• Tidak ada hasil yang ditemukan

Representasi Poligami dalam Pernikahan Fahri, Aisyah dan Maria

Dalam dokumen REPRESENTASI POLIGAMI DALAM pdf 1 (Halaman 84-99)

GAMBARAN UMUM PENELITIAN

III- 11 dianggapnya lemah

3.1. Representasi Poligami dalam Pernikahan Fahri, Aisyah dan Maria

Dalam versi novelnya, kehidupan poligami antara Fahri, Aisyah, dan Maria tidak diceritakan karena setelah Fahri menikahi Maria seketika itu juga Maria meninggal. Jadi tidak ada kehidupan rumah tangga berpoligami yang dijalani oleh Fahri, Aisyah dan Maria. Namun, dalam filmnya Maria diceritakan tidak langsung meninggal setelah di nikahi Fahri. Jadi, dalam versi filmnya ada keinginan dari Hanung Bramantyo selaku sutradara film Ayat-Ayat Cinta untuk menggambarkan bagaimana kehidupan poligami yang dijalani oleh Fahri, Aisyah dan Maria. Baik versi novel maupun film telah menyahuti doktrin klasik film bahwa yang terpenting bukanlah jalan cerita, tetapi gagasan apa yang hendak disampaikan. Namun, yang juga membedakan versi film dengan novel adalah pada tema utamanya. Dalam versi novel, Ayat-Ayat Cinta adalah novel dakwah yang tema utamanya adalah superioritas Islam, di samping tema kesesuaian Islam dengan tuntutan kekinian dan penekanan bahwa Islam bukan agama kekerasan. Tema superioritas Islam atas agama lain itu bisa dilihat dari plot mimpi Maria yang Kristen Koptik yang tidak bisa masuk Surga, karena bukan sebagai Muslim, meski hafal Surat Maryam, sebuah pandangan mainstream umat Islam yang berbeda dengan kaum pluralis. Maria pun kemudian masuk Islam. Dalam versi film, plot ini diubah. Logika masuk Islamnya Maria lebih sebagai logika pernikahan dengan Fahri yang Muslim, sesuatu yang lumrah dalam realitas di Indonesia. Plot lain yang memperlihatkan asumsi superioritas Islam dalam versi novel adalah juga plot masuk Islamnya Alicia, wartawan American Time yang dalam versi film juga tidak ada. Dalam versi film, meskipun sisi ajaran Islam

III-37

mengenai keharusan berbuat baik terhadap non Muslim, Islam sebagai agama damai dan agama yang menghormati perempuan tetap dimunculkan, tetapi tema utamanya, berbeda dengan versi novel, tampaknya adalah poligami. Ini berbeda sekali dengan versi novel, dimana plot poligami dengan Maria dihadirkan lebih untuk membebaskan Fahri dari penjara saja. Dapat dilihat dalam gambar (Gbr.26) saat Maria bersaksi di persidangan untuk membebaskan Fahri dari penjara.

Gambar 26

Dalam film ini kehidupan poligami hanya diceritakan sepertiga durasi film saja dimulai dari pernikahan Fahri dengan Maria di rumah sakit atas permintaan dari Aisyah. poligami yang dilakukan Fahri ditampilkan karena terdesak dan atas permintan istrinya, yaitu karena Fahri dibutuhkan anak yang dikandung Aisya dan juga Maria yang sakit hampir meninggal karena memendam cinta yang terlalu dalam. Namun, saat Fakhri menyatakan cintanya pada Maria, Aisyah menangis.

III-38

Gambar 27 Gambar 28

Dari gambar (Gbr.27 dan 28) memperlihatkan bagaimana Aisyah melepas cincin kawinnya dan memberikan kepada Fahri. Ini menggambarkan bagaimana Aisyah merelakan dirinya untuk dipoligami, cincin kawin merupakan simbol komitmen antara sepasang laki-laki dan perempuan yang melakukan pernikahan. Ada suatu ritual menukar cincin yang dilakukan oleh pasangan yang menikah dan cincin juga bisa menjadi tanda bahwa seseorang sudah menikah dan tidak bisa dinikahi dengan orang lain. Pada saat Aisyah menyerahkan cincinnya ini berarti Aisyah merelakan Fahri untuk menikah lagi dengan Maria. Disini terlihat bahwa ada paksaan dari Aisyah agar Fahri menikahi Maria dan menjalani kehidupan poligami dengan dirinya. Alasan “keterpaksaan” inilah yang menjadi awal dari keputusan Fahri untuk berpoligami. Dibalik paksaan Aisyah agar Fahri menikahi Maria, disisi lain justru hal itu menyakiti hati Aisyah sendiri. Seperti terlihat dalam gambar (Gbr.29) bagaimana Aisyah menangis sesaat setelah Fahri melakukan ijab kabul dengan Maria.

