• Tidak ada hasil yang ditemukan

REPRESENTASI POLIGAMI DALAM pdf 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "REPRESENTASI POLIGAMI DALAM pdf 1"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

REPRESENTASI POLIGAMI DALAM

FILM AYAT-AYAT CINTA

SKRIPSI

Disusun oleh

WIMARDANA HERDANTO

NIM 070517974

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS AIRLANGGA

SURABAYA

(2)

HALAMAN PERNYATAAN TIDAK MELAKUKAN PLAGIAT

Dengan ini saya menyatakan bahwa bagian atau keseluruhan isi dari skripsi dengan judul REPRESENTASI POLIGAMI DALAM FILM

AYAT-AYAT CINTA tidak pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademis pada

bidang studi dan atau Universitas lain dan tidak pernah pula dipublikasikan / ditulis oleh individu selain penyusun, kecuali bila ditulis dengan format kutipan dalam isi skripsi.

Surabaya, 28 Desember 2009

(3)

REPRESENTASI POLIGAMI DALAM

FILM AYAT-AYAT CINTA

SKRIPSI

Maksud: sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi S1 pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga

Disusun oleh

WIMARDANA HERDANTO

NIM 070517974

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS AIRLANGGA

SURABAYA

(4)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Wiemar would say thank’s to…

Allah SWT…

&

My beloved parents…

&

(5)

HALAMAN MOTTO

I am a deeply superficial person.

(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur peneliti panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat segala limpahan taufik dan hidayahNya peneliti dapat menyelesaikan skripsi untuk dapat menyelesaikan studi S1 di Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga dengan judul “Representasi Poligami Dalam Film Ayat-Ayat Cinta”. Skripsi ini berusaha memberikan penggambaran poligami yang ditampilkan di dalam film Ayat-Ayat Cinta yang dimunculkan oleh sutradara Hanung Bramantyo. Dengan menggunakan metode semiotika akan dapat ditemukan unsur-unsur yang membentuk representasi poligami tersebut.

Berperang melawan rasa malas dan kebingungan sempat terjadi dalam pikiran penulis ketika mengerjakan skripsi ini. Di tengah kebingungan tersebut, dengan semangat dan motivasi yang masih tersisa penulis mulai mengerjakannya. Namun perlahan kebingungan tersebut hilang karena penulis mendapatkan bimbingan dan arahan dari dosen pembimbing. Untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen-dosen Departemen Komunikasi Unair atas bantuannya selama ini.

Tidak ada keberhasilan tanpa perjuangan dan kerja keras. Oleh karena itu, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Penulis mohon maaf atas segala ketidaksempurnaan. Matur Nuwun Sanget.

(7)

ABSTRAK

Penelitian ini menganalisis poligami yang direpresentasikan oleh film Ayat-Ayat Cinta. Fenomena poligami yang semakin marak di masyarakat membuat poligami menjadi suatu hal yang menjadi kontroversi. Ada yang pro poligami dan ada juga yang menentang. Berdasarkan fenomena poligami yang yang banyak muncul di media massa pada umumnya dan di dalam film pada khususnya memunculkan pertanyaan penelitian yaitu bagaimana penggambaran poligami dalam film Ayat-Ayat Cinta. Wacana tentang poligami yang semakin marak sejak kemunculan film Ayat-Ayat Cinta membuat peneliti tertarik untuk menemukan penggambaran seperti apa yang dimunculkan dalam film Ayat-Ayat Cinta. Penelitian ini adalah sebuah penelitian analisis semiotik mengenai poligami yang direpresentasikan oleh film Ayat – Ayat Cinta.representasi merujuk kepada konstuksi segala bentuk media terutama media massa terhadap segala aspek realitas atau kenyataan, seperti masyarakat, objek, peristiwa, hingga identitas budaya. Representasi ini bisa berbentuk kata-kata atau tulisan bahkan juga dapat dilihat dalam bentuk gambar bergerak atau film.

Penelitian ini menunjukkan bahwa pelanggengan budaya patriarki besar pengaruhnya terhadap penggambaran poligami di dalam film Ayat-Ayat Cinta. Untuk membentuk representasi wacana poligami di dalam film Ayat-Ayat Cinta, tidak terlepas dari fenomena dan praktik sosial poligami yang terjadi di masyarakat. Islam yang selama ini menjadi satu-satunya acuan dalam hukum berpoligami ternyata masih banyak disalahrtikan. Interpretasi yang multitafsir terhadap ayat Al Qur’an banyak mempengaruhi praktik sosial poligami yang jauh dari keadilan sebagaimana yang seharusnya tercantum di dalam Al Qur’an. Gerakan feminisme muncul untuk mendobrak budaya patriarki sekaligus sebagai bentuk perlawanan atas kesalahan interpretasi teks yang berlanjut secara turun temurun. Hasil analisis yang dilakukan dalam penelitian ini adalah bahwa poligami digambarkan sebagai sebuah pernikahan yang penuh ketidakadilan serta ketidakharmonisan dengan banyaknya intrik dan permasalahan di dalamnya.

(8)

DAFTAR ISI

BAB II: GAMBARAN UMUM PENELITIAN

2.1 Poligami II-1

2.2 Kemunculan Tema Poligami dalam Sinema II-5

2.3 Film Ayat-Ayat Cinta II-10

BAB III: PEMBAHASAN

3.1 Representasi Latar Belakang Menikah Poligami dalam Tokoh Fahri III-2 3.2 Representasi Poligami dalam Pernikahan Fahri, Aisyah dan Maria III-35 BAB IV: KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan IV-1

4.2 Saran IV-2

(9)

BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang Masalah

Poligami secara denotatif didefinisikan sebagai ’sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan’1. Secara umum di dunia terdapat tiga bentuk poligami, yaitu wanita memiliki beberapa suami sekaligus), da

group marriage, yaitu kombinasi poligini dan poliandri). Ketiga bentuk

poligami tersebut ditemukan dalam sejarah, namun poligini merupakan bentuk yang paling umum terjadi.

Di Indonesia, istilah poligami dibatasi dalam arti yang sama dengan

poligini, yaitu ‘sistem perkawinan yang membolehkan seorang pria memiliki

beberapa wanita sebagai istrinya dalam waktu yang bersamaan’2 hal ini muncul karena lembaga perkawinan di Indonesia hanya mengizinkan poligini, namun tidak poliandri. Hal ini sesuai dengan ketentuan mengenai poligami di Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam3

1

Kamus Besar Bahasa Indonesia 2001

2

Ibid.

3

(10)

Dilihat dari segi agama,sebenarnya ada beberapa agama yang membolehkan poligami, salah satunya agama Islam. Islam memperbolehkan seorang pria beristri hingga empat orang istri dengan syarat sang suami harus dapat berbuat adil terhadap seluruh istrinya. Awal sejarah munculnya poligami menurut Ibnu Abdu al-Salam (Ibrahim al-Bajuri, al-Bajuri, juz II hal. 93), syariat Nabi Musa tidak melarang laki-laki beristeri lebih dari satu. Bahkan, pada waktu itu, laki-laki sangat dianjurkan berpoligami. Ini terkait dengan jumlah laki-laki pada waktu itu yang lebih sedikit dibanding populasi perempuan yang terus meningkat. Sebagaimana yang diceritakan al-Qur’an, Raja Fir’aun, penguasa pada saat itu, melakukan pembunuhan besar-besaran setiap bayi laki-laki yang lahir, sementara bayi perempuan terus dibiarkan hidup.(QSal-Baqarah[02]:49)4 Era “kebebasan” laki-laki berakhir pada masa kenabian Isa (alaihi al-salam). Syariat Isa hanya membolehkan monogami. Konon, ketentuan seperti ini berpulang pada sosok Nabi Isa sendiri. Dalam hal ini Nabi Isa adalah asli produk wanita proses pembuahan janin Isa tanpa ada campuran sperma laki-laki dan ovum wanita. Maryam adalah asal dari Isa, sebagai bentuk “penghormatan” terhadap asal, maka laki-laki tidak boleh beristeri lebih dari satu. Berbeda dengan syariat Nabi Musa yang terlalu ekstrim dalam membebaskan poligami, dan Nabi Isa yang hanya membolehkan monogami, syariat Nabi Muhammad mengambil posisi di tengah-tengah, sebagai sintesis dari syariat Nabi Musa dan Nabi Isa.

4

Ditafsirkan oleh Jamaluddin Mohammad, pengajar di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. dalam

(11)

Nabi Muhammad SAW membolehkan laki-laki beristeri maksimal empat (QS an-Nisa [4]: 03)5

Secara historis, polemik tentang poligami telah muncul seiring dengan perjuangan bangsa Indonesia pada masa kolonial. Setidaknya sejak tahun 1910-an dan 1920-an, perjuangan kaum perempuan Indonesia dalam menentang poligami tertandai dalam sejarah (Locher-Scholten 2003:40)

.

6

. Nasionalisme, di samping kesadaran sebagai manusia yang mempunyai harkat dan martabat, yang mulai mengakar dalam jiwa perempuan Indonesia memicu penentangan perempuan terhadap poligami dalam wujud sistem Nyai, yaitu hidup bersama antara perempuan Indonesia dan orang asing, terutama orang Eropa dan Tionghoa (Locher-Scholten 2003:43)7. Polemik tentang poligami timbul-tenggelam, namun selalu menjadi isu yang rentan. Setiap kali terjadi peristiwa yang berkaitan dengan poligami, pada saat itulah polemik setuju-tidak setuju terhadap poligami pun muncul. Contoh peristiwa besar yang mengangkat kembali polemik poligami adalah perkawinan Soekarno, presiden pertama Indonesia, dengan Hartini pada tahun 1954. Soekarno ketika itu masih menjalani kehidupan pernikahan dengan Fatmawati. Sebagai reaksi atas poligami yang dilakukan Soekarno, Perwani (Persatuan Wanita Indonesia) menyerukan kembali disusunnya Undang-Undang Perkawinan, yang telah disuarakan sejak tahun 1928 (Wattie 2002)8

5

Ibid. 12November 2009, 15.44

.

