• Tidak ada hasil yang ditemukan

Muhammad kukuh adiguna

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Muhammad kukuh adiguna"

Copied!
203
0
0

Teks penuh

(1)

i

POTRET MEGAMIND DALAM

BINGKAI HEROISME FILM HOLLYWOOD

(Analisis Semiologi Representasi Hero Dalam Film Megamind)

TESIS

Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Derajat

Magister

Program Pendidikan Magister Ilmu Komunikasi

Bidang Kajian Utama Manajemen Komunikasi

Oleh:

Muhammad Kukuh Adiguna

S231108016

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv PERNYATAAN ORISINALITAS DAN PUBLIKASI ISI TESIS

Saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa :

1. Tesis yang berjudul: POTRET MEGAMIND DALAM BINGKAI HEROISME FILM HOLLYWOOD (Analisis Semiologi Representasi Hero Dalam Film Megamind) ini adalah karya penelitian saya sendiridan bebas plagiat , serta tidak terdapat karya ilrniah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk rnernperoleh gelar akademik serta tidak terdapat karya atau pendapat yang pemah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali secara tertulis digunakan sebagaim acuan dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber acuan serta daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai ketentuan peraturan perundangundangan (Permendiknas No 17, tahun 2010)

2. Publikasi sebagian atau keseluruhan isi Tesis pada jurnal atau forum ilmiah lain harus seijin dan menyertakan tim pembimbing sebagai author dan PPs UNS sebagai institusinya. Apabila dalam waktu sekurang-kurangnya satu semester (enam bulan sejak pengesahan Tesis) saya tidak melakukan publikasi dari sebagian atau keseluruhan Tesis ini, maka Prodi Ilmu Komunikasi PPs-UNS berhak mempublikasikannya pada jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh Prodi Ilmu Komunikasi PPs-UNS. Apabila saya melakukan pelanggaran dari ketentuan publikasi ini, maka saya bersedia mendapatkan sanksi akademik yang berlaku.

Surakarta, 24 September 2014

(5)

v HALAMAN MOTTO

Keikhlasan adalah bukti kesabaran yg sejati. Ketika apa yang

kamu inginkan belum tercapai, Tuhan sedang

memberitahumu untuk berusaha lebih lagi!

Kesuksesan bukanlah segalanya, kegagalan hanya proses

semata, berbuat yang terbaik adalah yang terutama

(6)

vi KATA PENGANTAR

Segala karya manusia berada di bawah kuasa Tuhan Yang Maha Esa dan

hanya oleh berkah dan anugerah-Nya pula segala proses penciptaan karya tulis ini

dapat berlangsung. Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan atas

terlaksananya sebuah tanggung jawab akademik sebagai prasyarat dalam

menunaikan pendidikan program pasaca sarjana (S2) dalam lingkup Fakultas Ilmu

Sosial dan Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Seiring dengan langkah dan waktu serta tahapan yang telah ditempuh di

bawah bimbingan Prof. Drs. Totok Sarsito, SU, MA, Ph.D dan Drs. Ahmad Adib,

M. Hum, Ph.D, akhirnya karya ini telah sampai pada proses pelaporan akhir.

Tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada pembimbing atas

pendampingan dan tuntunan yang telah diberikan. Selain itu masih banyak pihak

lain yang sudah terlibat dalam membantu proses penyusunan karya ini, maka

penulis mengucapkan terimakasih pula kepada ;

1. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret

Surakarta, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk

menyusun tesis ini.

2. Ketua Program Studi Pasca Sarjana Jurusan Ilmu Komunikasi, yang telah

memberikan izin serta persetujuan hingga penelitian ini bisa diuji.

3. Seluruh Dosen dan Staf Bagian Pengajaran Fakultas Ilmu Sosial dan

Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah membantu ketika

(7)

vii 4. Kedua orangtua saya dan seluruh keluarga besar lainnya yang telah berjasa

dalam memberikan dukungan moril dan doa sehingga memberikan

semangat dalam menyelesaikan tesis ini.

5. Seluruh mahasiswa Pasaca Sarjana Jurusan Ilmu Komunikasi angkatan

2011 atas pertemanannya selama ini, serta saran-saran akademik yang

sangat membantu dalam proses penelitian ini.

6. Serta semua sahabat, teman dan keluarga yang tidak bisa disebutkan satu

persatu. Terima kasih telah berkontribusi dalam mendukung dan

membantu ketika membuat tesis ini.

Karya ini masih jauh dari tahap sempurna, penulis menyadari akan adanya

kekurangan dalam hal penulisan maupun penyajiannya. Semoga karya yang

sederhana ini mampu menjadi setitik sinar yang berguna bagi penelitian-penelitian

atau kajian semiotika di masa mendatang.

Solo, 24 September 2014

Penulis

Muhammad Kukuh Adiguna

(8)

viii DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN ...i

HALAMAN PENGESAHAN……….…..ii

HALAMAN PERNYATAAN ...iii

HALAMAN MOTTO ...iv

KATA PENGANTAR ...v

DAFTAR ISI ...vii

ABSTRAK ...x

ABSTRACT ...xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ...10

1.3. Tujuan Penelitian ………...11

1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Teoritis ... 11

1.4.2. Manfaat Praktis ... 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Film Sebagai Media Komunikasi Massa………..….…..13

2.2 Representasi Sebagai Kontruksi Realitas Dalam Film……….……...15 2.3. Film Hollywood Sebagai Media Representasi Hero………...…18

2.3.1. Representasi Hero Dalam Aspek Maskulinitas………..………22

(9)

ix

2.3.3. Representasi Latar Belakang Sosial Seorang Hero...34

2.4. Penelitian Terdahulu……….………...41

2.5. Kerangka Pemikiran……….….……...…42

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian……….….………..44

3.2. Pengumpulan Data……….…….……….48

3.3. Analisis Data……….….………..49

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Obyek Penelitian 4.1.1. Sinopsis Film……….…..…...53

4.1.2. Data Film Megamind……….….……57

4.1.3. Tokoh-Tokoh Dalam Film Megamind……….…….…….60

4.1.4. Profil Produsen Film………..……....62

4.2. Hasil Penelitian 4.2.1. Representasi Megamind Berdasarkan Maskulinitas…….…....67

a. Nilai Maskulinitas Megamind……….………...67

b. Heroisme Pria Dalam Bias Gender……….……...79

c. Analisis Mitos……….………..87

4.2.2. Representasi Megamind Berdasarkan Perilaku Individual…...95

a. Perilaku Positif Megamind……….……...95

b. Perilaku Negatif Megamind……….………...102

c. Proses Pembentukan Perilaku Megamind……….…...114

(10)

x

4.2.3. Representasi Megamind Berdasarkan Latar Belakang Sosial....140

a. Prasangka Sosial Terhadap Megamind………….…...………....141

b. Gaya Hidup Megamind………...153

c. Analisis Mitos……….………164

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ...178

5.2. Implikasi………...183

5.3 Saran ...184

DAFTAR PUSTAKA ...186

LAMPIRAN

(11)

xi ABSTRAK

ABSTRAK Muhammad Kukuh Adiguna. S231108016. 2014. Potret Megamind Dalam Bingkai Heroisme Film Hollywood (Analisis Semiologi Representasi Hero

Dalam Film Megamind). TESIS. Pembimbing I : Prof. Drs. Totok Sarsito, Su, Ma, Ph.D. Pembimbing II : Drs. Ahmad Adib, M. Hum, Ph.D. Program Studi Ilmu Komunikasi, Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Pada dasarnya film laga merupakan film yang berorientasi mengenai seorang tokoh utama (hero) ketika menghadapi kejahatan, oleh karenanya film bergenre ini banyak memuat pesan tentang heroisme. Namun sebenarnya industri film Hollywood telah merekontruksi gagasan mengenai heroisme sehingga muncul berbagai streotipe mengenai seorang hero. Sedangkan dalam film Megamind seorang hero direpresentasikan oleh pembuat film secara unik sehingga berbeda dengan para hero pada umumnya. Oleh karena itu untuk mendeskripsikan keunikan pesan yang dibuat dalam film Megamind, maka penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisa representasi seorang hero didalam film ini.

Penelitian ini termasuk studi deskriptif kualitatif dengan pendekatan analisa semiologi model Roland Barthes. Semiologi Model Roland Barthes bekerja dengan menggunakan dua tahap signikasi, yaitu makna denotasi dan makna konotasi. Data dalam film ini diperoleh secara langsung dengan mengamati film Megamind serta mencari refrensi dari berbagai tulisan artikel, buku, internet dan lainnya. Sedangkan hasil data penelitian ini diperoleh berdasarkan pemilihan scene pada film yang berkaitan dengan nilai-nilai heroisme. Adapun nilai heroisme dalam film ini dikaji dengan merujuk pada unsur-unsur maskulinitas, perilaku, dan latar belakang yang direpresentasikan oleh seorang hero.

