• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemurnian surfaktan nonionik alkil poliglikosida (APG) berbasis tapioka dan dodekanol

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemurnian surfaktan nonionik alkil poliglikosida (APG) berbasis tapioka dan dodekanol"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

PEMURNIAN SURFAKTAN NONIONIK ALKIL

POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS TAPIOKA DAN

DODEKANOL

FEBRUADI BASTIAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Pemurnian Surfaktan Nonionik Alkil Poliglikosida (APG) Berbasis Tapioka dan Dodekanol” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2011

Februadi Bastian

(3)

ABSTRACT

FEBRUADI BASTIAN. Purification of Alkyl Polyglycosides Nonionic Surfactant Based on Tapioca Starch and Dodecanol. Supervised by ANI SURYANI and TITI CANDRA SUNARTI.

Alkyl polyglycosides (APG) , a nonionic surfactant, has got some green labels such as Ecocert, EU Eco-flower and Green Seal as environmentally friendly surfactant. Sugar as APG's raw material, supplied the hydrophilic group, and fatty alcohol acted as hydrophobic group. Some undesirable compounds formed during the APG production had caused low quality. The research aimed to increase the quality and performance of APG, by controlling its process. The catalyst of p-toluene sulfonic acid (PTSA) was added and investigated the effect of catalysis concentration (0,018-0,036 mole per mole of starch) to enhance the butanolysis of starch. Addition 0-10% of activated carbon and 0-0,3% of NaBH4

in APG pre-purification process; 2% (w/w) of H2O2 35% and 500 ppm of MgO in

the bleaching process were examined to process high quality and high performance of APG. The results showed that 0.027 mole of PTSA per mole starch and process temperature of 140 OC could minimize the residual sugars after butanolysis. The best APG was obtained from purification step by addition 0% of activated carbon and 0,2% of NaBH4, with the characteristics of clarity of

59,02(%T); the ability to reduce surface and interfacial tensions at 1% concentration were 61,98% and 95,60% respectively; 81,71% of stability of emulsion, 62,5% of foam height and stable up to 315 minutes.

(4)

RINGKASAN

FEBRUADI BASTIAN. Pemurnian Surfaktan Nonionik Alkil Poliglikosida (APG) Berbasis Tapioka dan Dodekanol. Dibimbing oleh ANI SURYANI dan TITI CANDRA SUNARTI.

Produksi surfaktan saat ini telah beralih ke produksi dengan bahan baku yang ramah lingkungan dan terbarukan. Salah satu jenis surfaktan yang ramah lingkungan yaitu alkil poliglikosida (APG). Surfaktan APG telah mendapatkan berbagai sertifikat yang menyatakan bahwa APG merupakan surfaktan yang ramah lingkungan seperti Ecocert, EU Eco-flower dan Green Seal. Surfaktan APG biasa digunakan pada formulasi beberapa produk personal care, kosmetik, detergen, maupun herbisida.

APG merupakan jenis surfaktan berbasis gula yang disintesis dari glukosa dan alkohol lemak. Glukosa akan membentuk gugus hidrofilik dan alkohol lemak akan membentuk gugus hidrofobik dengan bantuan katalis p-toluene sulfonic acid

(PTSA). Kebutuhan surfaktan nonionik Indonesia saat ini masih dipenuhi dari impor yang jumlahnya semakin tahun semakin meningkat, padahal Indonesia memiliki potensi produksi pati dan PKO yang cukup besar.

Salah satu permasalahan dalam sintesis surfaktan APG yaitu terbentuknya warna gelap yang tidak diinginkan. Warna gelap ini berasal dari residu glukosa hasil hidrolisis pati yang tidak bereaksi dengan alkohol lemak untuk membentuk APG. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mendapatkan desain proses produksi dan pemurnian APG dengan karakteristik dan kinerja yang baik.

Sintesis APG menggunakan pati sebagai bahan bakunya melalui dua tahap yaitu butanolisis dan transasetalisasi. Pada proses butanolisis terjadi proses hidrolisis pati menjadi gula sederhana dan proses alkoholisis antara gula sederhana dan butanol hingga membentuk butil glikosida. Selama proses butanolisis terdapat residu gula yang tidak bereaksi yang berpotensi membentuk polidekstrosa dan hidroksil metil furfural (HMF) yang merupakan penyebab warna gelap. Oleh karena itu dilakukan variasi perlakuan penambahan katalis dan pengaturan suhu selama proses butanolisis untuk menghasilkan produk butanolisis yang memiliki residu gula yang rendah dan tingkat kecerahan yang masih tinggi.

Perlakuan rasio mol katalis PTSA yang digunakan yaitu 0,018-0,036 mol PTSA : 1 mol pati, sedangkan perlakuan suhu yaitu 140-150 OC. Hasil terbaik dari proses butanolisis yaitu kombinasi rasio mol katalis 0,027 : 1 mol pati dan perlakuan suhu 140 OC. Kombinasi perlakuan ini menghasilkan residu gula yang cukup rendah yaitu 39,7% dan kejernihan yang masih tinggi yaitu 45,75%T.

Hasil terbaik pada proses butanolisis kemudian digunakan untuk proses sintesis pada tahap selanjutnya. Residu gula yang dihasilkan pada proses butanolisis akan membentuk polidekstrosa dan HMF pada proses transasetalisasi. Oleh karena itu dilakukan tahap pemurnian yang meliputi proses penyaringan netralisasi, penambahan arang aktif, penambahan NaBH4 dan destilasi, kemudian

(5)

Penambahan arang aktif dimaksudkan untuk mengurangi warna gelap yang terbentuk setelah proses transasetalisasi, sedangkan penambahan NaBH4

dilakukan untuk mengubah residu glukosa yang masih tersisa menjadi sorbitol melalui proses hidrogenasi. Sorbitol lebih tahan pada suhu tinggi selama proses destilasi yang menggunakan suhu 140-160 OC dibandingkan dengan glukosa, sehingga kerusakan glukosa menjadi HMF dapat terhindarkan.

Konsentrasi arang aktif yang ditambahkan sebanyak 0-10% sedangkan konsentrasi penambahan NaBH4 yaitu 0-0,3% dari bobot hasil transasetalisasi.

Penambahan arang aktif dan NaBH4 dapat meningkatkan kejernihan produk APG

yang dihasilkan. Penambahan arang aktif 5% mampu meningkatkan kejernihan APG dibandingkan perlakuan tanpa penambahan arang aktif dan penambahan arang aktif 10%, namun penambahan arang aktif dapat menurunkan kinerja APG yang dihasilkan. Pengaruh penambahan NaBH4 hingga 0,2% mampu

meningkatkan kejernihan dan kinerja APG.

Kombinasi perlakuan terbaik yaitu tanpa penambahan arang aktif (0%) dan NaBH4 0,2%. Pada kombinasi perlakuan ini diperoleh tingkat kejernihan sebesar

59,02%(Transmisi); kemampuan menurunkan tegangan permukaan sebesar 61,94%; kemampuan menurunkan tegangan antarmuka sebesar 95,60%; kestabilan emulsi 81,71%; tinggi busa yang dihasilkan sebesar 62,5%; stabilitas busa selama 315 menit; dan rendemen sebesar 58,55%.

(6)
(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(8)

PEMURNIAN SURFAKTAN NONIONIK ALKIL

POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS TAPIOKA DAN

DODEKANOL

FEBRUADI BASTIAN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Tesis : Pemurnian Surfaktan Nonionik Alkil Poliglikosida (APG) Berbasis Tapioka dan Dodekanol

Nama Mahasiswa : Februadi Bastian

NRP : F351080051

Disetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M. Si.

Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Industri Pertanian

Dr. Ir. Machfud, MS. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.

(11)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulisan hasil penelitian dengan judul “Pemurnian Surfaktan Nonionik Alkil Poliglikosida (APG) Berbasis Tapioka dan Dodekanol” dapat terselesaikan dengan baik. Penulisan penelitian ini diajukan sebagai salah satu tahapan penyelesaian tesis di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu antara lain:

1. Dr. Ir. Machfud, MS., selaku Ketua Program Studi

2. Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA., selaku Ketua Komisi Pembimbing 3. Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M. Si., selaku Anggota Komisi Pembimbing 4. Dr. Ir. Dwi Setyaningsih, M.Si., selaku Dosen Penguji Luar Komisi

5. Teknisi laboratorium dan staf TIP : Ibu Rini, Ibu Sri, Ibu Ega, Pak Sugiardi, dan Pak Edi, Serta Ibu Nur. Terima kasih bantuannya.

6. Siti Aisyah, Donna Imelda, Saud, Andrew, Niken, Citra, Fatma, Deli, Dessy, Kartika, Jaelani, Bpk. Adi Salamun dan Bpk Agus yang banyak membantu selama penelitian.

7. Bapak, Mama, Kakak dan Adik yang selalu memacu agar cepat selesai. 8. Istri, Febriani Antasari dan Ananda Fadhil Hafizahin Bastian atas

kesabaran, dukungan dan doa.

9. Bpk. Erwin Susanto dan Bpk. Abun Lie dari PT Ecogreen atas bantuan bahan baku alkohol lemak.

10.Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian IPB, yang telah memberikan sebagian bantuan dana penelitian.

11.Teman-teman TIP IPB angkatan 2008 dan teman-teman di PTD 12.Dan semua pihak yang telah membantu penulisan hasil penelitian.