6

Locher-Scholten, Elsbeth. 2003. “Morals, harmony and national identity: ‘Companiate feminism’ in colonial Indonesia in the 1930s”, Journal of Women’s History (Winter): 14, 4.

7

Ibid.

8

(12)

Memandang fenomena poligami di Indonesia, berikut alasan yang diberikan oleh tokoh-tokoh Indonesia ketika memutuskan untuk hidup berpoligami (dalam Dinata, 2006: 14-27):

1) Puspo Wardoyo

Pemilik Rumah Makan “Wong Solo” ini, mengungkapkan bahwa alasannya berpoligami adalah karena ia ingin berbagi kepemimpinan kepada perempuan lain, walaupun ia mengakui betapa sulitnya membagi cinta dengan adil kepada keempat orang isterinya. Menurut Puspo, sudah menjadi fitrahnya untuk berpoligami karena secara materiil dan spirituil ia mengganggap dirinya mampu.

2) Mamiek “Srimulat”

Salah satu anggota grup lawak “Srimulat” ini menganggap bahwa sudah menjadi kodrat dan takdirnya untuk berpoligami. Secara historis, kakeknya beristeri dua belas, sementara bapaknya memiliki enam orang isteri, di mana Mamiek adalah anak dari isteri bapaknya yang pertama. Mamiek yang mempunyai 3 (tiga) orang istri ini mengaku bahwa sebagai suami yang berpoligami ia memiliki banyak kekurangan, antara lain kurangnya rasa tanggung jawab terhadap istri-istrinya.

3) Raden Ayu Sitoresmi

(13)

terhadap isteri-isteri suaminya, namun, ia beserta kedua isteri yang lain, bisa mengatasi rasa cemburu itu menjadi suatu penghargaan, menjadi suatu empati yang tinggi.

Dari pendapat para tokoh di Indonesia tersebut dapat disimpulkan bahwa alasan mereka berpoligami adalah karena latar belakang historis keluarga yang memang terbiasa berpoligami serta didukung juga dengan kekuatan materiil dan spirituil para pelakunya. Selain itu juga dengan alasan pembimbingan spirituil untuk lebih mendalami agama Islam itu sendiri. Namun tetap saja terselip kekurangan dalam kehidupan poligami mereka. Dari rasa kekurangadilan serta kesulitan membagi cinta dan tanggung jawab kepada para istri yang dipoligami tersebut.

Sebagai seorang tokoh yang cukup dikenal di masyarakat, tentu saja sangat mudah menjumpai mereka di media massa dengan berita – beritanya. Pada akhirnya isu poligami yang melekat pada tokoh – tokoh tersebut akan juga menjadi pembicaraan yang menarik di masyarakat. Media massa dapat dikatakan sebagai salah satu bagian penting dalam masyarakat. Media massa tidak hanya merupakan sebuah kekuatan potensial, tetapi juga merupakan agen sosialisasi untuk menyampaikan nilai-nilai yang telah disepakati bersama. Media massa mempunyai beberapa fungsi penting, yaitu :

(14)

Hal ini terlihat dari bagaimana isu – isu poligami yang muncul di media dapat menjadi suatu acuan bagi masyarakat untuk memandang dan menilai poligami dari sudut pandang media yang dikonsumsi tersebut. Ini tentu saja menguatkan fungsi sumber kekuatan dan alat control dari media massa itu sendiri.

2. Media massa telah menjadi sumber yang dominan, bukan saja bagi individu untuk memperoleh gambaran dan citra realitas realitas sosial, tetapi juga bagi masyarakat dan kelompok secara kolektif. Media juga menampilkan nilai-nilai dan penilaian normatif yang dibaurkan dengan berita dan dan hiburan.

Segala macam produk media saat ini sangat mudah untuk dibaurkan dengan isu poligami itu sendiri. Mulai dari berita, infotainment, sinetron hingga film semuanya dengan mudah dapat diselipkan isu poligami.

3. Media massa merupakan industri yang berubah dan berkembang dengan menciptakan lapangan kerja, barang dan jasa, serta menghidupkan industri lain yang terkait.(Mc. Quail. 1989 : 3 )

(15)

masyarakat dalam menafsirkan realitas yang dilihatnya, serta merupakan lembaga yang mencari keuntungan material. Tidak dapat dipungkiri, bahwa media massa merupakan satu kekuatan yang sangat berpengaruh di dalam kehidupan manusia. Sesuai dengan penjelasan tersebut pada saat ini industri yang sedang marak di Indonesia ialah film. Film saat ini menjadi salah satu media yang efektif dan berpengaruh.

Menurut McQuail (2000)9

9

Diambil dari McQuail, Dennis. 2000. “Theory of Media and Theory of Society” dalam Mass Communication Theories, Sage Publication: London. Hal. 61.

(16)

Isu – isu tentang kehidupan poligami juga diangkat ke media film layar lebar. Sebagai salah satu contoh adalah kehidupan Raja Siam, Thailand, yaitu Raja Mongkut, di akhir abad ke-19 (sembilan belas). Raja ini memiliki satu orang isteri dengan banyak selir, dan anak-anaknya yang berjumlah sekitar 100 (seratus) orang itu mendapatkan pendidikan dari guru khusus asal Inggris, Anna Leonowens. Cerita tentang Raja Siam dan wanita Inggris ini diangkat ke layar lebar dalam 4 (empat) versi, film pertama berjudul Anna And The King of Siam

yang diedarkan pada 1 Januari 1946. Film ini bergenre drama musikal yang dibintangi oleh Irene Dunne dan Rex Harrison serta disutradarai oleh John Cromwell10. Sepuluh tahun kemudian film tersebut diproduksi ulang dengan judul

The King and I yang dibintangi oleh Deborah Kerr dan Yul Brynner dengan

disutradarai oleh Walter Lang dan Ernest Lehman11

Film yang menceritakan kehidupan Raja Mongkut dan Anna Leonowens ini memang tidak menceritakan konflik yang terjadi pada kehidupan perkawinan . Pada 19 Maret 1999 muncul film dengan judul yang sama yaitu The King and I namun kali ini berjenis film animasi yang dibuat oleh Richard Rich serta diproduseri oleh Gary Barber, Robert Mandell, dan James G. Robinson. Dan delapan bulan kemudian tepatnya pada 17 Desember 1999 20th Century Fox Distribution memproduksi film dengan judul Anna and The King dengan genre drama aksi – romantis dan dibintangi artis papan atas Hollywood Jodie Foster dan Chow Yun Fat serta disutradarai oleh Andrew Tennant dan Jeff Balsmeyer.

10

http://movies.yahoo.com/movie/1800198916/details, Anna and The King of Siam, Yahoo! Movies,

11

(17)

poligami, namun setidaknya film ini menggambarkan bahwa salah seorang Raja Siam mempraktekan perkawinan poligami dalam kehidupannya, yang kemudian diangkat ke dalam media film. Resensi mengenai film ini, yaitu Anna & The King (17 Desember 1999) menyebutkan:

”The epic tale, set in Thailand in the late 19th century, chronicles to true

life adventures of British governess Anna Leonowens, who is hired by the

king of Siam to educate his many children. Soon after her arrival in this

exotic, unfamiliar land, Anna finds herself engaged in a battle of wits-and

in a deepening relationship-with the strong-willed ruler12.”

Di Amerika Serikat, tema poligami baru-baru ini juga diangkat dalam sebuah serial TV berjudul Big Love, yang turut diproduseri oleh aktor peraih piala Oscar, Tom Hanks, dan diedarkan oleh jaringan TV Amerika Serikat, HBO. Kehidupan poligami pria ini diperankan oleh aktor Bill Paxton, yang berperan sebagai Bill Henrickson, pemilik jaringan supermarket yang memiliki tiga orang istri dan tujuh orang anak yang tinggal di pinggiran kota Salt Lake City, Utah. Ketiga isteri Bill adalah Barb, Nicki, dan Margene. Mereka tinggal terpisah, namun berdekatan. Hubungan mereka bisa dibilang rukun, bahkan setiap minggunya mereka mengadakan rapat untuk membahas berbagai hal seputar kehidupan rumah tangga. Di kawasan tempat tinggal mereka poligami tidak dibenarkan secara hukum, namun karena mereka merasa nyaman dengan kehidupan mereka, maka seluruh keluarga Bill Hanrickson kompak dalam

12

(18)

menjaga kerahasiaan kehidupan berpoligami mereka. Di Amerika Serikat, Big

Love ditayangkan perdana pada 12 Maret 2006, pukul 22.00 waktu setempat.

Media sempat gencar memberitakan serial ini karena tema yang diangkat sangat tidak biasa13

Di Indonesia, sinetron bertema poligami ditayangkan di salah stasiun televisi swasta, RCTI, setiap hari Senin pukul 20.00. Sinetron yang berjudul Istri

Untuk Suamiku produksi Rapi Films ini dibintangi oleh Inneke Koesherawati,

Teddy Syah, dan Febi Febiola, serta disuradarai oleh Umam AP.. Untuk layar lebar, film bertema poligami diangkat oleh rumah produksi Kalyana Shira Film melalui sutradara Nia Dinata. Film berjudul Berbagi Suami (2006) ini dibintangi oleh artis senior Jajang C. Noer, artis penyanyi Shanty, dan Dominique.

.