Temuan penelitian yang diperoleh dari scene yang ada di dalam film Megamind menunjukkan beberapa konsep yang digunakan oleh pembuat film untuk merepesentasikan Megamind sebagai seorang hero. Konsep-konsep yang digunakan oleh pembuat film memperlihatkan bagaimana kompleksitas Megamind sebagai seorang hero jika dilihat berdasarkan unsur maskulinitas, perilaku, dan latar belakang sosial. Meskipun tokoh utama dalam film ini direpresentasikan secara kompleks dan berbeda, akan tetapi ia masih memiliki sedikit persamaan dengan hero pada umumnya. Oleh karena itu dapat disimpulkan jika karakter hero dalam film ini direpresentasikan secara berbeda namun masih mempertahankan beberapa esensi heroisme versi Hollywood.

Kata Kunci: Heroisme, Latar Belakang Sosial, Maskulinitas, Perilaku, Representasi

(12)

xii ABSTRACT

Muhammad Kukuh Adiguna. S231108016. 2014. Images Megamind in Hollywood Movie Frames (Analysis Semiology of Hero Representation In Megamind Movie). THESIS. Academic Advisor I: Prof. Drs. Totok Sarsito, Su, Ma, Ph.D. Academic Advisor II: Drs. Ahmad Adib, M. Hum, Ph.D. Magisterial Program Study of Communication, Post-Graduate Program, Sebelas Maret University, Surakarta.

Basically the action movie is a film that is oriented about a main character (hero) when dealing with crime, so that genre contains many messages about heroism. But actually the Hollywood industry has reconstructed the idea of heroism that emerged various streotype about a hero. While a hero in the Megamind movie represented by filmmaker so uniquely different from the hero in general. Therefore, to describe the uniqueness of the message that is made in the Megamind movie, this research is intended to to analyze the representation of a hero in this movie.

This study includes a qualitative descriptive study analysis approach models semiology of Roland Barthes. Roland Barthes semiology model works by using two stages of significance, namely the meaning of denotation and connotations. Data in this movis is obtained directly by observing the Megamind movie and seek references from various writing articles, books, internet and others. While the results of this research data obtained by the selection of scenes in the movie are related to the values of heroism. The value of heroism in this movie studied with reference to the elements of masculinity, behavioral, and background represented by a hero.

Research results obtained from the scene in the movie Megamind demonstrate some of the concepts used by filmmakers to represent Megamind as a hero. The concepts used by the filmmakers show how the complexity of Megamind as a hero when viewed by the elements of masculinity, behavioral, and social background. Although the main character in this film represented a complex and different, but it still has little in common with the hero in general. Therefore it can be concluded if the hero character in the film is represented differently but still retain some essence of heroism Hollywood version.

Key words: Heroism, Social Background, Masculinity, Behavior, Representation

(13)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Film merupakan salah satu jenis media massa yang bersifat kompleks

karena terdiri dari beberapa unsur, misalnya seni dan teknologi. Karena terdiri dari

unsur seni maka membuat sebuah film bukanlah perkara yang mudah, dibutuhkan

kreatifitas dari pembuatnya. Tetapi perlu diingat bahwa dalam memproduksi film

tidak hanya sekedar kreatifitas saja yang dibutuhkan, masih diperlukan lagi faktor

modal sebagai penentunya.

Dengan kebutuhan akan tenaga kerja kreatif dan modal besar muncullah

Hollywood sebagai dominator dalam industi film. Hollywood sebenarnya adalah

sebuah distrik di Amerika yang memiliki sejarah panjang dalam perfilman negeri

Paman Sam, oleh karenanya tempat ini dijadikan simbol industri film Amerika.

Satu hal yang pasti mengenai Hollywood adalah sepak terjangnya yang tidak perlu

diragukan lagi dalam dunia perfilman. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya

masyarakat di seluruh penjuru dunia yang menantikan film produksi Hollywood.

Fenomena kesuksesan Hollywood dapat dilihat dari sudut pandang Adi

(2008:XV) yang menuturkan bahwa, “para pembuat film di Hollywood

mengetahui apa yang ingin dilihat oleh penonton dalam karyanya itu, dengan tetap

menjaga sisi artistik dan kualitas penggarapan. Hal ini mungkin dapat menjawab

pertanyaan tentang mengapa film-film Amerika begitu disukai oleh penonton

(14)

2 Dominasi film Hollywood jelas terasa di Indonesia, hal ini telihat melalui

kebiasaan masyarakat yang lebih memilih film Hollywood daripada film dari negeri sendiri. Berdasarkan survei oleh Direktorat Perfilman dan BPS, pada tahun

2011 menunjukkan jumlah penonton film di Indonesia lebih banyak menonton

film impor (80,22%) dibandingkan film lokal (19,78%).

Film impor yang paling digemari berasal dari Amerika/Eropa (69,03 %),

China/Hong Kong (6,72%), India (2,43%), dan lainnya (2,04%). Sejalan dengan

hal itu, film yang paling banyak diputar di bioskop tanah air adalah film impor

(71%) dengan rincian, film Amerika/Eropa 56,20%, China/Hong Kong 4,23 %,

India 0,48%, dan lainnya 0,10%. Sedangkan film Indonesia mendapatkan jumlah

pemutaran sebanyak 28,99% dari seluruh bioskop di Indonesia.

Menonton film Hollywood memang bukan suatu kesalahan, namun perlu

diperhatikan bahwa film sejatinya adalah sebuah media massa yang memiliki

efek-efek tertentu bagi penonton. Berdasarkan Nurudin (2010:228), efek media

massa bisa berwujud tiga hal: efek kognitif (pengetahuan), afektif (emosional dan

perasaan), dan behavioral (perubahan perilaku). Efek yang terjadi bagi tiap

individu memang berbeda-beda, akan tetapi efek kognitif seringkali terjadi bagi

individu yang menonton film.

Pada dasarnya, perubahan efek kognitif terjadi melalui sebuah proses

transfer pemikiran dari pembuat film terhadap penonton. Untuk menunjang proses

tersebut, seorang sutradara menggunakan pesan-pesan verbal maupun non-verbal

(15)

3 yang dikemukan oleh Van Zoest yang dikutip oleh Sobur (2001:128)bahwa “film

dibangun dengan tanda-tanda semata. Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem

tanda yang bekerjasama dengan baik untuk mencapai efek yang diharapkan.”

Berbagai tanda bahasa yang saling berelasi kemudian akan membentuk

teks (text). Istilah teks sendiri berasal dari Bahasa Latin texture yang berarti rajutan, sehingga teks dapat diartikan sebagai rajutan dari berbagai tanda bahasa

yang melahirkan makna-makna. Makna inilah yang kemudian disebut representasi

(Burton dalam Junaedi, 2007:64). Oleh sebab itu ketika membicarakan

tanda/simbol maka kita tidak bisa mengesampingkan representasi, karena

representasi merupakan bagian yang melekat dari simbol-simbol dalam suatu film.

Dalam prakteknya, sineas-sineas Hollywood telah terbukti mampu

memaksimalkan fungsi sebuah simbol dalam menyampaikan gagasannya,

misalnya mengenai figur seorang hero. Saat ini sosok hero yang direpesentasikan Hollywood berada dalam posisi yang kuat dibenak penonton. Maka sebab itu

tidak mengherankan jika film-film Hollywood sangat mempengaruhi pengetahuan

para penonton di berbagai penjuru dunia mengenai figur seorang hero.

Dalam kamus Webster’s New World, hero didefiniskan sebagai: (1) seseorang yang dikagumi karena kualitas atau pencapaiannya dan dianggap

sebagai model; (2) orang yang dikagumi karena keberaniannya, kebaikannya, atau

kekuatannya, khususnya dalam perang; (3) figur sentral dalam suatu peristiwa

atau periode penting, dihormati karena kualitas yang luar biasa. Tiga hal tersebut

(16)

4 tertentu Hollywood menambah kriteria-kriteria lain berdasarkan versi mereka

untuk merepesentasikan hero. Secara spesifik Hollywood menggambarkan kriteria seorang hero melalui ciri-ciri tertentu misalnya warna kulit.

Berdasarakan Jiyantoro (2010: 130), film-film produksi Hollywood lebih sering menampilkan sosok hero adalah berkulit putih Amerika sedangkan penjahat berkulit hitam, Asia, Arab, dan Latin. Jadi film Hollywood mempunyai

kekuatan untuk membentuk realitas bahwa hero adalah orang kulit putih dan penjahat adalah kulit hitam, Asia, Arab dan Latin, sehingga ras kulit putih

memiliki superioritas dalam melawan penjahat.

Disamping warna kulit, Hollywood juga membentuk citra seorang hero

lewat aspek maskulinitas. Sosok hero seringkali ditampilkan berupa laki-laki muda, tampan, dan bertubuh atletis. Tubuh atletis seorang hero digambarkan seperti tinggi, berotot, dan memiliki perut sixpack. Hal ini didukung pernyataan Adi (2008:104), bahwa simbol hero dalam film-film Hollywood direpresentasikan melalui tokoh protagonis sebagai sosok yang kuat dengan tubuh berotot, karena

seorang hero harus melakukan tindakan-tindakan berani dan berbahaya untuk melindungi yang lemah.