Penulis meyakini bahwa tidak ada hal yang sempurna di dunia ini. Oleh karena itu penulis menerima segala kritik dan saran yang dapat membantu kesempurnaan hasil penelitian ini.

Bogor, Januari 2011

(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Ujungpandang pada tanggal 5 Februari 1982. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Adolf Bastian dan Ibu Dina Sulle. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar pada tahun 1994 di SD Sudirman I Makassar, kemudian melanjutkan ke jenjang sekolah tingkat pertama di SLTP Neg. 6 Makasaar. Pada tahun 1997, penulis kemudian melanjutkan pendidikan di SLTA Neg. 2 Makassar dan lulus pada tahun 2000. Ditahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan perguruan tinggi di Program Studi Teknologi Hasil Pertanian, Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin dan lulus pada tahun 2005.

Pada tahun 2005, penulis memulai karir di sebuah media lokal di kota Makassar. Pada Tahun 2006 penulis terangkat menjadi staf pengajar di Jurusan Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin. Tak lepas dari hobby penulis di bidang IT, selama tahun 2006-2008 penulis sempat menjadi koordinator ICT pada Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin dan staf Bidang Program dan Teknis ICT Global Development Learning Network (GDLN) Universitas Hasanuddin.

Pada tahun 2008 Penulis melanjutkan pendidikan program master di jurusan Teknologi Industri Pertanian IPB dengan sponsor pembiayaan dari BPPS dan bantuan penelitian yang berasal dari Departemen Teknologi Industri Pertanian Institut Pertanian Bogor

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

1PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 3

1.2.1 Tujuan Umum ... 3

1.2.2 Tujuan Khusus ... 3

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Surfaktan ... 5

2.1.1 HLB (Hydrophile-Lipophile Balance) ... 6

2.1.2 Tegangan Permukaan ... 7

2.1.3 Tegangan Antarmuka ... 7

2.1.4 Kemampuan pembusaan ... 7

2.1.5 Stabilitas Emulsi ... 8

2.2 Alkil Poliglikosida ... 9

2.2.1 Butanolisis ... 12

2.2.2 Transasetalisasi ... 13

2.2.3 Netralisasi ... 14

2.2.4 Distilasi ... 15

2.2.5 Pemucatan (bleaching) ... 15

2.2.6 Bahan Pemucat ... 16

2.2.7 Katalis ... 18

2.2.8 Natrium Borohidrat (NaBH4) ... 19

2.2.9 Arang Aktif ... 20

2.2.10 Proses Pencoklatan ... 21

2.3 Bahan Baku Alkil Poliglikosida... 22

(14)
(15)

2.3.2 Sumber Karbohidrat ... 23

2.3.3 Tapioka ... 24

3 METODOLOGI PENELITIAN ... 27

3.1 Kerangka Pemikiran ... 27

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 28

3.3 Alat dan Bahan ... 28

3.4 Metode Penelitian... 28

3.4.1 Penentuan Rasio Mol Katalis dan Suhu Butanolisis ... 28

3.4.2 Tahap Produksi APG (sintesis dan pemurnian) ... 30

3.4.2.1 Proses Sintesis APG (Butanolisis dan Transasetalisasi)... 30

3.4.2.2 Proses Pemurnian APG... 30

3.4.3 Karakterisasi ... 32

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 33

4.1 Pengaruh Rasio Mol Katalis dan Suhu pada Proses Butanolisis ... 33

4.1.1 Residu Gula Pereduksi ... 34

4.1.2 Residu Total Gula ... 36

4.1.3 Kejernihan ... 38

4.1.4 Pemilihan Rasio Mol dan Suhu Terbaik Proses Butanolisis ... 40

4.2 Produksi APG ... 41

4.2.1 Proses Sintesis (Butanolisis dan Transasetalisasi) ... 41

4.2.2 Proses Pemurnian APG ... 42

4.2.2.1 Proses Penyaringan ... 42

4.2.2.2 Proses Netralisasi ... 43

4.2.2.3 Penambahan Arang Aktif dan NaBH4 ... 44

4.2.2.4 Proses Distilasi ... 44

4.2.2.5 Proses Pemucatan (Bleaching) ... 45

4.2.2.6 Karakteristik Kejernihan ... 45

4.2.2.7 Rendemen ... 47

4.3 Karakterisasi APG ... 48

(16)
(17)

4.3.2 Kemampuan Menurunkan Tegangan Antarmuka ... 50

4.3.3 Kestabilan Emulsi ... 52

4.3.4 Pembusaan (Tinggi dan Kestabilan Busa) ... 54

4.3.5 Penentuan Perlakuan Terbaik ... 56

4.3.6 Analisa Gugus Fungsi ... 58

4.3.7 Karakterisasi Formasi Emulsi dengan menentukan nilai HLB.. 58

4.3.8 Perbandingan Karakteristik APG Sintesis dan APG Komersial . 60 4.4 Perhitungan Biaya Bahan Baku Untuk Produksi APG ... 61

5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 63

5.1 Kesimpulan ... 63

5.2 Saran ... 63

DAFTAR PUSTAKA ... 65

(18)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Nilai HLB dan Aplikasinya ... 6 2 Data Impor Surfaktan Nonionik Indonesia ... 9 3 Syarat Mutu Tapioka ... 25 4 Derajat Polimerisasi dan Persentase Residu Total Gula dari Berbagai

(19)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Proses Sintesis Alkil poliglikosida (APG) dengan Metode Satu dan

Dua Tahap. ... 10

2 Proses Sintesis APG Satu Tahap ... 11

3 Proses Sintesis APG Dua Tahap ... 12

4 Reaksi Perubahan Gugus Aldehid/Keton Menjadi Gugus Alkohol dengan Pereduksi NaBH4 ... 20

5 Proses Perubahan D-glukosa Menjadi HMF ... 22

6 Pemilihan karbohidrat dalam industri APG ... 24

7 Diagram Alir Proses Butanolisis Tahap Pertama ... 29

8 Diagram Alir Proses Produksi APG ... 32

9 Pengaruh Faktor Rasio Mol Katalis dan Faktor Suhu Terhadap Residu Gula Pereduksi ... 35

10 Pengaruh Faktor Rasio Mol Katalis dan Faktor Suhu Terhadap Residu Total Gula ... 37

11 Hasil dari Proses Butanolisis ... 39

12 Pengaruh Rasio Mol Katalis dan Suhu Terhadap Kejernihan (%T) ... 39

13 Perbandingan Hasil Pengamatan Residu Gula Pereduksi, Residu Total Gula dan Kejernihan Dari Tiap Perlakuan ... 41

14 Hasil Akhir Proses Transasetalisasi ... 42

15 Perubahan Warna Pada Saat Netralisasi Menggunakan NaOH... 44

16 APG Kasar Hasil Proses Destilasi ... 45

17 Produk APG Murni Hasil Proses Pemucatan (Bleaching) ... 46

18 Hasil Analisa Kejernihan Produk APG Sintesis ... 47

(20)
(21)

20 Kemampuan Menurunkan Tegangan Permukaan dari APG yang

Dihasilkan ... 50 21 Kemampuan Menurunkan Tegangan Antarmuka APG Sintesis pada

Konsentrasi 1% Bahan Aktif ... 52 22 Proses Penghitungan Kestabilan Emulsi ... 53 23 Tingkat Kestabilan Emulsi Air dan Xilena dari Penambahan APG ... 54 24 Pengaruh Penambahan Arang Aktif dan NaBH4 Terhadap Tinggi Busa 55

25 Pengaruh Penambahan Arang Aktif dan NaBH4 Terhadap Stabilitas

Busa ... 56 26 Skor dari Perlakuan Penambahan Arang Aktif dan NaBH4 ... 57

27 Perbandingan Gugus Fungsi FTIR Antara APG Hasil Sintesis dan

(22)
(23)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Prosedur Analisis Surfaktan Alkil Poliglikosida (APG) ... 71 2 Analisa Statistik Residu Gula Reduksi Hasil Proses Butanolisis ... 75 3 Analisa Statistik Residu Total Gula Hasil Proses Butanolisis... 76 4 Analisa Statistik Kejernihan Hasil Proses Butanolisis ... 77 5 Perbandingan Residu Gula Reduksi, Residu Total Gula, dan

Kejernihan Hasil Proses Butanolisis ... 78 6 Hasil Perbandingan Gula Reduksi Setelah Proses Transasetalisasi... 79 7 Proses Butanolisis ... 80 8 Analisa Statistik Kejernihan APG Murni ... 81 9 Analisa Statistik Rendemen APG Murni ... 83 10 Analisa Statistik Kemampuan Menurunkan Tegangan Permukaan

APG Murni ... 84 11 Analisa Statistik Kemampuan Menurunkan Tegangan Antarmuka

APG Murni ... 87 12 Analisa Statistik Kestabilan Emulsi APG Murni... 90 13 Analisa Statistik Pembusaan APG Murni ... 93 14 Penentuan Perlakuan Terbaik Pemurnian APG Melalui Pembobotan

(24)

I P E N D A H U L U A N

1.1 Latar Belakang

Surfaktan merupakan senyawa yang memiliki kemampuan menurunkan tegangan permukaan dan antarmuka. Surfaktan memiliki gugus hidrofilik dan hidrofobik dalam satu molekul. Karena sifat inilah surfaktan dapat digunakan sebagai bahan penggumpal, pembusaan, dan emusifier oleh industri farmasi, kosmetik, kimia, pertanian dan pangan.