Setelah kemunculan film Berbagi Suami kemudian muncul satu film lagi yang mengangkat tema poligami yaitu Ayat – Ayat Cinta. Ayat – Ayat Cinta merupakan film yang diangkat dari novel yang berjudul sama karangan Habiburrahman El Shirazy. Ayat – Ayat Cinta diproduksi oleh MD Pictures, diproduseri oleh Dhamoo Punjabi dan Manoj Punjabi. Film ini dibintangi oleh Fedi Nuril, Rianti Cartwright, Carissa Putri, Zaskia Adya Mecca, Melanie Putria, dan Mieke Wijaya. Setelah dirilis resmi pada 28 Februari 2008, film garapan rumah produksi MD Pictures ini berhasil menorehkan sejarah sebagai film paling laris sepanjang masa. Baru empat hari diputar, Ayat-Ayat Cinta

13

http://www.detikhot.com/index/php/tainment.read/tahun/2006/bulan/03/tgl/13/time/15060/idnews

sudah membukukan jumlah 700.000 penonton. Jumlah penonton terus bertambah hingga

(19)

tembus angka 2,9 juta hanya tiga minggu setelah beredar. Kini dapat dipastikan jumlah penonton sudah lebih dari tiga juta orang

Film ini bercerita tentang kisah hidup Fahri bin Abdillah (Fedi Nuril) adalah pelajar Indonesia yang berusaha menggapai gelar masternya di Al Ahzar. Berjibaku dengan panas-debu Mesir. Berkutat dengan berbagai macam target dan kesederhanaan hidup. Bertahan dengan menjadi penerjemah buku-buku agama. Semua target dijalani Fahri dengan penuh antusiasme kecuali satu: menikah. Karena Fahri adalah laki-laki taat yang begitu memiliki niat kuat. Fahri tidak mengenal pacaran sebelum menikah.

(SINDO, 23 Maret 2008)

Fahri kurang artikulatif saat berhadapan dengan makhluk bernama perempuan. Hanya ada sedikit perempuan yang dekat dengannya selama ini. Neneknya, Ibunya dan saudara perempuannnya. Pada akhirnya Fahri diceritakan memiliki dua orang istri yaitu Maria Girgis (Carissa Putri) dan Aisyah (Rianti Cartwright) kemudian dia hidup bahagia dengan kedua istrinya itu14

Dilatarbelakangi fenomena tersebut peneliti ingin melihat bagaimana poligami direpresentasikan dalam film Ayat – Ayat Cinta. Wacana tentang poligami yang semakin marak sejak kemunculan film Ayat-Ayat Cinta membuat peneliti untuk menemukan penggambaran seperti apa yang dimunculkan dalam film Ayat-Ayat Cinta. Penelitian ini adalah sebuah penelitian analisis wacana (discourse analysis) mengenai wacana poligami yang direpresentasikan oleh film

Ayat – Ayat Cinta.

.

14

(20)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah, maka rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Bagaimana poligami direpresentasikan dalam film Ayat – Ayat Cinta?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan representasi poligami dalam film Ayat – Ayat Cinta, hingga dapat menjadi masukan bagi Studi Komunikasi khususnya studi tentang media dan gender serta kajian sinema.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu data yang menghasilkan gambaran mengenai poligami dalam film Ayat – Ayat Cinta dan mengerti nilai-nilai apa sajakah yang ditampilkan dalam film ini sehingga dapat dikaji ulang tentang efek yang mungkin ditimbulkan dari representasi tersebut, serta mampu menambah kajian- kajian mengenai Ilmu Komunikasi selanjutnya khususnya dalam bidang kajian sinema.

1.5 Tinjauan Pustaka

1.5.1 Film dan Representasi

(21)

pemaknaan tertentu. Cultural studies memfokuskan diri kepada bagaimana proses pemaknaan representasi itu sendiri.15

Menurut Stuart Hall (1997), representasi adalah salah satu praktek penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan konsep yang sangat luas, kebudayaan menyangkut ‘pengalaman berbagi’. Seseorang dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika manusia-manusia yang ada disitu membagi pengalaman yang sama, membagi kode-kode kebudayaan yang sama, berbicara dalam ‘bahasa’ yang sama, dan saling berbagi konsep-konsep yang sama.

16

Dalam hal ini, representasi merujuk kepada konstuksi segala bentuk media (terutama media massa) terhadap segala aspek realitas atau kenyataan, seperti masyarakat, objek, peristiwa, hingga identitas budaya. Representasi ini bisa berbentuk kata-kata atau tulisan bahkan juga dapat dilihat dalam bentuk gambar bergerak atau film.

17

Film merupakan penemuan teknologi baru pada akhir abad kesembilan belas. Perannya sebagai salah satu sarana baru yang digunakan untuk menyebarkan hiburan yang telah menjadi kebiasaan terdahulu. Film menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, komedi, dan sajian teknis lainnya kepada masyarakat secara umum (McQuail, 1987:13). Film diproduksi dengan merekam orang dan obyek yang sesungguhnya, atau dengan menciptakan mereka menggunakan teknik animasi dan atau special effect. Film terdiri dari beberapa individual frames, tetapi images ini ditunjukkan dalam rangkaian atau berturut –

15

Chris Barker, Cultural Studies Theory and Practice, New Delhi: Sage, 2004, hlm. 8

16

Nuraini Juliastuti, Representasi, Newsletter KUNCI No.4, http://kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm

17

(22)

turut secara cepat, dan ilusi dari pergerakan ini ditujukan untuk penonton (Rosalinda, 2006: 26).

Konsep representasi sendiri dilihat sebagai sebuah produk dari proses representasi. Representasi tidak hanya melibatkan bagaimana identitas budaya disajikan (atau lebih tepatnya dikonstruksikan) di dalam sebuah teks tapi juga dikonstruksikan di dalam proses produksi dan resepsi oleh masyakarat yang mengkonsumsi nilai-nilai budaya yang direpresentasikan tadi.18

Dalam pembahasan film sebagai representasi budaya, film tidak hanya mengkonstruksikan nilai-nilai budaya tertentu di dalam dirinya sendiri, tapi juga tentang bagaimana nilai-nilai tadi diproduksi dan bagaimana nilai itu dikonsumsi oleh masyarakat yang menyaksikan film tersebut. Jadi ada semacam proses pertukaran kode-kode kebudayaan dalam tindakan menonton film sebagai representasi budaya.

Representasi adalah konsep yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan melalui sistem penandaan yang tersedia : dialog, tulisan, video, film, fotografi, dan sebagainya (Juliastuti, 2000.)

19

Meskipun banyak anggapan bahwa representasi pada film dianggap menggambarkan dunia secara tidak lengkap dan sempit, tapi film pun berusaha untuk menampilkan secara lebih utuh dan menyerupai sebenarnya. Karena

dan konsep representasi ini selalu melibatkan konstruksi terhadap realitas dan tetap mendasarkan diri pada realitas yang menjadi referensinya.

18

Ibid.

19

(23)

sebenarnya film itu lahir dari interaksi antara dunia nyata dengan nilai – nilai yang dianut oleh pembuat film.

Representasi poligami dalam film Ayat – Ayat Cinta merupakan proses pengkonstruksian dari realita dan representasi budaya yang berhubungan dengan kehidupan poligami. Representasi poligami yang ditampilkan dalam film Ayat-Ayat Cinta merupakan proses sosial pemaknaan melalui sistem penandaan yaitu film. Dalam menggambarkan poligami di Ayat-Ayat Cinta, peran pembuat film sangat berpengaruh terhadap hasil penggambaran poligami tersebut. Meskipun ada juga nilai-nilai yang berasal dari konstruksi di dalam proses produksi dan resepsi oleh masyakarat yang mengkonsumsi nilai-nilai budaya yang direpresentasikan tadi.

1.5.2 Poligami Sebagai Suatu Masalah Sosial

(24)

sanak-keluarganya. Ketiga, dengan poligami terjalin ikatan pernikahan antarsuku yang mencegah peperangan dan konflik.

Beliau juga menjelaskan tiga alasan haramnya poligami. Pertama, syarat poligami adalah berbuat adil. Syarat ini sangat sulit dipenuhi dan hampir mustahil, sebab Allah sudah jelas mengatakan dalam QS.4:129 bahwa lelaki tidak akan mungkin berbuat adil. Kedua, buruknya perlakuan para suami yang berpoligami terhadap para istrinya, karena mereka tidak dapat melaksanakan kewajiban untuk memberi nafkah lahir dan batin secara baik dan adil. Ketiga, dampak psikologis anak-anak dari hasil pernikahan poligami. Mereka tumbuh dalam kebencian dan pertengkaran sebab ibu mereka bertengkar baik dengan suami atau dengan istri yang lain.

Abduh menjelaskan hanya Nabi Muhammad SAW saja yang dapat berbuat adil sementara yang lain tidak, dan perbuatan yang satu ini tak dapat dijadikan patokan sebab ini kekhususan dari akhlak Nabi kepada istri-istrinya. ‘Abduh membolehkan poligami hanya kalau istri itu mandul. Fatwa dan tafsiran Abduh tentang poligami membuat hanya dialah satu-satunya ulama di dunia Islam yang secara tegas mengharamkan poligami. Nabi Muhammad adalah manusia percontohan dalam segala praktek kehidupan termasuk berpoligami. Ada beberapa catatan penting dalam praktek poligami rasulullah saw yang dapat kita tiru dan kita teladani jika ingin merasakan rahmat berpoligami:

(25)

2. Adil dalam lingkup biologis: Rasulullah saw memiliki kekuatan jima’ yang setara dengan empat puluh laki-laki. Beliau mampu menyenangkan para istri secara biologis secara merata.

3. Adil dalam lingkup dakwah dan sosial: Rasulullah saw mendelegasikan para istrinya untuk menjelaskan banyak hal yang berkaitan dengan wanita dalam ibadah, akhalaq dan mu’amalah (pemberdayaan perempuan). Banyak suku yang tunduk dan berIslam karena Rasulullah menikahi salah seorang wanita terhormat dari kalangan sebuah suku.

4. Adil dalam lingkup ke-wanitaan: Rasulullah saw tidak pernah membandingkan pelayanan dan rupa seorang istrinya di hadapan istri yang lain. Beliau minta izin istri-istrinya jika ingin berada lebih lama dengan Aisyah binti Abu Bakr. Betapa rasulullah saw menjaga perasaan seorang wanita dengan sangat teliti.