III-39

Gambar 29

Dari sini terlihat adanya rasa sakit hati yang mendalam dari dalam diri Aisyah saat Fahri suaminya menikah dengan perempuan lain. Penggambaran poligami yang ditampilkan disini ialah bahwa poligami dapat melukai hati salah satu pihak yang dipoligami dalam hal ini Aisyah. Pernikahan (poligami) yang seharusnya membawa kebahagiaan disini justru memberikan kesedihan, ini berarti menjadi pertanda akan sulitnya menjalani kehidupan poligami pada nantinya jika pada awalnya saja sudah memberikan rasa sakit hati kepada salah satu pihak yang dipoligami. Disini tidak terjadi penggambaran keadilan, padahal adil adalah syarat utama diperbolehkannya poligami. Syarat yang ditentukan Islam untuk poligami ialah terpercayanya seorang muslim terhadap dirinya, bahwa dia sanggup berlaku adil terhadap semua isterinya baik tentang soal makannya, minumnya, pakaiannya, rumahnya, tempat tidurnya maupun nafkahnya. Siapa yang tidak

III-40

mampu melaksanakan keadilan ini, maka dia tidak boleh kawin lebih dari seorang.13

Setelah menikahi Maria, akhirnya mereka bertiga hidup bersama di flat milik Aisyah. Dari sini terlihat kembali adanya ketidakmampuan Fahri untuk memberikan keadilan kepada kedua isterinya. Yakni pemenuhan kebutuhan rumah sebagai tempat berlindung. Ironisnya justru Aisyah lah sebagai isteri pertama yang mampu memberikan kebutuhan itu kepada suami dan isteri kedua suaminya. Ini menggambarkan tidak adanya tanggung jawab Fahri sebagai seorang suami untuk dapat memberikan perlindungan kepada kedua isterinya yaitu rumah sebagai tempat bernaung dan menjalani kehidupan rumah tangganya. Disini terjadi kebalikan dari peran gender antara Fahri dan Aisyah. Dalam pandangan masyarakat patriarkal yang masih menggunakan peran gender yang kaku dimana perempuan itu pasif dan laki-laki itu aktif urusan tanggung jawab keluarga merupakan tugas dari seorang laki-laki. Namun di film ini tugas itu justru diambil alih oleh Aisyah sebagai isteri pertama. Dalam praktik sosial di masyarakat, diskursus seperti ini digunakan oleh perempuan untuk menghancurkan kekuasaan laki-laki yang tidak layak atas perempuan, yaitu dengan cara menyadari bahwa perempuan tidak ditakdirkan untuk menjadi pasif, seperti juga laki-laki tidak ditakdirkan untuk menjadi aktif, dan kemudian mengembangkan kombinasi apa pun dari sifat-sifat feminin dan maskulin yang paling baik merefleksikan kepribadian unik mereka masing-masing.

13

DR. Yusuf Qardhawi, Poligami, sumber: 2009, 15.38 wib

III-41

Penggambaran ketidakadilan dalam poligami juga terlihat dalam adegan saat Aisyah bertanya kepada Fahri dengan siapa dia tidur malam ini. Ada ketidakmampuan dari Aisyah sebagai isteri yang dipoligami untuk meminta haknya dalam hal ini yang berkaitan dengan seks. Disini terlihat bahwa seakan-akan Aisyah adalah milik Fahri dan ia bisa mengajak berhubungan seks kapan saja Fahri ingin, namun sebaliknya Aisyah tidak memiliki Fahri sepenuhnya karena ia harus “berbagi” dengan Maria. Menurut Millet dalam buku Feminist Thought, ideologi patriarkal membesar-besarkan perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan, dan memastikan bahwa laki-laki-laki-laki selalu mempunyai peran yang maskulin dan dominan, sedangkan perempuan selalu mempunyai peran yang subordinat, atau feminin. Ideologi ini begitu kuat, hingga laki-laki biasanya mampu mendapatkan persetujuan dari perempuan yang mereka opresi. Aisyah sebagai perempuan dan pihak yang teropresi mau tidak mau harus menuruti apa kemauan Fahri yang berperan sebagai maskulin dan dominan disini. Aliran feminisme radikal menganggap bahwa penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki, seperti hubungan seksual, adalah bentuk dasar dari penindasan terhadap kaum perempuan (Jaggar, 1977).14 Bagi mereka patriarki adalah dasar dari ideologi penindasan yang merupakan system hirarki seksual dimana laki-laki memiliki kekuasaan superior dan privilege ekonomi (Eisenstein, 1979).15