Peningkatan kebutuhan akan surfaktan diikuti oleh semakin berkembangnya industri-industri pengguna surfaktan. Saat ini perilaku industri selalu dihadapkan pada masalah lingkungan terutama dari segi bahan baku dan limbah yang dihasilkan. Untuk menjawab masalah tersebut, industri surfaktan mulai menghasilkan surfaktan yang memiliki sifat bebas dari toxic, biodegradable, dan mudah diformulasikan dengan komponen lain. Flider (2001) menyatakan bahwa surfaktan berbahan alami dapat dibagi menjadi empat kelompok yaitu berbasis minyak-lemak (monogliserida, digliserida, poligliserol ester, MES, dietanolamida, dan sebagainya), berbasis karbohidrat (alkil poliglikosida, sorbitan esters, sukrosa ester, alkil xylosides, dan n-metil glukamida), ekstrak bahan alami (lesitin dan saponin), dan biosurfaktan yang diproduksi oleh mikroorganisme (rhamnolipida, sophorolipida, lipopeptida dan sebagainya).

Alkil poliglikosida merupakan surfaktan nonionik ramah lingkungan yang dihasilkan dari bahan baku pati dan alkohol lemak. Surfaktan alkil poliglikosida (APG) merupakan salah satu surfaktan nonionik yang ramah lingkungan karena disintesis dengan menggunakan bahan baku yang berbasis minyak nabati dan karbohidrat seperti tapioka, sagu, dan lain-lain. APG telah diklasifikasikan sebagai surfaktan kelas satu yang ramah lingkungan (Hill et al. 2000) yang banyak digunakan untuk industri personal care product, herbisida, kosmetik dan industri tekstil. Surfaktan APG ini tidak berbahaya untuk mata, kulit dan membran, mengurangi efek iritan serta dapat terurai dengan baik secara aerob dan anaerob (Mehling et al. 2007)

(25)

(nontoxic), tidak menyebabkan iritasi dan ramah terhadap lingkungan. Hal ini mengakibatkan tingginya mengakibatkan permintaan dunia terhadap surfaktan ini mencapai 85.000 ton/tahun (Hill 2009), sedangkan jumlah impor surfaktan nonionik yang masuk ke indonesia pada tahun 2009 mencapai 18.176 ton. Disisi lain Indonesia memiliki potensi kelapa sawit yang sangat besar dengan hasil produksi CPO mencapai 17 juta ton pada tahun 2008 dan produksi PKO 2,6 juta ton pada tahun 2009 yang dapat disintesa menjadi alkohol lemak. Jumlah produksi alkohol lemak indonesia pada tahun 2009 mencapai 155.000 ton. Potensi akan sumber pati di Indonesia juga sangat besar. Sumber karbohidrat yang potensial di Indonesia dapat berasal dari umbi-umbian seperti ubi kayu ataupun dari batang seperti sagu. Namun jika dibandingkan antara kedua sumber pati tersebut, ubi kayu lebih mudah dibudidayakan jika dibandingkan dengan sagu. Produksi ubi kayu Indonesia pada tahun 2008 mencapai 21,7 juta ton.

Melihat potensi permintaan yang besar di Indonesia akan surfaktan nonionik, maka peluang untuk produksi APG sebagai salah satu surfaktan nonionik masih sangat besar.

Permasalahan dalam proses pengolahan pati dan alkohol lemak menjadi APG yaitu kelarutan monosakarida, oligosakarida, dan polisakarida yang rendah terhadap alkohol lemak; proses pemisahan alkohol lemak yang tidak ikut bereaksi; menghilangkan by-product yang terbentuk seperti warna yang gelap; bau yang menyengat; dan performa yang kurang bagus.

Pada pembuatan APG, pati digunakan sebagai sumber gugus hidrofiliknya melalui beberapa tahapan proses. Pertama yaitu tahap butanolisis untuk mengubah pati menjadi gula sederhana dan membuat ikatan dengan alkohol rantai pendek dengan bantuan katalis asam. Proses dilanjutkan ke tahap transasetalisasi untuk mengganti alkohol rantai pendek dari butanol dengan alkohol rantai panjang yang berasal dari alkohol lemak. Alkohol lemak yang tidak bereaksi dikeluarkan melalui proses distilasi, kemudian APG yang dihasilkan dilakukan proses pemucatan untuk mendapatkan APG murni.

(26)

furfuraldehid dari turunan pati. Penggunaan bahan baku yang berasal dari pati ataupun gula-gula sederhana dalam pembuatan alkil poliglikosida sangat mudah mengalami degradasi akibat penggunaan suhu tinggi dan keadaan asam maupun basa selama proses sintesis. Proses degradasi inilah yang menghasilkan by-product yang tidak diinginkan selama proses sintesis APG

Perbedaan sifat kepolaran dari bahan baku menyebabkan ikatan antara glukosa hasil degradasi pati dengan alkohol lemak sulit untuk saling terikat, sehingga glukosa lebih mudah membentuk sebuah polimer (polydextrose) atau terjadinya dehidrasi pada glukosa menjadi hidroksil metil furfural (HMF) sebelum berikatan dengan alkohol lemak. Terbentuknya polimer glukosa dan HMF merupakan penyebab terjadinya warna gelap. Kondisi ini sangat dimungkinkan untuk terjadi karena perlakuan suhu yang tinggi, kandungan air bahan dan keadaan asam selama proses sintesis.

1.2 Tujuan Penelitian

1.2.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini yaitu untuk mendapatkan desain proses produksi dan pemurnian APG dengan karakteristik dan kinerja yang baik.

1.2.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini yaitu :

1. Mengetahui pengaruh suhu, dan rasio mol katalis selama proses butanolisis terhadap karakteristik dan tingkat konversi pati.

2. Mendapatkan konsentrasi penambahan arang aktif dan NaBH4 pada proses

(27)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 S u r f a k t a n

Surfaktan merupakan senyawa aktif penurun tegangan permukaan (surface active agent). Surfaktan merupakan molekul amphipatic yang memiliki sifat hidrofilik yang bersifat polar dan hidrofobik yang bersifat non polar. Karena sifat ini surfaktan dapat larut dalam larutan yang berbeda derajat polaritas dan ikatan hidrogennya seperti air dan minyak. Konfigurasi hidrofilik dan hidrofobik tersebut membuat surfaktan memiliki fungsi yang beragam di berbagai industri. Aplikasi surfaktan dalam industri antara lain sebagai pembasah, pembentukan busa, penstabil emulsi, dan lain sebagainya yang memanfaatkan perbedaan sifat dari gugus hidrofilik dan gugus hidrofobik yang dimiliki oleh surfaktan

Surfaktan dibagi menjadi empat kelompok penting dan digunakan secara luas pada hampir semua sektor industri modern. Jenis-jenis surfaktan tersebut adalah surfaktan anionik, surfaktan kationik, surfaktan nonionik dan surfaktan amfoterik (Rieger 1985). Pembagian jenis-jenis surfaktan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Surfaktan kationik, merupakan surfaktan yang bagian pangkalnya berupa gugus hidrofilik dengan ion bermuatan positif (kation). Umumnya merupakan garam-garam amonium kuarterner atau amina.

2. Surfaktan anionik, merupakan surfaktan yang gugus hidrofiliknya dengan ion bermuatan negatif (anion). Umumnya berupa garam natrium, akan terionisasi menghasilkan Na+ dan ion surfaktan yang bermuatan negatif. 3. Surfaktan nonionik, merupakan surfaktan yang tidak berdisosiasi dalam air,

kelarutannya diperoleh dari sisi polarnya. Surfaktan jenis ini tidak membawa muatan elektron, tetapi mengandung hetero atom yang menyebabkan terjadinya momen dipol.

4. Surfaktan amfoterik, mengandung gugus yang bersifat anionik dan kationik seperti pada asam amino. Sifat surfaktan ini tergantung pada kondisi media dan nilai pH.

(28)

hidroksil (R–OH) dan gugus eter (R–O–R’). Daya larut dalam air gugus hidroksil dan eter lebih rendah dibandingkan dengan kelarutan gugus sulfat atau sulfonat. Kelarutan grup hidroksil atau eter dalam air dapat ditingkatkan dengan penggunaan grup multihidroksil atau multieter. Beberapa contoh produk multihidroksil (hasil reaksi antara gugus hidrofob dengan produk multihidroksil) antara lain: glukosida, gliserida, glikol ester, gliserol ester, poligliserol ester dan poligliserida, poliglikosida, sorbitol ester dan sukrosa ester (Porter 1991).

Flider (2001) menyatakan bahwa surfaktan berbasis bahan alami dapat dibagi menjadi empat kelompok yaitu :

1. Berbasis minyak-lemak seperti monogliserida, dan poligliserol ester 2. Berbasis karbohidrat seperti alkil poliglikosida, dan n-metil glukamida 3. Ekstrak bahan alami seperti lesitin dan saponin

4. Biosurfaktan yang diproduksi oleh mikroorganisme seperti rhamnolipid dan sophorolipid

2.1.1 H L B (Hydrophile-Lipophile Balance)

Keseimbangan antara gugus hidrofilik dan hidrofobik pada surfaktan dihitung dengan nilai HLB (Hydrophile-Lipophile Balance). Menurut Holmberg

et al. (2003) nilai HLB menentukan aplikasi dari surfaktan yang dihasilkan. Nilai HLB dan aplikasinya dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Nilai HLB dan aplikasinya

Nilai HLB Aplikasi

3 – 6 Pengemulsi W/O

7 – 9 Wetting agent

8 – 14 Pengemulsi O/W

9 – 13 Detergen

10 – 13 Solubilizer

12 – 14 Dispersant

Sumber : Menurut Holmberg et al. (2003)

2.1.2 Tegangan permukaan

(29)

disebabkan oleh adanya gaya tarik-menarik dari molekul cairan. Tegangan permukaan dapat diukur menggunakan Tensiometer du Nouy dan dinyatakan dalam dyne/cm atau mN/m.

