• Tidak ada hasil yang ditemukan

Representasi Latar Belakang Sosial Seorang Hero

Dalam dokumen Muhammad kukuh adiguna (Halaman 46-53)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Representasi Sebagai Kontruksi Realitas Dalam Film ……….……...1 5

2.3.3. Representasi Latar Belakang Sosial Seorang Hero

Hero dalam film Hollywood direpesentasikan dalam latar belakang sosial yang terdapat ditengah-tengah masyarakat. Konteks latar belakang sosial seorang

hero bisa dilihat dari beberapa sudut pandang misalnya dari stratifikasi sosial. Menurut Bungin (2006:49), stratifikasi atau strata sosial adalah struktur sosial yang berlapis-lapis di dalam masyarakat. Lapisan sosial menunjukkan bahwa masyarakat memiliki strata, mulai dari yang terendah sampai yang tertinggi.

Lapisan soisal terjadi karena adanya pengelompokan yang didasarkan pada suatu simbol-simbol tertentu yang dianggap berharga atau bernilai dalam suatu kelompok masyarakat. Berharga atau bernilai dalam hal ini didasarkan pada pandangan sosial, ekonomi, politik, hukum, budaya maupun dimensi lainnya yang dipahami oleh masyarakat tersebut. Sedangkan secara umum strata sosial

35 melahirkan kelas sosial atau golongan sosial yang terdiri dari tiga tingkatan yaitu atas (upper class), menengah (middle class), dan bawah (lower cla ss).

Sebagai representasi dari realitas, film Hollywood juga memperlihatkan kondisi pelapisan sosial yang terdapat di masyarakat, khususnya masyarakat Amerika. Berdasarkan Paul Horton (2007:6), pada masyarakat Amerika pelapisan sosial yang terjadi karena faktor ekonomi terbagi menjadi enam kelas yang terlihat pada gambar dibawah ini:

Gambar 2.1 Gambar Pelapisan Sosial Masyarakat Amerika

Atas

Menengah

Bawah

1. Upper-upper class : Kelas keluarga-keluarga yang telah lama kaya. 2. Lower-upper class : Kelas masyarakat yang belum lama menjadi kaya. 3. Upper-middle class : Kelas dari kelompok pengusaha dan kaum professional. 4. Lower-middle class : Kelas yang terdiri dari pegawai pemerintah, kaum

semi profesional, supervisor, dan pengrajin terkemuka. 5. Upper-lower class : Kelas dari kelompok pekerja tetap (golongan pekerja). 6. Lower-lower class : Kelas para pekerja tidak tetap, pengangguran, buruh

musiman, orang yang bergantung.

1 2 3 4 5 6 commit to user

36 Pembagian kelas sosial diatas juga nampak terjadi dalam film-film Hollywood. Seringkali tokoh hero dalam film Hollywood ditempatkan sebagai golongan sosial menengah keatas. Contoh-contoh hero dari golongan atas terlihat pada karakter Bruce Wayne (Batman), Tony Stark (Iron Man), Oliver Queen (Arrow), Sam Flynn (Tron Legacy), Britt Reid (The Green Hornet) dan lainnya. Tokoh-tokoh hero yang disebutkan tadi merupakan kelompok masyarakat kaya atau milyuner yang mewarisi kekayaan keluarganya secara turun-temurun.

Sedangkan menurut Soekanto (1990:262) “salah satu ukuran atau kriteria

yang biasa dipakai untuk menggolong-golongkan anggota-anggota masyarakat ke dalam suatu lapisan adalah ukuran pekerjaan. Barang siapa yang memiliki

pekerjaan kantoran, termasuk dalam lapisan teratas.” Oleh sebab itu produsen

-produsen film Hollywood secara disadari maupun tidak, seringkali menampilkan seorang hero sebagai seseorang yang memiliki pekerjaan kantoran. Contoh hero

yang bekerja kantoran bisa dilihat pada karakter-karakter seperti Clark Kent (Superman) dan Peter Parker (Spiderman) yang bekerja sebagai jurnalis atau Matt Murdock (Daredevil) yang berprofesi menjadi pengacara.