14

Fakih, Mansour. Analisis Gender & Transformasi Sosial. (Yogyakarta, PUSTAKA PELAJAR, 2007) Hal.85

Oleh kelompok feminis yang lain, terutama feminisme Marxis, analisis mereka disebut sebagai

15

III-42

ahistoris karena menganggap patriarki sebagai hal yang universal dan merupakan

akar dari segala penindasan.

Adanya pilihan bagi Fahri untuk menentukan dengan siapa dia akan tidur menunjukkan superioritas laki-laki terhadap perempuan yang dipoligami. Kebingungan Fahri untuk menentukan dengan siapa dia akan tidur menggambarkan betapa sama-sama bernilainya kedua isterinya tersebut. Tidak ada kekurangan secara fisik dari keduanya. Maria dan Aisyah sama-sama digambarkan sebagai sosok perempuan yang masih muda, cantik, putih, langsing, serta pintar. Menurut Crane (1999) dan Holtzman (2000) “The feminine ideal is young and thin, preoccupied with men and children, and enmeshed in relationships or housework”. Jadi, diskursus poligami yang dibentuk disini ialah bahwa jika kita berpoligami harus memilih perempuan yang penampilan fisiknya baik. Konstruksi media berperan penting disini. Dengan latar belakang film yang masuk ke sebuah industri, pengkonstruksian perempuan sebagai bentuk yang sempurna menurut media (cantik, putih, tinggi, langsing) sangat berperan besar. Ini memberikan gambaran bahwa poligami ialah suatu hal yang sangat menyenangkan bagi laki-laki karena bisa memilih untuk tidur dengan dua orang perempuan yang sempurna menurut penggambaran dari media.

Penggambaran ketidakadilan terlihat saat adegan Fahri bermesraan dengan Maria yang dilihat langsung dengan mata kepala Aisyah. (Gbr.30 dan 31). Ada kecemburuan yang tergambar dari diri Aisyah atas Maria. Terlihat dari raut muka yang sedih saat melihat Fahri dan Aisyah bercumbu. Ini menunjukkan dalam pernikahan poligami dimana dua orang isteri tinggal satu atap dengan seorang

III-43

suami dapat memicu kecemburuan serta rasa sakit hati dari salah satu isteri yang dipoligami. Disini kemudian muncul suatu bentuk ketidakadilan dan kekerasan yang muncul dari rasa sakit hati isteri yang lain.

Gambar 30 Gambar 31

Gambar 32 Gambar 33

Begitu juga sebaliknya, saat Fahri bermesraan dengan Aisyah timbul kecemburuan dan rasa sakit hati dari diri Maria. Seperti terlihat dalam gambar (Gbr.32 dan 33). Dari dua penggambaran tersebut memperlihatkan bahwa dalam poligami sulit untuk berlaku adil dan sulit untuk mempersatukan dua orang isteri

III-44

ke dalam suatu pernikahan yang harmonis. Berdasarkan kajian terhadap Al-Qur’an dan Sunah Nabi Muhammad. Khoiruddin Nasution menyimpulkan lima prinsip pernikahan yang salah satunya ialah prinsip menciptakan rasa aman dan tentram dalam keluarga.16 Ini berarti dalam kehidupan rumah tangga harus tercipta suasana merasa saling kasih, saling cinta, saling melindungi dan saling sayang dan setiap anggota keluarga berkewajiban untuk menciptakan prinsip ini dalam hal ini juga antara Aisyah dengan Maria. Rasa aman dan tentram bagi anggota keluarga adalah aman dan tentram secara kejiwaan (psikis) maupun jasmani (fisik). Dengan prinsip ini maka rumah ibarat surga bagi seluruh anggota keluarga dan anggota keluarga tersebut tidak akan mencari keamanan dan ketentraman diluar rumah tangganya. Prinsip kenyamanan dan ketentraman kehidupan rumah tangga ini didasarkan pada ketentuan Al-Qur’an surat Ar-Rum ayat 21 yaitu terciptanya keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah.17