5. Adil dalam lingkup keturunan: Rasulullah saw tidak pernah menelantarkan anakanak yang lahir dari pernikahan beliau ataupun anak-anak yatim yang dibawa oleh para istri Rasulullah saw yang memang para janda.20

Dr Najmân Yâsîn dalam kajian mutakhirnya tentang perempuan pada abad pertama Hijriah (abad ketujuh Masehi) menjelaskan memang budaya Arab pra-Islam mengenal institusi pernikahan tak beradab (nikâh al-jâhili) di mana lelaki dan perempuan mempraktikkan poliandri dan poligami.

20

(26)

Pertama, pernikahan sehari, yaitu pernikahan hanya berlangsung sehari saja. Kedua, pernikahan istibdâ’ yaitu suami menyuruh istri digauli lelaki lain dan suaminya tidak akan menyentuhnya sehingga jelas apakah istrinya hamil oleh lelaki itu atau tidak. Jika hamil oleh lelaki itu, maka jika lelaki itu bila suka boleh menikahinya. Jika tidak, perempuan itu kembali lagi kepada suaminya. Pernikahan ini dilakukan hanya untuk mendapat keturunan. Ketiga, pernikahan poliandri jenis pertama, yaitu perempuan mempunyai suami lebih dari satu (antara dua hingga sembilan orang). Setelah hamil, istri akan menentukan siapa suami dan bapak anak itu. Keempat, pernikahan poliandri jenis kedua, yaitu semua lelaki boleh menggauli seorang wanita berapa pun jumlah lelaki itu. Setelah hamil, lelaki yang pernah menggaulinya berkumpul dan si anak ditaruh di sebuah tempat lalu akan berjalan mengarah ke salah seorang di antara mereka, dan itulah bapaknya. Kelima pernikahan-warisan, artinya anak lelaki mendapat warisan dari bapaknya yaitu menikahi ibu kandungnya sendiri setelah bapaknya meninggal.

Keenam, pernikahan-paceklik, suami menyuruh istrinya untuk menikah lagi

dengan orang kaya agar mendapat uang dan makanan. Pernikahan ini dilakukan karena kemiskinan yang membelenggu, setelah kaya perempuan itu pulang ke suaminya. Ketujuh, pernikahan-tukar guling, yaitu suami-istri mengadakan saling tukar pasangan. Praktik pernikahan Arab pra-Islam ini ada yang berlangsung hingga masa Nabi, bahkan hingga masa Khulafâ al-Rashidîn21

Dalam struktur masyarakat Muslim, praktek poligami tidak bisa dianggap sebagai sebuah kelaziman sosial. Banyak data menunjukkan bahwa poligami,

.

21

(27)

disamping terbatas dilakukan oleh kalangan kelas menengah, juga hanya dilakukan oleh sebagian kecil dari warga kelas menengah tersebut (the progressive middle class). Data sejarah tentang kasus poligami di Turki Abad XVII menunjukkan bahwa dari dua ribu warga kelas menengah, hanya dua puluh saja yang melakukan poligami.22

Peringkat (rating) praktek poligami pantas saja rendah, karena terkendala tidak hanya oleh tantangan jaminan kesejahteraan materi bagi para istri, tetapi juga dari hambatan persepsi sosial yang negatif terhadap praktek tersebut. Seperti halnya masyarakat modern, masyarakat Muslim waktu itu juga beranggapan bahwa poligami adalah tindakan yang bisa mengancam lestarinya kesepakatan suami dan istri untuk berasosiasi dalam institusi keluarga.

23

Rendahnya persentase praktek poligami tersebut menunjukkan tingginya komitmen kaum lelaki untuk menerapkan konsep poligami dalam Islam. Islam mensyaratkan terpenuhinya kondisi-kondisi tertentu sebelum mereka melakukannya. Persentase tersebut juga mengindikasikan kuatnya resistensi kelompok perempuan, yang secara kodrati memandang poligami sebagai sikap keberpihakan kepada kaum lelaki. Dua indikasi tersebut sangat niscaya terjadi saat itu. Masyarakat Muslim adalah masyarakat ekumenikal, dimana agama sangat berperan penting dalam proses pembentukan perilaku dan tindakan penganutnya. Karena itu, tindakan mereka selalu memiliki argumentasi keagamaan, termasuk dalam kasus poligami.

24

22

Leila Ahmed, Gender in Islam (London: Yale University Press, 1992), 107.

23

Ibid.

24

(28)

Sementara itu di di indonesia sendiri praktek pernikahan poligami sudah diatur di dalam Undang – Undang. UU RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan membolehkan poligami dengan syarat atas izin istri pertama. UU ini diperkuat dengan keluarnya UU RI No 7/1989 tentang Pengadilan Agama, khususnya Pasal 49 yang mengatakan pengadilan agama menangani masalah perkawinan (seperti mengurusi poligami) dan lainnya. Kompilasi Hukum Islam semakin memperjelas kebolehan poligami di Indonesia. Keadaan ini tentu tidak menguntungkan perempuan Muslim Indonesia. Karena itu saatnya sekarang dibuat UU antipoligami untuk melindungi perempuan Muslim Indonesia. Kalaupun harapan ini tak kesampaian. Sudah saatnya perempuan tegas di hadapan teks yang dipelintir mereka yang berkepentingan dengan poligami.

Film Ayat-Ayat Cinta yang muncul dengan mengusung tema poligami tentu saja memiliki sebuah sudut pandang tersendiri dalam menggambarkan kehidupan poligami berdasarkan realita sosial. Dengan setting film yang mengusung tema Islami maka sejarah hukum pernikahan dalam Islam dijadikan acuan untuk melihat bagaimana pengaplikasian hukum Islam dalam pernikahan poligami yang digambarkan dalam film Ayat-Ayat Cinta. Dalam realitas sosial pun poligami dalam hukum pernikahan masih menjadi suatu pembahasan yang pelik.

1.5.3 Islam dan Gender

(29)

pelanggengan ketidakadilan gender. Hal yang sangat menggangu misalnya tentang penggambaran bahwa Tuhan seolah-olah adalah laki-laki, penggambaran semacam ini terjadi dalam hampir semua agama. Pelanggengan ketidakadilan gender secara luas dalam agama bersumber dari pemahaman, penafsiran dan pemikirankeagamaan yang tidak mustahil dipnegaruhi oleh tradisi dan kultur patriarki, ideologi kapitalisme maupun pandangan-pandangan lain. Dalam konteks ini, perlu kiranya kita mempertajam persoalan dengan cara melakukan telaah kasus dalam Islam berkenaan dengan prinsip ideal Islam dalam memposisikan perempuan.25

Pada dasarnya Islam hadir di muka bumi dengan misi pokok untuk membebaskan manusia dari semua bekenggu yang menghimpitnya dalam bentuk diskriminasi atas dasar perbedaan jenis kelamin, suku, bangsa, warna kulit dan anarki sosial karena adanya pola relasi kekuasaan yang tidak seimbang. Dalam Islam, semua manusia di hadapan Allah dinilai sama dan sejajar.26 Misi utama Islam adalah untuk membebaskan manusia dari berbagai bentuk anarki, ketimpangan dan ketidakadilan. Di dalam Islam, ada beberapa isu kontroversial berkaitan dengan relasi gender, antara lain; asal usul penciptaan perempuan, konsep kewarisan, nilai persaksian, pernikahan poligami, hak-hal reproduksi, hak talak perempuan serta peran publik perempuan.27

25

Fakih, Mansour. Analisis Gender & Transformasi Sosial. (Yogyakarta, PUSTAKA PELAJAR, 2007) Hal.128-129

26

Ridwan, M.Ag. Kekerasan Berbasis Gender, (Purwokerto, Pusat Studi Gender STAIN, 2006 ) hal. 109

27

(30)

Beberapa isu kontroversial diatas, hingga sekarang menjadi perdebatan akademik di kalangan umat Islam dengan perspektif dan argumentasi yang berbeda-beda. Perbincangan mengenai wacana gender menjadi isu yang sensitif di kalangan umat Islam oleh karena wacana ini berhimpitan dengan persoalan tafsiran agama yang diyakini sebagai kebenaran mutlak.28 Di samping itu secara konseptual kehadiran wacana gender masih banyak disikapi oleh sebagian umat Islam dengan perasaan ’curiga’ karena cenderung merubah tatanan sosial dan tafsir keagamaan yang sudah dianggap mapan atau bahkan dianggap sebagai doktrin agama itu sendiri.29

Pembahasan tentang tema perempuan tidak hanya terbatas pada lingkup wacana, tetapi sudah merambah ke wilayah implementasi. Hampir setiap negara Islam, misalnya, sudah memiliki kementerian yang melakukan berbagai program pemberdayaan perempuan. Di Indonesia, misalnya, terdapat ”Kantor Kementrian Pemberdayaan Perempuan”, sedangkan di Bangladesh terdapat ”Ministry of Women’s Affairs” atau ”Ministry of Social Welfare and Women’s Affair”30

28

Ridwan, M.Ag. Kekerasan Berbasis Gender, (Purwokerto, Pusat Studi Gender STAIN, 2006 ) hal. 110

. Bermacam upaya pemberdayaan perempuan pun dilakukan dengan melibatkan berbagai komponen sosial termasuk kalangan ’ulama’. Kalangan ulama yang sejak era klasik sudah membahas tema perempuan seperti tertuang dalam berbagai ilmu keislaman, memang memegang posisi sentral di lingkungan masyarakat Muslim. Mereka yang disebut sebagai kelompok pemimpin informal (native

29

Ibid. hal 110.

30

(31)

leaders), tidak hanya mampu melakukan persuasi opini kepada pengikutnya, tetapi juga mampu mentransmisikan berbagai gagasan baru sampai ke eselon sosial terbawah (the lowest social echelon). Tidak sedikit dari kalangan mereka yang berpandangan sangat progressive tentang prinsip kesetaraan gender.

