• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pengaruh rasio mol katalis dan suhu pada proses butanolisis

4.1.2 Residu total gula

Tidak semua hasil hidrolisis pati dengan menggunakan asam akan menghasilkan monosakarida, namun ada juga yang berbentuk oligosakarida atau polisakarida. Hasil hidrolisis pati ini diukur sebagai total gula. Oligosakarida juga mampu bereaksi dengan butanol, namun produk yang dihasilkan berupa butil oligoglikosida. Gula sederhana, oligosakarida, polisakarida dan turunannya dapat bereaksi dengan fenol dalam asam sulfat pekat menghasilkan warna oranye hingga kekuningan yang stabil (Winarno 2008).

Residu total gula yang dihasilkan pada proses butanolisis berasal dari hasil hidrolisa asam pada tapioka. Semakin banyak residu total gula, maka semakin tidak efisien proses butanolisis yang terjadi. Kondisi proses reaksi butanolisis yang menggunakan suhu 140-150 OC dan dalam keadaan asam mendukung untuk terjadinya proses hidrolisa pati. Hasil penelitian pada perhitungan residu total gula berkisar antara 44.047,62-143.928,57 ppm, atau sekitar 28,51 – 82,4% dari total pati yang digunakan.

Dari hasil analisa ragam menunjukkan faktor perlakuan rasio mol, faktor perlakuan suhu dan interaksi kedua faktor berpengaruh nyata terhadap pembentukan residu total gula (Lampiran 3). Berdasarkan uji Duncan (α=0,05)

0,018 berbeda nyata dengan perlakuan penambahan katalis dengan rasio mol 0,027 dan 0,036. Perlakuan penambahan katalis dengan rasio mol 0,027 dan 0,036 tidak berbeda nyata. Hasil uji Duncan (α=0,05) pada tiap perlakuan menunjukkan

hasil yang berbeda nyata, kecuali pada perlakuan rasio mol katalis 0,036 dan suhu 150 OC (sampel A3B1) tidak berbeda nyata dengan perlakuan penambahan rasio mol katalis 0,027 pada suhu 140 OC dan 150 OC (sampel A2B1 dan A2B2). Pengaruh dari perlakuan rasio mol katalis dan perlakuan suhu terhadap residu total gula dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10 Pengaruh rasio mol katalis dan perlakuan suhu terhadap residu total gula

Semakin tinggi rasio mol katalis dan perlakuan suhu, maka semakin rendah residu total gula yang dihasilkan. Penambahan katalis yang semakin tinggi memungkinkan terjadinya kondisi keasaman yang semakin tinggi selama proses butanolisis. Dengan suasana asam memungkinkan untuk terjadinya hidrolisis pati dan ion H+ yang diperoleh dari katalis membantu terjadinya ikatan antara gula dan butanol. Pada perlakuan suhu 150 OC menghasilkan residu total gula yang lebih rendah jika dibandingkan dengan perlakuan suhu 140 OC.

Dari data residu total gula dan residu gula sederhana dapat diperoleh data derajat polimerisasi (DP) dari residu sakarida yang dihasilkan dari hasil proses butanolisis. Derajat polimerisasi merupakan hasil bagi dari jumlah residu total gula dan jumlah residu gula pereduksi. Nilai DP dari hasil proses butanolisis berkisar antara 2-3. Dari nilai DP yang diperoleh menunjukkan bahwa konsentrasi gula pereduksi terhadap total gula masih tinggi atau berkisar antara 55,5-34,5%;

0 20000 40000 60000 80000 100000 120000 140000 160000 0.018 0.027 0.036 T o ta l G ul a ( pp m )

Rasio Mol Katalis PTSA/1 mol pati 140 150

sedangkan jumlah persentase total gula terhadap keseluruhan hasil butanolisis sebesar 25,1-82,4% (Tabel 4). Ada dua kemungkinan yang dapat terjadi dari residu total gula yang terdapat pada hasil butanolisis yaitu terbentuknya polidekstrosa atau membentuk ikatan asetal dengan alkohol lemak rantai panjang pada tahap transasetalisasi (McCurry 2000).

