i
POTRET MEGAMIND DALAM
BINGKAI HEROISME FILM HOLLYWOOD
(Analisis Semiologi Representasi Hero Dalam Film Megamind)
TESIS
Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Derajat
Magister
Program Pendidikan Magister Ilmu Komunikasi
Bidang Kajian Utama Manajemen Komunikasi
Oleh:
Muhammad Kukuh Adiguna
S231108016
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
iv PERNYATAAN ORISINALITAS DAN PUBLIKASI ISI TESIS
Saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa :
1. Tesis yang berjudul: POTRET MEGAMIND DALAM BINGKAI HEROISME FILM HOLLYWOOD (Analisis Semiologi Representasi Hero Dalam Film Megamind) ini adalah karya penelitian saya sendiridan bebas plagiat , serta tidak terdapat karya ilrniah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk rnernperoleh gelar akademik serta tidak terdapat karya atau pendapat yang pemah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali secara tertulis digunakan sebagaim acuan dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber acuan serta daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai ketentuan peraturan perundangundangan (Permendiknas No 17, tahun 2010)
2. Publikasi sebagian atau keseluruhan isi Tesis pada jurnal atau forum ilmiah lain harus seijin dan menyertakan tim pembimbing sebagai author dan PPs UNS sebagai institusinya. Apabila dalam waktu sekurang-kurangnya satu semester (enam bulan sejak pengesahan Tesis) saya tidak melakukan publikasi dari sebagian atau keseluruhan Tesis ini, maka Prodi Ilmu Komunikasi PPs-UNS berhak mempublikasikannya pada jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh Prodi Ilmu Komunikasi PPs-UNS. Apabila saya melakukan pelanggaran dari ketentuan publikasi ini, maka saya bersedia mendapatkan sanksi akademik yang berlaku.
Surakarta, 24 September 2014
v HALAMAN MOTTO
Keikhlasan adalah bukti kesabaran yg sejati. Ketika apa yang
kamu inginkan belum tercapai, Tuhan sedang
memberitahumu untuk berusaha lebih lagi!
Kesuksesan bukanlah segalanya, kegagalan hanya proses
semata, berbuat yang terbaik adalah yang terutama
vi KATA PENGANTAR
Segala karya manusia berada di bawah kuasa Tuhan Yang Maha Esa dan
hanya oleh berkah dan anugerah-Nya pula segala proses penciptaan karya tulis ini
dapat berlangsung. Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan atas
terlaksananya sebuah tanggung jawab akademik sebagai prasyarat dalam
menunaikan pendidikan program pasaca sarjana (S2) dalam lingkup Fakultas Ilmu
Sosial dan Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Seiring dengan langkah dan waktu serta tahapan yang telah ditempuh di
bawah bimbingan Prof. Drs. Totok Sarsito, SU, MA, Ph.D dan Drs. Ahmad Adib,
M. Hum, Ph.D, akhirnya karya ini telah sampai pada proses pelaporan akhir.
Tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada pembimbing atas
pendampingan dan tuntunan yang telah diberikan. Selain itu masih banyak pihak
lain yang sudah terlibat dalam membantu proses penyusunan karya ini, maka
penulis mengucapkan terimakasih pula kepada ;
1. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret
Surakarta, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
menyusun tesis ini.
2. Ketua Program Studi Pasca Sarjana Jurusan Ilmu Komunikasi, yang telah
memberikan izin serta persetujuan hingga penelitian ini bisa diuji.
3. Seluruh Dosen dan Staf Bagian Pengajaran Fakultas Ilmu Sosial dan
Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah membantu ketika
vii 4. Kedua orangtua saya dan seluruh keluarga besar lainnya yang telah berjasa
dalam memberikan dukungan moril dan doa sehingga memberikan
semangat dalam menyelesaikan tesis ini.
5. Seluruh mahasiswa Pasaca Sarjana Jurusan Ilmu Komunikasi angkatan
2011 atas pertemanannya selama ini, serta saran-saran akademik yang
sangat membantu dalam proses penelitian ini.
6. Serta semua sahabat, teman dan keluarga yang tidak bisa disebutkan satu
persatu. Terima kasih telah berkontribusi dalam mendukung dan
membantu ketika membuat tesis ini.
Karya ini masih jauh dari tahap sempurna, penulis menyadari akan adanya
kekurangan dalam hal penulisan maupun penyajiannya. Semoga karya yang
sederhana ini mampu menjadi setitik sinar yang berguna bagi penelitian-penelitian
atau kajian semiotika di masa mendatang.
Solo, 24 September 2014
Penulis
Muhammad Kukuh Adiguna
viii DAFTAR ISI
HALAMAN PERSETUJUAN ...i
HALAMAN PENGESAHAN……….…..ii
HALAMAN PERNYATAAN ...iii
HALAMAN MOTTO ...iv
KATA PENGANTAR ...v
DAFTAR ISI ...vii
ABSTRAK ...x
ABSTRACT ...xi
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Rumusan Masalah ...10
1.3. Tujuan Penelitian ………...11
1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Teoritis ... 11
1.4.2. Manfaat Praktis ... 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Film Sebagai Media Komunikasi Massa………..….…..13
2.2 Representasi Sebagai Kontruksi Realitas Dalam Film……….……...15 2.3. Film Hollywood Sebagai Media Representasi Hero………...…18
2.3.1. Representasi Hero Dalam Aspek Maskulinitas………..………22
ix
2.3.3. Representasi Latar Belakang Sosial Seorang Hero...34
2.4. Penelitian Terdahulu……….………...41
2.5. Kerangka Pemikiran……….….……...…42
BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian……….….………..44
3.2. Pengumpulan Data……….…….……….48
3.3. Analisis Data……….….………..49
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Obyek Penelitian 4.1.1. Sinopsis Film……….…..…...53
4.1.2. Data Film Megamind……….….……57
4.1.3. Tokoh-Tokoh Dalam Film Megamind……….…….…….60
4.1.4. Profil Produsen Film………..……....62
4.2. Hasil Penelitian 4.2.1. Representasi Megamind Berdasarkan Maskulinitas…….…....67
a. Nilai Maskulinitas Megamind……….………...67
b. Heroisme Pria Dalam Bias Gender……….……...79
c. Analisis Mitos……….………..87
4.2.2. Representasi Megamind Berdasarkan Perilaku Individual…...95
a. Perilaku Positif Megamind……….……...95
b. Perilaku Negatif Megamind……….………...102
c. Proses Pembentukan Perilaku Megamind……….…...114
x
4.2.3. Representasi Megamind Berdasarkan Latar Belakang Sosial....140
a. Prasangka Sosial Terhadap Megamind………….…...………....141
b. Gaya Hidup Megamind………...153
c. Analisis Mitos……….………164
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ...178
5.2. Implikasi………...183
5.3 Saran ...184
DAFTAR PUSTAKA ...186
LAMPIRAN
xi ABSTRAK
ABSTRAK Muhammad Kukuh Adiguna. S231108016. 2014. Potret Megamind Dalam Bingkai Heroisme Film Hollywood (Analisis Semiologi Representasi Hero
Dalam Film Megamind). TESIS. Pembimbing I : Prof. Drs. Totok Sarsito, Su, Ma, Ph.D. Pembimbing II : Drs. Ahmad Adib, M. Hum, Ph.D. Program Studi Ilmu Komunikasi, Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Pada dasarnya film laga merupakan film yang berorientasi mengenai seorang tokoh utama (hero) ketika menghadapi kejahatan, oleh karenanya film bergenre ini banyak memuat pesan tentang heroisme. Namun sebenarnya industri film Hollywood telah merekontruksi gagasan mengenai heroisme sehingga muncul berbagai streotipe mengenai seorang hero. Sedangkan dalam film Megamind seorang hero direpresentasikan oleh pembuat film secara unik sehingga berbeda dengan para hero pada umumnya. Oleh karena itu untuk mendeskripsikan keunikan pesan yang dibuat dalam film Megamind, maka penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisa representasi seorang hero didalam film ini.
Penelitian ini termasuk studi deskriptif kualitatif dengan pendekatan analisa semiologi model Roland Barthes. Semiologi Model Roland Barthes bekerja dengan menggunakan dua tahap signikasi, yaitu makna denotasi dan makna konotasi. Data dalam film ini diperoleh secara langsung dengan mengamati film Megamind serta mencari refrensi dari berbagai tulisan artikel, buku, internet dan lainnya. Sedangkan hasil data penelitian ini diperoleh berdasarkan pemilihan scene pada film yang berkaitan dengan nilai-nilai heroisme. Adapun nilai heroisme dalam film ini dikaji dengan merujuk pada unsur-unsur maskulinitas, perilaku, dan latar belakang yang direpresentasikan oleh seorang hero.
