut-menghindar

Individu dengan gaya kelekatan takut-menghindar dalam aspek kepercayaan biasanya individu cenderung meminimalkan kedekatan interpersonal dan menghindari hubungan akrab. Hal tersebut dikarenakan individu tersebut melindungi dirinya dari rasa sakit karena penolakan atau alienasi (Baron dan Bryne, 2005). Levy dkk dalam Baron dan Bryne menyatakan bahwa individu dengan gaya kelekatan takut-menghindar dalam aspek komunikasi biasanya cenderung memiliki hubungan yang negatif dengan orang tuanya. Individu dengan gaya kelekatan ini memiliki hubungan interpersonal yang negatif, memiliki rasa cemburu yang berlebihan, dan menggunakan alkohol untuk mengurangi kecemasan mengenai situasi sosial ( McGowan dkk dalam Baron dan Bryne, 2005).

c. Gaya kelekatan terpreokupasi

Individu dengan gaya kelekatan terpreokupasi dalam aspek kepercayaan biasanya individu akan cenderung mengkombinasikan antara pandangan yang negatif tentang dirinya (self) dengan harapan yang positif bahwa orang lain akan mencintai dan menerimanya. Individu dengan kelekatan ini cenderung mengalami alienasi. Akibatnya, individu akan mencari kedekatan yang berlebihan dengan orang lain tetapi ia juga mengalami kecemasan dan rasa malu karena mereka merasa tidak pantas menerima cinta dari orang lain (Lopez dkk dalam Baron dan Bryne, 2005). Individu dengan gaya kelekatan ini dalam aspek komunikasi akan cenderung depresi ketika hubungannya dengan orang lain sedang buruk. Hal tersebut dikarenakan kebutuhannya untuk dicintai dan diakui ditambah dengan adanya self-criticism.

d. Gaya kelekatan menolak

Individu dengan gaya kelekatan menolak dalam aspek kepercayaan cenderung akan melihat dirinya berharga, independen, dan sangat layak untuk mendapatkan hubungan yang dekat. Namun, orang lain akan lebih melihat individu tersebut secara tidak lebih positif. Hal tersebut dikarenakan individu cenderung mengalami alienasi dan kurang bisa mengolahnya dengan baik sehingga ada perbedaan antara ideal self dan real self dari individu itu sendiri. Selain itu, orang lain akan mendeskripsikan individu

tersebut tidak ramah dan keterampilan sosialnya terbatas (Baron dan Bryne, 2005). Dalam aspek komunikasi individu dengan gaya kelekatan ini akan cenderung menghindari interaksi langsung dan lebih memilih kontak impersonal melalui catatan atau e-mail (Daniels dan Bryne dalam Baron dan Bryne, 2005).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Bartholomew membagi gaya kelekatan menjadi empat berdasarkan dua sikap dasar yang diungkapkan oleh Bowlby. Empat gaya kelekatan tersebut adalah gaya kelekatan aman (secure attachment

style), gaya kelekatan takut-menghindar (fearfull-avoidant

attachment style), gaya kelekatan terpreokupasi (preoccupied attachment style), dan gaya kelekatan menolak (dismissing attachment style).

B. Konsep Diri

1. Pengertian Konsep Diri

Cara pandang individu terhadap dirinya akan membentuk suatu konsep tentang dirinya sendiri. Konsep tentang diri merupakan hal-hal yang penting bagi kehidupan individu karena konsep diri menentukan bagaimana individu bertindak dalam berbagai situasi (Calhoun dan Acocella, 1995).Baldwin & Holmes (dalam Calhoun dan Acocella, 1995) menyatakan bahwa konsep diri adalah ciptaan sosial. Konsep

diri merupakan hasil belajar individu melalui hubungan individu tersebut dengan orang lain.

Burns dalam Respati dkk (2006) menyatakan bahwa konsep diri adalah pandangan keseluruhan yang dimiliki individu tentang dirinya sendiri dan terdiri dari kepercayaan, evaluasi, dan kecenderungan berperilaku.Chaplin (dalam Respati dkk, 2006) juga mendefinisikan konsep diri yang selaras dengan Burns, yaitu evaluasi mengenai diri sendiri.Hal tersebut berarti bahwa individu memberikan penilaian mengenai dirinya sendiri. Sedangkan Brehm & Kassin (1996) menyatakan bahwa konsep diri adalah kumpulan keyakinan tentang diri sendiri dan atribut-atribut personal yang dimiliki. Atribut-atribut yang dimaksud adalah sifat, karakter, kelemahan, dan kelebihan yang dimiliki.