Sebagai pemegang otoritas keagamaan (the guardians of shari’ah), para ulama memang berkewajiban mensosialisasikan sikap Islam terhadap kaum perempuan. Mereka harus berani mengkritik pendapat para fuqaha’ (jurists) yang cenderung diskriminatif terhadap perempuan. Pengkajian terhadap pemikiran hukum para fuqaha’ memang menunjukkan terjadinya bias gender dalam berbagai keputusan hukum yang mereka berlakukan kepada lelaki dan perempuan. Suami tidak hanya menerima otoritas untuk mengatur urusan keagamaan istrinya, tetapi juga memperoleh hak untuk mendominasi kehidupan keseharian istri tersebut. Paradigma maskulinitas yang mendasari berbagai keputusan hukum para fuqaha’

ini menjadi sebab utama terbentuknya sikap diskriminatif komunitas Muslim terhadap kaum wanitanya. Kehidupan komunitas Muslim memang dikendalikan oleh institusi hukum (fiqh). Pengendalian seperti tersebut terjadi, karena agama dalam hal ini Islam selalu diidentikkan dengan fiqh.

Pengidentikkan semacam itu menyebabkan aktualisasi ajaran Islam non-fiqh yang tidak bias gender tidak mampu mengubah sikap diskriminatif komunitas Muslim terhadap kaum perempuan31

31

Untuk mengetahui bias hukum Islam terhadap perempuan, baca Najla Hamadeh, “Islamic Family Legislation : The Authoritarian Discourse of Silence “ dalam Mai Yamani, Feminism and Islam : Legal and Literary Perspectives (New York: New York University Press, 1986)

(32)

dalam tradisi sufi yang menyatakan bahwa derajat manusia sempurna tidak menjadi wilayah kaum lelaki saja, karena perempuan juga memiliki kapasitas untuk mengakses derajat tersebut32

Al-Quran sendiri menegaskan bahwa lelaki dan perempuan memiliki kapasitas yang sama, baik kapasitas moral, spiritual, maupun intelektual. Demikian pula Al-Quran tidak membedakan kapasitas lelaki dan perempuan dalam mengaktualisasikan ajaran Islam. Keduanya memiliki kemampuan yang sama untuk bisa menjadi manusia yang baik

.

33

Prinsip kesetaraan tersebut dimaksudkan untuk membentuk hubungan harmonis antara lelaki dan perempuan. Realisasi prinsip kesetaraan ini di antaranya tercermin dalam konsep perkawinan. Perkawinan dalam Islam didasarkan pada akad kontrak antara dua orang yang sepakat (consenting

partners) untuk membangun kebersamaan hidup

.

34

. Sekalipun akad kontrak tersebut merefleksikan prinsip kesetaraan, Islam ternyata lebih memberikan kepedulian pada kaum perempuan35

Pada akhirnya prinsip kesetaraan tersebut menjadi sebab terbukanya peluang bagi perempuan menjadi patner lelaki dalam mengarungi kehidupan mereka. Sejarah Islam mencatat bahwa Nabi Muhammad SAW tidak pernah

. Kepedulian lebih ini dilakukan, karena perempuan secara kodrati lebih rentan untuk kehilangan hak-haknya dalam persekutuan keluarga.

32

(33)

memperlakukan istrinya sebagai teman dalam urusan rumah tangga saja, tetapi memerankan mereka sebagai partner dalam mengatasi berbagai tantangan hidup.

Film Ayat-Ayat Cinta merupakan film dengan latar belakang Islam. Dalam film ini sangat kental dengan pembahasan tentang Islam. Penggambaran Islam yang ditampilkan disini patut untuk dilihat dan dicermati apakah dikonstruksi dari sudut pandang akar kebudayaan Islam yang masih asli atau Islam yang telah dipengaruhi oleh tradisi dan kultur patriarki.

1.5.4 Teori Semiotik

Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tanda (sign), berfungsinya tanda, dan produksi makna. Tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang berarti sesuatu yang lain. Dalam pandangan Zoest, segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat teramati dapat disebut tanda. Karena itu tanda tidaklah terbatas pada benda. Adanya peristiwa, tidak adanya peristiwa, struktur yang ditemukan dalam sesuatu, suatu kebiasaan, semua itu dapat disebut tanda. Sebuah bendera kecil, sebuah isyarat tangan, sebuah kata, suatu keheningan, suatu kebiasaan makan, sebuah gejala mode, suatu gerak syaraf, peristiwa memerahnya wajah, suatu kesukaan tertentu, suatu sikap, setangkai bunga, rambut uban, sikap diam membisu, gagap, berbicara cepat, berjalan sempoyongan, menatap, api, putih, bentuk, bersudut tajam, kecepatan, kesabaran, kegilaan, kekhawatiran, kelengahan, semua itu dianggap sebagai tanda.36

36

Tinarbuko, Sumbo. 2009. Semiotika Komunikasi Visual. Jogjakarta;Jalasutra. Hal.12

(34)

Menurut Saussure, seperti dikutip Pradopo (1991:54) tanda adalah kesatuan dari dua bidang yang tidak dapat dipisahkan, seperti halnya selembar kertas. Di mana ada tanda, di sana ada system. Artinya, sebuah tanda (berwujud kata atau gambar) mempunyai dua aspek yang ditangkap oleh indera kita yang disebut dengan signifier, bidang penanda atau bentuk. Aspek lainnya disebut

signified, bidang petanda atau konsep atau makna. Aspek kedua terkandung dalam aspek pertama. Jadi petanda merupakan konsep atau apa yang dipresentasikan oleh aspek pertama.37

Lebih lanjut dikatakannya bahwa penanda terletak pada tingkatan ungkapan ( level of expression ) dan mempunyai wujud atau merupakan bagian fisik seperti bunyi, huruf, kata, gambar, warna, objek, dan sebagainya.

Petanda terletak pada level of content ( tingkatan isi atau gagasan ) dari apa yang diungkapkan melalui tingkatan ungkapan. Hubungan antara kedua unsur melahirkan makna. Tanda akan selalu mengacu pada ( mewakili ) sesuatu hal ( benda ) yang lain. Ini disebut. Lampu merah mengacu pada jalan berhenti. Wajah cerah mengacu pada kebahagiaan. Air mata mengacu pada kesedihan. Menurut Eco ( 1979:59 )Apabila hubungan antara tanda dan yang diacu terjadi, maka dalam benak orang yang melihat atau mendengar akan timbul pengertian.38

Oleh karena dalam teks film Ayat – Ayat Cinta terangkum berbagai tanda, maka digunakan icon, index dan simbol untuk mengklasifikasikan sebuah tanda secara spesifik. Dalam penelitian ini yang diutamakan adalah representasi dalam teks film Ayat – Ayat Cinta sebagai suatu signifikasi dalam pembentukan makna.

(35)

Realitas sosial tersebut, oleh sutradara dipaparkan secara eksplisit dalam pemilihan gambar, setting, warna dalam teks film Ayat – Ayat Cinta.

1.6 Metodologi Penelitian

1.6.1 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode analisis semiotik. Adapun yang menjadi obyek penelitian adalah film Ayat – Ayat Cinta. Dalam film ini ingin dicari dan dianalisis bagaimanakah penggambaran poligami dalam film Ayat – Ayat Cinta.

1.6.2 Tipe Penelitian

Tipe penelitian ini adalah kualitatif deskriptif, yang dimaksud deskriptif disini yaitu untuk menggambarkan representasi poligami yang ditampilkan dalam film Ayat-Ayat Cinta.

1.6.3 Subyek Penelitian

Subyek penelitian ini adalah film Ayat-Ayat Cinta dan yang akan digunakan sebagai instrumen analisis adalah teks, berupa narasi dan cuplikan gambar dari film Ayat-Ayat Cinta tersebut yang dijadikan sampel untuk kemudian dianalisis.

(36)

1.6.4 Unit Analisis

Unit analisis pada penelitian ini yaitu teks yang berada pada cuplikan adegan dalam film Ayat-Ayat Cinta. Pengertian teks yang paling sederhana adalah ” kombinasi tanda-tanda”. Sebuah teks merupakan kombinasi elemen tanda-tanda dengan kode dan aturan tertentu, sehingga menghasilkan sebuah ekspresi bermakna.

1.6.5 Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data melalui pengamatan terhadap sistem tanda yang ditunjukkan dalam rekaman film “Ayat – Ayat Cinta” versi DVD original. Sesuai dengan ilustrasi model metode semiotik yang dibuat Peirce, data yang digunakan untuk memperoleh hasil penelitian berupa representasi poligami dalam film

Ayat-Ayat Cinta didapatkan melalui metode narasi teks. Metode narasi teks memungkinkan peneliti untuk memperoleh deskripsi teks yang kemudian akan dianalisis.

1.6.6 Teknik Analisis Data

(37)
(38)

BAB II

GAMBARAN UMUM PENELITIAN

2. 1. Poligami

Praktik poligami sudah berlaku pada bangsa - bangsa sebelum Islam. Praktik ini di-sunnah-kan pada umat Yahudi, disyariatkan pada umat Persi, dan berlaku diantara bangsa Arab Jahiliyah dan Ibrani1

Nabi Ibrahim as beristri Sarah dan Hajar, Nabi Ya'qub as beristri : Rahel, Lea, dan menggauli dua budak/hamba sahayanya : Zilfa dan Bilha. Dalam perjanjian lama Yahudi Nabi Daud as disebut-sebut beristri 300 orang. Dalam sejarah, raja-raja Hindu juga melakukan poligami dengan seorang permaisuri dan banyak selir. Dalam dunia gereja juga dikenal praktik poligami, Dewan tertinggi Gereja Inggris sampai abad sebelas membolehkan poligami

. Juga bangsa Cissilia, yang melahirkan mayoritas penduduk Eropa Timur dan sebagian dari orang – orang Jerman Saxon cikal bakal penduduk Jerman, Skandinavia, Swiss, Belanda, Belgia, dan Inggris.

2

Bangsa Arab sebelum Islam datang sudah biasa berpoligami , ketika Islam datang, Islam membatasi jumlah istri yang boleh dinikahi. Islam memberi arahan untuk berpoligami yang berkeadilan dan sejahtera. Dalam Islam Poligami bukan wajib, tapi mubah, berdasar antara lain QS An-Nisa : 3 .

.