Temuan penelitian yang diperoleh dari scene yang ada di dalam film Megamind menunjukkan beberapa konsep yang digunakan oleh pembuat film untuk merepesentasikan Megamind sebagai seorang hero. Konsep-konsep yang digunakan oleh pembuat film memperlihatkan bagaimana kompleksitas Megamind sebagai seorang hero jika dilihat berdasarkan unsur maskulinitas, perilaku, dan latar belakang sosial. Meskipun tokoh utama dalam film ini direpresentasikan secara kompleks dan berbeda, akan tetapi ia masih memiliki sedikit persamaan dengan hero pada umumnya. Oleh karena itu dapat disimpulkan jika karakter hero dalam film ini direpresentasikan secara berbeda namun masih mempertahankan beberapa esensi heroisme versi Hollywood.
Kata Kunci: Heroisme, Latar Belakang Sosial, Maskulinitas, Perilaku, Representasi
xii ABSTRACT
Muhammad Kukuh Adiguna. S231108016. 2014. Images Megamind in Hollywood Movie Frames (Analysis Semiology of Hero Representation In Megamind Movie). THESIS. Academic Advisor I: Prof. Drs. Totok Sarsito, Su, Ma, Ph.D. Academic Advisor II: Drs. Ahmad Adib, M. Hum, Ph.D. Magisterial Program Study of Communication, Post-Graduate Program, Sebelas Maret University, Surakarta.
Basically the action movie is a film that is oriented about a main character (hero) when dealing with crime, so that genre contains many messages about heroism. But actually the Hollywood industry has reconstructed the idea of heroism that emerged various streotype about a hero. While a hero in the Megamind movie represented by filmmaker so uniquely different from the hero in general. Therefore, to describe the uniqueness of the message that is made in the Megamind movie, this research is intended to to analyze the representation of a hero in this movie.
This study includes a qualitative descriptive study analysis approach models semiology of Roland Barthes. Roland Barthes semiology model works by using two stages of significance, namely the meaning of denotation and connotations. Data in this movis is obtained directly by observing the Megamind movie and seek references from various writing articles, books, internet and others. While the results of this research data obtained by the selection of scenes in the movie are related to the values of heroism. The value of heroism in this movie studied with reference to the elements of masculinity, behavioral, and background represented by a hero.
Research results obtained from the scene in the movie Megamind demonstrate some of the concepts used by filmmakers to represent Megamind as a hero. The concepts used by the filmmakers show how the complexity of Megamind as a hero when viewed by the elements of masculinity, behavioral, and social background. Although the main character in this film represented a complex and different, but it still has little in common with the hero in general. Therefore it can be concluded if the hero character in the film is represented differently but still retain some essence of heroism Hollywood version.
Key words: Heroism, Social Background, Masculinity, Behavior, Representation
1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Film merupakan salah satu jenis media massa yang bersifat kompleks
karena terdiri dari beberapa unsur, misalnya seni dan teknologi. Karena terdiri dari
unsur seni maka membuat sebuah film bukanlah perkara yang mudah, dibutuhkan
kreatifitas dari pembuatnya. Tetapi perlu diingat bahwa dalam memproduksi film
tidak hanya sekedar kreatifitas saja yang dibutuhkan, masih diperlukan lagi faktor
modal sebagai penentunya.
Dengan kebutuhan akan tenaga kerja kreatif dan modal besar muncullah
Hollywood sebagai dominator dalam industi film. Hollywood sebenarnya adalah
sebuah distrik di Amerika yang memiliki sejarah panjang dalam perfilman negeri
Paman Sam, oleh karenanya tempat ini dijadikan simbol industri film Amerika.
Satu hal yang pasti mengenai Hollywood adalah sepak terjangnya yang tidak perlu
diragukan lagi dalam dunia perfilman. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya
masyarakat di seluruh penjuru dunia yang menantikan film produksi Hollywood.
Fenomena kesuksesan Hollywood dapat dilihat dari sudut pandang Adi
(2008:XV) yang menuturkan bahwa, “para pembuat film di Hollywood
mengetahui apa yang ingin dilihat oleh penonton dalam karyanya itu, dengan tetap
menjaga sisi artistik dan kualitas penggarapan. Hal ini mungkin dapat menjawab
pertanyaan tentang mengapa film-film Amerika begitu disukai oleh penonton
2 Dominasi film Hollywood jelas terasa di Indonesia, hal ini telihat melalui
kebiasaan masyarakat yang lebih memilih film Hollywood daripada film dari negeri sendiri. Berdasarkan survei oleh Direktorat Perfilman dan BPS, pada tahun
2011 menunjukkan jumlah penonton film di Indonesia lebih banyak menonton
film impor (80,22%) dibandingkan film lokal (19,78%).
Film impor yang paling digemari berasal dari Amerika/Eropa (69,03 %),
China/Hong Kong (6,72%), India (2,43%), dan lainnya (2,04%). Sejalan dengan
hal itu, film yang paling banyak diputar di bioskop tanah air adalah film impor
(71%) dengan rincian, film Amerika/Eropa 56,20%, China/Hong Kong 4,23 %,
India 0,48%, dan lainnya 0,10%. Sedangkan film Indonesia mendapatkan jumlah
pemutaran sebanyak 28,99% dari seluruh bioskop di Indonesia.
Menonton film Hollywood memang bukan suatu kesalahan, namun perlu
diperhatikan bahwa film sejatinya adalah sebuah media massa yang memiliki
efek-efek tertentu bagi penonton. Berdasarkan Nurudin (2010:228), efek media
massa bisa berwujud tiga hal: efek kognitif (pengetahuan), afektif (emosional dan
perasaan), dan behavioral (perubahan perilaku). Efek yang terjadi bagi tiap
individu memang berbeda-beda, akan tetapi efek kognitif seringkali terjadi bagi
individu yang menonton film.
Pada dasarnya, perubahan efek kognitif terjadi melalui sebuah proses
transfer pemikiran dari pembuat film terhadap penonton. Untuk menunjang proses
tersebut, seorang sutradara menggunakan pesan-pesan verbal maupun non-verbal
3 yang dikemukan oleh Van Zoest yang dikutip oleh Sobur (2001:128)bahwa “film
dibangun dengan tanda-tanda semata. Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem
tanda yang bekerjasama dengan baik untuk mencapai efek yang diharapkan.”
Berbagai tanda bahasa yang saling berelasi kemudian akan membentuk
teks (text). Istilah teks sendiri berasal dari Bahasa Latin texture yang berarti rajutan, sehingga teks dapat diartikan sebagai rajutan dari berbagai tanda bahasa
yang melahirkan makna-makna. Makna inilah yang kemudian disebut representasi
(Burton dalam Junaedi, 2007:64). Oleh sebab itu ketika membicarakan
tanda/simbol maka kita tidak bisa mengesampingkan representasi, karena
representasi merupakan bagian yang melekat dari simbol-simbol dalam suatu film.
Dalam prakteknya, sineas-sineas Hollywood telah terbukti mampu
memaksimalkan fungsi sebuah simbol dalam menyampaikan gagasannya,
misalnya mengenai figur seorang hero. Saat ini sosok hero yang direpesentasikan Hollywood berada dalam posisi yang kuat dibenak penonton. Maka sebab itu
tidak mengherankan jika film-film Hollywood sangat mempengaruhi pengetahuan
para penonton di berbagai penjuru dunia mengenai figur seorang hero.
Dalam kamus Webster’s New World, hero didefiniskan sebagai: (1) seseorang yang dikagumi karena kualitas atau pencapaiannya dan dianggap
sebagai model; (2) orang yang dikagumi karena keberaniannya, kebaikannya, atau
kekuatannya, khususnya dalam perang; (3) figur sentral dalam suatu peristiwa
atau periode penting, dihormati karena kualitas yang luar biasa. Tiga hal tersebut
4 tertentu Hollywood menambah kriteria-kriteria lain berdasarkan versi mereka
untuk merepesentasikan hero. Secara spesifik Hollywood menggambarkan kriteria seorang hero melalui ciri-ciri tertentu misalnya warna kulit.
Berdasarakan Jiyantoro (2010: 130), film-film produksi Hollywood lebih sering menampilkan sosok hero adalah berkulit putih Amerika sedangkan penjahat berkulit hitam, Asia, Arab, dan Latin. Jadi film Hollywood mempunyai
kekuatan untuk membentuk realitas bahwa hero adalah orang kulit putih dan penjahat adalah kulit hitam, Asia, Arab dan Latin, sehingga ras kulit putih
memiliki superioritas dalam melawan penjahat.
Disamping warna kulit, Hollywood juga membentuk citra seorang hero
lewat aspek maskulinitas. Sosok hero seringkali ditampilkan berupa laki-laki muda, tampan, dan bertubuh atletis. Tubuh atletis seorang hero digambarkan seperti tinggi, berotot, dan memiliki perut sixpack. Hal ini didukung pernyataan Adi (2008:104), bahwa simbol hero dalam film-film Hollywood direpresentasikan melalui tokoh protagonis sebagai sosok yang kuat dengan tubuh berotot, karena
seorang hero harus melakukan tindakan-tindakan berani dan berbahaya untuk melindungi yang lemah.