Pada cairan terdapat molekul-molekul yang tersebar di bawah pemukaan dan pada permukaan cairan. Molekul-molekul ini saling tarik menarik. Gaya tarik-menarik molekul di bawah permukaan cairan tersebut kemudian mendapatkan gaya tarik dari molekul-molekul dibawahnya yang mencoba menarik ke tubuh cairan, sehingga menyebabkan cairan mengambil bentuk yang memungkinkan luas permukaan menjadi sekecil mungkin. Bentuk tersebut adalah bentuk bola (sphere). Besarnya energi yang mengendalikan bentuk cairan tersebut dinamakan tegangan permukaan. Semakin besar ikatan antar molekul-molekul dalam cairan maka semakin besar tegangan permukaan (Bodner dan Pardue 1989).

2.1.3 Tegangan antarmuka

Surfaktan berfungsi sebagai senyawa aktif yang dapat digunakan untuk menurunkan energi pembatas yang membatasi dua cairan yang tidak saling larut, kemampuan ini disebabkan oleh gugus hidrofilik dan hidrofobik yang dimiliki oleh surfaktan. Surfaktan akan menurunkan gaya kohesi dan sebaliknya meningkatkan gaya adhesi sehingga dapat menurunkan tegangan permukaan dan tegangan antarmuka (Matheson 1996). Tegangan antarmuka adalah gaya persatuan panjang yang terjadi pada antarmuka dua fase cair yang tidak dapat tercampur. Tegangan antarmuka sebanding dengan tegangan permukaan, akan tetapi nilai tegangan antarmuka akan selalu lebih kecil daripada tegangan permukaan pada konsentrasi yang sama (Moecthar 1989)

2.1.4 Kemampuan pembusaan

(30)

Struktur busa cair tidak ditentukan oleh komposisi kimia atau ukuran busa rata-rata melainkan kandungan zat cairnya. Jika fraksi cair lebih dari 5%, maka gelembung gas akan mempunyai bentuk hampir bola, sebaliknya, jika kurang dari 5% maka bentuk gelembung gas adalah polihedral. Struktur busa dapat berubah jika diberi gaya dari luar, apabila gaya tersebut kecil, maka struktur busa akan kembali ke bentuk awal setelah gaya tersebut ditiadakan. Namun, jika gaya yang diberikan cukup besar, maka akan terjadi deformasi (Noerdin 2008).

Kemampuan pembusaan dipengaruhi oleh panjang rantai hidrokarbon. Dibandingkan dengan surfaktan anionik sebagai agen pembusa yang telah lama digunakan, surfaktan nonionik dianggap sebagai surfaktan yang memiliki kemampuan pembusaan yang lebih rendah. Ware et al. (2007), melakukan pengujian kemampuan pembusaan antara surfaktan Sodium Lauryl Sulfate (SLS), APG C10 dan APG C12. Hasilnya yang diperoleh yaitu kemampuan surfaktan APG

memiliki kemampuan pembusaan lebih rendah dibandingkan surfaktan SLS.

2.1.5 Stabilitas emulsi

Mekanisme kerja dari surfaktan untuk menstabilkan emulsi yaitu dengan menurunkan tegangan permukaan dengan membentuk lapisan pelindung yang menyelimuti globula fase terdispersi, sehingga senyawa yang tidak larut akan lebih mudah terdispersi dalam sistem dan bersifat stabil. Emulsi yang stabil mengacu pada proses pemisahan yang berjalan lambat sedemikian rupa sehingga proses itu tidak teramati pada selang waktu tertentu yang diinginkan (Kamel 1991)

Suatu sistem emulsi, pada dasarnya merupakan suatu sistem yang tidak stabil, karena masing-masing partikel mempunyai kecenderungan untuk bergabung dengan partikel lainnya. Suatu sistem emulsi yang baik tidak membentuk lapisan, tidak terjadi perubahan warna dan konsistensi tetap. Stabilitas emulsi merupakan salah satu karakter penting dan mempunyai pengaruh besar terhadap mutu produk emulsi ketika dipasarkan (Suryani et al. 2000)

2.2 Alkil poliglikosida (APG)

(31)

menggunakan alkil poliglikosida sebagai bahan bakunya dipublikasikan di Jerman sekitar 40 tahun kemudian hingga saat ini berbagai penemuan tentang alkil poliglikosida terus berkembang. Pada awalnya Fischer mereaksikan glukosa dan alkohol yang bersifat hidrofilik seperti metanol, etanol, gliserol, dan lain-lain kemudian mereaksikannya pada alkohol yang bersifat hidrofobik dengan rantai alkil dari octil (C8) hingga heksadecil (C16) yang merupakan sifat dari alkohol

lemak. Hasil sintesis yang diperoleh berupa kumpulan dari alkil mono, poli, dan oliglikosida. Karena kompleksitas inilah maka produk yang dihasilkan disebut Alkil poliglikosida (Hill 2000).

Alkil poliglikosida (APG) merupakan surfaktan nonionik yang ramah lingkungan karena disintesis dengan menggunakan bahan baku yang berbasis karbohidrat dan alkohol lemak. APG telah diuji mengenai dampak terhadap lingkungan dan telah mendapatkan beberapa green label seperti Ecocert, EU Eco-flower, Green Seal dan sebagainya sebagai surfaktan yang ramah lingkungan. APG juga tidak beracun atau berbahaya bagi manusia, memiliki sifat iritasi yang rendah pada kulit jika dibandingkan dengan surfaktan lainnya (Mehling et al. 2007). Saat ini produksi APG dunia mencapai 85.000 ton/tahun (Hill 2009). Kebutuhan surfaktan nonionik APG di Indonesia saat ini dipenuhi dari impor. Kebutuhan surfaktan nonionik di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Data impor surfaktan non ionik Indonesia

Tahun Jumlah (Kg) Nilai (US$)

2003 14.527.188 17.351.004

2004 25.342.925 38.339.722

2005 16.735.515 29.790.690

2006 15.408.042 26.659.130

2007 14.865.928 28.353.164

2008 17.168.473 42.172.772

2009 18.176.494 38.617.994

Jan-Agt 2010 17.016.995 38.878.278

Sumber: BPS (2010)

(32)

pati) dan alkohol lemak (dekstrosa-alkohol lemak). Diagram proses pembuatan APG dari masing-masing prosedur disajikan pada Gambar 1. Pada diagram proses tersebut dapat dilihat perbedaan proses sintesis APG antara tahap prosedur pertama dengan kedua. Prosedur pertama, berbasis pati-alkohol lemak melalui proses butanolisis dan transasetalisasi, sedangkan prosedur kedua yang berbasis dekstrosa-alkohol lemak hanya melalui proses asetalisasi sebelum masing-masing prosedur masuk ke proses netralisasi, distilasi, pelarutan dan pemucatan (Hill 2000).

Gambar 1 Proses sintesis Alkil poliglikosida (APG) dengan metode satu dan dua tahap (Hill 2000)

(33)

terutama C12-18 dari alkohol lemak bahan baku alami. Reaksi butanolisis dilakukan

pada suhu diatas 125 OC dan dengan tekanan 4-10 bar. Reaksi transasetalisasi dilaksanakan pada temperatur 115-118 OC pada kondisi vakum dengan rasio mol pati dengan alkohol rantai panjang adalah 1:1,5 sampai 1:7, 1:2,5 sampai 1:7, dan 1:3 sampai 1:5, sedangkan rasio mol sakarida : air = 1:5 sampai 1:12, 1:6 sampai 1:12, 1:6 sampai 1:9, 1:6 sampai 1:8.

Menurut Buchanan et al. (1998) tahapan proses APG dengan dua tahap meliputi langkah-langkah dasar sebagai berikut: 1) reaksi glikosidasi menggunakan katalis asam dari sumber monosakarida dengan butanol untuk membentuk butil glikosida, dengan pemisahan gugusan air selama reaksinya, 2) transglikosidasi dari butil glikosida dengan C8 sampai C20 alkohol menjadi APG

rantai panjang, dengan pemisahan butanol selama reaksinya, 3) netralisasi dari katalis asam, 4) distilasi untuk memisahkan rantai panjang alkohol yang tidak bereaksi, 5) pemucatan untuk meningkatkan warna dan bau dari produk, dan 6) isolasi alkil poliglikosida. Reaksi glikosidasi dan transglikosidasi dikendalikan pada keadaan seimbang sampai katalis dinetralkan. Untuk proses sintesis APG tipe tahap tunggal (Gambar 2) meliputi semua langkah dari proses dua tahap (Gambar 3), dengan pengecualian pada penggabungan langkah 1 dan 2 yang ditunjukkan di atas dengan mereaksikan glukosa secara langsung dengan rantai panjang alkohol.