Wibowo (2004:171) menggambarkan bahwa akar ”keperkasaan” laki-laki

dapat dipulangkan dengan menengok tradisi Yunani kuno yang kemudian

dilanjutkan dengan tradisi Romawi untuk akhirnya diserap dalam budaya

kapitalistik barat modern. Unsur maskulinas dalam budaya Yunani ini,

(17)

5

gagah, “berotot kawat dan bertulang besi”. Sebuah perwujudan yang kemudian

diterjemahkan oleh budaya Romawi melalui kegagahan kaisar Romawi yang

memunculkan heroisme. Tak heran jika kemudian semangat heroisme ini juga

dimunculkan dalam budaya kapitalistik modern, termasuk film.

Pada era 1980-an, Hollywood semakin memperkuat mitos tokoh hero

berotot yang ditandai dengan kehadiran Arnold Schwarzenegger, Sylvester

Stalone, dan Jean Claude Van Damme. Kala itu, ketiganya tampil dominan dalam

film box office Hollywood, dimana dalam setiap filmnya menampilkan bentuk tubuh bagian atas yang berotot dan berminyak. Sebagai pelengkap identitas

maskulin, adegan-adegan dalam film dipenuhi aksi menantang maut, perkelahian,

dan tembak menembak yang tiada henti dari awal hingga akhir film.

Contoh menarik adalah ketika Sylvester Stalone membintangi film Rambo

yang menceritakan seorang tentara Amerika yang sedang berperang. Berbeda

dengan tentara dalam dunia nyata yang mengenakan seragam, Rambo hanya

memakai kaos tipis sehingga tubuh berotot Stalone terlihat dengan jelas. Tidak

sebatas itu saja Rambo juga digambarkan sebagai sosok pemberani yang memiliki

kemampuan bertarung yang handal seperti berkelahi dan menembak, kombinasi

ini membuat Rambo sangat percaya diri ketika menghadapi marabahaya dan

mampu mengalahkan puluhan bahkan ratusan musuhnya.

Kasus Rambo hanyalah satu diantara banyak kasus lainnya yang

(18)

6 bermunculan, akibatnya di penghujung tahun 1990-an nama-nama seperti Arnold,

Sylvester Stalone, dan Van Damme mulai tergusur, begitu pula nasib hero yang berotot mulai tergantikan dengan sosok hero yang baru.

Meskipun sosok Arnold dan Stalone mulai ditinggalkan, akan tetapi tahun

2000-an menjadi awal baru bagi kehadiran sosok hero berotot lainnya. Para sineas Hollywood kembali memutar otaknya agar sosok maskulin bisa kembali menjadi

primadona, sebagai jawabannya mereka kemudian mengadaptasi sosok-sosok

hero dari dunia komik Amerika (Disney Studio, Marvel Comics, dan DC Comic) kedalam film-filmnya.

Jika melihat kebelakang, Hollywood sudah sering mengangkat cerita

komik menjadi sebuah film, bahkan beberapa film terbilang sukses. Namun di

periode 1990-an banyak film yang diadopsi dari cerita komik berakhir gagal

seperti Spawn (1997) dan Batman and Robin (1997). Oleh karenanya di periode

2000-an Hollywood menggunakan berbagai cara agar strategi barunya sukses.

Alhasil beberapa langkah diambil, misalnya penggunaan teknologi yang

mukhtahir seperti CGI (Computer Integrated Imagery) dan penggarapan cerita yang lebih baik, hasilnya muncullah film X-Men di tahun 2000.

Film X-Men tidak saja mengusung cerita dan teknologi baru, tetapi juga

menandai babak baru bagi mitos hero maskulin. Dalam film X-Men digambarkan bahwa tokoh utama, Wolverine (Hugh Jackman) adalah hero berkekuatan super yang pemberani dan memiliki tubuh besar berotot. Dengan menampilkan karakter

(19)

7 film yang menuai pujian dan mampu menarik banyak penonton. Keberhasilan

X-Men menunjukkan bahwa sekali lagi Hollywood berhasil membawa kemegahan maskulinitas seorang hero setelah era Stalone dan Arnold.

Pasca X-Men, Hollywood kembali menghadirkan sosok hero berkekuatan super lewat film Spiderman (2002). Film ini mengisahkan seorang pemuda

bernama Peter Parker (Tobby Marguire) yang tiba-tiba mendapatkan kekuatan

super. Dengan kekuatannya itu tubuh Peter menjadi lebih berotot dan kuat, ia pun

menjelma menjadi sosok yang pemberani dalam menghadapi siapa saja penjahat

yang menghadangnya.

Film Spiderman menjadi puncak ksesuksesan tokoh-tokoh hero yang diangkat dari cerita komik, hal ini lantas mendorong studio film Hollywood untuk

terus memproduksi cerita-cerita komik ke layar lebar. Selanjutnya semakin

banyak tokoh komik yang menghiasi bioskop sebut saja Batman, Superman, Thor,

Captain America, Fantastic Four, Iron Man, dan lain-lain. Setiap tokoh hero

memiliki ceritanya masing-masing, misalnya tentang mahkluk luar angkasa

seperti Thor dan Super-Man, atau super hero yang lahir dari percobaan ilimiah

seperti Captain America. Kekuatan dan keahlian yang dimiliki masing-masing

hero juga semakin beragam, inilah yang menjadi kunci kesuksesan Hollywood agar mampu menarik lebih banyak penonton.

Meskipun memiliki inti cerita yang berbeda-beda namun terdapat satu

esensi yang sama dalam film-film seperti Spiderman dan X-Men, yaitu seorang

(20)

8 tersebut mengindikasikan bahwa sosok hero dari dunia komik tidak hanya berhasil membuat orang berbondong-bondong menonton bioskop, namun juga

sukses membawa kembali hero maskulin berototnya menghiasai layar lebar.

Ditengah kesuksesan sosok-sosok hero berotot, Hollywood mulai berinovasi dengan menampilkan seorang hero dengan nuansa yang berbeda lewat film Megamind. Megamind adalah film animasi 3 dimensi bergenre comedy-action yang distutradarai oleh Tom McGrath. Film ini diproduksi DreamWorks Animation dan didistribusikan oleh Paramount Pictures. Pendapatan kotor film

Megamind mencapai $ 321 juta dari jumlah anggaran $ 130 juta dan berhasil

menduduki peringkat puncak box office selama dua minggu (5-18 November 2010) sejak pemutaran perdananya.

Terlepas dari keberhasilan finansialnya, film Megamind memiliki banyak

sisi unik untuk dianalisa. Jika selama ini hero digambarkan sebagai laki-laki kuat dan berfisik menawan maka sosok Megamind sangat kontras. Megamind

merupakan laki-laki lemah dengan tubuh sangat kurus, kulitnya biru pucat, dan

memiliki ukuran kepala yang terlalu besar untuk tubuhnya. Selain bentuk fisiknya

yang “tidak ideal”, kepribadian (personality) yang dimilikinya juga tidak mencerminkan seorang hero. Jika seorang hero ditampilkan sebagai orang bermental baja, pemberani, dan gemar menolong, maka Megamind justru

sebaliknya, ia bersifat pengecut dan gemar berbuat onar.

Tidak sebatas bentuk fisik dan kepribadiannya saja yang digambarkan

(21)

9 Megamind adalah seorang anak yang dibesarkan dari penjara oleh para

narapidana. Tumbuh bersama narapidana yang identik sebagai „sampah

masyarakat‟ membuat Megamind dikucilkan oleh orang-orang disekitarnya.

Bahkan ketika bersekolah Megamind harus mengenakan baju narapidana lengkap

dengan borgol yang mengikat kaki dan tangannya.

Megamind sebenarnya sudah berusaha agar bisa diakui dan menarik

perhatian orang disekitarnya dengan berbagai alat ciptaannya, namun malang

baginya setiap alat buatannya justru berujung kekacauan. Kekacauan yang

ditimbulkan Megamind sering membuat orang disekitarnya jengkel, akhirnya

Megamind semakin dijauhi oleh teman dan gurunya ketika ia masih kecil. Hal

yang dialami Megamind tentu jauh dari hingar bingar sosok hero seperti Spiderman dan Superman yang dipuja-puji oleh orang disekelilingnya.

Nasib Megamind yang dibesarkan dalam penjara tentu berbeda dengan

kebanyakan hero yang diceritakan sebagai masyarakat golongan atas, ambil contoh Batman (Bruce Wayne) dan Iron Man (Tony Stark) yang merupakan

milyuner kaya raya. Kehidupan sosial Megamind tentu berlawanan dari

kebanyakan hero seperti yang dikatakan Devereux (2003: 124) bahwa, pahlawan-pahlawan dari Barat, biasanya berkulit putih dan berasal dari kelas menengah,

selalu dikenal dalam peran seperti aktris, politisi atau bintang pop.

Gambaran mengenai Megamind yang berbeda jika dibandingkan dengan

(22)

10 berdasarkan isi pesan dalam film itu. Isi pesan dalam film Megamind dapat

ditinjau dari simbol-simbol yang digunakan oleh pembuat film, alasan mengapa

simbol-simbol tersebut dipilih, serta makna-makna yang tersirat dari simbol

tersebut berdasarkan latar belakang sosial-budaya masyarakat dimana film

Megamind dibuat.

1.2. Rumusan Masalah

Sejauh ini kita melihat seorang hero sebagai figur yang berperilaku lurus dan maskulin karena memiliki tubuh yang gagah, kuat dan berjiwa pemberani.