Wibowo (2004:171) menggambarkan bahwa akar ”keperkasaan” laki-laki
dapat dipulangkan dengan menengok tradisi Yunani kuno yang kemudian
dilanjutkan dengan tradisi Romawi untuk akhirnya diserap dalam budaya
kapitalistik barat modern. Unsur maskulinas dalam budaya Yunani ini,
5
gagah, “berotot kawat dan bertulang besi”. Sebuah perwujudan yang kemudian
diterjemahkan oleh budaya Romawi melalui kegagahan kaisar Romawi yang
memunculkan heroisme. Tak heran jika kemudian semangat heroisme ini juga
dimunculkan dalam budaya kapitalistik modern, termasuk film.
Pada era 1980-an, Hollywood semakin memperkuat mitos tokoh hero
berotot yang ditandai dengan kehadiran Arnold Schwarzenegger, Sylvester
Stalone, dan Jean Claude Van Damme. Kala itu, ketiganya tampil dominan dalam
film box office Hollywood, dimana dalam setiap filmnya menampilkan bentuk tubuh bagian atas yang berotot dan berminyak. Sebagai pelengkap identitas
maskulin, adegan-adegan dalam film dipenuhi aksi menantang maut, perkelahian,
dan tembak menembak yang tiada henti dari awal hingga akhir film.
Contoh menarik adalah ketika Sylvester Stalone membintangi film Rambo
yang menceritakan seorang tentara Amerika yang sedang berperang. Berbeda
dengan tentara dalam dunia nyata yang mengenakan seragam, Rambo hanya
memakai kaos tipis sehingga tubuh berotot Stalone terlihat dengan jelas. Tidak
sebatas itu saja Rambo juga digambarkan sebagai sosok pemberani yang memiliki
kemampuan bertarung yang handal seperti berkelahi dan menembak, kombinasi
ini membuat Rambo sangat percaya diri ketika menghadapi marabahaya dan
mampu mengalahkan puluhan bahkan ratusan musuhnya.
Kasus Rambo hanyalah satu diantara banyak kasus lainnya yang
6 bermunculan, akibatnya di penghujung tahun 1990-an nama-nama seperti Arnold,
Sylvester Stalone, dan Van Damme mulai tergusur, begitu pula nasib hero yang berotot mulai tergantikan dengan sosok hero yang baru.
Meskipun sosok Arnold dan Stalone mulai ditinggalkan, akan tetapi tahun
2000-an menjadi awal baru bagi kehadiran sosok hero berotot lainnya. Para sineas Hollywood kembali memutar otaknya agar sosok maskulin bisa kembali menjadi
primadona, sebagai jawabannya mereka kemudian mengadaptasi sosok-sosok
hero dari dunia komik Amerika (Disney Studio, Marvel Comics, dan DC Comic) kedalam film-filmnya.
Jika melihat kebelakang, Hollywood sudah sering mengangkat cerita
komik menjadi sebuah film, bahkan beberapa film terbilang sukses. Namun di
periode 1990-an banyak film yang diadopsi dari cerita komik berakhir gagal
seperti Spawn (1997) dan Batman and Robin (1997). Oleh karenanya di periode
2000-an Hollywood menggunakan berbagai cara agar strategi barunya sukses.
Alhasil beberapa langkah diambil, misalnya penggunaan teknologi yang
mukhtahir seperti CGI (Computer Integrated Imagery) dan penggarapan cerita yang lebih baik, hasilnya muncullah film X-Men di tahun 2000.
Film X-Men tidak saja mengusung cerita dan teknologi baru, tetapi juga
menandai babak baru bagi mitos hero maskulin. Dalam film X-Men digambarkan bahwa tokoh utama, Wolverine (Hugh Jackman) adalah hero berkekuatan super yang pemberani dan memiliki tubuh besar berotot. Dengan menampilkan karakter
7 film yang menuai pujian dan mampu menarik banyak penonton. Keberhasilan
X-Men menunjukkan bahwa sekali lagi Hollywood berhasil membawa kemegahan maskulinitas seorang hero setelah era Stalone dan Arnold.
Pasca X-Men, Hollywood kembali menghadirkan sosok hero berkekuatan super lewat film Spiderman (2002). Film ini mengisahkan seorang pemuda
bernama Peter Parker (Tobby Marguire) yang tiba-tiba mendapatkan kekuatan
super. Dengan kekuatannya itu tubuh Peter menjadi lebih berotot dan kuat, ia pun
menjelma menjadi sosok yang pemberani dalam menghadapi siapa saja penjahat
yang menghadangnya.
Film Spiderman menjadi puncak ksesuksesan tokoh-tokoh hero yang diangkat dari cerita komik, hal ini lantas mendorong studio film Hollywood untuk
terus memproduksi cerita-cerita komik ke layar lebar. Selanjutnya semakin
banyak tokoh komik yang menghiasi bioskop sebut saja Batman, Superman, Thor,
Captain America, Fantastic Four, Iron Man, dan lain-lain. Setiap tokoh hero
memiliki ceritanya masing-masing, misalnya tentang mahkluk luar angkasa
seperti Thor dan Super-Man, atau super hero yang lahir dari percobaan ilimiah
seperti Captain America. Kekuatan dan keahlian yang dimiliki masing-masing
hero juga semakin beragam, inilah yang menjadi kunci kesuksesan Hollywood agar mampu menarik lebih banyak penonton.
Meskipun memiliki inti cerita yang berbeda-beda namun terdapat satu
esensi yang sama dalam film-film seperti Spiderman dan X-Men, yaitu seorang
8 tersebut mengindikasikan bahwa sosok hero dari dunia komik tidak hanya berhasil membuat orang berbondong-bondong menonton bioskop, namun juga
sukses membawa kembali hero maskulin berototnya menghiasai layar lebar.
Ditengah kesuksesan sosok-sosok hero berotot, Hollywood mulai berinovasi dengan menampilkan seorang hero dengan nuansa yang berbeda lewat film Megamind. Megamind adalah film animasi 3 dimensi bergenre comedy-action yang distutradarai oleh Tom McGrath. Film ini diproduksi DreamWorks Animation dan didistribusikan oleh Paramount Pictures. Pendapatan kotor film
Megamind mencapai $ 321 juta dari jumlah anggaran $ 130 juta dan berhasil
menduduki peringkat puncak box office selama dua minggu (5-18 November 2010) sejak pemutaran perdananya.
Terlepas dari keberhasilan finansialnya, film Megamind memiliki banyak
sisi unik untuk dianalisa. Jika selama ini hero digambarkan sebagai laki-laki kuat dan berfisik menawan maka sosok Megamind sangat kontras. Megamind
merupakan laki-laki lemah dengan tubuh sangat kurus, kulitnya biru pucat, dan
memiliki ukuran kepala yang terlalu besar untuk tubuhnya. Selain bentuk fisiknya
yang “tidak ideal”, kepribadian (personality) yang dimilikinya juga tidak mencerminkan seorang hero. Jika seorang hero ditampilkan sebagai orang bermental baja, pemberani, dan gemar menolong, maka Megamind justru
sebaliknya, ia bersifat pengecut dan gemar berbuat onar.
Tidak sebatas bentuk fisik dan kepribadiannya saja yang digambarkan
9 Megamind adalah seorang anak yang dibesarkan dari penjara oleh para
narapidana. Tumbuh bersama narapidana yang identik sebagai „sampah
masyarakat‟ membuat Megamind dikucilkan oleh orang-orang disekitarnya.
Bahkan ketika bersekolah Megamind harus mengenakan baju narapidana lengkap
dengan borgol yang mengikat kaki dan tangannya.
Megamind sebenarnya sudah berusaha agar bisa diakui dan menarik
perhatian orang disekitarnya dengan berbagai alat ciptaannya, namun malang
baginya setiap alat buatannya justru berujung kekacauan. Kekacauan yang
ditimbulkan Megamind sering membuat orang disekitarnya jengkel, akhirnya
Megamind semakin dijauhi oleh teman dan gurunya ketika ia masih kecil. Hal
yang dialami Megamind tentu jauh dari hingar bingar sosok hero seperti Spiderman dan Superman yang dipuja-puji oleh orang disekelilingnya.
Nasib Megamind yang dibesarkan dalam penjara tentu berbeda dengan
kebanyakan hero yang diceritakan sebagai masyarakat golongan atas, ambil contoh Batman (Bruce Wayne) dan Iron Man (Tony Stark) yang merupakan
milyuner kaya raya. Kehidupan sosial Megamind tentu berlawanan dari
kebanyakan hero seperti yang dikatakan Devereux (2003: 124) bahwa, pahlawan-pahlawan dari Barat, biasanya berkulit putih dan berasal dari kelas menengah,
selalu dikenal dalam peran seperti aktris, politisi atau bintang pop.