1

Nafsin, Abdul Karim & Afiandani, Mifta Lidya. (2005). Perempuan sutradara kehidupan : di tangan dia masa depan dunia. Mojokerto : CV. Al - Hikmah

2

(39)

Kedatangan Islam membatasi jumlah perempuan yang boleh dinikahi. Ketika itu banyak kaum Qurays yang memiliki istri lima, delapan, sepuluh, bahkan seratus orang. Harits bin Qaits al-Asadiy yang memiliki delapan istri, dianjurkan Nabi untuk memilih empat dari mereka dan menceraikan yang lainnya. Ghailan bin Umayyah punya istri sepuluh, Nabi meminta mengambil empat saja3

Muhammad Abduh (1849-1905 ) adalah satu dari sedikit ulama yang mengharamkan poligami, dengan alasan bahwa syarat yang diminta adalah berbuat adil, dan itu tidak mungkin bisa dipenuhi manusia seperti dinyatakan dalam QS An-Nisa : 129 ( Tafsier Al-Manar, Dar Al-Fikr, tt, IV: 347-350 ) Abduh yang mantan Syeikh Al-Azhar ini menjelaskan tiga alasan haramnya poligami : Pertama, Syarat poligami adalah berbuat adil, syarat ini mustahil bisa dipenuhi seperti dikatakan dalam QS An-Nisa : 129. Kedua, buruknya perlakuan para suami yang berpoligami terhadap para istrinya, karena mereka tidak dapat melaksanakan kewajiban memberi nafkah lahir dan batin secara baik dan adil. Ketiga, dampak psikologis anak-anak hasil poligami, mereka tumbuh dalam kebencian dan pertengkaran karena ibu mereka bertengkar baik dengan suami atau dengan istrinya yang lain. ( Al-'Amal Al-Kamilah lil-imam Al-Syeikh Muhammad Abduh, Cairo, Dar Al-Syuruk, 1933 , II: 88-93 )

.

4

Argumen Abduh inilah yang sering diusung oleh kaum sekuler liberal, untuk menolak poligami, disamping dalih utama mereka adalah HAM dan Kesetaraan Gender ( Gender Equality ). Padahal keadilan yang mustahil bisa dilakukan manusia bukan keadilan dalam segala hal. Yang menjadi alasan dan

(40)

legitimasi poligami adalah sebuah ayat dalam surat An Nisa’ ayat 3, “…Nikahilah

perempuan yang kamu sukai, dua, tiga, atau empat…” padahal kalimat diatas

hanya sebuah penggalan ayat, yang lengkap berbunyi :

“ Dan jika kamu dapat berbuat adil terhadap (hak-hak)

perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya) maka

kawinlah dengan peempuan yang menyenangkan hatimu dua

dan tiga dan empat. Jika kamu khawatir tidak dapat berbuat

adil, maka kawinlah seorang saja, atau ambilah budak

perempuan kamu, yang demikian ini agar kamu lebih dekat

kepada tidak berbuat aniaya”.5

"Adil " juga tidak identik dengan " sama ". Ketika kabar Aa Gym menikah lagi dengan Al-Farini Eridani muncul ke media bersamaan dengan beredarnya video mesum yang dilakukan penyanyi dangdut Maria Eva dengan Seorang anggota DPR dari Partai Golkar Yahya Zaini, reaksi keras, dan emosional dari berbagai kalangan, khususnya pengusung gerakan feminisme sekuler, lebih banyak dialamatkan kepada pelaku poligami yang dalam Islam hukumnya mubah. Sampai ada Koalisi Perempuan Kecewa Aa Gym (KPKAG). Ucapan Teh Ninih --istri pertama Aa Gym-- dalam konferensi pers bahwa sesungguhnya dari lubuk hati yang terdalam ia sangat berat untuk diduakan, adalah perasaan yang juga ada di hati setiap perempuan

. Hal ini wajar, karena saat menjadi yang utama, mereka tidak memiliki kompetitor atau katakanlah mitra dalam memenuhi seluruh

6

(41)

kebutuhan dan kehidupan suaminya. Kasih sayang, perhatian dan materi tercurah hanya untuk satu keluarga. Tapi ketika posisi itu tergeser menjadi yang pertama atas yang lainnya, maka terjadi pergeseran makna dan realita dalam segala hal. Terdapat pembagian, pembatasan dan ekstra kesabaran. Ketidakberdayaan perempuan dalam memilih ini, memang seharusnya negara ikut serta memikirkannya. Maka, poligami bukan hanya menjadi pilihan hidup dengan berbagai alasan tetapi benar-benar menjadi solusi darurat bagi setiap persoalan yang muncul dalam keluarga dan masyarakat.

Presiden SBY pun sampai harus memanggil menteri UPP Meutia Hatta dan Dirjen Bimas Islam Nasaruddin Umar untuk merevisi PP 10/1983 agar tidak hanya berlaku bagi TNI/Polri dan PNS saja, tapi bisa diperluas hingga menjangkau kaum swasta. Aturan seperti PP 10/1983 yang melarang PNS berpoligami telah menciptakan opini umum dan pencitraan bahwa poligami seakan sebuah tindakan kriminal yang keji dan amoral yang harus diberantas sampai tuntas. Apalagi dengan persyaratan yang sama sekali tidak rasional saking sulitnya. Pada hakikatnya dengan peraturan model PP 10/1983 ini pemerintah RI telah " mengharamkan " poligami. Selain harus seizin istri pertama dan izin atasan, istri pertama haruslah : 1) Tidak mampu menjalankan tugasnya sebagai istri; 2) Berpenyakit permanen; 3 ) Tidak berketurunan7

Ketatnya peraturan dalam poligami khususnya di Indonesia, merupakan upaya pemerintah untuk menjadikan poligami sebagai solusi dan melindungi hak

.

7

(42)

perempuan dari kesewenang-wenangan kaum lelaki. Bukan sebagai upaya pembatasan bahkan pelarangan negara terhadap pemenuhan hak asasi individu dalam soal perkawinan. Kebebasan untuk berpoligami memang merupakan hak individu. Tetapi pemenuhan hak individu tanpa mempertimbangkan kemaslahatan orang lain, juga merupakan pelanggaran terhadap hak individu orang lain. Maka, inilah di antara tugas negara yaitu memberikan perlindungan terhadap hak rakyatnya secara adil.

Akhirnya kita perlu mempertimbangkan pernyataan Lies Marcoes Natsir berdasarkan hasil penelitiannya. Data lapangan yang ditemukan dari penelitiannya, poligami hanya menjadi perangkat dalam membunuh karakter perempuan hingga menciptakan praktik dehumanisasi karena korban telah dibuat tidak berdaya, kehilangan harga diri dan logika8

2. 2. Kemunculan Tema Poligami dalam Sinema .

Lahirnya perfilman nasional disepakati tahun 1950, tepatnya tanggal 30 Maret yang merupakan permulaan produksi film Darah dan Doa karya Usmar Ismail. Karya pertama yang dibuat sineas negeri sendiri. Copy film ini menjadi

copy film tertua yang masih tersimpan di Sinematek Usmar Ismail hingga saat ini9. Tapi sesungguhnya, Darah dan Doa bukanlah film pertama di negeri ini. Sebelumnya sudah ada Loetoeng Kasaroeng

8

Ibid.

yang dibuat 80 tahun lalu. walaupun harus diakui film itu memang tidak murni film Indonesia. Bintang-bintangnya

9

(43)

memang warga pribumi Indonesia. Namun para pekerja film yang dibuat di Bandung itu adalah warga Belanda yaitu F. Carli dan Kruger. Maklum saja, film

Loetoeng Kasaroeng Dibuat saat Belanda masih menjajah bumi pertiwi. Jadi tidak heran heran pula jika tidak ada copy film ini di Indonesia. Copy film Loetoeng

Kasaroeng justru tersimpan di Belanda. Dan pada tanggal 31 Desember 1926

hingga 6 Januari 1927 untuk pertama kalinya Loetoeng Kasaroeng, film lokal pertama yang menjadi tonggak industri sinema di Indonesia itu, diputar di

Bioskop Majestic, Jalan Braga Bandung.10

Setelah

. Setelah Umar Ismail, ada beberapa sutradara film yang memiliki spesialisasi sebagai sutradara film relijius yang memproduksi film-film relijius, dalam hal ini film-film yang menggunakan sudut pandang dari perspektif Islam sebagai agama terbesar di Indonesia. Salah satunya ialah Asrul Sani yang telah membuat judul-judul film seperti Nada dan Dakwah, Tauhid, dan Titian

Serambut Dibelah Tujuh pada tahun 1970 sampai 1980-an. Selain itu juga ada

Cherul Umam yang membuat film berjudul Fatahillah pada tahun 1997. itu, produksi film Indonesia terus ada dan berlanjut. Genre

10

-nya pun beragam. Sebutlah era film horor yang dimulai di tahun 1970-an dan terus merajalela hingga tahun 1990-an. Suzanna bisa disebut sebagai ikon film horor di masa itu dengan film – filmnya seperti Sundel Bolong, Ratu Pantai Selatan, dan lain – lain. Di tahun 1970-an muncul genre baru yang menampilkan kisah – kisah cinta remaja dengan ikon pada saat itu Rano Karno dan Yessy Gusman. Film –

(44)

film yang muncul pada saat itu seperti Gita Cinta dari SMA, Puspa Indah Taman Hati, dan Kampus Biru.