Selain itu pada umumnya hero berasal dari kelas sosial yang bagus dan golongan kulit putih. Namun Megamind justru menampilkan sosok hero yang berbeda dari stereotipe hero yang terlihat selama ini. Megamind digambarkan memiliki banyak kekurangan, mulai dari perilakunya yang nakal, fisik tidak menawan dan lemah,

hingga latar belakang sosial yang buruk dan bukan orang kulit putih.

Sosok Megamind yang berbeda dari gambaran hero selama ini kemudian akan memunculkan tanda tanya. Pertanyaan itu terletak pada simbol-simbol apa

yang digunakan oleh pembuat film supaya sosok Megamind yang berbeda

tersebut dapat diterima sebagai hero. Oleh sebab itu penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui simbol-simbol apa saja yang digunakan oleh sutradara

(pembuat film) untuk memberikan pembenaran agar Megamind dapat diterima

sebagai representasi seorang hero.

(23)

11

1.3. Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian merupakan jawaban dari rumusan masalah

pada penelitian ini. Oleh karena itu tujuan utama penelitian ini adalah

mendeskripsikan simbol-simbol yang menjadi sumber pembenaran Megamind

sebagai representasi seorang hero. Sedangkan secara lebih khusus tujuan penelitian meliputi beberapa hal sebagai berikut:

a. Mendeskripsikan simbol-simbol pembenaran yang digunakan oleh

sutradara untuk merepresentasikan maskulinitas Megamind sebagai

seorang hero.

b. Mendeskripsikan simbol-simbol pembenaran yang digunakan oleh

sutradara untuk merepresentasikan perilaku Megamind sebagai

seorang hero.

c. Mendeskripsikan simbol-simbol pembenaran yang digunakan oleh

sutradara untuk merepresentasikan latar belakang Megamind sebagai

seorang hero.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian ini akan memperkaya kajian teori-teori

komunikasi, khususnya di bidang media massa seperti film. Sebagai

tambahan, penelitian ini bisa menjadi referensi untuk penelitian lain yang

serupa. Penelitian ini juga diharapkan mampu membantu bagi akademisi

(24)

12 dilakukan oleh industri Hollywood ketika membentuk suatu mitos

kedalam film.

1.4.2. Manfaat Praktis

Ditengah kesuksesan film-film Hollywod di Indonesia, maka penelitian ini dapat memberikan wawasan kepada insan perfilman di Indonesia

mengenai cara kerja film Hollywood dalam membentuk citra seorang hero.

Secara tidak langsung, dengan mengamati film-film Hollywood dapat

membantu para pelaku industri film Indonesia untuk memahami

bagaimana realitas sosial masyarakat di Amerika Serikat dapat disukai

oleh penonton di Indonesia. Selanjutnya diharapkan film-film Indonesia

mampu mengadopsi berbagai gagasan-gagasan unik mengenai heroisme

dalam film Hollywood.

(25)

13 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Film Sebagai Media Komunikasi Massa

Definisi komunikasi massa yang paling sederhana dikemukakan oleh

Bittner dalam Ardianto & Kumala (2004:3), yakni pesan yang dikomunikasikan

melalui media massa pada sejumlah orang. Sedangkan, Joseph Devito,

mengemukakan definisi komunikasi massa ke dalam dua item. Pertama adalah

komunikasi massa adalah komunikasi yang ditujukan kepada massa, kepada

khalayak yang luar biasa banyaknya. Kedua, komunikasi massa adalah

komunikasi yang disalurkan oleh pemancar-pemancar audio atau visual (Ardianto

& Kumala, 2004:6).

Pada hakikatnya, seseorang yang melakukan komunikasi melalu media

massa perlu mengetahui bahwa terdapat karakteristik-karakteristik tertentu dalam

komunikasi massa. Berdasarkan Ardianto & Kumala (2004:7-12) komunikasi

massa diantaranya memiliki karakteristik sebagai berikut: (a) Komunikator

terlambangkan; (b) Pesan bersifat umum; (c) Komunikannya anonim dan

heterogen; (d) Komunikasi massa menimbulkan keserempakan; (e) Komunikasi

mengutamakan isi ketimbang himbauan; (f) Komunikasi massa bersifat satu arah;

(g) Stimulasi alat indra terbatas; dan (h) Umpan balik tertunda (delayed).

Adapun beberapa media komunikasi yang termasuk dalam media massa

misalnya radio dan televisi (media elektronik), surat kabar dan majalah (media

(26)

14 massa adalah film bioskop. Film sendiri pada dasarnya merupakan salah satu

media yang menggabungkan antara aspek audio dan visual, meskipun pada awal

sejarahnya film tidak mengandung unsur audio (film bisu).

Karena terdiri dari aspek audio visual, film sekilas terlihat sama seperti televisi, namun yang menjadi perbedaannya adalah televisi cenderung

menyampaikan banyak pesan sekaligus kepada audiens, baik melalui program

yang mereka sajikan maupun iklan yang mereka tayangkan. Sedangkan film lebih

memfokuskan pesannya pada satu inti atau tema cerita yang mencerminkan realita

sosial di sekitar tempat film itu diciptakan.

Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 Pasal 1 tentang

perfilman, film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan

media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan

atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan. Namun menurut Turner, dalam

perkembangan teori film mulai ada upaya dari beberapa teoritisi untuk mencapai

perspektif yang lebih mampu menangkap substansi film. Film tak lagi dimaknai

sekedar sebagai karya seni (film as arts), tetapi lebih dimaknai sebagai praktik sosial (Irawanto, 1999:11).

Dalam perspektif praktik sosial, film tidak dimaknai sebagai ekspresi seni

pembuatnya, tetapi melibatkan interaksi yang kompleks dan dinamis dari

elemen-elemen pendukung proses produksi, distribusi maupun eksebisi. Bahkan lebih luas

lagi perspektif ini mengansumsikan interaksi antara film dengan ideologi

(27)

15 melihat kompleksitas aspek-aspek film sebagai medium komunikasi massa yang

beroperasi di dalam masyarakat (Irawantoro, 1999:11).

Sementara menurut McQuail (1987:13), dalam lingkup komunikasi film

berperan sebagai sebuah sarana baru yang digunakan untuk menyebarkan hiburan,

serta menyajikan berita, peristiwa, musik, drama, lawak dan sajian teknis lainnya

yang mengandung informasi kepada mayarakat umum. Dengan perannya dalam

menyebarkan informasi maka film bisa menjadi agen sosialisasi mengenai

penggambaran budaya dalam masyarakat.

Terkadang peran film sebagai agen sosialisasi mampu mendahului

agen-agen sosialisasi tradisional seperti keluarga, sekolah, atau kelompok-kelompok

agama, hal ini dikarena film mampu membangun hubungan secara personal

dengan individu. Karena bersifat personal, tiap individu akan menanggapi pesan

film melalui rangkaian proses psikologi serta pengaruh pengalaman sosial dan

budaya yang dimilikinya masing-masing. Selain itu tingkat kecerdasan dan

pengetahuan yang dimiliki oleh tiap individu ikut berperan, sehingga tanggapan

ataupun dampak yang dialami oleh masing-masing individu tidak harus sama

persis terhadap sebuah film yang sama.

2.2. Representasi Sebagai Kontruksi Realitas Dalam Film

Menurut Hall (1997:28), representasi yaitu tindakan menghadirkan sesuatu

baik orang, peristiwa, maupun objek lewat sesuatu yang lain di luar dirinya,

biasanya berupa tanda atau simbol. Representasi belum tentu bersifat nyata tetapi

(28)

16 Sebaliknya menurut Burton (2012), kata representasi merujuk kepada

penggambaran. Namun demikian kata itu tidak hanya sekadar tentang penampilan

di permukaan tapi juga menyangkut tentang makna yang dikonstruksi dibaliknya.

Melalui media massa, terutama film, kita diberikan representasi tentang dunia dan

bagaimana cara kita nantinya akan memahami dunia tersebut. Namun perlu

diingat bahwa representasi dibuat dengan suatu tujuan tertentu oleh pembuatnya,

sehingga tanpa disadari bentuk-bentuk representasi tersebut menjelma sebagai

suatu „pembenaran‟.

Untuk menggambarkan ekspresi hubungan antara teks media (film)

dengan realitas, konsep representasi sering digunakan. Berdasarkan maknanya,

representasi (to represent) bisa didefinisikan sebagai to stand for. Hal tersebut bisa menjadi sebuah tanda (a sign) untuk sesuatu atau seseorang, sebuah tanda tidak sama dengan realitas yang direpresentasikannya tapi dihubungkan dengan

mendasarkan diri pada realitas yang menjadi referensinya (Noviani, 2002:61).

Turner mengatakan bahwa makna film sebagai representasi dari realitas,

berbeda dengan film sebagai refleksi dari realitas. Sebagai refleksi kenyataan,

sebuah film hanya memindahkan kenyataan ke layar tanpa mengubah kenyataan

tersebut, misalnya film dokumentasi, upacara kenegaraan atau film dokumentasi

perang. Sedangkan sebagai representasi dari realitas, film membentuk dan

menghadirkan kembali realitas berdasarkan kode-kode, konvensi-konvensi, dan

ideologi dari kebudayaannya (Turner dalam Sobur, 2003:127-128). Jadi film

sebagai repesentasi realitas masyarakat berarti film adalah perwujudan,

(29)

17 Film merangkum aspek-aspek realitas sosial. Tetapi ia tidak

merepresentasikan aspek-aspek tersebut secara tidak jujur. Ia menjadi cermin

yang mendistorsi bentuk-bentuk obyek yang direfleksikannnya tetapi juga

menampilkan citra-citra dalam visinya. Film tidak berbohong tetapi juga tidak

menyatakan yang sebenarnya (Ratna Noviani, 2002).