Gambaran mengenai Megamind yang berbeda jika dibandingkan dengan
10 berdasarkan isi pesan dalam film itu. Isi pesan dalam film Megamind dapat
ditinjau dari simbol-simbol yang digunakan oleh pembuat film, alasan mengapa
simbol-simbol tersebut dipilih, serta makna-makna yang tersirat dari simbol
tersebut berdasarkan latar belakang sosial-budaya masyarakat dimana film
Megamind dibuat.
1.2. Rumusan Masalah
Sejauh ini kita melihat seorang hero sebagai figur yang berperilaku lurus dan maskulin karena memiliki tubuh yang gagah, kuat dan berjiwa pemberani.
Selain itu pada umumnya hero berasal dari kelas sosial yang bagus dan golongan kulit putih. Namun Megamind justru menampilkan sosok hero yang berbeda dari stereotipe hero yang terlihat selama ini. Megamind digambarkan memiliki banyak kekurangan, mulai dari perilakunya yang nakal, fisik tidak menawan dan lemah,
hingga latar belakang sosial yang buruk dan bukan orang kulit putih.
Sosok Megamind yang berbeda dari gambaran hero selama ini kemudian akan memunculkan tanda tanya. Pertanyaan itu terletak pada simbol-simbol apa
yang digunakan oleh pembuat film supaya sosok Megamind yang berbeda
tersebut dapat diterima sebagai hero. Oleh sebab itu penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui simbol-simbol apa saja yang digunakan oleh sutradara
(pembuat film) untuk memberikan pembenaran agar Megamind dapat diterima
sebagai representasi seorang hero.
11
1.3. Tujuan Penelitian
Secara umum tujuan penelitian merupakan jawaban dari rumusan masalah
pada penelitian ini. Oleh karena itu tujuan utama penelitian ini adalah
mendeskripsikan simbol-simbol yang menjadi sumber pembenaran Megamind
sebagai representasi seorang hero. Sedangkan secara lebih khusus tujuan penelitian meliputi beberapa hal sebagai berikut:
a. Mendeskripsikan simbol-simbol pembenaran yang digunakan oleh
sutradara untuk merepresentasikan maskulinitas Megamind sebagai
seorang hero.
b. Mendeskripsikan simbol-simbol pembenaran yang digunakan oleh
sutradara untuk merepresentasikan perilaku Megamind sebagai
seorang hero.
c. Mendeskripsikan simbol-simbol pembenaran yang digunakan oleh
sutradara untuk merepresentasikan latar belakang Megamind sebagai
seorang hero.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini akan memperkaya kajian teori-teori
komunikasi, khususnya di bidang media massa seperti film. Sebagai
tambahan, penelitian ini bisa menjadi referensi untuk penelitian lain yang
serupa. Penelitian ini juga diharapkan mampu membantu bagi akademisi
12 dilakukan oleh industri Hollywood ketika membentuk suatu mitos
kedalam film.
1.4.2. Manfaat Praktis
Ditengah kesuksesan film-film Hollywod di Indonesia, maka penelitian ini dapat memberikan wawasan kepada insan perfilman di Indonesia
mengenai cara kerja film Hollywood dalam membentuk citra seorang hero.
Secara tidak langsung, dengan mengamati film-film Hollywood dapat
membantu para pelaku industri film Indonesia untuk memahami
bagaimana realitas sosial masyarakat di Amerika Serikat dapat disukai
oleh penonton di Indonesia. Selanjutnya diharapkan film-film Indonesia
mampu mengadopsi berbagai gagasan-gagasan unik mengenai heroisme
dalam film Hollywood.
13 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Film Sebagai Media Komunikasi Massa
Definisi komunikasi massa yang paling sederhana dikemukakan oleh
Bittner dalam Ardianto & Kumala (2004:3), yakni pesan yang dikomunikasikan
melalui media massa pada sejumlah orang. Sedangkan, Joseph Devito,
mengemukakan definisi komunikasi massa ke dalam dua item. Pertama adalah
komunikasi massa adalah komunikasi yang ditujukan kepada massa, kepada
khalayak yang luar biasa banyaknya. Kedua, komunikasi massa adalah
komunikasi yang disalurkan oleh pemancar-pemancar audio atau visual (Ardianto
& Kumala, 2004:6).
Pada hakikatnya, seseorang yang melakukan komunikasi melalu media
massa perlu mengetahui bahwa terdapat karakteristik-karakteristik tertentu dalam
komunikasi massa. Berdasarkan Ardianto & Kumala (2004:7-12) komunikasi
massa diantaranya memiliki karakteristik sebagai berikut: (a) Komunikator
terlambangkan; (b) Pesan bersifat umum; (c) Komunikannya anonim dan
heterogen; (d) Komunikasi massa menimbulkan keserempakan; (e) Komunikasi
mengutamakan isi ketimbang himbauan; (f) Komunikasi massa bersifat satu arah;
(g) Stimulasi alat indra terbatas; dan (h) Umpan balik tertunda (delayed).
Adapun beberapa media komunikasi yang termasuk dalam media massa
misalnya radio dan televisi (media elektronik), surat kabar dan majalah (media
14 massa adalah film bioskop. Film sendiri pada dasarnya merupakan salah satu
media yang menggabungkan antara aspek audio dan visual, meskipun pada awal
sejarahnya film tidak mengandung unsur audio (film bisu).
Karena terdiri dari aspek audio visual, film sekilas terlihat sama seperti televisi, namun yang menjadi perbedaannya adalah televisi cenderung
menyampaikan banyak pesan sekaligus kepada audiens, baik melalui program
yang mereka sajikan maupun iklan yang mereka tayangkan. Sedangkan film lebih
memfokuskan pesannya pada satu inti atau tema cerita yang mencerminkan realita
sosial di sekitar tempat film itu diciptakan.
Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 Pasal 1 tentang
perfilman, film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan
media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan
atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan. Namun menurut Turner, dalam
perkembangan teori film mulai ada upaya dari beberapa teoritisi untuk mencapai
perspektif yang lebih mampu menangkap substansi film. Film tak lagi dimaknai
sekedar sebagai karya seni (film as arts), tetapi lebih dimaknai sebagai praktik sosial (Irawanto, 1999:11).
Dalam perspektif praktik sosial, film tidak dimaknai sebagai ekspresi seni
pembuatnya, tetapi melibatkan interaksi yang kompleks dan dinamis dari
elemen-elemen pendukung proses produksi, distribusi maupun eksebisi. Bahkan lebih luas
lagi perspektif ini mengansumsikan interaksi antara film dengan ideologi
15 melihat kompleksitas aspek-aspek film sebagai medium komunikasi massa yang
beroperasi di dalam masyarakat (Irawantoro, 1999:11).
Sementara menurut McQuail (1987:13), dalam lingkup komunikasi film
berperan sebagai sebuah sarana baru yang digunakan untuk menyebarkan hiburan,
serta menyajikan berita, peristiwa, musik, drama, lawak dan sajian teknis lainnya
yang mengandung informasi kepada mayarakat umum. Dengan perannya dalam
menyebarkan informasi maka film bisa menjadi agen sosialisasi mengenai
penggambaran budaya dalam masyarakat.
Terkadang peran film sebagai agen sosialisasi mampu mendahului
agen-agen sosialisasi tradisional seperti keluarga, sekolah, atau kelompok-kelompok
agama, hal ini dikarena film mampu membangun hubungan secara personal
dengan individu. Karena bersifat personal, tiap individu akan menanggapi pesan
film melalui rangkaian proses psikologi serta pengaruh pengalaman sosial dan
budaya yang dimilikinya masing-masing. Selain itu tingkat kecerdasan dan
pengetahuan yang dimiliki oleh tiap individu ikut berperan, sehingga tanggapan
ataupun dampak yang dialami oleh masing-masing individu tidak harus sama
persis terhadap sebuah film yang sama.
2.2. Representasi Sebagai Kontruksi Realitas Dalam Film
Menurut Hall (1997:28), representasi yaitu tindakan menghadirkan sesuatu
baik orang, peristiwa, maupun objek lewat sesuatu yang lain di luar dirinya,
biasanya berupa tanda atau simbol. Representasi belum tentu bersifat nyata tetapi
16 Sebaliknya menurut Burton (2012), kata representasi merujuk kepada
penggambaran. Namun demikian kata itu tidak hanya sekadar tentang penampilan
di permukaan tapi juga menyangkut tentang makna yang dikonstruksi dibaliknya.
Melalui media massa, terutama film, kita diberikan representasi tentang dunia dan
bagaimana cara kita nantinya akan memahami dunia tersebut. Namun perlu
diingat bahwa representasi dibuat dengan suatu tujuan tertentu oleh pembuatnya,
sehingga tanpa disadari bentuk-bentuk representasi tersebut menjelma sebagai
suatu „pembenaran‟.