Disamping faktor kekayaan dan pekerjaan, pelapisan sosial juga dapat diukur dari segi pakaian yang dikenakan seseorang. Soekanto (1990:263) menyebutkan bahwa salah satu kriteria yang dipakai untuk menggolong-golongkan masyarakat ke dalam suatu lapisan adalah ukuran kekayaan. Kekayaan tersebut misalnya bisa dilihat dari bentuk rumah yang bersangkutan, cara-cara mempergunakan pakaian, serta bahan pakaian yang digunakannya.

37

Menurut Herman Jusuf (2001), “dalam kehidupan sehari-hari, manusia

seringkali menangkap kesan pertama dari orang yang ditemuinya melalui pakaian yang dikenakannya. Pandangan sekilas saja terhadap penampilan seseorang akan mengkomunikasikan karakter, kedudukan, dan status orang tersebut di masyarakat. Sehingga setiap bentuk dan jenis pakaian apapun yang mereka kenakan baik secara gamblang maupun samar-samar akan menyampaikan penanda sosial (social signals) tentang si pemakainya.

Pakaian dan status sosial sangat berkaitan erat, sehingga seseorang berusaha menaikkan status mereka dengan mengenakan pakaian yang dikenakan oleh kalangan yang berstatus tinggi. Identitas sosial seorang hero terlihat dari jenis pakaian yang mereka kenakan dalam aktivitas sehari-hari, terutama ketika bekerja. Sedangkan jenis-jenis pakaian yang digunakan oleh seorang hero

cenderung mengarah pada pakaian yang bagus dan relatif mahal, contohnya seperti setelan jas (tuxedo).

Beberapa contoh hero yang sering mengenakan jas adalah kalangan eksekutif seperti Tony Strak (Iron Man) dan Bruce Wayne (Batman). Kemudian ada kelompok-kelompok detektif seperti Harry Callahan (Dirty Harry) dan Roger Murtaugh (Lethal Weapon) yang selalu memakai jas saat bekerja. Bahkan ada

hero yang selalu identik dengan tuxedo yang elegan seperti agen mata-mata dalam film James Bond. Dengan banyaknya hero yang menggunakan jas dalam kesehariannya, mengisyaratkan bahwa ia diposisikan sebagai masyarakat yang berasal dari kelas sosial menengah keatas.

38 Film Hollywood menampilkan status sosial seseorang tidak sebatas dari pakaian yang dikenakan oleh seorang hero semata, tetapi juga dari pakaian seorang villain (penjahat). Adi (2008:19) menyebutkan bahwa penjahat kulit hitam biasanya digambarkan mengenakan pakaian murahan dengan model dan warna yang mencolok. Jika berpakaian mahal, mereka tidak tahu bagaimana seharusnya mengenakannya. Memakai anting di telinga, di hidung atau di bibir, serta atribut-atribut anak jalanan lainnya.

Sejatinya, latar belakang seorang hero tidak hanya ditunjukkan melalui status dan kelas sosial saja, tetapi juga dicerminkan dari golongan ras yang dimilikinya. Secara tidak langsung Hollywood telah mengkampanyekan isu-isu rasisme dalam berbagai filmnya, permasalahan ini tidak bisa lepas dari kebudayaan masyarakat Amerika yang sangat kental dengan isu rasisme. Rasisme berakar dari etnosentrisme yang tumbuh kuat dalam masyarakat Amerika dan direpresentasikan lewat penokohan karakter dalam film-film Hollywood.

Menurut Jones yang dikutip Liliweri (2002:15), konsep etnosentrisme seringkali dipakai secara bersamaan dengan rasisime. Konsep ini mewakili suatu pengertian bahwa setiap kelompok etnik atau ras mempunyai semangat dan ideologi untuk menyatakan bahwa kelompoknya lebih superior daripada kelompok etknik atau ras lain. Sikap etnosentrisme dan rasisme itu berbentuk prasangka, stereotip, diskriminasi, dan jarak sosial terhadap kelompok lain

Liliweri mengatakan bahwa prasangka adalah sikap positif atau negatif berdasarkan keyakinan kita tentang anggota dari kelompok tertentu. Seperti commit to user