Menurut Burton dalam Junaedi (2007:65), ada beberapa unsur dalam

representasi yang lahir dari teks media massa yang meliputi:

a. Stereotipe, adalah pelabelan terhadap sesuatu yang sering digambarkan secara negatif.

b. Identitas, meliputi pemahaman kita terhadap kelompok yang direpresentasikan. Pemahaman ini menyangkut siapa mereka, nilai apa yang dianutnya dan bagaimana mereka dilihat oleh orang lain dari sudut pandang positif maupun negatif.

c. Pembedaan (difference), yaitu mengenai pembedaan antar kelompok sosial, dimana satu kelompok diposisikan dengan kelompok yang lain. d. Naturalisa si (naturalization), adalah strategi representasi yang

dirancang untuk mendesain dan menetapkan difference, serta untuk menjaganya agar kelihatan alami selamanya.

e. Ideologi, representasi merupakan relasinya dengan ideologi dianggap sebagai kendaraan untuk mentransfer ideologi dalam rangka membangun dan memperluas relasi sosial.

Selanjutnya dalam proses representasi seorang pembuat film telah

menyeleksi pesan-pesan yang ingin disampaikannya kepada penonton. Alhasil

menurut Burton (2012), “pembuat film telah mengkonstruksi berbagai

representasi terhadap kelompok-kelompok sosial dengan membentuk berbagai

tipe orang tertentu. Representasi-representasi terhadap orang-orang ini

mengungkapkan banyak hal dengan budaya kita dan kepercayaan kita.

Representasi-representasi ini dapat merepresentasikan nilai-nilai dan dapat

memperkukuh nilai-nilai tersebut”.

(30)

18

2.3. Film Hollywood Sebagai Media Representasi Hero

Setiap generasi dalam masyarakat pasti memiliki figur seorang hero

(pahlawan) yang telah menjadi bagian dari budaya masyarakat tersebut.

Masyarakat Yunani Kuno mengenal sosok hero legendaris seperti Herkules dan Alexander Agung. Sedangkan masyarakat Indonesia sendiri telah mengenal sosok

hero dalam diri Arjuna dan Gatot Kaca.

Cerita mengenai para hero sudah sejak lama diceritakan secara tradisional, baik berupa mitos yang disampaikan dari mulut ke mulut hingga melalui catatan

sejarah. Namun seiring majunya peradaban manusia, cara maupun media untuk

menceritakan seorang hero semakin berkembang. Di era modern para hero hadir melalui berbagai produk budaya populer dalam bentuk cerita komik, sinetron,

film, hingga video game.

Walaupun sepak terjang hero muncul melalui berbagai media, namun faktanya menunjukkan bahwa cerita hero dalam film ternyata mampu menjangkau lebih banyak konsumen. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika tokoh hero

menjadi lebih populer melalui film dibandingkan bentuk aslinya dalam komik

maupun novel. Jadi diantara berbagai produk budaya populer, film, terutama film

Hollywood menjadi yang paling berpengaruh dalam merepesentasikan hero.

(31)

19 protagonis yang mewakili kebenaran dengan antagonis yang mewakili kejahatan.

Karena protagonis seringkali melakukan tindakan-tindakan heroik dalam membela

kebenaran membuat mereka dianggap sebagai simbol pahlawan. Formula inilah

yang kemudian membentuk paham heroisme, dan paham tersebut yang

berpengaruh besar ketika merepesentasikan seorang hero dalam film Hollywood.

Pada periode 1980 hingga 1990-an industri Hollywood sangat gencar

dalam memproduksi film laga. Alhasil beberapa pemeran film laga menjadi ikon

seorang hero, sebut saja beberapa nama seperti Sylvester Stallone, Arnold Schwarzenegger, Bruce Willis, dan Jean-Claude Van Damme. Namun diakhir

periode 1990-an, nama-nama tersebut sedikit demi sedikit mulai tenggelam karena

film-film yang mereka perankan dianggap monoton dan membuat penonton

bosan. Hal ini kemudian mendorong produsen film Hollywood mengambil

langkah-langkah lain, salah satunya adalah mengangkat cerita hero berkekuatan super yang diadaptasi dari komik ataupun novel. Film-film laga seperti ini biasa

disebut sebagai American Superhero Film.

Hollywood melalui American Superhero Film sukses memanfaatkan momentum di akhir tahun 1990-an dan awal 2000-an dengan meluncurkan film

The Matrix (1999) dan X-Men (2000). Selanjutnya, Hollywod berhasil mengemas

genre ini menjadi yang paling digemari penonton hingga sekarang, hal itu bisa

dilihat dari popularitas dan pendapatan tinggi yang diraihnya dalam beberapa

tahun terakhir. Tahun 2012, Hollywood memproduksi film The Avangers yang

(32)

20 waktu, dibawah film Avatar dan Titanic. Sedangkan berikut ini adalah daftar

pendapatan tertinggi American Superhero Films yang diproduksi Hollywood:

Tabel 2.1 Highest-Grossing American Superhero Film

No Film Penghasilan Tahun

1 The Avangers $1,511,757,910 2012

2 Iron Man 3 $1,179,951,000 2013

3 Transformers: Dark of the Moon $1,123,746,996 2011

4 The Dark Knight Rises $1,084,439,099 2012

5 The Dark Knight $1,004,558,444 2008

6 Spider-Man 3 $890,871,626 2007

7 Transformers: Revenge of the Fallen $836,303,693 2009

8 Spider-Man $821,708,551 2002

9 Spider-Man 2 $783,766,341 2008

10 The Amazing Spider-Man $752,216,557 2012

Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_highest-grossing_films

Pada perkembangan saat ini, Hollywood melebarkan genre film laga

hingga menyentuh ranah film animasi. Jika awalnya kebanyakan film animasi

hanya mengangkat tema seperti; komedi, fantasi, dan petualangan, namun kini

mulai bermunculan film-film animasi dengan format laga-komedi. Makin

beragamnya tema yang diangkat dalam film animasi menunjukkan upaya

Hollywood untuk menjangkau pasar yang lebih luas. Jika dahulu film animasi

difokuskan untuk kalangan anak-anak, tetapi saat ini film animasi mampu

menjangkau kelompok-kelompok usia remaja hingga dewasa. Hal ini nampaknya

telah berhasil bagi Hollywood yang mampu meraih keuntungan yang sangat besar

dari film animasi. Berikut ini adalah tabel film animasi berpendapatan tertinggi:

(33)

21 Tabel 2.2 Sepuluh Film Animasi Hollywood Berpendapatan Terbesar

Rank Film Studio Penghasilan Tahun

1 Sherk 2 DreamWorks $919,838,758 2004

2 Ice Age: Dawn of the Dinosaurs BlueSky $878,701,244 2003

3 Finding Nemo Disney/Pixar $864,625,978 2003

4 Shrek The Third DreamWorks $798,958,162 2007

5 The Lion King Buena Vista/Walt Disney $783,841,776 1994

6 Up Disney/Pixar $683,807,981 2009

7 Ice Age: The Meltdown 20th Century Fox $655,388,158 2006

8 Ratatouille Disney/Pixar $643,707,397 2007

9 Kung Fu Panda DreamWorks SKG $631,736,484 2008

10 The Incredibles Disney/Pixar $631,442,092 2004

Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Animasi

Dari tabel diatas terlihat bahwa dalam sepuluh tahun terakhir, beberapa

film animasi mampu meraih pendapatan kotor hingga diatas $500.000.000.

Keuntungan besar dari film animasi tentunya turut berkontribusi besar dalam

mempertebal kocek para pelaku bisnis Hollywood. Selain itu, tabel diatas juga

menunjukkan bahwa film animasi dengan genre laga-komedi mulai disukai oleh

penonton, hal ini terlihat melalui film Kung Fu Panda dan The Incredibles yang menempati urutan sembilan dan sepuluh dalam tabel. Kedua film ini kemudian

diikuti jejaknya oleh film Megamind yang diproduksi Dream Works tahun 2010.

Film animasi bergenre laga-komedi memang belum menjadi yang paling

digemari oleh penonton, namun sama halnya dengan film laga umumnya, film ini

juga menjadi media dalam merepesentasikan figur seorang hero. Oleh karenanya seorang pembuat film akan menggunakan cara-cara tertentu untuk

(34)

22 merepesentasikan gagasannya mengenai sosok seorang hero seperti dalam film

Kung Fu Panda, The Incredibles, ataupun Megamind.

Cara-cara pembuat film dalam merepesentasikan gagasannya bisa ditinjau

dari pernyataan Eriyanto yang menyebutkan bahwa ada dua hal terkait dengan

representasi. Pertama, apakah seseorang, kelompok atau gagasan ditampilkan

sebagaimana mestinya, apa adanya ataukah diburukkan. Kedua, bagaimana

representasi tersebut ditampilkan, dengan kata, kalimat, eksentuasi dan bantuan

gambar macam apa seseorang, kelompok, atau gagasan tersebut ditampilkan

(Eriyanto, 2006:113).