Untuk menggambarkan ekspresi hubungan antara teks media (film)
dengan realitas, konsep representasi sering digunakan. Berdasarkan maknanya,
representasi (to represent) bisa didefinisikan sebagai to stand for. Hal tersebut bisa menjadi sebuah tanda (a sign) untuk sesuatu atau seseorang, sebuah tanda tidak sama dengan realitas yang direpresentasikannya tapi dihubungkan dengan
mendasarkan diri pada realitas yang menjadi referensinya (Noviani, 2002:61).
Turner mengatakan bahwa makna film sebagai representasi dari realitas,
berbeda dengan film sebagai refleksi dari realitas. Sebagai refleksi kenyataan,
sebuah film hanya memindahkan kenyataan ke layar tanpa mengubah kenyataan
tersebut, misalnya film dokumentasi, upacara kenegaraan atau film dokumentasi
perang. Sedangkan sebagai representasi dari realitas, film membentuk dan
menghadirkan kembali realitas berdasarkan kode-kode, konvensi-konvensi, dan
ideologi dari kebudayaannya (Turner dalam Sobur, 2003:127-128). Jadi film
sebagai repesentasi realitas masyarakat berarti film adalah perwujudan,
17 Film merangkum aspek-aspek realitas sosial. Tetapi ia tidak
merepresentasikan aspek-aspek tersebut secara tidak jujur. Ia menjadi cermin
yang mendistorsi bentuk-bentuk obyek yang direfleksikannnya tetapi juga
menampilkan citra-citra dalam visinya. Film tidak berbohong tetapi juga tidak
menyatakan yang sebenarnya (Ratna Noviani, 2002).
Menurut Burton dalam Junaedi (2007:65), ada beberapa unsur dalam
representasi yang lahir dari teks media massa yang meliputi:
a. Stereotipe, adalah pelabelan terhadap sesuatu yang sering digambarkan secara negatif.
b. Identitas, meliputi pemahaman kita terhadap kelompok yang direpresentasikan. Pemahaman ini menyangkut siapa mereka, nilai apa yang dianutnya dan bagaimana mereka dilihat oleh orang lain dari sudut pandang positif maupun negatif.
c. Pembedaan (difference), yaitu mengenai pembedaan antar kelompok sosial, dimana satu kelompok diposisikan dengan kelompok yang lain. d. Naturalisa si (naturalization), adalah strategi representasi yang
dirancang untuk mendesain dan menetapkan difference, serta untuk menjaganya agar kelihatan alami selamanya.
e. Ideologi, representasi merupakan relasinya dengan ideologi dianggap sebagai kendaraan untuk mentransfer ideologi dalam rangka membangun dan memperluas relasi sosial.
Selanjutnya dalam proses representasi seorang pembuat film telah
menyeleksi pesan-pesan yang ingin disampaikannya kepada penonton. Alhasil
menurut Burton (2012), “pembuat film telah mengkonstruksi berbagai
representasi terhadap kelompok-kelompok sosial dengan membentuk berbagai
tipe orang tertentu. Representasi-representasi terhadap orang-orang ini
mengungkapkan banyak hal dengan budaya kita dan kepercayaan kita.
Representasi-representasi ini dapat merepresentasikan nilai-nilai dan dapat
memperkukuh nilai-nilai tersebut”.
18
2.3. Film Hollywood Sebagai Media Representasi Hero
Setiap generasi dalam masyarakat pasti memiliki figur seorang hero
(pahlawan) yang telah menjadi bagian dari budaya masyarakat tersebut.
Masyarakat Yunani Kuno mengenal sosok hero legendaris seperti Herkules dan Alexander Agung. Sedangkan masyarakat Indonesia sendiri telah mengenal sosok
hero dalam diri Arjuna dan Gatot Kaca.
Cerita mengenai para hero sudah sejak lama diceritakan secara tradisional, baik berupa mitos yang disampaikan dari mulut ke mulut hingga melalui catatan
sejarah. Namun seiring majunya peradaban manusia, cara maupun media untuk
menceritakan seorang hero semakin berkembang. Di era modern para hero hadir melalui berbagai produk budaya populer dalam bentuk cerita komik, sinetron,
film, hingga video game.
Walaupun sepak terjang hero muncul melalui berbagai media, namun faktanya menunjukkan bahwa cerita hero dalam film ternyata mampu menjangkau lebih banyak konsumen. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika tokoh hero
menjadi lebih populer melalui film dibandingkan bentuk aslinya dalam komik
maupun novel. Jadi diantara berbagai produk budaya populer, film, terutama film
Hollywood menjadi yang paling berpengaruh dalam merepesentasikan hero.
19 protagonis yang mewakili kebenaran dengan antagonis yang mewakili kejahatan.
Karena protagonis seringkali melakukan tindakan-tindakan heroik dalam membela
kebenaran membuat mereka dianggap sebagai simbol pahlawan. Formula inilah
yang kemudian membentuk paham heroisme, dan paham tersebut yang
berpengaruh besar ketika merepesentasikan seorang hero dalam film Hollywood.
Pada periode 1980 hingga 1990-an industri Hollywood sangat gencar
dalam memproduksi film laga. Alhasil beberapa pemeran film laga menjadi ikon
seorang hero, sebut saja beberapa nama seperti Sylvester Stallone, Arnold Schwarzenegger, Bruce Willis, dan Jean-Claude Van Damme. Namun diakhir
periode 1990-an, nama-nama tersebut sedikit demi sedikit mulai tenggelam karena
film-film yang mereka perankan dianggap monoton dan membuat penonton
bosan. Hal ini kemudian mendorong produsen film Hollywood mengambil
langkah-langkah lain, salah satunya adalah mengangkat cerita hero berkekuatan super yang diadaptasi dari komik ataupun novel. Film-film laga seperti ini biasa
disebut sebagai American Superhero Film.
Hollywood melalui American Superhero Film sukses memanfaatkan momentum di akhir tahun 1990-an dan awal 2000-an dengan meluncurkan film
The Matrix (1999) dan X-Men (2000). Selanjutnya, Hollywod berhasil mengemas
genre ini menjadi yang paling digemari penonton hingga sekarang, hal itu bisa
dilihat dari popularitas dan pendapatan tinggi yang diraihnya dalam beberapa
tahun terakhir. Tahun 2012, Hollywood memproduksi film The Avangers yang
20 waktu, dibawah film Avatar dan Titanic. Sedangkan berikut ini adalah daftar
pendapatan tertinggi American Superhero Films yang diproduksi Hollywood:
Tabel 2.1 Highest-Grossing American Superhero Film
No Film Penghasilan Tahun
1 The Avangers $1,511,757,910 2012
2 Iron Man 3 $1,179,951,000 2013
3 Transformers: Dark of the Moon $1,123,746,996 2011
4 The Dark Knight Rises $1,084,439,099 2012
5 The Dark Knight $1,004,558,444 2008
6 Spider-Man 3 $890,871,626 2007
7 Transformers: Revenge of the Fallen $836,303,693 2009
8 Spider-Man $821,708,551 2002
9 Spider-Man 2 $783,766,341 2008
10 The Amazing Spider-Man $752,216,557 2012
Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_highest-grossing_films
Pada perkembangan saat ini, Hollywood melebarkan genre film laga
hingga menyentuh ranah film animasi. Jika awalnya kebanyakan film animasi
hanya mengangkat tema seperti; komedi, fantasi, dan petualangan, namun kini
mulai bermunculan film-film animasi dengan format laga-komedi. Makin
beragamnya tema yang diangkat dalam film animasi menunjukkan upaya
Hollywood untuk menjangkau pasar yang lebih luas. Jika dahulu film animasi
difokuskan untuk kalangan anak-anak, tetapi saat ini film animasi mampu
menjangkau kelompok-kelompok usia remaja hingga dewasa. Hal ini nampaknya
telah berhasil bagi Hollywood yang mampu meraih keuntungan yang sangat besar
dari film animasi. Berikut ini adalah tabel film animasi berpendapatan tertinggi:
21 Tabel 2.2 Sepuluh Film Animasi Hollywood Berpendapatan Terbesar
Rank Film Studio Penghasilan Tahun
1 Sherk 2 DreamWorks $919,838,758 2004
2 Ice Age: Dawn of the Dinosaurs BlueSky $878,701,244 2003
3 Finding Nemo Disney/Pixar $864,625,978 2003
4 Shrek The Third DreamWorks $798,958,162 2007
5 The Lion King Buena Vista/Walt Disney $783,841,776 1994
6 Up Disney/Pixar $683,807,981 2009
7 Ice Age: The Meltdown 20th Century Fox $655,388,158 2006
8 Ratatouille Disney/Pixar $643,707,397 2007
9 Kung Fu Panda DreamWorks SKG $631,736,484 2008
10 The Incredibles Disney/Pixar $631,442,092 2004
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Animasi
Dari tabel diatas terlihat bahwa dalam sepuluh tahun terakhir, beberapa
film animasi mampu meraih pendapatan kotor hingga diatas $500.000.000.