Konsep diri bersifat tidak kaku. Konsep diri dapat berubah melalui apa yang individu alami, apa yang individu dengar, apa yang individu lihat, apa yang individu rasakan, dan apa yang individu lakukan. Hal tersebut adalah sesuatu yang dapat mempengaruhi pembentukan dan perubahan konsep diri.

Definisi konsep diri dalam penelitian ini adalah kumpulan keyakinan tentang diri sendiri dan atribut-atribut personal yang dimiliki.Atribut-atribut yang dimaksud adalah sifat, karakter, kelemahan, dan kelebihan yang dimiliki.

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri a. Eksternal

Seorang sosiolog bernama Charles Horton Cooley (dalam Calhoun dan Acocella, 1995) memperkenalkan pengertian “diri yang tampak seperti cermin”. Menurut Cooley, individu menggunakan orang lain sebagai cermin untuk menunjukkan siapa dirinya. Melalui pandangan orang lain, individu dapat mengetahui gambaran tentang dirinya. Pada akhirnya individu mulai mengetahui siapa dirinya, apa yang diinginkan, dan dapat melakukan penilaian terhadap dirinya sendiri. Baldwin dan Holmes (dalam Calhoun dan Acocella, 1995) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “orang lain” yaitu:

1. Orang tua

Orang tua adalah kontak sosial yang paling awal dan paling kuat. Bayi bergantung pada orang tuanya untuk makanan, perlindungan, dan kenyamanan serta kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu, orang tua menjadi sangat penting bagi anak. Hal tersebut menyebabkan segala sesuatu yang dikomunikasikan oleh orang tua kepada anak lebih menancap daripada informasi lain yang diterima anak sepanjang hidupnya. Anak menduga apapun perlakuan orang tua terhadap dirinya merupakan perlakuan yang pantas diterimanya. Oleh karena itu, nilai atas diri anak berasal dari nilai yang diberikan orang tua kepada anak

(Coopersmith dalam Calhoun dan Acocella, 1995). Pada akhirnya semua perlakuan orang tua kepada anaknya yang akan membentuk konsep diri anak tersebut.

2. Kawan sebaya

Kawan sebaya merupakan faktor penting kedua yang mempengaruhi konsep diri. Selain cinta dari orang tuanya, anak juga membutuhkan penerimaan dari teman-teman di kelompoknya. Jika anak tidak mendapatkan cinta dari orang tuanya dan penerimaan dari teman-temannya maka konsep dirinya akan terganggu. Selain itu, peran anak dalam kelompoknya juga memiliki pengaruh dalam pandangan tentang dirinya. Peran yang dimaksud adalah anak menjadi pemimpin kelompok, pengacau kelompok, badut kelompok, atau menjadi “pahlawan kesiangan” dalam kelompok. Peran tersebut bersama dengan penilaian terhadap dirinya akan dibawa anak hingga masa dewasa dalam hubungan sosialnya.

3. Masyarakat

Masyarakat sangat mementingkan atribut yang dimiliki anak, misalnya latar belakang keluaraganya, siapa orang tuanya, rasa, dan lain sebagainya. Penilaian tersebut berpengaruh pada konsep diri anak. Oleh karena itu, masyarakat seperti memberitahu kita bagaimana mendefinisikan diri kita.

b. Internal

Coopersmith (dalam Susana dkk, 2006) menyatakan bahwa ada empat faktor yang mempengaruhi dalam pembentukan konsep diri individu, yaitu:

1. Kemampuan

Setiap individu pasti memiliki kemampuan. Ketika individu memiliki peluang untuk melakukan sesuatu maka ia akan berusaha menyelesaikannya. Hal tersebut menunjukkan bahwa setiap individu mampu melakukan segala sesuatu menurut kemampuannya.

2. Perasaan berarti

Perasaan berarti akan membentuk sikap yang positif sehingga individu dapat menghargai setiap aktivitas sekecil dan sesederhana apapun. Ketika individu tidak memiliki perasaan berarti maka ia akan membentuk sikap yang negatif. Hal tersebut akan menimbulkan perasaan hampa pada diri individu tersebut sehingga ia tidak dapat menghargai semua yang ia dapatkan atau miliki.

3. Kebajikan

Ketika individu memiliki perasaan berarti maka akan tumbuh kebajikan dalam dirinya. Kemudian individu akan merasa bahwa lingkungan adalah tempat yang menyenangkan. Oleh

karena itu, individu akan melakukan kebajikan bagi lingkungannya.