16

Ridwan, M.Ag. Kekerasan Berbasis Gender, (Purwokerto, Pusat Studi Gender STAIN, 2006 ) hal. 132

Dalam film ini penggambaran tidak adanya rasa tentram terlihat pada saat Aisyah pergi meninggalkan rumah dan tinggal di rumah pamannya (Gbr.34). Ini berarti Aisyah tidak menemukan rasa aman dan tentram secara kejiwaan maupun jasmani di dalam pernikahan poligami yang dijalaninya. Penggambaran yang muncul disini ialah bahwa poligami tidak bisa memberikan ketentraman dan rasa aman dalam kehidupan pernikahan.

17

III-45 Gambar 34

Kebingungan Fahri menghadapi masalah pernikahannya berlanjut saat dia merasa tidak dapat menyatukan Aisyah dan Maria dalam suatu kehidupan poligami yang berbahagia. Seperti diperlihatkan dalam narasi percakapan berikut.

Fahri : Aku bingung Ful, gimana caranya nyatuin Aisyah sama Maria?

Saiful : Aku ini satu istri aja belum punya, kamu nanya dua.

Fahri : Aku capek Ful.

Saiful : Ini sok tauku aja lho ya, kamu tidak akan pernah bisa menyatukan mereka. Yang bisa kamu lakukan adalah berusaha untuk adil. Tapi ingat, satu istri saja belum tentu merasa adil apalagi dua Ri!! Semuanya kembali lagi ke imanmu. Serahkan semuanya kepada Allah.

Dari percakapan diatas memperlihatkan bagaimana ketidakmampuan Fahri untuk bisa menyatukan Aisyah dan Maria. Fahri sudah merasa capek dalam berusaha memberikan perlakuan adil kepada mereka berdua. Menurut Saiful

III-46

sahabatnya, satu-satunya cara bagi Fahri untuk bisa mempersatukan mereka berdua ialah dengan berusaha berbuat adil, namun dia juga mengingatkan bahwa satu istri saja belum tentu merasa adil, apalagi dua. Ini menggambarkan bahwa untuk bisa berlaku adil sebagai syarat utama poligami sangatlah susah bahkan hampir mustahil. Menurut Muhammad Abduh (1849-1905), ada tiga alasan haramnya poligami. Pertama, syarat poligami adalah berbuat adil. Syarat ini sangat sulit dipenuhi dan hampir mustahil, sebab Allah sudah jelas mengatakan dalam QS.4:129 bahwa lelaki tidak akan mungkin berbuat adil. Kedua, buruknya perlakuan para suami yang berpoligami terhadap para istrinya, karena mereka tidak dapat melaksanakan kewajiban untuk memberi nafkah lahir dan batin secara baik dan adil. Ketiga, dampak psikologis anak-anak dari hasil pernikahan poligami. Mereka tumbuh dalam kebencian dan pertengkaran sebab ibu mereka bertengkar baik dengan suami atau dengan istri yang lain.18

Abduh menjelaskan hanya Nabi Muhammad SAW saja yang dapat berbuat adil sementara yang lain tidak, dan perbuatan yang satu ini tak dapat dijadikan patokan sebab ini kekhususan dari akhlak Nabi kepada istri-istrinya. Abduh membolehkan poligami hanya kalau istri itu mandul. Fatwa dan tafsiran Abduh tentang poligami membuat hanya dialah satu-satunya ulama di dunia Islam yang secara tegas mengharamkan poligami.19

18

Abu Faqih, Menerjemahkan Legalitas Poligami dalam Kehidupan Bermasyarakat. Sumber

Jelas sekali terlihat di dalam film ini bagaimana Fahri tidak mampu memberi nafkah lahir dan batin secara adil kepada dua orang istrinya, bahkan kepada Aisyah seorang saja Fahri masih belum dapat

19

III-47

berlaku adil. Berdasarkan pendapat ulama Muhammad Abduh bahwa hanya Nabi Muhammad saja yang dapat berlaku adil semakin memperkuat penggambaran ketidakmampuan Fahri dalam menjalani kehidupan poligami di dalam film ini.