Berdasarkan pernyataan Eriyanto diatas, maka bisa diasumsikan bahwa

masalah yang timbul ketika Hollywood merepresentasikan seorang hero

mencakup dua hal. Pertama, adalah bagaimana mekanisme simbol/tanda yang

digunakan oleh produsen film Hollywood dalam membentuk figur seorang hero. Sedangkan yang kedua yaitu apakah sosok hero yang ditampilkan oleh film-film Hollywood bersifat apa adanya sesuai dengan realita yang sesungguhnya, ataukah

dikontruksikan menjadi lebih buruk atau lebih baik dari realita sebenarnya.

Cara-cara para pembuat film dalam merepesentasikan figur seorang hero

di dalam film laga dapat ditinjau dari tiga aspek, meliputi:

2.3.1. Representasi Hero Dalam Aspek Maskulinitas

Meskipun Hollywood membagi film laga menjadi berbagai genre, namun

mayoritas film tersebut umumnya memiliki persamaan, yaitu inti ceritanya

(35)

23 aksi-aksi heroik tersebut, para pembuat film sebenarnya menyelipkan gagasan

maskulinitas melalui visualisasi tubuh yang gagah berotot. Jika dulu hero berotot sangat identik dengan Arnold dan Stalone, maka kini gambaran tersebut tampil

melalui superhero yang mengenakan kostum ketat. Selanjutnya, produsen film Hollywood juga berusaha meningkatkan kesan maskulin melalui adegan-adegan

perkelahian ataupun konfrontasi yang hanya mempertotonkan aspek kekuatan dan

keberanian. Dampaknya citra hero dalam film Hollywood lebih ditekankan pada ukuran fisik, kekuatan, dan kemampuan dalam menyelesaikan masalah.

Berbicara mengenai representasi maskulin, kita bisa menyimak pernyataan

Adi (2008:104) yang menyebutkan bahwa simbol hero dalam film Hollywood direpresentasikan melalui tokoh protagonis sebagai sosok yang kuat dengan tubuh

berotot karena seorang hero harus melakukan tindakan-tindakan berani dan berbahaya untuk melindungi yang lemah. Pernyataan ini seakan-akan menegaskan

bahwa kekuatan dan bentuk tubuh ideal merupakan persyaratan yang harus

ditampilkan oleh setiap hero.

Sedangkan kekuatan yang dimiliki seorang hero seringkali digunakan

untuk melindungi yang lemah. Dalam konteks ini „orang-orang yang lemah‟ di

dalam film cenderung mengarah pada golongan tertentu, salah satunya adalah

kaum perempuan. Dalam film-film laga Hollywood, kebanyakan kaum

perempuan diposisikan sebagai golongan yang lemah dan harus diselamatkan oleh

pasangan prianya.

(36)

24 Peran pria sebagai pahlawan dan perempuan sebagai korban adalah salah

satu contoh stereotipe dalam citra laki-laki (maskulin) dan perempuan (feminis).

Secara tegas stereotype ini membentuk perbandingan yang jauh berbeda antara laki-laki dan perempuan, hal tersebut dapat ditelusuri dalam tabel berikut ini:

Tabel 2.3 Perbedaan Stereotipe Laki-Laki dan Perempuan

No Men are (should be) Women are (should be)

1 Masculine Feminine

2 Dominant Submissive

3 Strong Weak

4 Aggressive Passive

5 Intelligent Intuitive

6 Rational Emotional

7 Active (do things) Communicative (talk about things)

No Men like: Women Like:

1 Cars/technology Shopping/make up

2 Casual sex with many partners Committed relationship

Sumber: Helen MacDonald dikutip oleh Novi Kurnia (2004:19)

Dari tabel diatas dapat dipahami bahwa stereotype menjadi sumber

pembenaran bahwa pria memang „diharuskan‟ menjadi pahlawan, karena ia

dipandang lebih kuat, agresif, dan aktif. Sebaliknya perempuan ditempatkan

dalam karakter yang lemah dan pasif sehingga wajib bagi para pria untuk

menolongnya. Sebagai tambahan Priyo Soemandoyo (1999) menyebutkan bahwa

pria digambarkan memiliki fisik besar, agresif, prestatif, dominan-superior, asertif

(37)

25 Pada perkembangan saat ini sudut pandang mengenai maskulinitas

semakin berkembang. Menurut Barker (2007:1), secara umum maskulinitas

tradisional menilai tinggi nilai-nilai, antara lain kekuatan, kekuasaan, ketabahan,

aksi, kendali, kemandirian, kepuasan diri, kesetiakawanan, dan kerja. Sedangkan

yang dipandang rendah adalah hubungan interpersonal, kemampuan verbal,

kehidupan domestik, kelembutan, komunikasi, perempuan, dan anak-anak.

Namun saat ini nilai-nilai yang dijunjung oleh laki-laki semakin berkembang

sehingga tidak harus sama dengan nilai-nilai dalam maskulinitas tradisional.

Salah satu sudut pandang maskulinitas modern adalah gagasan yang

disampaikan oleh Media Azaareness NetWork. Dikutip oleh Novi Kurnia

(2004:27-28), Media Azaareness NetWork membagi lima karakteristik

maskulinitas modern sebagai berikut:

a. Pertama, sikap yang berperilaku baik atau sportif. Elemen ini dimasukkan dalam pesan media yang berkaitan dengan sikap laki-Iaki yang menggunakan wewenang dalam melakukan dominasi yang ia punya. Kalaupun muncul kekerasan dalam penggunaan wewenang tersebut, kekerasan itu dianggap sebagai strategi yang digunakan laki-laki untuk mengatasi masalah.

b. Kedua, mentalitas ca ve man. Hal ini terlihat dari penggunaan ikon

hero dari sejarah populer yang mendemonstrasikan maskulinitas, seperti: pejuang, bajak laut, bahkan cowboy. Keagresifan dan kekerasan dikesankan wajar karena dianggap sesuai dengan sifat alami laki-laki. Ilustrasi yang sempurna didapatkan pada karakter jantan dan mandiri serta aktivitas yang menantang bahaya. Figur laki-laki dikonstruksikan sebagai lonely hero, dimana ia dibayangkan menyelesaikan semua permasalahan sendirian dan selalu menjadi pemain tunggal.

c. Ketiga, pejuang baru. Dilambangkan dengan kemiliteran maupun olahraga yang dianggap menjadi nilai maskulinitas karena memberikan imajinasi petualangan dan kekuatan laki-laki.

(38)

26 pencari nafkah dan pelindung. Oleh karenanya mengejar pembentukan otot menjadi salah satu cara untuk menunjukkan sisi maskulin pria. e. Kelima, maskulinitas pahlawan dan teknologi. Maskulinitas laki-laki

dikaitkan dengan kekuatan teknologi sebagai alat bantu laki-laki perkasa dalam membela diri.

Salah satu hal yang menarik dari kelima poin diatas yaitu anggapan bahwa

maskulinitas dapat dilihat dari aspek teknologi. Masuknya teknologi sebagai

kriteria maskulin tidak lepas dari peradaban manusia yang semakin berkembang,

sehingga teknologi menjelma sebagai simbol gaya hidup yang maju. Hal ini

kemudian memunculkan anggapan bahwa lelaki akan semakin maju dan maskulin

jika mampu menggunakan teknologi.

Untuk menjelaskan fenomena diatas, Judi Wajcman (2001:161-162)

menyebutkan bahwa bisa juga dalam konsep maskulinitas masyarakat barat

kontemporer, bentuk maskulinitas berhubungan erat dengan „kekuatan‟ akan

penguasaan teknologi yang merupakan realisasi laki-laki yang secara sosial gagal

mengkompensasikan kurangnya kekuatan „fisik‟ mereka. Contoh kasus disini

adalah kaum hackers yang secara fisik tidak menarik dan patologis namun secara

teknik mereka adalah potret „perkasa‟ dalam hubungannya dengan kelaki-lakian.

Pada film Hollywood, implementasi maskulintas terhadap teknologi dapat

dilihat dari pernyataan Dipaolo berikut “secara tradisonal cerita hero dipahami

dengan cara melibatkan ikon manusia heroik, berpakaian warna-warni dan

memiliki kemampuan luar biasa, cerdas, dan berkekuatan supranatural. Tetapi

sebaliknya saat ini ada beberapa hero seperti Iron Man dan Green Latern yang

(39)

27

merupakan „manusia normal‟, tapi dapat menjadi sangat kuat dengan bantuan

teknologi canggih (Dipaolo, 2011:2)”.

Pernyataan Di Paolo diatas menandakan bahwa terdapat pergeseran sudut

pandang bahwa „kekuatan‟ tidak lagi hanya mengenai persoalan fisik dan

supranatural tetapi dapat berwujud teknologi. Jadi, saat ini maskulinitas melihat

„kekuatan‟ laki-laki tidak harus selalu berarti fisik yang kuat dan badan yang kekar. Namun perlu diperhatikan bahwa meskipun laki-laki secara fisik tidak

menonjol, tetapi ia diharuskan memiliki kemampuan yang lebih, sehingga

membuat dirinya menonjol.