(34)

Keterangan :

I. Reaksi Glikosidasi (Butanolisis)

II. Reaksi Transglikosidasi (Transasetalisasi)

Gambar 3 Proses sintesis APG dua tahap (Hill 2000)

2.2.1 Butanolisis

Lueders (2000), melakukan penelitian dengan mereaksikan pati dengan butanol dan katalis p-toluene sulfonic acid (PTSA)dengan rasio mol 11,3 butanol, dan 0,012 mol p-toluene sulfonic acid dalam reaktor bertekanan pada suhu 160 OC selama 30 - 40 menit. Hasil yang diperoleh dari proses sintesis tersebut yaitu 87% butilglikosida yang berwarna coklat tua. Penggunaan suhu atau konsentrasi katalis yang rendah mengakibatkan penurunan jumlah konversi yang nyata. Butil glikosida yang dihasilkan dapat langsung di konversi langsung menjadi APG dengan mereaksikannya dengan alkohol rantai panjang. Wuest et al. (1992), melakukan proses butanolisis dengan rasio mol 8 mol air; 8,5 mol butanol; dan 0,036 mol PTSA per satu mol pati. Dengan suhu 140 OC selama 30 menit dengan tekanan 5 bar. Penggunaan suhu dan konsentrasi asam yang rendah mengakibatkan penurunan konversi produk butil glikosida yang dihasilkan.

Butil glikosida terbentuk dari sakarida, butanol, asam dan dalam keadaan panas serta bertekanan, Jika bahan baku sakarida yang digunakan berasal dari pati, maka terlebih dahulu terjadi proses hidrolisis kemudian proses alkoholisis, selain terbentuknya butil glikosida atau butil oligosida juga terbentuk warna yang gelap akibat degradasi dari gula. Pada proses butanolisis juga terjadi pemisahan air dari

I.

II.

Pati-patian Butanol Butil Glikosida Air

(35)

hasil reaksi glukosa dan butanol dengan bantuan ion H+ dari katalis (Lueders 1989).

Alkoholisis pati menjadi glikosida memerlukan kondisi yang lebih kompleks daripada glikosidasi dari D-glukosa atau transglikosidasi dari alkil glikosida sederhana. Penyebabnya adalah struktur molekul dari pati yang tersusun dari amilosa dan amilopektin yang memiliki kemampuan swelling terbatas pada alkohol, khususnya alkohol hidrofobik, dan berkurangnya jembatan hidrogen antar molekul. Ikatan α(1,6) glikosida pada atom karbon kedua menunjukkan kestabilan yang lebih besar daripada ikatan atom yang pertama pada alkil glikosida sederhana (Lueders 2000).

2.2.2 Transasetalisasi

Alkil poliglikosida merupakan suatu asetal yang diperoleh dari pati (glukosa) dan alkohol rantai panjang (C8–C22). Sehingga proses pengikatan

glukosa siklis terhadap alkohol sering disebut reaksi asetalisasi (Wuest et al. 1992). Salah satu proses asetalisasi bisa melalui glikosidasi (pembentukan ikatan glikosida) glukosa dengan menggunakan alkohol berlebih sehingga proses asetalisasi pada sintesis APG sering juga disebut glikosidasi.

Gugus hidrofobik pada APG diperoleh dari alkohol rantai panjang alkohol lemak. Alkohol lemak memiliki gugus hidroksil (OH) yang sifat kelarutannya sangat dipengaruhi oleh ikatan hidrogen yang berikatan dengan atom karbon. Dengan bertambah panjangnya rantai karbon, maka pengaruh gugus hidroksil yang bersifat polar menurun dan sifat non polar akan semakin tinggi. Alkohol lemak pada APG diperlukan untuk memperoleh gugus alkil rantai panjang sebagai bagian yang bersifat hidrofobik. Pemilihan alkohol lemak yang tepat juga akan berpengaruh pada suhu transasetalisasi berlangsung sebab semakin panjang rantai maka titik didihnya semakin tinggi. Selama proses transasetalisasi berlangsung, sisa butanol dan air yang dihasilkan pada proses butanolisis akan keluar melalui proses distilasi vakum.

(36)

polidektrosa yang merupakan hasil samping yang tidak diinginkan dan merupakan salah satu penyebab terbentuknya warna gelap.

Kondisi asam dan suhu tinggi selama sintesis alkil poliglikosida menghasilkan produk sekunder seperti polidekstrosa, dan warna kotoran. Dengan menggunakan suhu yang lebih rendah (<100 OC) pada proses asetalisasi menghasilkan produk sekunder yang rendah, namun waktu reaksi yang dibutuhkan lebih lama. Pada penggunaan suhu tinggi (>120 OC) dapat mempercepat pembentukan polidekstrosa dan perubahan warna pada karbohidrat. Namun hal penting lainnya yang harus diperhatikan yaitu bagaimana cara untuk menghilangkan air dalam sistem reaksi dengan mengurangi tekanan. Namun air masih diperlukan dalam jumlah tertentu (sekitar 0,1-0,25%) untuk menghindari terjadinya dehidrasi pada glukosa yang dapat menyebabkan karamelisasi (Eskuchen dan Nitsche 1997).

2.2.3 Netralisasi

Tahapan netralisasi bertujuan unutk menghentikan proses transasetalisasi dengan menambahkan basa hingga mencapai pH 8–10. Basa yang digunakan untuk proses netralisasi meliputi alkali metal, almunium salt, selain itu dapat digunakan dari anion, dari basa organik maupun inorganik seperti sodium peroksida (NaOH), potasium hidroksida, kalsium hidroksida, almunium hidroksida dan sebagainya. Penggunaan NaOH sangat dianjurkan karena NaOH tidak bereaksi dengan alkohol atau produk. Proses penambahan dengan menggunakan NaOH akan lebih mudah karena berbentuk larutan dan tidak memerlukan penyaringan untuk menghilangkan garam yang terbentuk (Wuest et al. 1992). Proses netralisasi juga diperlukan karena sakarida akan lebih mudah rusak dalam keadaan asam selama proses destilasi yang menggunakan suhu yang tinggi.

Untuk memastikan bahwa kadar glukosa tersisa tidak akan bereaksi menghasilkan produk yang tidak diinginkan pada saat destilasi menggunakan suhu tinggi, maka pada larutan dapat ditambahkan natrium borohidrat (NaBH4)

yang dapat mengubah glukosa menjadi sorbitol. Diperlukan 1 g NaBH4 untuk

(37)

dan suhu tinggi, sehingga diharapkan tidak terjadi perubahan warna selama proses distilasi (McCurry 2000). Luders (2000), mereduksi sisa glukosa menjadi sorbitol dengan menambahkan 0,1% sodium borohidrat dan memisahkan sisa alkohol lemak pada suhu 180 OC, dan hasil yang diperoleh yaitu APG yang memiliki warna yang lebih terang dibandingkan tanpa penambahan sodium borohidrat.

Lueders (1991), melakukan penambahan arang aktif 1–10% sebelum dan sesudah proses destilasi dan diperoleh APG yang lebih cerah pada penambahan sebelum proses distilasi. Namun karena sifat arang aktif yang hidrofobik maka akan mengurangi sifat nonpolar dari surfaktan (Rosu 2007)

2.2.4 Distilasi

Tahapan distilasi bertujuan untuk menghilangkan alkohol lemak yang tidak ikut bereaksi. Proses distilasi ini memerlukan suhu tinggi dan tekanan rendah untuk memisahkan/menguapkan alkohol lemak yang tidak ikut bereaksi. Proses distilasi ini dapat dilakukan pada suhu sekitar 140-180 OC dengan tekanan vakum, tergantung alkohol lemak yang digunakan. Semakin panjang rantai alkohol lemak maka semakin tinggi suhu dan semakin rendah tekanan yang dibutuhkan.

Pada tahapan destilasi diharapkan memperoleh kandungan alkohol lemak sekecil mungkin pada produk APG yaitu kurang dari 5% dari berat produk. Kelebihan alkohol lemak yang tidak bereaksi pada produk akan mengurangi efektifitas kerja dari surfaktan APG.

Hasil akhir proses distilasi akan diperoleh produk surfaktan APG kasar berbentuk pasta yang berwarna kecoklatan dan berbau kurang enak. Oleh karena itu perlu dilakukan proses pemurnian untuk memperoleh APG yang memiliki penampakan yang lebih baik dan bau yang tidak terlalu menyengat.

2.2.5 Pemucatan (bleaching)

(38)

air dan NaOH yang dilakukan pada suhu 80-90 OC selama 30-120 menit pada tekanan normal (Hill et al. 2000).

Buchanan et al. (2000) menyatakan bahwa warna gelap produk surfaktan APG dapat terjadi selama proses sintesis yang disebabkan oleh beberapa faktor yaitu:

1. Suhu pemanasan yang tinggi dan tidak terkontrol pada tahapan distilasi, sehingga menimbulkan kerusakan warna dan kegosongan pada produk yang terjadi selama distilasi.

2. Penggunaan katalis asam pada proses sintesis. Pemilihan katalis ini merupakan titik kritis terhadap warna dari produk akhir APG.

3. Turunan furan dengan warna yang gelap yang tinggi seperti furfuraldehid. Turunan furan ini dihasilkan pada proses dehidrasi monosakarida oleh katalis asam kuat.