Keuntungan besar dari film animasi tentunya turut berkontribusi besar dalam
mempertebal kocek para pelaku bisnis Hollywood. Selain itu, tabel diatas juga
menunjukkan bahwa film animasi dengan genre laga-komedi mulai disukai oleh
penonton, hal ini terlihat melalui film Kung Fu Panda dan The Incredibles yang menempati urutan sembilan dan sepuluh dalam tabel. Kedua film ini kemudian
diikuti jejaknya oleh film Megamind yang diproduksi Dream Works tahun 2010.
Film animasi bergenre laga-komedi memang belum menjadi yang paling
digemari oleh penonton, namun sama halnya dengan film laga umumnya, film ini
juga menjadi media dalam merepesentasikan figur seorang hero. Oleh karenanya seorang pembuat film akan menggunakan cara-cara tertentu untuk
22 merepesentasikan gagasannya mengenai sosok seorang hero seperti dalam film
Kung Fu Panda, The Incredibles, ataupun Megamind.
Cara-cara pembuat film dalam merepesentasikan gagasannya bisa ditinjau
dari pernyataan Eriyanto yang menyebutkan bahwa ada dua hal terkait dengan
representasi. Pertama, apakah seseorang, kelompok atau gagasan ditampilkan
sebagaimana mestinya, apa adanya ataukah diburukkan. Kedua, bagaimana
representasi tersebut ditampilkan, dengan kata, kalimat, eksentuasi dan bantuan
gambar macam apa seseorang, kelompok, atau gagasan tersebut ditampilkan
(Eriyanto, 2006:113).
Berdasarkan pernyataan Eriyanto diatas, maka bisa diasumsikan bahwa
masalah yang timbul ketika Hollywood merepresentasikan seorang hero
mencakup dua hal. Pertama, adalah bagaimana mekanisme simbol/tanda yang
digunakan oleh produsen film Hollywood dalam membentuk figur seorang hero. Sedangkan yang kedua yaitu apakah sosok hero yang ditampilkan oleh film-film Hollywood bersifat apa adanya sesuai dengan realita yang sesungguhnya, ataukah
dikontruksikan menjadi lebih buruk atau lebih baik dari realita sebenarnya.
Cara-cara para pembuat film dalam merepesentasikan figur seorang hero
di dalam film laga dapat ditinjau dari tiga aspek, meliputi:
2.3.1. Representasi Hero Dalam Aspek Maskulinitas
Meskipun Hollywood membagi film laga menjadi berbagai genre, namun
mayoritas film tersebut umumnya memiliki persamaan, yaitu inti ceritanya
23 aksi-aksi heroik tersebut, para pembuat film sebenarnya menyelipkan gagasan
maskulinitas melalui visualisasi tubuh yang gagah berotot. Jika dulu hero berotot sangat identik dengan Arnold dan Stalone, maka kini gambaran tersebut tampil
melalui superhero yang mengenakan kostum ketat. Selanjutnya, produsen film Hollywood juga berusaha meningkatkan kesan maskulin melalui adegan-adegan
perkelahian ataupun konfrontasi yang hanya mempertotonkan aspek kekuatan dan
keberanian. Dampaknya citra hero dalam film Hollywood lebih ditekankan pada ukuran fisik, kekuatan, dan kemampuan dalam menyelesaikan masalah.
Berbicara mengenai representasi maskulin, kita bisa menyimak pernyataan
Adi (2008:104) yang menyebutkan bahwa simbol hero dalam film Hollywood direpresentasikan melalui tokoh protagonis sebagai sosok yang kuat dengan tubuh
berotot karena seorang hero harus melakukan tindakan-tindakan berani dan berbahaya untuk melindungi yang lemah. Pernyataan ini seakan-akan menegaskan
bahwa kekuatan dan bentuk tubuh ideal merupakan persyaratan yang harus
ditampilkan oleh setiap hero.
Sedangkan kekuatan yang dimiliki seorang hero seringkali digunakan
untuk melindungi yang lemah. Dalam konteks ini „orang-orang yang lemah‟ di
dalam film cenderung mengarah pada golongan tertentu, salah satunya adalah
kaum perempuan. Dalam film-film laga Hollywood, kebanyakan kaum
perempuan diposisikan sebagai golongan yang lemah dan harus diselamatkan oleh
pasangan prianya.
24 Peran pria sebagai pahlawan dan perempuan sebagai korban adalah salah
satu contoh stereotipe dalam citra laki-laki (maskulin) dan perempuan (feminis).
Secara tegas stereotype ini membentuk perbandingan yang jauh berbeda antara laki-laki dan perempuan, hal tersebut dapat ditelusuri dalam tabel berikut ini:
Tabel 2.3 Perbedaan Stereotipe Laki-Laki dan Perempuan
No Men are (should be) Women are (should be)
1 Masculine Feminine
2 Dominant Submissive
3 Strong Weak
4 Aggressive Passive
5 Intelligent Intuitive
6 Rational Emotional
7 Active (do things) Communicative (talk about things)
No Men like: Women Like:
1 Cars/technology Shopping/make up
2 Casual sex with many partners Committed relationship
Sumber: Helen MacDonald dikutip oleh Novi Kurnia (2004:19)
Dari tabel diatas dapat dipahami bahwa stereotype menjadi sumber
pembenaran bahwa pria memang „diharuskan‟ menjadi pahlawan, karena ia
dipandang lebih kuat, agresif, dan aktif. Sebaliknya perempuan ditempatkan
dalam karakter yang lemah dan pasif sehingga wajib bagi para pria untuk
menolongnya. Sebagai tambahan Priyo Soemandoyo (1999) menyebutkan bahwa
pria digambarkan memiliki fisik besar, agresif, prestatif, dominan-superior, asertif
25 Pada perkembangan saat ini sudut pandang mengenai maskulinitas
semakin berkembang. Menurut Barker (2007:1), secara umum maskulinitas
tradisional menilai tinggi nilai-nilai, antara lain kekuatan, kekuasaan, ketabahan,
aksi, kendali, kemandirian, kepuasan diri, kesetiakawanan, dan kerja. Sedangkan
yang dipandang rendah adalah hubungan interpersonal, kemampuan verbal,
kehidupan domestik, kelembutan, komunikasi, perempuan, dan anak-anak.
Namun saat ini nilai-nilai yang dijunjung oleh laki-laki semakin berkembang
sehingga tidak harus sama dengan nilai-nilai dalam maskulinitas tradisional.
Salah satu sudut pandang maskulinitas modern adalah gagasan yang
disampaikan oleh Media Azaareness NetWork. Dikutip oleh Novi Kurnia
(2004:27-28), Media Azaareness NetWork membagi lima karakteristik
maskulinitas modern sebagai berikut:
a. Pertama, sikap yang berperilaku baik atau sportif. Elemen ini dimasukkan dalam pesan media yang berkaitan dengan sikap laki-Iaki yang menggunakan wewenang dalam melakukan dominasi yang ia punya. Kalaupun muncul kekerasan dalam penggunaan wewenang tersebut, kekerasan itu dianggap sebagai strategi yang digunakan laki-laki untuk mengatasi masalah.
b. Kedua, mentalitas ca ve man. Hal ini terlihat dari penggunaan ikon
hero dari sejarah populer yang mendemonstrasikan maskulinitas, seperti: pejuang, bajak laut, bahkan cowboy. Keagresifan dan kekerasan dikesankan wajar karena dianggap sesuai dengan sifat alami laki-laki. Ilustrasi yang sempurna didapatkan pada karakter jantan dan mandiri serta aktivitas yang menantang bahaya. Figur laki-laki dikonstruksikan sebagai lonely hero, dimana ia dibayangkan menyelesaikan semua permasalahan sendirian dan selalu menjadi pemain tunggal.
c. Ketiga, pejuang baru. Dilambangkan dengan kemiliteran maupun olahraga yang dianggap menjadi nilai maskulinitas karena memberikan imajinasi petualangan dan kekuatan laki-laki.
26 pencari nafkah dan pelindung. Oleh karenanya mengejar pembentukan otot menjadi salah satu cara untuk menunjukkan sisi maskulin pria. e. Kelima, maskulinitas pahlawan dan teknologi. Maskulinitas laki-laki
dikaitkan dengan kekuatan teknologi sebagai alat bantu laki-laki perkasa dalam membela diri.
Salah satu hal yang menarik dari kelima poin diatas yaitu anggapan bahwa
maskulinitas dapat dilihat dari aspek teknologi. Masuknya teknologi sebagai
kriteria maskulin tidak lepas dari peradaban manusia yang semakin berkembang,
sehingga teknologi menjelma sebagai simbol gaya hidup yang maju. Hal ini
kemudian memunculkan anggapan bahwa lelaki akan semakin maju dan maskulin
jika mampu menggunakan teknologi.