2.3.2. Representasi Perilaku Seorang Hero

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, pahlawan adalah orang yang

menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran;

pejuang yang gagah berani.Sedangkan bagi masyarakat barat, hero atau pahlawan didefinisikan sebagai: a) a mythological or legendary figure often of descent endowed with great strength or ability; b) an ilustrios warrior; c) a man admired for his achievements and noble qualities (www.websterdictionary.com).

Jika dilihat dari sejarahnya, definisi hero dalam masyarakat barat berakar dari istilah Yunani Kuno. Istilah ini menjadi populer melalui karya-karya sastra

seperti wiracarita atau epos, yaitu sejenis karya sastra tradisional yang

menceritakan kisah kepahlawanan (wira berarti pahlawan dan carita adalah kisah).

Dalam era Yunani Kuno, wiracarita yang sangat berpengaruh diantaranya adalah

(40)

28 Homeros dan Hesiodos dalam karyanya menceritakan para hero sebagai manusia setengah dewa atau demigod yang dikaruniakan kekuatan super, contohnya seperti Herakles (Hercules), Achilles, dan Perseus.

Selain memiliki kekuatan super, tokoh hero dalam cerita Yunani Kuno juga digambarkan sebagai sosok petualang pemberani dan pembela kebenaran

yang berperilaku lurus. Hal tersebut membuat mereka menjadi panutan bagi orang

disekitarnya. Konsep hero seperti inilah yang kemudian mempengaruhi identitas pahlawan di Barat, khususnya dalam cerita komik, televisi, dan film. Alhasil

ketika mendengar kata hero, tentunya kita akan hanyut dalam anggapan bahwa ia adalah seorang tokoh utama yang gagah, baik hati, pembela keadilan dan

kebenaran, idola, dan lain sebagainya. Anggapan ini menuntun kita bahwa semua

perilaku hero mencerminkan sisi positif dari manusia ideal.

Namun adakalanya orang bosan dengan hero berperilaku lurus dan ingin melihat sosok hero dengan sifat yang berbeda. Ketika masyarakat mulai bosan, maka insan perfilman Hollywood dengan cermat memanfaatkan situasi tersebut

dengan menghadirkan „pahla wan-pahla wan barunya‟ agar penonton tidak

menjauh darinya. Sineas-sineas Hollywod lantas menampilkan hero baru yang berperilaku kasar, egois, bahkan tidak sedikit dari mereka yang masuk kategori

penjahat. Fenomena ini nampak dalam beberapa karakter hero seperti Robin Longstride (Robin Hood), Captain Jack Sparrow (Pirates Of The Caribbean), Dominic Toretto (Fast and Furious), dan lain-lain.

(41)

29 Secara garis besar gambaran hero yang berperilaku negatif sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu, bahkan sebelum industri Hollywood terlahir. Salah satu

tokoh yang terkenal dalam menampilkan hero berkarakter negatif adalah George Gordon Byron (Lord Byron). Byron merupakan sastrawan Inggris yang karyanya

pada abad ke-19 seperti Fragment of a Novel dianggap sangat berbeda, menarik, dan dilihat sebagai suatu nafas baru dalam kesusastraan Inggris.

Karya-karya Byron kemudian diteruskan oleh kedua temannya, Mary

Shelley dan John William Polidori. Mary Shelley menerapkan hero berkarakter negatif dalam novel Frankenstein, sementara Polidori menulisnya dalam cerita berjudul The Vampire. Kedua cerita dari Shelley dan Polidori kemudian sukses, dan untuk menghormati kontribusi Lord Byron sebagai inspirasi dalam

karya-karya tersebut maka muncul aliran Byronic Hero untuk mendeskripsikan sosok

hero dengan karakter negatif.

Menurut Gross yang dikutip oleh Bima Pranachitra (2010:3), Byron kerap

menggambarkan Byronic Hero dengan sosok gotik, melankolis, moody, misterius, sinis, sedikit arogan, pemberontak, serta dibayangi oleh masa lalu yang kelam.

Namun di lain sisi ia terpelajar, baik hati, dan bersahaja. Ciri perwatakan Byronic Hero yang kompleks, yakni banyak mengalami perubahan suasana hati (mood)

dan cenderung kontroversial menjadikannya sulit untuk ditentukan sebagai

kategori tokoh protagonis atau antagonis.

(42)

30 dan berperilaku layaknya mesin (Thorslev Jr., 1962). Sehingga Byronic Hero

merupakan gambaran hero yang manusiawi dimana ia tidak dapat ditebak secara matematis dan akurat karena memiliki perasaan dan suasana hati, meskipun ia

tidak bias lepas dari keharusan bersikap rasional.

Sementara Thorslev Jr. (1962:7) juga menyebutkan bahwa Byronic Hero

sering juga disebut sebagai Villainous Hero atau pahlawan setengah jahat. Alasannya dikarenakan adanya manifestasi perilaku pendosa, atau disebut juga

sebagai „algolagnia’, yakni perilaku yang berlawanan antara kegembiraan dan

duka, rasa cinta dan rasa benci, kelembutan dan kekasaran yang bercampur

menjadi satu. Mengomentari pernyataan tersebut, Bima dalam penelitiannya

(2010:12) menyimpulkan bahwa perilaku pendosa seorang Byronic Hero adalah gejala neurosis yang dipicu oleh sikap depresi terhadap ketidakadilan sosial yang dialaminya di masa lalu. Inilah kemudian yang menggambarkan Byronic Hero

sebagai tokoh yang banyak terlibat konflik batin dan ketidakstabilan mental.

Berdasarkan Wikipedia, Byronic Hero biasanya menunjukkan beberapa ciri- ciri sebagai berikut: a. Sombong, licik dan mampu beradaptasi; b. Sinis dan

seringkali emosinya bertentangan, bipolar, atau moody; c. Menghormati pangkat dan hak istimewa; d. Memiliki kebencian terhadap lembaga sosial dan

norma-norma; e. Memiliki masa lalu bermasalah atau menderita karena suatu kejahatan

yang tidak disebutkan; f. Cerdas, perseptif, canggih dan berpendidikan; g.

Misterius; h. Sifatnya senang merugikan diri sendiri; i. Berjuang dengan

integritas; j. Diperlakukan dalam pengasingan, sebagai orang terbuang, atau

(43)

31 Dalam penerapannya, film Hollywood banyak menggambarakan Byronic Hero sebagai tokoh yang semula dianggap antagonis, antara lain: mahkluk supranatural (setan, vampir, dan monster), pelaku kriminal, buronan, orang

buangan, ataupun tokoh kontroversial lainnya. Namun pada akhirnya diketahui

bahwa tokoh-tokoh ini sebenarnya bermanifestasikan perilaku seorang hero yang melindungi orang-orang disekitarnya.

Pada dasaranya manifestasi perilaku seorang hero bukanlah hal yang terbentuk secara mudah (instan) ataupun alamiah. Sulitnya memahami perilaku

seorang hero juga dialami oleh tokoh-tokoh Byronic Hero. Seorang Byronic Hero

tidak bisa secara tiba-tiba mengerti perilaku dan nilai-nilai kepahlwanan, namun

mereka memerlukan waktu dan pengalaman yang terbentuk melalui proses

belajar. Proses belajar inilah yang kemudian dapat diamati berdasarkan

konsep-konsep ilimiah. Salah satu teori yang dapat digunakan untuk mengkaji proses

belajar seorang hero adalah teori belajar konstruktivisme.

Konstruktivisme adalah aliran filsafat pengetahuan yang berpendapat

bahwa pengetahuan (knowledge) merupakan hasil konstruksi (bentukan) dari orang yang sedang belajar, maksudnya setiap orang membentuk pengetahuannya

sendiri. Dalam pandangan konstruktivisme pengetahuan bukanlah “sesuatu yang

sudah ada di sana” dan tinggal mengambilnya tetapi merupakan suatu bentukan

terus menerus dari orang yang belajar dengan setiap kali mengadakan reorganisasi

karena adanya pemahaman yang baru (Fosnot, 1996:14).

(44)

32 Salah satu tokoh yang terkenal dalam aliran belajar konstruktivisme adalah

seorang pakar psikolog dari Swiss bernama Jean Piaget. Piaget dalam Fosnot

(1996:13-14), menyoroti bagaimana individu pelan-pelan membentuk skema

pengetahuan, pengembangan skema dan mengubah skema. Ia menekankan

bagaimana seseorang mengkonstruksi pengetahuan dari berinteraksi dengan

pengalaman dan objek yang dihadapinya. Tampak bahwa Piaget menaruh

gagasannya pada keaktifan individu dalam membentuk pengetahuan. Dalam

pandangan Piaget, pengetahuan dibentuk oleh individu lewat asimilasi dan

akomodasi dalam proses yang terus menerus dari anak-anak sampai dewasa.

Asimilasi adalah proses kognitif yang dengannya seseorang

mengintegrasikan persepsi, konsep, nilai-nilai ataupun pengalaman baru ke dalam

skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi dapat dipandang

sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian

atau rangsangan yang baru dalam skema yang telah ada. Proses asimilasi bersifat

individual dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan

lingkungan sehingga pemaham orang akan terus berkembang (Suparno, 1997:31).