4. Logam seperti Fe, Ca, dan Mn akan menimbulkan warna yang tidak diinginkan dalam produk APG.

2.2.6 Bahan Pemucat

Bahan pemucat (bleaching agents) merupakan suatu bahan yang dapat memucatkan atau memudarkan warna suatu substrat melalui proses fisika dan kimia. Proses ini melibatkan proses oksidasi, reduksi, atau adsorpsi yang membuat bagian-bagian yang berwarna pada substrat menjadi lebih larut atau diserap sehingga mudah dihilangkan selama proses pemucatan. Pemucatan dapat juga melibatkan proses kimia yang mengubah kemampuan bagian molekul berwarna untuk menyerap cahaya, yaitu dengan mengubah derajat ketidakjenuhan (Kirk dan Othmer 1985).

(39)

Bahan kimia yang berfungsi sebagai pemucat/pemutih disebut bleaching agents, seperti hidrogen peroksida, ammonium persulfat, azodicarbonamide, CaSO4, TiO2, dll. Dalam penggunaannya, efek pemutihan yang cukup baik hanya

diperoleh dengan menggunakan pelarut hidrogen peroksida (H2O2) yang cukup

kuat.

Hidrogen peroksida (H2O2) tidak berwarna, berbau khas agak keasaman,

dan larut dengan baik dalam air. Mayoritas penggunaan hidrogen peroksida adalah dengan memanfaatkan dan merekayasa reaksi dekomposisinya, yang intinya menghasilkan oksigen. Hidrogen peroksida biasa digunakan sebagai

bleaching agent pada industri pulp, kertas dan tekstil. Senyawa ini juga biasa dipakai pada proses pengolahan limbah cair, industri kimia, pembuatan deterjen, makanan dan minuman, medis, serta industri elektronika (pembuatan PCB). Hidrogen peroksida bersifat oksidator dan akan merusak ikatan rangkap pigmen menjadi komponen yang tidak berwarna. Aktivitas ini meningkat dengan semakin meningkatnya konsentrasi H2O2.

Salah satu keunggulan hidrogen peroksida dibandingkan dengan oksidator yang lainnya adalah sifatnya yang ramah lingkungan karena tidak meninggalkan residu yang berbahaya. Kekuatan oksidatornya pun dapat diatur sesuai dengan kebutuhan. Dalam industri APG hidrogen peroksida dibutuhkan dengan konsentrasi 30% (Buchanan et al. 1998). Penggunaan hidrogen peroksida biasa dikombinasikan dengan NaOH. Semakin basa, maka laju dekomposisi hidrogen peroksida pun semakin tinggi.

Hidrogen peroksida dalam kondisi asam sangat stabil, sedangkan pada kondisi basa sangat mudah terurai. Peruraian hidrogen peroksida juga dipercepat dengan naiknya suhu. Zat reaktif dalam sistem pemucatan dengan hidrogen peroksida dalam suasana basa yaitu anion perhidroksil (HOO-). Anion yang terbentuk berasal dari penambahan alkali dan terjadi reaksi sebagai berikut :

H2O2 + HO-↔ HOO- + H2O

(40)

H2O2 + HO2→ H2O + O2 + HO

Pada proses pemucatan diharapkan yang terjadi pada persamaan reaksi yang pertama karena menghasilkan ion HOO- sedangkan dengan adanya logam transisi maka dekomposisi hidrogen peroksida akan diarahkan mengikuti persamaan reaksi yang kedua. Pada reaksi yang kedua proses pemucatan berlangsung dengan memberikan efek oksidasi dengan terbentuknya senyawa O2 namun daya

pemucatannya kurang efektif jika dibandingkan dengan persamaan pertama (Fuadi dan Sulistya 2008)

2.2.7 Katalis

Pemilihan katalis pada proses sintesa APG sangat menentukan keberhasilan terbentuknya ikatan asetal serta memperpendek proses sintesa berlangsung. Katalis-katalis asam yang dapat digunakan pada tahapan proses asetalisasi meliputi :

1. Asam anorganik: asam fosfat, asam sulfat, asam klorida, dll.

2. Asam organik: asam triflouroasetat, asam p-toluena sulfonat, asam sulfosuksinat, asam kumena sulfonat, asam lemak tersulfonasi, ester asam lemak tersulfonasi, dll.

3. Asam dari surfaktan: asam alkil benzena sulfonat, alkohol lemak sulfat, alkoksilat alkohol lemak sulfat, alkil sulfonat rantai lurus, alkil ester dari asam sulfosuccinat, alkil naphthalena sulfonat, dll.

Dari katalis tersebut diatas dipilih katalis organik asam p-toluena sulfonat, karena katalis tersebut cenderung bersifat organik dan dapat terurai serta berupa asam lemah. Jika menggunakan asam kuat, kemungkinan asam akan bereaksi dengan menghidrolisa glukosa. Penggunaan asam lemah juga akan memudahkan dalam proses netralisasi. Selain itu asam p-toluena sulfonat juga bersifat tidak korosif terhadap pipa besi ataupun stainless steel (Hill 2000).

(41)

2.2.8 Natrium Borohidrat (NaBH4)

Natrium borohidrat dikenal juga sebagai natrium tetrahidroborat, merupakan senyawa pereduksi anorganik dengan rumus NaBH4. Senyawa ini berbentuk padat

berwarna putih, biasa terdapat berbentuk serbuk ataupun granula. Kegunaan senyawa ini sangat luas baik dalam skala laboratorium maupun skala teknis. Sebagian besar digunakan dalam pemucatan pulp kayu. Berat molekul NaBH4

yaitu 37,83 mol/g, dan nilai densitas 1,0740 g/cm3. NaBH4 biasa digunakan untuk

mengubah gugus aldehid dan keton menjadi gugus alkohol (Anonim 2010b). Himakumar et al. (2006) menyatakan bahwa NaBH4 merupakan senyawa

pereduksi yang menyimpan unsur hidrogen, dan bereaksi dengan air untuk menghasilkan sejumlah hidrogen. Reaksi NaBH4 dan air dapat dilihat pada

persamaan reaksi berikut:

NaBH4 + 4H2O → NaBO2.2H2O + 4 H2 + 300 kl

Sejumlah H2 yang dihasilkan dari reaksi tersebut digunakan untuk

mengubah gugus aldehid pada glukosa ataupun gugus keton pada fruktosa menjadi sorbitol. Sorbitol diketahui lebih tahan pada suhu tinggi sehingga pada proses destilasi yang menggunakan suhu 140-180 OC sorbitol tidak mengalami kerusakan hingga penbentukan warna gelap dapat dihindari. McCurry et al

(2000), menambahkan 1 g NaBH4 pada setiap 10-20 g kelebihan glukosa yang tidak bereaksi.

Reaksi pembentukan gugus alkohol dari gugus aldehid ataupun keton dengan menggunakan NaBH4 dapat juga dimulai dengan ionisasi NaBH4 menjadi

Na+ + (BH4)- . Mula-mula salah satu atom H dari BH4 mendekati ikatan rangkap

C=O. salah satu ikatan akan bergeser ke O sehingga atom H akan berikatan dengan C. Atom O- akan mengikat salah satu atom H dari air hingga membentuk gugus alkohol. Secara simultan gugus BH3- mampu berikatan dengan atom O+

(42)

Gambar 4 Reaksi perubahan gugus aldehid/keton menjadi gugus alkohol dengan pereduksi NaBH4 (Fox dan Whitesell 1994).

2.2.9 Arang Aktif

Arang aktif dibuat dengan mengaktifasi arang dengan tujuan untuk memperbesar luas permukaan arang dengan membuka pori-pori yang tertutup, sehingga memperbesar kapasitas adsorpsi terhadap zat warna. Mutu arang aktif yang diperoleh tergantung dari luas permukaan partikel, ukuran partikel, volume dan luas penampung kapiler, sifat kimia permukaan arang, sifat arang secara alami, jenis bahan pengaktif yang digunakan dan kadar air.

Daya adsorpsi arang aktif disebabkan karena arang mempunyai pori-pori dalam jumlah besar, dan adsorpsi akan terjadi karena adanya perbedaan energi potensial antara permukaan arang dan zat yang diserap. Arang aktif sebagai bahan pemucat lebih efektif untuk menyerap warna dibandingkan dengan bleaching clay (Ketaren 2005).

(43)

namun penggunaan arang aktif serbuk dapat menyisakan partikel-partikelnya pada produk yang dihasilkan.

2.2.10 Proses Pencoklatan

Proses karamelisasi yang terjadi pada proses sintesis APG merupakan reaksi pencoklatan non enzimatis yang melibatkan degradasi gula karena pemanasan (Mathur 1978). Tanpa melibatkan reaktan yang mengandung nitrogen seperti protein dan asam amino (Putra 1990). Karamelisasi memberikan warna mulai dari kuning hingga coklat tua hingga warna gelap selama peningkatan suhu (Broadhursh 2002).

Proses karamelisasi terbagi menjadi tiga tahap yaitu (1) tahap 1,2 enolisasi, (2) tahap dehidrasi, dan (3) tahap pembentukan pigmen. Pada tahap pertama menghasilakn 1,2 enediol. Reaksi ini akan lebih cepat pada pH basa. Tahapan kedua dapat terjadi melalui tahapan dehidrasi (pelepasan air) atau reaksi fisi (pemecahan). Dehidrasi terjadi pada pemanasan gula dalam suasana asam, yaitu pada nilai pH dibawah 6,4 dan mencapai maksimal pada nilai pH dibawah 3. Setelah reaksi dehidrasi maka terbentuk senyawa 4-hidroksimetil-2-furfuraldehida yang merupakan senyawa prekursor dari pigmen coklat (Shallenber dan Birch 1975).