Untuk menjelaskan fenomena diatas, Judi Wajcman (2001:161-162)
menyebutkan bahwa bisa juga dalam konsep maskulinitas masyarakat barat
kontemporer, bentuk maskulinitas berhubungan erat dengan „kekuatan‟ akan
penguasaan teknologi yang merupakan realisasi laki-laki yang secara sosial gagal
mengkompensasikan kurangnya kekuatan „fisik‟ mereka. Contoh kasus disini
adalah kaum hackers yang secara fisik tidak menarik dan patologis namun secara
teknik mereka adalah potret „perkasa‟ dalam hubungannya dengan kelaki-lakian.
Pada film Hollywood, implementasi maskulintas terhadap teknologi dapat
dilihat dari pernyataan Dipaolo berikut “secara tradisonal cerita hero dipahami
dengan cara melibatkan ikon manusia heroik, berpakaian warna-warni dan
memiliki kemampuan luar biasa, cerdas, dan berkekuatan supranatural. Tetapi
sebaliknya saat ini ada beberapa hero seperti Iron Man dan Green Latern yang
27
merupakan „manusia normal‟, tapi dapat menjadi sangat kuat dengan bantuan
teknologi canggih (Dipaolo, 2011:2)”.
Pernyataan Di Paolo diatas menandakan bahwa terdapat pergeseran sudut
pandang bahwa „kekuatan‟ tidak lagi hanya mengenai persoalan fisik dan
supranatural tetapi dapat berwujud teknologi. Jadi, saat ini maskulinitas melihat
„kekuatan‟ laki-laki tidak harus selalu berarti fisik yang kuat dan badan yang kekar. Namun perlu diperhatikan bahwa meskipun laki-laki secara fisik tidak
menonjol, tetapi ia diharuskan memiliki kemampuan yang lebih, sehingga
membuat dirinya menonjol.
2.3.2. Representasi Perilaku Seorang Hero
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, pahlawan adalah orang yang
menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran;
pejuang yang gagah berani.Sedangkan bagi masyarakat barat, hero atau pahlawan didefinisikan sebagai: a) a mythological or legendary figure often of descent endowed with great strength or ability; b) an ilustrios warrior; c) a man admired for his achievements and noble qualities (www.websterdictionary.com).
Jika dilihat dari sejarahnya, definisi hero dalam masyarakat barat berakar dari istilah Yunani Kuno. Istilah ini menjadi populer melalui karya-karya sastra
seperti wiracarita atau epos, yaitu sejenis karya sastra tradisional yang
menceritakan kisah kepahlawanan (wira berarti pahlawan dan carita adalah kisah).
Dalam era Yunani Kuno, wiracarita yang sangat berpengaruh diantaranya adalah
28 Homeros dan Hesiodos dalam karyanya menceritakan para hero sebagai manusia setengah dewa atau demigod yang dikaruniakan kekuatan super, contohnya seperti Herakles (Hercules), Achilles, dan Perseus.
Selain memiliki kekuatan super, tokoh hero dalam cerita Yunani Kuno juga digambarkan sebagai sosok petualang pemberani dan pembela kebenaran
yang berperilaku lurus. Hal tersebut membuat mereka menjadi panutan bagi orang
disekitarnya. Konsep hero seperti inilah yang kemudian mempengaruhi identitas pahlawan di Barat, khususnya dalam cerita komik, televisi, dan film. Alhasil
ketika mendengar kata hero, tentunya kita akan hanyut dalam anggapan bahwa ia adalah seorang tokoh utama yang gagah, baik hati, pembela keadilan dan
kebenaran, idola, dan lain sebagainya. Anggapan ini menuntun kita bahwa semua
perilaku hero mencerminkan sisi positif dari manusia ideal.
Namun adakalanya orang bosan dengan hero berperilaku lurus dan ingin melihat sosok hero dengan sifat yang berbeda. Ketika masyarakat mulai bosan, maka insan perfilman Hollywood dengan cermat memanfaatkan situasi tersebut
dengan menghadirkan „pahla wan-pahla wan barunya‟ agar penonton tidak
menjauh darinya. Sineas-sineas Hollywod lantas menampilkan hero baru yang berperilaku kasar, egois, bahkan tidak sedikit dari mereka yang masuk kategori
penjahat. Fenomena ini nampak dalam beberapa karakter hero seperti Robin Longstride (Robin Hood), Captain Jack Sparrow (Pirates Of The Caribbean), Dominic Toretto (Fast and Furious), dan lain-lain.
29 Secara garis besar gambaran hero yang berperilaku negatif sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu, bahkan sebelum industri Hollywood terlahir. Salah satu
tokoh yang terkenal dalam menampilkan hero berkarakter negatif adalah George Gordon Byron (Lord Byron). Byron merupakan sastrawan Inggris yang karyanya
pada abad ke-19 seperti Fragment of a Novel dianggap sangat berbeda, menarik, dan dilihat sebagai suatu nafas baru dalam kesusastraan Inggris.
Karya-karya Byron kemudian diteruskan oleh kedua temannya, Mary
Shelley dan John William Polidori. Mary Shelley menerapkan hero berkarakter negatif dalam novel Frankenstein, sementara Polidori menulisnya dalam cerita berjudul The Vampire. Kedua cerita dari Shelley dan Polidori kemudian sukses, dan untuk menghormati kontribusi Lord Byron sebagai inspirasi dalam
karya-karya tersebut maka muncul aliran Byronic Hero untuk mendeskripsikan sosok
hero dengan karakter negatif.
Menurut Gross yang dikutip oleh Bima Pranachitra (2010:3), Byron kerap
menggambarkan Byronic Hero dengan sosok gotik, melankolis, moody, misterius, sinis, sedikit arogan, pemberontak, serta dibayangi oleh masa lalu yang kelam.
Namun di lain sisi ia terpelajar, baik hati, dan bersahaja. Ciri perwatakan Byronic Hero yang kompleks, yakni banyak mengalami perubahan suasana hati (mood)
dan cenderung kontroversial menjadikannya sulit untuk ditentukan sebagai
kategori tokoh protagonis atau antagonis.
30 dan berperilaku layaknya mesin (Thorslev Jr., 1962). Sehingga Byronic Hero
merupakan gambaran hero yang manusiawi dimana ia tidak dapat ditebak secara matematis dan akurat karena memiliki perasaan dan suasana hati, meskipun ia
tidak bias lepas dari keharusan bersikap rasional.
Sementara Thorslev Jr. (1962:7) juga menyebutkan bahwa Byronic Hero
sering juga disebut sebagai Villainous Hero atau pahlawan setengah jahat. Alasannya dikarenakan adanya manifestasi perilaku pendosa, atau disebut juga
sebagai „algolagnia’, yakni perilaku yang berlawanan antara kegembiraan dan
duka, rasa cinta dan rasa benci, kelembutan dan kekasaran yang bercampur
menjadi satu. Mengomentari pernyataan tersebut, Bima dalam penelitiannya
(2010:12) menyimpulkan bahwa perilaku pendosa seorang Byronic Hero adalah gejala neurosis yang dipicu oleh sikap depresi terhadap ketidakadilan sosial yang dialaminya di masa lalu. Inilah kemudian yang menggambarkan Byronic Hero
sebagai tokoh yang banyak terlibat konflik batin dan ketidakstabilan mental.
Berdasarkan Wikipedia, Byronic Hero biasanya menunjukkan beberapa ciri- ciri sebagai berikut: a. Sombong, licik dan mampu beradaptasi; b. Sinis dan
seringkali emosinya bertentangan, bipolar, atau moody; c. Menghormati pangkat dan hak istimewa; d. Memiliki kebencian terhadap lembaga sosial dan
norma-norma; e. Memiliki masa lalu bermasalah atau menderita karena suatu kejahatan
yang tidak disebutkan; f. Cerdas, perseptif, canggih dan berpendidikan; g.
Misterius; h. Sifatnya senang merugikan diri sendiri; i. Berjuang dengan
integritas; j. Diperlakukan dalam pengasingan, sebagai orang terbuang, atau
31 Dalam penerapannya, film Hollywood banyak menggambarakan Byronic Hero sebagai tokoh yang semula dianggap antagonis, antara lain: mahkluk supranatural (setan, vampir, dan monster), pelaku kriminal, buronan, orang
buangan, ataupun tokoh kontroversial lainnya. Namun pada akhirnya diketahui
bahwa tokoh-tokoh ini sebenarnya bermanifestasikan perilaku seorang hero yang melindungi orang-orang disekitarnya.
Pada dasaranya manifestasi perilaku seorang hero bukanlah hal yang terbentuk secara mudah (instan) ataupun alamiah. Sulitnya memahami perilaku
seorang hero juga dialami oleh tokoh-tokoh Byronic Hero. Seorang Byronic Hero
tidak bisa secara tiba-tiba mengerti perilaku dan nilai-nilai kepahlwanan, namun
mereka memerlukan waktu dan pengalaman yang terbentuk melalui proses
belajar. Proses belajar inilah yang kemudian dapat diamati berdasarkan
konsep-konsep ilimiah. Salah satu teori yang dapat digunakan untuk mengkaji proses
belajar seorang hero adalah teori belajar konstruktivisme.