Setelah era tersebut, film Indonesia kemudian mati suri hingga akhir tahun 1990-an. Film Indonesia baru bisa benar-benar dibilang mulai bangun kembali dengan Ada Apa dengan Cinta

Ada beberapa film di Indonesia yang mengangkat tema poligami. Hal ini menarik karena cukup sulit untuk menggambarkan fenomena poligami di Indonesia melalui film, karena tiap orang memiliki pandangan sendiri – sendiri mengenai poligami. Begitu juga para pembuat film memiliki cara – cara sendiri dalam mengangkat dan menggambarkan fenomena poligami ke dalam sebuah film.

karya Mira Lesmana yang bisa dibilang sebagai tonggak kebangkitan produksi film nasional. Dengan mulai menggeliatnya produksi film dalam negeri, maka hal ini semakin memacu munculnya tema-tema baru dalam industri perfilman di Indonesia. Bukan hanya komedi, drama, atau horor saja namun kini muncul tema-tema relijius bernafaskan islami yang sudah lama tidak muncul di perfilman nasional, seperti film Ayat – Ayat Cinta,

Perempuan Berkalung Sorban, maupun Ketika Cinta Bertasbih. Selanjutnya

tema-tema tersebut semakin berkembang menyesuaikan selera pasar atau trend pada saat itu. Salah satu tema film yang diangkat ke dalam film atas maraknya isu di masyarakat sekitar tahun 2005 sampai dengan 2008 ialah film bertema poligami.

(45)

2006. Kemudian pada tahun 2008 muncul satu film lagi yang mengangkat isu poligami yaitu Ayat – Ayat Cinta. Ayat – Ayat Cinta merupakan film yang diangkat dari novel yang berjudul sama karangan Habiburrahman El Shirazy. Film ini disutradari oleh Hanung Bramantyo dan diproduseri oleh Raam Punjabi

2. 3. Film Ayat – Ayat Cinta11

Film yang diangkat dari buku best seller ini merupakan sebuah perpaduan antara kisah kasih seorang mahasiswa Al Azhar di pengembaraan di Mesir tepatnya di Cairo dengan tiga dara. Sang mahasiwa cerdas dan shaleh, Fahri bin

11

(46)

Abdillah berjuang untuk mendapatkan ilmu di negeri Mesir. Kebaikannya, ketekunannya dan kesalehannya dalam mendalami Al Quran dan Islam membuahkan kepribadian yang kuat. Bahkan dalam ihwal cinta pun. Fahri memilih jalan yang lurus sesuai dengan panduan Islam. Dia bukan seorang yang sembarangan dalam menentukan pilihan. Dalam kalbunya menginginkan bidadari di dunia ini yang menyelamatkan dirinya di akhirat.

Maria Girgis alias Maria adalah gadis belia yang mengagumi Fahri karena tinggal satu flat dengannya. Tidak segan mengirimkan minuman dingin rasa buah untuk menyatakan rasa kagumnya sekaligus rasa cinta. Maria ini juga yang diujung cerita dinikahi pada saat terakhir sebagai istri kedua namun meninggal dunia. Maria adalah seorang Kristen yang mengagumi Al Quran bahkan hapal beberapa ayat Al Quran. Dia pula yang menyelamatkan Fahri dari jurang penjara karena fitnah. Maria ada personifikasi “bidadari” yang bukan masuk dalam kategori dan impian Fahri namun Maria jatuh hati setengah mati kepada Fahri.

(47)

Aisyah sudah jatuh hati ketika pertama kali ditolong Fahri di kereta api di Cairo saat mau mengaji. Dia menolong dia dari kejahilan orang setempat. Wanita berjilbab dan bercadar keturunan Turki ini ternyata orang super kaya karena ibunya yang gigih dan intelek. Sebuah kisah cinta yang indah, penuh dengan gejolak dan ketegangan. Kang Abik – panggilan akrab Habiburrahman- meramu cerita ini dengan setting Cairo. Karena dia mahasiswa Al Azhar sendiri, maka setting panasnya apartemen di Cairo bisa digambarkan dari pengalaman visualnya.

Tokoh – Tokoh dalam Film Ayat – Ayat Cinta12

Fahri bin Abdillah, 28 th (Fedi Nuril)

Mahasiswa bersahaja yang memegang teguh prinsip hidup dan kehormatannya. Cerdas dan simpatik hingga membuat beberapa gadis 'jatuh hati'. Dihadapkan pada kejutan-kejutan menarik atas pilihan hatinya.

Aisyah, 25 th (Rianti Cartwright)

Mahasiswi asing keturunan Jerman dan Turki, cerdas, cantik dan kaya raya. Latar belakang keluarganya yang berliku mempertemukan dirinya dengan Fahri.

Maria Girgis, 26 th (Carissa Putri)

Gadis Kristen Koptik yang jatuh cinta pada Islam. Dia menderita karena cinta yang teramat dalam kepada Fahri.

12

(48)

Noura bin Bahadur, 22 th (Zaskia Adya Mecca)

Siksa telah menjadi bagian dalam hidupnya. Janin yang dikandungnya menjadikannya terobsesi pada Fahri untuk menjadi ayah dari calon bayinya.

Nurul binti Ja'far Abdur Razaq, 26 th (Melanie Putria)

(49)

III-1

BAB III

PEMBAHASAN

Pada bab ini peneliti akan membahas film Ayat – Ayat Cinta yang dijadikan subjek penelitian untuk mendeskripsikan representasi poligami yang digambarkan dalam film tersebut . Secara teoritis, poligami merupakan sebuah budaya (kultur) yang berkembang di daerah Islam Arab (Timur Tengah) yang juga menjadi setting dari film Ayat-Ayat Cinta. Kultur masyarakat Arab waktu itu sangat mendukung (melegalkan) praktek poligami. Bahkan dalam sejarahnya, seorang laki-laki dapat menikahi lebih dari sepuluh perempuan. Dan kemudian praktek poligami di Indonesia tentu akan menampilkan fenomena yang berbeda.

Indonesia sebagai negara multikultur memiliki budaya dan adat (tradisi) yang berbeda dengan budaya Arab. Perbedaan kultur inilah yang kemudian memicu munculnya pro dan kontra seputar poligami. Di Indonesia, tradisi poligami belum mengakar kuat berbeda dengan Arab. Akan tetapi, praktek-praktek poligami juga berkembang di negeri ini. Biasanya poligami berkembang dalam naunsa kehidupan aritokrasi (kerajaan). Dimana raja memiliki banyak selir, tetapi hanya satu permaisuri.

(50)

III-2

pihak yang dirugikan. Dominasi-diskriminasi pun tidak bisa dihindari. Dengan alasan itulah, banyak kalangan yang menolak praktek poligami di negeri ini. Biasanya, kelompok yang pro poligami berasal dari kaum tradisional atau salafi. Sebuah kelompok yang memiliki sikap fanatik terhadap ajaran-ajaran Islam. Dan menurut para pembaru Islam seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Fazlur Rahman, serta Cak Nur, kelompok salafi adalah kelompok yang memahami ajaran-ajaran islam secara literal, tidak rasional, sistematis, dan komprehensif. Ahmad Shidqi dalam buku “Sepotong Kebenaran Milik Alifa” menegaskan bahwa bagi orang-orang salaf, poligami adalah suatu keniscayaan (keharusan) mengingat tingginya hasrat seksual laki-laki. Tujuan berpoligami adalah untuk menghindari perbuatan-perbuatan tercela, seperti zina, selingkuh, dan lain-lain.

3.1. Representasi Latar Belakang Menikah Poligami dalam Tokoh Fahri

(51)

III-3

Gambar 1 Gambar 2

Dengan latar belakang agama Islam yang ditunjukkan dari tulisan huruf Arab dalam gambar, menikah merupakan tujuan hidup yang dapat memberikan kehidupan yang baik sesuai dengan sunnah rasul. Dan biasanya pengaruh orang tua terhadap pilihan hidup anaknya akan sangat besar. Baik dalam hal pendidikan ataupun dalam hal perjodohan. Seperti terlihat dalam gambar (Gbr.3 dan 4) dan percakapan dibawah terlihat kesederhanaan penampilan dari sang ibu yang mengenakan penutup kepala dan kostum yang tidak menampilkan kemewahan dan juga masih menelepon dengan menggunakan telepon kabel biasa tidak dengan

(52)

III-4

Gambar 3 Gambar 4

Ibu : Ibu gak memaksa kok Le, kowe iki wes gede. Urusan nikah iku urusanmu dewe. Ibu Cuma mengingatkan

Fahri : Amanat dari Ibu dan Bapak belum saya laksanakan sepenuhnya Bu. Lagipula susah Bu, belum menemukan yang benar-benar pilihan Allah.

Ibu : Memangnya enggak ada perempuan Indonesia yang cocok buat kamu apa?lha Nurul? Yang suka kamu sebut-sebut itu piye?

Fahri : Nurul itu temen Bu, lagian mana ada anak Kiai yang mau sama saya

Ibu : Kalau Allah menghendaki, siapapun bisa jadi jodoh kamu.

Fahri : Iya Bu, assalamualaikum.

Ibu : Waalaikumsalam

(53)

III-5

Kemudian Ibunya menginginkan calon istri Fahri ialah seorang wanita yang berwarganegara Indonesia seperti disebutkan dalam dialog diatas. Hal ini merujuk kepada ketakutan sang Ibu jika harus jauh dari anaknya apabila akhirnya Fahri tidak menikah dengan orang Indonesia dan memutuskan tinggal di Mesir. Ibunya kemudian menyarankan untuk menikah dengan Nurul yang mungkin satu-satunya wanita asal Indonesia di Mesir yang pernah disebut-sebut oleh Fahri. Hal ini diperkuat lagi dengan penegasan bahwa jika Allah yang menghendaki, siapapun bisa menjadi jodohnya Fahri dalam hal ini termasuk juga Nurul. Di sini terlihat ada keengganan dari Fahri untuk menikah secara terburu-buru, dia menganggap jika pilihannya tergantung dari Allah yang berarti apabila Allah menghendaki Fahri untuk berpoligami dia tidak boleh menolak.

Pada suatu hari diceritakan Fahri bertemu dengan Aisyah di dalam sebuah kereta api. Berawal dari insiden yang melibatkan dua orang wartawan asing yang sedang melakukan penelitian dengan seorang lelaki Mesir yang beragama Islam dan menghujat Amerika sebagai teroris. Disini Fahri dan Aisyah menolong dua wartawan asing tersebut. Wartawan tersebut sedang melakukan penelitian tentang wanita Islam. Salah satu wartawan asing tersebut (Alicia) mewawancarai Fahri tentang kedudukan perempuan dalam Islam yang lebih spesifik dalam urusan rumah tangga. Dapat dilihat dari dialog di bawah

(54)

III-6

Fahri : Islam mengajarkan kita kalau surga itu berada di bawah telapak kaki Ibu. Begitu hadist meriwayatkan yang menjadikan dasar Islam. Sangat menjunjung tinggi perempuan.