BAB IV

PENUTUP

4.1. KESIMPULAN

Pada film Ayat-Ayat Cinta poligami direpresentasikan sebagai suatu keadaan yang tidak harmonis dengan banyaknya bentuk ketidakadilan dalam sebuah hubungan pernikahan. Tokoh-tokoh yang menjalani kehidupan poligami telah menjadi korban atas suatu bentuk kekerasan dari pihak yang berkuasa yaitu laki-laki di dalam suatu budaya masyarakat patriarki. Karena ketidakberdayaan melawan kekuasaan patriarki, maka tokoh-tokoh yang dipoligami tersebut harus menerima tindakan ketidakadilan tersebut tanpa sanggup melawan serta mendobrak dominasi patriarki yang terbentuk dari praktik sosial serta budaya yang turun temurun.

Pembentukan representasi poligami dalam film ini dipengaruhi oleh konteks diluar film tersebut dalam hal ini dalam fenomena sosial yang terjadi. Fenomena poligami yang mengatasnamakan kemampuan laki-laki dalam berbuat adil seperti yang tercantum di dalam Al Qur’an sebagai tuntunan umat muslim semakin marak di masyarakat serta media massa. Film ini memberikan reaksi atas fenomena poligami yang terjadi di Indonesia saat film ini dibuat. Representasi poligami yang muncul dalam film Ayat-Ayat Cinta ini adalah :

 Representasi poligami yang dibentuk disini ialah bahwa jika kita berpoligami harus memilih perempuan yang penampilan fisiknya baik. Konstruksi media berperan penting disini. Dengan latar belakang film yang masuk ke sebuah industri, pengkonstruksian perempuan sebagai bentuk yang sempurna menurut media (cantik, putih, tinggi, langsing) sangat berperan besar. Diperlihatkan dalam tampilan tokoh Aisyah yang diperankan artis Rianti Cartwright dan Carissa Putri yang berpenampilan fisik cantik, langsing, berkulit putih.

 Tidak adanya bentuk perlawanan dari perempuan yang dipoligami menunjukkan bahwa budaya patriarki sangat berperan besar dalam praktik poligami. Poligami sendiri dapat dilanggengkan dalam kehidupan masyarakat atas dasar hukum Islam yang menjunjung tinggi budaya patriarki.

 Tidak terciptanya rasa aman dan tentram di dalam poligami mengakibatkan perpecahan dalam pernikahan. Bahwa pernikahan yang indah dan harmonis ialah seorang laki-laki dengan seorang perempuan atau disebut monogami. Karena pada akhirnya di film ini hanya Fahri dan Aisyah berdua saja yang akhirnya dapat hidup berbahagia.

4. 2 SARAN

Konsep dan wacana poligami sebetulnya sudah banyak diulas, baik dalam media, perbincangan formal, bahkan menjadi pembahasan dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi tidak ada salahnya apabila wacana ini selalu ditampilkan dalam

media massa, salah satunya dalam film. Karena hal ini bisa dijadikan sebuah kajian oleh masyarakat, sekaligus bisa menjadi acuan terhadap praktik poligami di lingkungan sosial masyarakat Indonesia.

Penelitian mengenai representasi poligami dalam film Ayat-Ayat Cinta ini, hanya dipusatkan pada tokoh Fahri dan pada kehidupan poligami yang dijalaninya bersama tokoh Aisyah dan Maria. Peneliti lebih memfokuskan pada tokoh Fahri karena tokoh ini begitu kuat merepresentasikan poligami yang mengacu pada realitas di masyarakat yang ditampilkan dalam film Ayat-Ayat Cinta.

Dengan adanya penelitian ini, peneliti berharap bisa menjadi masukan atau wacana bagi masyarakat dalam mengaplikasikan konsep poligami. Karena sebetulnya apa yang digambarkan dalam film ini, begitu dekat dan bersinggungan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Akan sangat menarik pula bila penelitian lanjutan difokuskan pada resepsi atau penerimaan penonton yang menjalani kehidupan poligami atas representasi poligami pada film ini untuk melengkapi analisis penggambaran poligami dalam film Ayat-Ayat Cinta. Semoga hasil penelitian ini bisa dijadikan sebagai salah satu referensi, dalam penelitian – penelitian yang berkaitan tentang konsep poligami selanjutnya.

Dalam dokumen REPRESENTASI POLIGAMI DALAM pdf 1 (Halaman 84-99)

Dokumen terkait