Konstruktivisme adalah aliran filsafat pengetahuan yang berpendapat
bahwa pengetahuan (knowledge) merupakan hasil konstruksi (bentukan) dari orang yang sedang belajar, maksudnya setiap orang membentuk pengetahuannya
sendiri. Dalam pandangan konstruktivisme pengetahuan bukanlah “sesuatu yang
sudah ada di sana” dan tinggal mengambilnya tetapi merupakan suatu bentukan
terus menerus dari orang yang belajar dengan setiap kali mengadakan reorganisasi
karena adanya pemahaman yang baru (Fosnot, 1996:14).
32 Salah satu tokoh yang terkenal dalam aliran belajar konstruktivisme adalah
seorang pakar psikolog dari Swiss bernama Jean Piaget. Piaget dalam Fosnot
(1996:13-14), menyoroti bagaimana individu pelan-pelan membentuk skema
pengetahuan, pengembangan skema dan mengubah skema. Ia menekankan
bagaimana seseorang mengkonstruksi pengetahuan dari berinteraksi dengan
pengalaman dan objek yang dihadapinya. Tampak bahwa Piaget menaruh
gagasannya pada keaktifan individu dalam membentuk pengetahuan. Dalam
pandangan Piaget, pengetahuan dibentuk oleh individu lewat asimilasi dan
akomodasi dalam proses yang terus menerus dari anak-anak sampai dewasa.
Asimilasi adalah proses kognitif yang dengannya seseorang
mengintegrasikan persepsi, konsep, nilai-nilai ataupun pengalaman baru ke dalam
skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi dapat dipandang
sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian
atau rangsangan yang baru dalam skema yang telah ada. Proses asimilasi bersifat
individual dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan
lingkungan sehingga pemaham orang akan terus berkembang (Suparno, 1997:31).
Dalam proses pembentukan pengetahuan dapat terjadi seseorang tidak
dapat mengasimilasikan pengalaman baru dengan skema yang telah dipunyai.
Dalam keadaan ini orang akan mengadakan akomodasi, yaitu (1) membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru, atau (2) memodifikasi
skema yang ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 1997:32).
33 Proses dalam akomodasi oleh kaum konstruktivis disebut sebagai
perubahan konsep secara radikal. Konsep secara radikal terjadi karena adanya
peristiwa anomali, yaitu peristiwa dimana individu tidak dapat mengasimilasikan
pengetahuannya untuk memahami fenomena yang baru. Suparno (1997:50-51)
mengatakan bahwa agar terjadi perubahan konsep secara radikal maka dibutuhkan
keadaan dan syarat sebagai berikut:
a. Harus ada ketidakpuasan terhadap konsep yang telah ada. Individu mengubah konsepnya jika mereka yakin bahwa konsep mereka yang lama tidak dapat digunakan lagi untuk menelaah situasi, pengalaman, dan gejala yang baru.
b. Konsep yang baru harus dimengerti, rasional, dan dapat memecahkan persoalan atau fenomena yang baru.
c. Konsep yang baru harus masuk akal, dapat memecahkan dan menjawab persoalan yang terdahulu, dan juga konsisten dengan teori-teori atau pengetahuan yang sudah ada sebelumnya.
d. Konsep baru harus berdaya guna bagi perkembangan dan penemuan fenoma yang baru.
Untuk mempersingkat konsep asimiliasi dan akomodasi, kita dapat
menyimaknya melalui contoh sederhana dalm film Robin Hood. Mulanya Robin
Hood mempunyai skema bahwa semua ksatria (pahlawan) harus menjunjung
kebenaran dan taat pada hukum. Skema ini didapatkannya terhadap nilai-nilai
yang pernah dijumpainya. Namun pada suatu hari terjadi peristiwa anomali
dimana ia menyadari bahwa penegak hukum (bangsawan) yang dipandang sebagai
ksatria justru berbuat korupsi.
Melalui peristiwa tadi Robin Hood mengalami bahwa skema lamanya
tidak cocok dengan pengalaman yang baru, maka dia mengadakan akomodasi
dengan membentuk skema baru. Dalam skema barunya, Robin Hood terdorong
34 Sejatinya mencuri adalah pelanggaran hukum yang tidak mencerminkan sikap
ksatria, namun bagi Robin Hood tindakannya tersebut justru merupakan sikap
pahlawan yang sebenarnya.
Kasus Robin Hood menunjukkan bahwa seorang hero terkadang dapat berbuat menyimpang karena melakukan pelanggaran hukum. Meskipun
melanggar hukum akan tetapi Robin Hood masih dianggap sebagai seorang hero
karena ia menolong orang-orang yang membutuhkan bantuan. Intinya, meskipun
Robin Hood adalah seorang pelaku kriminal namun di lain sisi ia memperlihatkan
sikap penolong, yangmana sikap tersebut terbentuk melalui proses belajar.
2.3.3. Representasi Latar Belakang Sosial Seorang Hero
Hero dalam film Hollywood direpesentasikan dalam latar belakang sosial yang terdapat ditengah-tengah masyarakat. Konteks latar belakang sosial seorang
hero bisa dilihat dari beberapa sudut pandang misalnya dari stratifikasi sosial. Menurut Bungin (2006:49), stratifikasi atau strata sosial adalah struktur sosial
yang berlapis-lapis di dalam masyarakat. Lapisan sosial menunjukkan bahwa
masyarakat memiliki strata, mulai dari yang terendah sampai yang tertinggi.
Lapisan soisal terjadi karena adanya pengelompokan yang didasarkan pada
suatu simbol-simbol tertentu yang dianggap berharga atau bernilai dalam suatu
kelompok masyarakat. Berharga atau bernilai dalam hal ini didasarkan pada
pandangan sosial, ekonomi, politik, hukum, budaya maupun dimensi lainnya yang
dipahami oleh masyarakat tersebut. Sedangkan secara umum strata sosial
35 melahirkan kelas sosial atau golongan sosial yang terdiri dari tiga tingkatan yaitu
atas (upper class), menengah (middle class), dan bawah (lower cla ss).
Sebagai representasi dari realitas, film Hollywood juga memperlihatkan
kondisi pelapisan sosial yang terdapat di masyarakat, khususnya masyarakat
Amerika. Berdasarkan Paul Horton (2007:6), pada masyarakat Amerika pelapisan
sosial yang terjadi karena faktor ekonomi terbagi menjadi enam kelas yang terlihat
pada gambar dibawah ini:
Gambar 2.1 Gambar Pelapisan Sosial Masyarakat Amerika
Atas
Menengah
Bawah
1. Upper-upper class : Kelas keluarga-keluarga yang telah lama kaya. 2. Lower-upper class : Kelas masyarakat yang belum lama menjadi kaya. 3. Upper-middle class : Kelas dari kelompok pengusaha dan kaum professional. 4. Lower-middle class : Kelas yang terdiri dari pegawai pemerintah, kaum
semi profesional, supervisor, dan pengrajin terkemuka.
5. Upper-lower class : Kelas dari kelompok pekerja tetap (golongan pekerja). 6. Lower-lower class : Kelas para pekerja tidak tetap, pengangguran, buruh
36 Pembagian kelas sosial diatas juga nampak terjadi dalam film-film
Hollywood. Seringkali tokoh hero dalam film Hollywood ditempatkan sebagai golongan sosial menengah keatas. Contoh-contoh hero dari golongan atas terlihat pada karakter Bruce Wayne (Batman), Tony Stark (Iron Man), Oliver Queen
(Arrow), Sam Flynn (Tron Legacy), Britt Reid (The Green Hornet) dan lainnya.
Tokoh-tokoh hero yang disebutkan tadi merupakan kelompok masyarakat kaya atau milyuner yang mewarisi kekayaan keluarganya secara turun-temurun.
Sedangkan menurut Soekanto (1990:262) “salah satu ukuran atau kriteria
yang biasa dipakai untuk menggolong-golongkan anggota-anggota masyarakat ke
dalam suatu lapisan adalah ukuran pekerjaan. Barang siapa yang memiliki
pekerjaan kantoran, termasuk dalam lapisan teratas.” Oleh sebab itu produsen
-produsen film Hollywood secara disadari maupun tidak, seringkali menampilkan
seorang hero sebagai seseorang yang memiliki pekerjaan kantoran. Contoh hero
yang bekerja kantoran bisa dilihat pada karakter-karakter seperti Clark Kent
(Superman) dan Peter Parker (Spiderman) yang bekerja sebagai jurnalis atau Matt
Murdock (Daredevil) yang berprofesi menjadi pengacara.
Disamping faktor kekayaan dan pekerjaan, pelapisan sosial juga dapat
diukur dari segi pakaian yang dikenakan seseorang. Soekanto (1990:263)
menyebutkan bahwa salah satu kriteria yang dipakai untuk
menggolong-golongkan masyarakat ke dalam suatu lapisan adalah ukuran kekayaan. Kekayaan
tersebut misalnya bisa dilihat dari bentuk rumah yang bersangkutan, cara-cara