Alicia : Lalu bagaimana dengan kekerasan dalam rumah tangga? Bukankah Al Qur’an memberikan ijin suami memukul isterinya?

Fahri : banyak lelaki muslim menggunakan surat Annisa untuk melakukan tindakan pengecut memukul perempuan padahal sebenarnya surat itu untuk menjelaskan 3 hal. Apabila seorang isteri berlaku Nusyus, yaitu

melanggar komitmen pernikahan. Pertama, dinasehati. Kedua,

diperingatkan. Dan ketiga, baru dipukul tetapi tidak boleh dimuka dan niatnya bukan untuk menyakiti. Semua ada di tulisanku Alicia.

Alicia : Ya bahasa Inggrismu bagus

Fahri : Maria yang membantu saya

Alicia : Pacarmu?

Fahri : bukan, Maria itu tetanggaku. Dalam Islam kami tidak melakukan pacaran kami biasanya melakukan Ta’aruf.

Gambar 5 Gambar 6

(55)

III-7

seorang muslim adalah kekerasan yang dilakukan seorang suami terhadap sang isteri yang mengacu pada surat An-Nisa seperti yang telah disebutkan oleh Fahri. Dari gambar (Gbr.5 dan 6) dapat terlihat bagaimana Alicia seorang warganegara Amerika dan beragama non-Islam, yang dapat ditunjukkan dari cara berpakaian yang “terbuka” dengan mengenakan tank top, memandang Islam sebagai agama yang memperbolehkan seorang suami untuk memukul isterinya sesuai dengan apa yang tertulis dalam Al-Qur’an. Ini memperlihatkan bagaimana pandangan negatif masyarakat non-muslim di dunia terhadap Islam yang memperbolehkan seorang suami memukul isterinya. Selama ini Islam dianggap sebagai agama yang sangat patriarkal dan diidentikkan dengan kekuatan dan kekuasaan laki-laki terhadap perempuan misalnya dengan “berhak” memukul isterinya. Kewenangan untuk melakukan tindak kekerasan suami terhadap istrinya yang nusyus (meninggalkan rumah tanpa izin atau berbuat melawan suami) secara konseptual lahir karena pada diri suami melekat otoritas sebagai qawwam (pemimpin) pada lingkup rumah tangganya. Otoritas qawwam tersebut sebagai atribut melekat pada seorang suami karena ini diberi kelebihan-kelebihan serta posisinya sebagai penanggung jawab ekonomi keluarga.1

1

Ridwan, M.Ag. Kekerasan Berbasis Gender, (Purwokerto, Pusat Studi Gender STAIN, 2006 ) hal. 147

Dengan demikian, kekerasan ini lahir karena ada pola relasi kekuasaan suami isteri yang timpang di mana salah satu pihak menjadi subordinat pihak lain. Pada umumnya para ahli tafsir memahami surat An-Nisa’ ayat 34 sebagai kebolehan seorang suami untuk memukul istrinya yang nusyus

(56)

III-8

jawab kehidupan ekonomi keluarga. Dengan demikian, tindakan kekerasan suami terhadap isterinya lahir karena konstruk peran gender yang melekat pada posisi masing-masing suami isteri.2

Menurut feminis radikal – libertarian Gayle Rubin, sistem seks/gender adalah ”suatu rangkaian pengaturan, yang digunakan oleh masyarakat untuk mentransformasi seksualitas biologis menjadi produk kegiatan manusia.”

3 Jadi, misalnya, masyarakat patriarkal menggunakan fakta tertentu mengenai fisiologi perempuan dan laki-laki (kromosom, anatomi, hormon) sebagai dasar untuk membangun serangkaian identitas dan perilaku ”maskulin” dan ”feminin” yang berlaku untuk memberdayakan laki-laki dan melemahkan perempuan. Dalam proses mencapai tugas ideologis ini, masyarakat patriarkal berhasil meyakinkan dirinya sendiri bahwa konstruksi budayanya adalah ”alamiah” dan karena itu, ”normalitas” seseorang bergantung pada kemampuannya untuk menunjukkan identitas dan perilaku gender, yang secara kultural dihubungkan kepada jenis kelamin seseorang. Kemudian mereka juga mengklaim bahwa gender adalah terpisah dari jenis kelamin, dan masyarakat patriarkal menggunakan peran gender yang kaku, untuk memastikan bahwa perempuan tetap pasif (”penuh kasih sayang, penurut, tanggap terhadap simpati dan persetujuan, ceria, baik dan ramah”) dan laki-laki tetap aktif (”kuat, agresif, penuh rasa ingin tahu, ambisius, penuh rencana, bertanggung jawab, orisinil, dan kompetitif”).4

2

Ibid.

3

Diambil dari Tong, Rosemarie Putnam. (2004). Feminist Thought. Jalasutra: Bandung. Hal. 72

4

(57)

III-9

Namun sebenarnya ada tiga tahapan yang harus dilalui sebelum melakukan hal itu, yang disebutkan dalam surat An-Nisa yaitu pertama dinasehati, kedua diperingatkan, dan ketiga baru boleh dipukul namun tidak boleh dimuka dan tanpa niat menyakiti. Kesalahan tafsir dan kurangnya pemahaman terhadap Al Qur’an dan agama Islam seringkali dijadikan alasan untuk mempergunakan ideologi patriarki dalam hal kehidupan rumah tangga seorang muslim. Dalam film ini digambarkan bagaimana Fahri sebagai mahasiswa S2 yang sedang menuntut ilmu tentang agama Islam di Al Azhar mengklarifikasi pandangan yang salah terhadap agama Islam oleh Alicia yang mewakili pandangan masyarakat non-muslim di dunia. Ini menunjukkan bahwa untuk bisa memahami agama Islam dengan benar kita harus mempelajari hingga ke Mesir dan Al Azhar yang merupakan pusat kebudayaan dan ilmu Islam. Bagaimana seorang muslim biasa tidak mampu mengamalkan dan menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an dengan baik. Seperti yang terlihat dari adegan di kereta api.

Orang Arab : Ya muslimah kenapa kamu memberikan tempat duduk kepada mereka (orang Amerika)? Mereka orang kafir.

Aisyah : Saya tidak tega melihat ibu ini.

Orang Arab : Itu memang pantas untuk mereka, kita memang sengaja tidak kasih tempat ke mereka. Kamu ini muslimah atau bukan?!

Aisyah : Islam mengajarkan kita untuk berbuat baik kepada siapapun.

(58)

III-10

Aisyah : Saya tidak peduli dengan semua itu

Orang Arab : ( bersiap memukul Aisyah )

Gambar 7 Gambar 8

(59)

III-11 dianggapnya lemah.

1.

Menurut Alison Jaggar dan Paula Rothenberg dalam buku Feminist Thought (2004), dalam pemikiran feminis radikal yang terpacu dari sistem seks/gender, dapat diinterpretasikan sebagai berikut:

2.

Bahwa perempuan adalah, secara historis, kelompok teropresi yang pertama.

3.

Bahwa opresi terhadap perempuan adalah paling menyebar, dan ada di dalam hampir setiap masyarakat yang diketahui.

4.

Bahwa opresi terhadap perempuan adalah yang terdalam, yang berarti bahwa opresi ini merupakan bentuk opresi yang paling sulit dihapuskan, dan tidak dapat dihilangkan dengan perubahan sosial yang lain, misalnya dengan penghapusan masyarakat kelas.

5.

Bahwa opresi terhadap perempuan menyebabkan penderitaan yang paling buruk bagi korbannya, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, meskipun penderitaan yang ditimbulkan muncul dengan tidak disadari karena adanya prasangka seksis, baik dari pihak opresor maupun pihak korban.

Bahwa opresi terhadap perempuan memberikan model konseptual untuk memahami bentuk opresi yang lain.5

Hal ini tentu saja bertentangan dengan ajaran Islam yang dianut oleh orang Arab tersebut. Ini menunjukkan bahwa seorang muslim biasa belum mampu

5

Gambar

gambar (Gbr.13 dan 14)  terlihat bagaimana Fahri takut untuk memandang wajah
Gambar 16
Gambar 19
                                 Gambar 21
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada tahun 1830 Lotka mengatakan bahwa penulis yang berkontribusi dalam satu artikel adalah 60% dari total penulis yang memberikan kontribusi. Itu berarti semakin banyak

Isolat Lactobacillus plantarum 1 R.1.3.2 dan supernatan bebas selnya memiliki zona hambat lebih besar dibandingkan isolat dan supernatan bebas sel lainnya

Pengujian elektrokimia baterai dilakukan dengan dua jenis uji yaitu uji dengan menggunakan sintesis material murni dan uji dengan menggunakan penambahan material

Seluruh Bapak dan Ibu Dosen STIE Perbanas Surabaya yang telah memberikan ilmunya yang berguna bagi penulis.!. Seluruh staff akademik, staff perpustakaan dan seluruh

Dengan berkembangnya dunia pendidikan proses pengaksesan laporan pencapaian kompetensi peserta didik pada sistem yang sedang berjalan masih belum dapat mengatasi

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dapat disimpulkan bahawa yaitu 1) miskonsepsi tertinggi pada indikator menganalisis proses sistem pencernaan dengan

KOMUNIKASI ANTAR KELOMPOK MASYARAKAT BERBEDA AGAMA DALAM MENGEMBANGKAN RELASI DAN TOLERANSI SOSIAL (Studi kasus pada masyarakat desa Ngadas suku tengger kecamatan

Apabila keluarga menerima beberapa aspek dari pendapatan maka pendapatan keluarga akan semakin tinggi (Sumarwan, 2011).Pendapatan merupakan salah satu faktor yang