39 halnya sikap, prasangka meliputi keyakninan untuk menggambarkan jenis pembedaan terhadap orang lain sesuai dengan peringkat nilai yang kita berikan. Prasangka yang berbasis ras disebut rasisme, sedangkan yang berdasarkan etnis disebut etnisisme. Menurut Liliweri (2005), bentuk-bentuk prasangka dibagi menjadi tiga yaitu:

a. Stereotip. Stereotip adalah salah satu bentuk prasangka antar etnik/ras. Orang cenderung membuat kategori atas tampilan karakteristik perilaku orang lain berdasarkan kategori, ras, jenis kelamin, kebanggan, dan tampilan komunikasi verbal maupun non-verbal. b. Jarak sosial. Menurut Robert Park dan Ernst Burgess jarak sosial

merupakan kecenderungan untuk mendekat atau menjauhkan diri pada suatu kelompok. Apabila jarak sosial sudah menjadi norma di dalam kelompok akan dapat menimbulkan orang berprasangka tanpa bergaul dulu dengan individu atau kelompok yang dikenai prasangka itu. Dalam hal ini, Allport berpendapat bahwa social distance (jarak sosial) dalam suatu masyarakat hanya terdapat pada masyarakat yang heterogen yang di dalamnya terdapat kelompok-kelompok yang memiliki fungsi dan ketertarikan yang berbeda-beda.

c. Diskriminasi. Kalau prasangka masih meliputi sikap, keyakinan, atau predisposisi untuk bertindak, maka diskriminasi mengarah pada tindakan nyata. Dengan kata lain diskriminasi adalah aplikasi dari prasangka yang dimiliki.

Dalam realisasinya, produsen-produsen film Hollywood secara nyata maupun samar-samar mewujudkan prasangka yang berwujud rasisme melalui gambaran tokoh di dalam film. Menurut Junaedi (2007:49), film Hollywood, khususnya film laga banyak menciptakan tokoh hero dari ras kulit putih Amerika,

White Anglo-Saxon Protestan (WASPs). Sebaliknya secara oposisi biner

merepresentasikan kulit hitam, Asia, Arab dan Latin sebagai “yang lain” (the

other) adalah jahat dan tidak berperadaban.

Secara lebih detil, simbol-simbol yang merepesentasikan kelompok ras tertentu juga dikontruksi oleh Hollywood, contoh sederhananya adalah janggut commit to user

40 atau kumis. Bagi tokoh antagonis digambarkan berjanggut dan berkumis adalah ciri-ciri yang menjadi simbol seorang penjahat, apalagi jika ia berasal dari Timur Tengah dimana pria identik dengan janggut atau kumis. Namun sebaliknya jika kumis dan janggut dimiliki oleh seorang tokoh protagonis, terutama orang kulit putih, maka hal itu dikontruksi sebagai simbol keperkasaan seorang pria.

Fiske (1999:9) juga mengatakan bahwa penjahat mempunyai gambaran seperti non-Amerika, logat, kelakuan, dan bicaranya seperti orang Inggris Raya, pada penampilan yang lain kelihatan ras Hispanik dan Asia Timur juga muncul. Tetapi pahlawan laki-laki atau perempuan secara jelas digambarkan dari kelas menengah, orang amerika yang berkulit putih (White Anglo-Saxon Protestan).

Berdasarkan aspek latar belakang sosial, terlihat bahwa mayoritas produsen-produsen film Hollywood berusaha menanamkan gagasan bahwa seorang hero sewajarnya berasal dari masyarakat menegah keatas dan ras kulit putih. Hal ini tentunya tidak lepas dari anggapan bahwa masyarakat menegah keatas dan kulit putih memiliki status sosial yang lebih tinggi sehingga dipandang terhormat, bahkan bisa menjadi sosok idola yang ideal. Disamping itu tidak bisa dikesampingkan fakta bahwa masyarakat menegah keatas memiliki peranan dan pengaruh yang lebih kuat dari masyarakat bawah.

Pada akhirnya, terlihat bahwa kebanyakan film Hollywood berusaha mengkontruksikan penilaian bahwa menjadi masyarakat menengah keatas adalah kehidupan yang pantas bagi seorang hero. Namun dalam beberapa kasus terlihat bahwa produsen-produsen Hollywood juga menampilkan masyarakat kelas bawah commit to user

41 sebagai seorang hero. Hal ini bisa terjadi karena adanya potensi-potensi yang dimiliki oleh masyarakat kelas bawah untuk ditampilkan sebagai seorang hero.

Dalam dokumen Muhammad kukuh adiguna (Halaman 46-53)

Dokumen terkait