Dalam proses pembentukan pengetahuan dapat terjadi seseorang tidak

dapat mengasimilasikan pengalaman baru dengan skema yang telah dipunyai.

Dalam keadaan ini orang akan mengadakan akomodasi, yaitu (1) membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru, atau (2) memodifikasi

skema yang ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 1997:32).

(45)

33 Proses dalam akomodasi oleh kaum konstruktivis disebut sebagai

perubahan konsep secara radikal. Konsep secara radikal terjadi karena adanya

peristiwa anomali, yaitu peristiwa dimana individu tidak dapat mengasimilasikan

pengetahuannya untuk memahami fenomena yang baru. Suparno (1997:50-51)

mengatakan bahwa agar terjadi perubahan konsep secara radikal maka dibutuhkan

keadaan dan syarat sebagai berikut:

a. Harus ada ketidakpuasan terhadap konsep yang telah ada. Individu mengubah konsepnya jika mereka yakin bahwa konsep mereka yang lama tidak dapat digunakan lagi untuk menelaah situasi, pengalaman, dan gejala yang baru.

b. Konsep yang baru harus dimengerti, rasional, dan dapat memecahkan persoalan atau fenomena yang baru.

c. Konsep yang baru harus masuk akal, dapat memecahkan dan menjawab persoalan yang terdahulu, dan juga konsisten dengan teori-teori atau pengetahuan yang sudah ada sebelumnya.

d. Konsep baru harus berdaya guna bagi perkembangan dan penemuan fenoma yang baru.

Untuk mempersingkat konsep asimiliasi dan akomodasi, kita dapat

menyimaknya melalui contoh sederhana dalm film Robin Hood. Mulanya Robin

Hood mempunyai skema bahwa semua ksatria (pahlawan) harus menjunjung

kebenaran dan taat pada hukum. Skema ini didapatkannya terhadap nilai-nilai

yang pernah dijumpainya. Namun pada suatu hari terjadi peristiwa anomali

dimana ia menyadari bahwa penegak hukum (bangsawan) yang dipandang sebagai

ksatria justru berbuat korupsi.

Melalui peristiwa tadi Robin Hood mengalami bahwa skema lamanya

tidak cocok dengan pengalaman yang baru, maka dia mengadakan akomodasi

dengan membentuk skema baru. Dalam skema barunya, Robin Hood terdorong

(46)

34 Sejatinya mencuri adalah pelanggaran hukum yang tidak mencerminkan sikap

ksatria, namun bagi Robin Hood tindakannya tersebut justru merupakan sikap

pahlawan yang sebenarnya.

Kasus Robin Hood menunjukkan bahwa seorang hero terkadang dapat berbuat menyimpang karena melakukan pelanggaran hukum. Meskipun

melanggar hukum akan tetapi Robin Hood masih dianggap sebagai seorang hero

karena ia menolong orang-orang yang membutuhkan bantuan. Intinya, meskipun

Robin Hood adalah seorang pelaku kriminal namun di lain sisi ia memperlihatkan

sikap penolong, yangmana sikap tersebut terbentuk melalui proses belajar.

2.3.3. Representasi Latar Belakang Sosial Seorang Hero

Hero dalam film Hollywood direpesentasikan dalam latar belakang sosial yang terdapat ditengah-tengah masyarakat. Konteks latar belakang sosial seorang

hero bisa dilihat dari beberapa sudut pandang misalnya dari stratifikasi sosial. Menurut Bungin (2006:49), stratifikasi atau strata sosial adalah struktur sosial

yang berlapis-lapis di dalam masyarakat. Lapisan sosial menunjukkan bahwa

masyarakat memiliki strata, mulai dari yang terendah sampai yang tertinggi.

Lapisan soisal terjadi karena adanya pengelompokan yang didasarkan pada

suatu simbol-simbol tertentu yang dianggap berharga atau bernilai dalam suatu

kelompok masyarakat. Berharga atau bernilai dalam hal ini didasarkan pada

pandangan sosial, ekonomi, politik, hukum, budaya maupun dimensi lainnya yang

dipahami oleh masyarakat tersebut. Sedangkan secara umum strata sosial

(47)

35 melahirkan kelas sosial atau golongan sosial yang terdiri dari tiga tingkatan yaitu

atas (upper class), menengah (middle class), dan bawah (lower cla ss).

Sebagai representasi dari realitas, film Hollywood juga memperlihatkan

kondisi pelapisan sosial yang terdapat di masyarakat, khususnya masyarakat

Amerika. Berdasarkan Paul Horton (2007:6), pada masyarakat Amerika pelapisan

sosial yang terjadi karena faktor ekonomi terbagi menjadi enam kelas yang terlihat

pada gambar dibawah ini:

Gambar 2.1 Gambar Pelapisan Sosial Masyarakat Amerika

Atas

Menengah

Bawah

1. Upper-upper class : Kelas keluarga-keluarga yang telah lama kaya. 2. Lower-upper class : Kelas masyarakat yang belum lama menjadi kaya. 3. Upper-middle class : Kelas dari kelompok pengusaha dan kaum professional. 4. Lower-middle class : Kelas yang terdiri dari pegawai pemerintah, kaum

semi profesional, supervisor, dan pengrajin terkemuka.

5. Upper-lower class : Kelas dari kelompok pekerja tetap (golongan pekerja). 6. Lower-lower class : Kelas para pekerja tidak tetap, pengangguran, buruh

(48)

36 Pembagian kelas sosial diatas juga nampak terjadi dalam film-film

Hollywood. Seringkali tokoh hero dalam film Hollywood ditempatkan sebagai golongan sosial menengah keatas. Contoh-contoh hero dari golongan atas terlihat pada karakter Bruce Wayne (Batman), Tony Stark (Iron Man), Oliver Queen

(Arrow), Sam Flynn (Tron Legacy), Britt Reid (The Green Hornet) dan lainnya.

Tokoh-tokoh hero yang disebutkan tadi merupakan kelompok masyarakat kaya atau milyuner yang mewarisi kekayaan keluarganya secara turun-temurun.

Sedangkan menurut Soekanto (1990:262) “salah satu ukuran atau kriteria

yang biasa dipakai untuk menggolong-golongkan anggota-anggota masyarakat ke

dalam suatu lapisan adalah ukuran pekerjaan. Barang siapa yang memiliki

pekerjaan kantoran, termasuk dalam lapisan teratas.” Oleh sebab itu produsen

-produsen film Hollywood secara disadari maupun tidak, seringkali menampilkan

seorang hero sebagai seseorang yang memiliki pekerjaan kantoran. Contoh hero

yang bekerja kantoran bisa dilihat pada karakter-karakter seperti Clark Kent

(Superman) dan Peter Parker (Spiderman) yang bekerja sebagai jurnalis atau Matt

Murdock (Daredevil) yang berprofesi menjadi pengacara.

Disamping faktor kekayaan dan pekerjaan, pelapisan sosial juga dapat

diukur dari segi pakaian yang dikenakan seseorang. Soekanto (1990:263)

menyebutkan bahwa salah satu kriteria yang dipakai untuk

menggolong-golongkan masyarakat ke dalam suatu lapisan adalah ukuran kekayaan. Kekayaan

tersebut misalnya bisa dilihat dari bentuk rumah yang bersangkutan, cara-cara

Gambar

Tabel 2.1 Highest-Grossing American Superhero Film
Tabel 2.2 Sepuluh Film Animasi Hollywood Berpendapatan Terbesar
gambar macam apa seseorang, kelompok, atau gagasan tersebut ditampilkan
Tabel 2.3 Perbedaan Stereotipe Laki-Laki dan Perempuan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Melati Oktaviana Lestyan Putri, D0211062, POTRET DISKRIMINASI TERHADAP RAS KULIT HITAM DALAM FILM ‘THE HELP’ (Analisis Semiotik tentang Representasi Diskriminasi

Tesis yang berjudul: ANALISIS TUTURAN TOKOH TINKER BELL DALAM FILM TINKER BELL AND THE LOST TREASURE DAN TERJEMAHANNYA DALAM BAHASA INDONESIA ini adalah karya

REPRESENTASI ISLAM RADIKAL DALAM FILM (Analisis Semiotik dalam Film "Timbuktu" karya Abderrahmane Sissako).. xii,

Dari rumusan masalah tersebut, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui makna representasi potret kehidupan dalam karya buku foto dokumenter karya Boy

Buku kedua karangan Misri A.Muchsin yang berjudul Potret Aceh Dalam Bingkai Sejarah (2007) menceritakan bagaimana Sejarah Aceh dalam dua zaman yaitu pada masa era Kesultanan

Terima kasih Anda telah mengirimkan artikel berjudul “Representasi Patriarki Dalam Film Samjin Company English Class (2020) Karya Lee Jong Pil” ke Jurnal

Peneliti menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang berjudul “Evaluasi Indeks Prediktor Multi Drug Resistant Tuberkulosis di Kota Surakarta”, merupakan karya penelitian

68 BAB V PENUTUP 5.1 Simpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan pada riset berjudul Analisis Representasi Makna Permintaan Dalam Film 12 Cerita Glen Anggara Karya Luluk HF dengan