Menurut Aida (2007), pembentukan furfural dari D-glukosa diawali dengan pembentukan 1,2 enediol, kemudian terbentuk D-Fruktosa dan dilanjutkan pembentukan 3-Ketose. Setelah itu terbentuk arabinosa yang terdehidrasi mengeluarkan H2O hingga menjadi furfural. Skema proses perubahan glukosa

menjadi furfural dapat dilihat pada Gambar 5.

Pada keadaan asam encer, monosakarida bersifat relatif stabil dan pada penambahan asam kuat akan terhidrasi menjadi furfural atau hidroksi metil furfural. Pada penambahan alkali encer monosakarida dapat mengalami isomerasi atau terbentuk senyawa yang lebih pendek D-manosa dan D-1-fruktosa. Sedang pada penambahan alkali kuat enediol dapat berubah menjadi formaldehid atau pentosa (Winarno 1992). Proses dehidrasi pelepasan H2O pada gula heksosa

(44)

Gambar 5 Proses perubahan D-Glukosa menjadi HMF (Aida 2007)

2.3 Bahan Baku Alkil poliglikosida

2.3.1 Alkohol lemak

Alkohol lemak dapat diperoleh dari sumber petrokimia (alkohol lemak sintetik) maupun dari sumber minyak dan lemak nabati. Alkohol lemak yang digunakan dalam sintesis APG berfungsi untuk membangun gugus hidrofobik. Alkohol lemak alami dapat diperoleh setelah melalui proses transesterifikasi dan fraksinasi lemak dan minyak (trigliserida) kemudian di hidrogenasi (Noerdin 2008).

(45)

bersaing dengan produk turunan petroleum seperti alkilbenzena. Selain karena surfaktan yang dihasilkan bersifat lebih stabil, juga harganya lebih murah jika dibandingkan dengan surfaktan turunan petroleum (Kirk dan Othmer 1963).

Alkohol mampu mengadisi ikatan C=O (aldehid/keton), gugus OR akan melekat pada karbon dan proton akan melekat pada oksigen. Aldehid dapat bereaksi dengan alkohol membentuk hemiasetal. Sedangkan keton dapat bereaksi dengan alkohol membentuk hemiketal. Mekanisme pembentukan hemiasetal/hemiketal melibatkan tiga langkah. Pertama oksigen karbonil (C=O) diprotonasi oleh katalis asam, kemudian oksigen alkohol menyatu dengan karbon karbonil, dan proton dilepaskan dari oksigen positif yang dihasilkan (Hart 2003).

Alkohol lemak C12 lebih dikenal dengan nama alkohol lauril

(dodekanol/dodecy alcohol) dengan rumus bangun C12H26O, bobot molekul 186,6

mol/g, densitas 0,8309 dan titik didih sekitar 259 OC, tidak berwarna dan tidak larut dalam air.

2.3.2 Sumber Karbohidrat

Gugus Hidrofilik dari molekul APG berasal dari karbohidrat. Untuk proses sintesis sumber karbohidratnya dapat bersumber dari pati atau dari glukosa. Pemilihan bahan baku tidak hanya mempengaruhi biaya bahan baku, tetapi juga biaya produksi. Pemilihan penggunaan bahan baku gula akan meningkatkan biaya bahan baku, tetapi dapat menurunkan biaya produksi karena peralatan yang digunakan lebih sedikit (Gambar 6) (Eskuchen dan Michael 1997).

Pati merupakan polisakarida yang tersusun oleh unit-unit D-glukosa yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan APG karena lebih praktis, mudah didapatkan dan lebih murah jika dibandingkan dengan penggunaan D-glukosa. Pati dari sereal, umbi-umbian ataupun dari biji-bijian dalam bentuk granula pati dengan diameter sekitar 10-100 µ m. Pati terdiri dari gugus amilosa dan amilopektin dalam bentuk kristal dengan kandungan air sekitar 10%. Amilosa adalah polisakarida dimana unit-unit D-glukosa tergabung pada ikatan glikosida

(46)

kondisi yang lebih ekstrim jika dibandingkan dengan proses glikosidasi D-glukosa. Alasannya karena struktur makromolekul pati terdiri dari amilopektin dan amilosa yang dapat menghambat kemampuan mengembang pati dalam alkohol, khususnya alkohol hidrofobik.

PATI Syrup DeksrosaLow DE Syrup DeksrosaLow DE MonohydrateGlukosa GLUKOSA

Dua Tahapan Proses

1. Butanolisis 2. Transasetalisasi

Satu Tahap Proses

Asetalisasi

Alkyl Polyglicoside (APG)

Harga bahan baku mahal Peralatan mahal

Gambar 6 Pemilihan karbohidrat dalam industri APG (Eskuchen dan Michael 1997).

Hill (2000) menggambarkan proses alkoholisis pati menggunakan metanol dalam reaktor tubular bertekanan dan bersuhu tinggi. Pati dicampurkan dengan metanol, dan katalis dengan rasio 6,8 mol metanol dan 0,005 mol p-toluene sulfonic acid per mol glukosa direaksikan dalam reaktor dengan suhu 167 OC selama 8 menit menghasilkan produk yang terdiri dari sekitar 77% metil

monoglucosides (45% metil α-D-glukopiranosida, 27% metil-β-D

glukopiranosida, 5% metil α/β-D-glukofuranosida), 14% metil diglukosida, 3% metil triglukosida, dan <1% oligomer lainnya.

2.3.3 Tapioka

(47)

Indonesia pada tahun 2000 adalah 125 kw/ha dan pada tahun 2004 sebesar 155 kw/ha. Hal ini menunjukkan terjadinya kenaikan sebesar 32%. Sedangkan rata-rata pertumbuhan produktivitas dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2004 adalah sebesar 30%. Ditahun 2008 produksi ubi kayu Indonesia mencapai 20 juta ton (Anonim 2009). Berdasarkan struktur kimia, tapioka adalah polimer glukosa yang terdiri atas rantai lurus amilosa (20-25%) dan rantai cabang amilopektin (75-80%).

Tabel 3 Syarat mutu tapioka (Miller 2009)

Kandungan Jumlah

Air (% maksimum) 13

Pati (%minimum) 85

Abu (% maksimum) 0,2

pH 5 – 7

Sulfur dioksida (ppm) 30

(48)

3 METODE PENELITIAN

3.1 Kerangka Pemikiran

Penggunaan pati sebagai bahan baku dalam proses sintesis APG harus melalui dua tahapan yaitu butanolisis dan transasetalisasi. Pada butanolisis terjadi hidrolisis pati menjadi gula sederhana kemudian dilanjutkan dengan proses alkoholisis membentuk butil glikosida. Namun tidak semua produk hasil hidrolisis pati membentuk butil glikosida, sehingga terdapat residu gula yang tidak ikut bereaksi dengan butanol. Proses butanolisis berlangsung dengan bantuan katalis asam (PTSA) dan menggunakan suhu yang tinggi. Kondisi asam dan suhu tinggi diperlukan untuk menghidrolisis pati dan membentuk butil glikosida, namun kondisi asam dan suhu tinggi dapat menyebabkan dehidrasi pada gula menjadi HMF yang menyebabkan warna gelap. Oleh karena itu diperlukan penambahan katalis dan perlakuan suhu yang tepat untuk dapat meminimalkan residu gula namun masih menghasilkan warna dengan tingkat kejernihan yang masih tinggi. Residu gula yang tidak bereaksi dan pembentukan warna gelap pada tahap butanolisis harus diminimalkan untuk menghindari terbentuknya polidekstrosa selama proses transasetalisasi dan meningkatkan tingkat kejernihan produk APG.

Pada proses transasetalisasi, butil glikosida akan direaksikan dengan alkohol lemak C12 untuk membentuk APG. Residu gula yang terdapat dalam larutan dari

hasil butanolisis juga mampu berikatan dengan alkohol lemak membentuk APG, namun karena perbedaan kelarutan maka gula sederhana lebih mudah untuk saling berikatan satu sama lainnya membentuk endapan polidekstrosa. Polidekstrosa merupakan produk sekunder yang tidak diharapkan karena merupakan salah satu penyebab warna gelap pada produk APG dan dapat menurunkan kinerja APG. Pada tahap pemurnian dilakukan pemisahan polidekstrosa dengan penyaringan. Untuk meningkatkan kejernihan produk diberikan perlakuan penambahan arang aktif. Sebelum tahap distilasi, residu glukosa yang masih tersisa akan diubah menjadi sorbitol dengan menggunakan senyawa hidrogenasi seperti NaBH4.

(49)

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Proses, Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan pada pada bulan Februari 2010- Agustus 2010.

3.3 Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan meliputi reaktor double jacket yang dilengkapi dengan termostat, agitator dan motor, kondesor, pompa vakum, magnetic stirrer, oven, Cole-parmer surface tensiometer, vortex mixer, pH meter, hot plate, termometer, Spectrofotometer, serta peralatan gelas.

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah : tapioka, dodekanol (alkohol lemak C12), butanol, MgO, DMSO, NaOH, H2O2, p-toluena sulfonic

acid, aquades, xylene, piridina, benzena, larutan DNS, larutan fenol, glukosa standar, H2SO4, NaBH4, arang aktif, span 20, tween 80, dan asam oleat.