4. Kekuatan

Pola perilaku berkarakteristik positif akan memberi kekuatan bagi individu untuk melakukan perbuatan yang baik. Dengan kekuatan diri, individu dapat menghalau upaya yang negatif. Oleh karena itu, individu tidak akan melakukan hal-hal yang buruk, misalnya berbohong.

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor-faktor dari konsep diri adalah eksternal dan internal. Faktor eksternal terdiri dari orang tua, kawan sebaya, dan masyarakat. Sedangkan faktor internal terdiri dari kemampuan, perasaan berarti, kebajikan, dan kekuatan. Dalam kehidupannya, seorang individu lebih dulu hidup dengan orang tuanya. Oleh karena itu, orang tua yang memiliki peranan penting dalam pembentukan konsep diri.

3. Dimensi Konsep Diri

Konsep diri merupakan pandangan diri individu tentang individu itu sendiri. Konsep diri terdiri dari tiga dimensi, yaitu: pengetahuan individu tentang dirinya sendiri, pengaharapan yang dimiliki individu untuk dirinya sendiri, dan penilaian mengenai dirinya sendiri (Calhoun dan Acocella, 1995).

a. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan apa yang diketahui individu tentang dirinya. Hal ini mengenai kuantitas dirinya, misalnya usia, jenis kelamin, kebangsaan, dan pekerjaan. Selain itu, pengetahuan tentang kualitas diri, misalnya individu yang egois dan baik hati. Individu dapat memperolah pengetahuan tentang dirinya dengan cara membandingkan diri individu dengan orang lain. Pengetahuan yang dimiliki individu tidak menetap sepanjang hidupnya. Pengetahuannya bisa saja berubah dengan cara mengubah tingkah laku individu tersebut.

b. Harapan

Dimensi yang kedua adalah harapan. Dalam hal ini, individu memiliki pandangan tentang harapan bahwa ia akan menjadi apa di masa yang akan datang. Rogers dalam Calhoun dan Acocella (1995) menyatakan bahwa individu memiliki pengharapan bagi dirinya sendiri. Namun, harapan setiap individu pasti berbeda-beda. Harapan tersebut akan menjadi kekuatan yang mendorong individu menuju masa depan dan memandu kegiatan individu dalam perjalanan hidupnya. Singkatnya, setiap individu memiliki pengharapan bagi dirinya sendiri dan pengharapan setiap individu berbeda-beda.

c. Penilaian

Dimensi yang terakhir adalah penilaian terhadap diri sendiri. Penilaian terhadap diri sendiri adalah pengukuran individu tentang keadaannya saat ini dengan apa yang menurutnya dapat terjadi terhadap dirinya dan apa yang terjadi pada dirinya. Penilaian ini mengukur apakah individu bertentangan dengan “saya dapat menjadi apa” atau dengan kata lain harapan individu bagi dirinya sendiri dan “saya seharusnya menjadi apa” atau dengan kata lain standar individu bagi dirinya sendiri (Epstein dalam Calhoun dan Acocella, 1995).

Kalimat “saya dapat menjadi apa” menggambarkan keadaan diri kita yang sebenarnya atau biasanya disebut dengan

real self sedangkan kalimat “saya seharusnya menjadi apa”

menggambarkan kemampuan diri individu dengan melihat keadaan diri atau biasanya disebut dengan ideal self. Ketika individu memiliki jarak yang terlalu antara real self dan ideal self maka akan menimbulkan rasa tidak nyaman dalam dirinya (Susana dkk, 2006).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep diri terdiri tiga dimensi, yaitu pengetahuan tentang dirinya, harapan mengenai dirinya sendiri, dan penilaian mengenai dirinya sendiri. Pengetahuan adalah apa yang diketahui individu tentang dirinya dari segi kuantitas maupun kualitas, individu dapat

memperoleh pengetahuan dengan cara membandingkan dirinya dengan orang lain. Harapan adalah apa yang individu inginkan untuk dirinya di masa yang akan datang. Sedangkan penilaian adalah pengukuran yang dilakukan individu tentang keadaan dirinya saat ini dengan apa yang menurut dirinya dapat terjadi dan apa yang terjadi pada dirinya.

4. Jenis-jenis Konsep Diri

Calhoun dan Acocella (1995) menyatakan bahwa konsep diri terbagi

Dokumen terkait