Tabel 4 Derajat polimerisasi dan persentase residu gula dari berbagai sampel

Sampel Perlakuan DP Residu Gula (%)

A1B1a Katalis 0,018; suhu 140OC 2,4 82,40 A1B2a Katalis 0,018; suhu 150OC 1,9 49,75 A2B1a Katalis 0,027; suhu 140OC 1,8 39,70 A2B2a Katalis 0,027; suhu 150OC 2,2 31,35 A3B1a Katalis 0,036; suhu 140OC 2,9 38,20 A3B2a Katalis 0,036; suhu 150OC 2,4 28,51 Ludersb Katalis 0,012; suhu 165

O

C

(syrup glukosa low DP) n/a

c

13,00

Keterangan : aperlakuan penelitian, bLuders (2000), cdata tidak tersedia

4.1.3 Kejernihan

Luders (1991) dan Noerdin (2008) menyatakan bahwa warna produk hasil butanolisis antara kuning hingga coklat tua. Pembentukan warna ini disebabkan oleh dehidrasi glukosa dengan kehilangan 3H2O hingga membentuk hidroksil metil furfural (HMF) (Gambar 5). Perlakuan suhu tinggi hingga 150 OC juga menjadi penyebab pembentukan warna gelap pada hasil proses butanolisis. Hasil butanolisis yang berwarna gelap akan mempengaruhi kualitas warna produk APG selanjutnya. Semakin gelap produk butanolisis, maka produk APG yang dihasilkan juga akan semakin gelap.

Penetapan kejernihan produk dari hasil butanolisis dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer. Pada perhitungan kejernihan digunakan panjang gelombang 470 nm (McCurry 1994), dengan menghitung %Transmisi sampel. Hasil dari perhitungan %Transmisi kecerahan produk butanolisis berkisar antara 0,1 – 80,35 %T. Semakin rendah nilai %T maka semakin gelap produk.

Hasil analisa ragam menunjukkan faktor rasio mol, faktor suhu dan interaksi kedua faktor berpengaruh nyata (Lampiran 4). Berdasarkan uji Duncan (α=0,05)

0,036 tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata dengan penambahan katalis

dengan rasio mol 0,018. Dari hasil uji lanjut Duncan (α=0,05) terhadap tiap

kombinasi perlakuan menunjukkan kombinasi perlakuan rasio mol katalis 0,036 pada suhu 140 OC dan 150 OC (A3B1 dan A2B2) serta perlakuan rasio mol katalis 0,027 pada suhu 150 OC tidak berbeda nyata. Kombinasi perlakuan rasio mol katalis 0,018; suhu 150 OC (A1B2) dan kombinasi perlakuan rasio mol katalis 0,027; suhu 140 OC (A2B1) juga menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Warna dari hasil proses butanolisis yaitu kuning muda hingga hitam. Warna dari hasil proses butanolisis ini dapat dilihat pada Gambar 11. Grafik kejernihan APG akibat pengaruh penambahan rasio mol katalis dan perlakuan suhu dapat dilihat pada Gambar 12.

Keterangan : A (Rasio mol). A1=0,018; A2=0,027; A3=0,036 B (Suhu). B1=140 OC; B2=150 OC

Gambar 11 Hasil dari proses butanolisis

Gambar 12 Pengaruh rasio mol katalis dan suhu terhadap kejernihan (%T) Semakin tinggi penambahan rasio mol katalis dan semakin tinggi perlakuan suhu maka kejernihan produk yang dihasilkan akan semakin rendah. Perlakuan

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 0.018 0.027 0.036 K eje rni ha n (%T )

Rasio Mol Katalis PTSA/1 mol pati

140 150

penambahan rasio mol katalis 0,027 dan 0,036 dengan kombinasi perlakuan suhu 150 OC menghasilkan nilai kejernihan yang sangat rendah. Semakin tinggi penambahan rasio mol katalis menyebabkan penurunan pH yang semakin tinggi pula. Kondisi asam ini menyebabkan gula sederhana hasil hidrolisa pati mengalami dehidrasi hingga membentuk furfural. Hal ini sesuai dengan pendapat Winarno (1992) yang menyatakan bahwa asam akan menyebabkan dehidrasi pati menjadi furfural, yaitu suatu turunan aldehid. Perlakuan suhu yang semakin tinggi menyebabkan reaksi pembentukan warna gelap semakin tinggi. Suhu yang tinggi dapat meningkatkan pembentukan butil glikosida namun dapat menyebabkan by-product yang tidak diinginkan yaitu pembentukan warna gelap (Luders 2000).

Dokumen terkait