3.4 Metode Penelitian

3.4.1 Tahap 1. Penentuan rasio mol katalis dan suhu proses butanolisis

Tahapan ini adalah tahap butanolisis dengan penambahan butanol dengan rasio mol 8,5:1 mol pati dan H2O dengan rasio mol 8:1 mol pati. Proses

butanolisis berlangsung selama 30 menit dengan tekanan 6-8 kg/cm2 dan kecepatan pengadukan 200 rpm (Wuest et al. 1992). Gambar 7 menunjukkan diagram alir dari proses butanolisi pada tahap pertama. Untuk meningkatkan efisiensi proses ditambahkan p-toluena sulfonic acid (PTSA) yang berfungsi sebagai katalis dan memberikan suasana asam. Suhu yang tinggi juga diperlukan selama proses butanolisis. Pada tahap ini akan dikaji perbandingan rasio mol katalis: pati dan suhu yang berbeda. Rancangan percobaan pada tahap pertama menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 2 faktor yaitu rasio mol katalis dan suhu reaksi:

Rasio mol katalis terdiri dari 3 taraf yaitu: A1 = 0,018 mol/mol pati

(50)

Suhu reaksi terdiri dari 2 taraf yaitu: B1 = 140 OC

B2 = 150 OC

Percobaan dilakukan 2 kali ulangan. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan Anova, untuk mengetahui perbedaan pengaruh faktor yang dicobakan, maka dilakukan uji Jarak Berganda menurut Duncan pada taraf nyata 5%. Model matematika dalam percobaan ini sebagai berikut:

Yijk = µ + Ai + Bj + (AB)ij+ ɛijk

Keterangan:

Yijk = Variabel respon/hasil pengamatan

µ = Pengaruh rata-rata sebenarnya (rata-rata umum)

Ai = Pengaruh faktor A (rasio mol katalis) taraf ke-i (i=1,2,3)

Bj = Pengaruh faktor B (suhu reaksi) tarf ke-j (j=1,2)

(AB)ij = Pengaruh interaksi antara faktor A taraf ke-i dan faktor B taraf ke-j ɛijk = Pengaruh galat faktor A taraf ke-i, faktor B taraf ke-j, dan ulangan ke-k

(k=1,2)

Hasil dari butanolisis kemudian dianalisis residu gula pereduksi, residu total gula, dan kecerahan. Prosedur analisa disajikan pada Lampiran 1. Hasil rasio mol katalis dan perlakuan suhu terbaik kemudian akan digunakan pada proses sintesis pada tahap selanjutnya.

Kejernihan, gula reduksi, dan total gula

(51)

3.4.2 Tahap 2. Tahap produksi APG (proses sintesis dan proses pemurnian)

3.4.2.1 Proses Sintesis APG (proses butanolisi dan proses transasetalisasi)

Hasil rasio mol katalis dan suhu terbaik pada proses butanolisis yang dilakukan di tahap pertama kemudian akan digunakan pada proses sintesis APG. Pada proses butanolisis ditambahkan butanol dengan rasio mol 8,5 : 1 mol pati dan H2O dengan rasio mol 8 : 1 mol pati. Lama reaksi butanolisis yaitu 30 menit

pada tekanan 6-8 kg/cm2 dan kecepatan pengadukan 200 rpm. Pada proses transasetalisasi ditambahkan alkohol lemak C12 dengan perbandingan rasio mol

alkohol lemak : pati yaitu 5 : 1. Suhu reaksi 115 OC – 120 OC selama 2 jam, dalam keadaan vakum (-15 cmHg) dan kecepatan pengadukan 200 rpm (Merupakan modifikasi metode Wuest et al. (1992)). Hasil dari tahap ini akan dihitung jumlah gula yang tidak bereaksi sebagai total gula pereduksi. Prosedur analisa dapat dilihat pada Lampiran 1.

3.4.2.2 Proses pemurnian APG (penyaringan, netralisasi, distilasi dan bleaching)

Proses pemurnian terdiri dari tahap penyaringan untuk memisahkan polidesktrosa, netralisasi untuk menghentikan proses transasetaslisasi, distilasi untuk memisahkan alkohol lemak yang tidak ikut bereaksi, dan pemucatan untuk meningkatkan warna APG.

Setelah proses transasetalisasi dilakukan penyaringan untuk memisahkan endapan polidekstrosa yang terbentuk. Penyaringan dilakukan dengan menggunakan kain saring setelah larutan mencapai suhu 80 OC. Kemudian dilakukan proses netralisasi pada suhu 80 OC dengan menggunakan NaOH hingga mencapai pH 9 (Wuest et al. 1992). Setelah dinetralisasi kemudian dilakukan penambahan arang aktif yang berfungsi sebagai adsorben dari warna gelap. Pada penambahan arang aktif dilakukan pengadukan selama 1 jam pada suhu 30 OC. Kemudian larutan disentrifugasi 3000 rpm selama 30 menit dan disaring vakum untuk memisahkan arang aktif (Lueders 1991). Dilakukan juga penambahan NaBH4 untuk mengubah sisa glukosa menjadi sorbitol. Kemudian dilanjutkan ke

(52)

menggunakan H2O2 dengan konsentrasi 35% sebanyak 2% (b/b) dari berat

larutan dan penambahan magnesium oksida 500 ppm pada suhu 70 OC selama 1 jam (McCurry et al. 1994). Gambar 8 menunjukkan diagram alir tahap produksi APG.

Tahap pemurnian mengkaji pengaruh penambahan arang aktif dan NaBH4

setelah proses netralisasi. Rancangan percobaan pada tahapan pemurnian menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 2 faktor yaitu konsentrasi arang aktif dan konsentrasi NaBH4 :

Konsentrasi arang aktif terdiri dari 3 taraf yaitu : A1 = 0%

A1 = 5% A2 = 10%

Konsentrasi NaBH4 terdiri dari 4 taraf yaitu :

B1 = 0% B2 = 0,1% B3 = 0,2% B4 = 0,3%

Percobaan dilakukan 2 kali ulangan. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan Anova, untuk mengetahui perbedaan pengaruh faktor yang dicobakan, maka dilakukan uji Jarak Berganda menurut Duncan pada taraf nyata 5%. Model matematika dalam percobaan ini sebagai berikut :

Yijk = µ + Ai + Bj + (AB)ij+ ɛijk

Keterangan :

Yijk = Variabel respon/hasil pengamatan

µ = Pengaruh rata-rata sebenarnya (rata-rata umum)

Ai = Pengaruh faktor A (konsentarsi arang aktif) taraf ke-i (i=1,2,3)

Bj = Pengaruh faktor B (konsentrasi NaBH4) taraf ke-j (j=1,2,3,4)

(AB)ij = Pengaruh interaksi antara faktor T taraf ke-i dan faktor B taraf ke-j ɛijk = Pengaruh galat faktor A taraf ke-i, faktor B taraf ke-j, dan ulangan ke-k

(k=1,2)

Hasil dari proses tahapan produksi APG kemudian dianalisa rendemen dan kejernihan produk yang dihasilkan. Prosedur analisa disajikan pada Lampiran 1.

(53)

Tiap sampel kemudian dianalisa tegangan permukaan, tegangan antar muka, kestabilan emulsi, kestabilan busa, gugus fungsi dan HLB. kemudian hasil terbaiknya dibandingkan dengan APG komersial. Prosedur karakterisasi produk disajikan pada Lampiran 1. Nilai karakterisasi kemudian dibandingkan dengan APG komersial.

T : Suhu terbaik dari tahap 1 t : 30 menit

Sentrifugasi 3000 rpm selama 30

menit dan penyaringan vakum Arang Aktif

Penambahan NaBH4

(54)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pengaruh rasio mol katalis dan suhu pada proses butanolisis

Proses sintesis APG dua tahap diawali oleh proses butanolisis. Penggunaan bahan baku sakarida yang memiliki dextrose equivalent (DE) yang rendah seperti sirup dextrosa atau pati melalui proses butanolisis terlebih dahulu (Eskuchen dan Michael 1997). Pada proses ini terjadi proses hidrolisis asam untuk memutus ikatan glikosida pada pati kemudian terbentuk gula sederhana. Gula sederhana tersebut akan berikatan dengan butanol melalui proses alkoholisis hingga terbentuknya butil monoglikosida atau butil poliglikosida.

Bahan baku pati yang digunakan dalam penelitian ini adalah tapioka. Alasan pemilihan bahan baku tapioka karena lebih mudah didapatkan, selain itu harga tapioka yang juga relatif lebih murah, jika dibandingkan dengan jenis pati lain atau menggunakan gula dengan tingkat derajat ekuivalensi yang tinggi. Karakteristik fisiko kimia tapioka sesuai dengan pati pada umumnya yang mengandung amilosa dan amilopektin yang disusun oleh D-glukosa.

Alkoholisis pati membutuhkan kondisi yang lebih ekstrim dibandingkan proses alkoholisis D-glukosa. Hal ini disebabkan karena pati masih mengandung amilosa dan amilopektin yang memiliki keterbatasan pelarutan dan sweeling pada alkohol, khususnya alkohol hidrofobik. Karena hal tersebut maka diperlukan suhu yang tinggi dan bertekanan, serta kondisi asam untuk memutus ikatan glikosida pati. Pemecahan pati menjadi D-glukosa diharapkan dapat berikatan dengan butanol. Pada proses ini terjadi pelepasan H2O akibat proses pembentukan asetal

antara gugus aldehid pati dan alkohol dengan bantuan katalis asam. Suhu yang tinggi dan kondisi asam selain menyebabkan pemutusan ikatan glikosida pati juga mampu membuat dehidrasi gula sederhana yang telah terbentuk menjadi hidroksil metil furfural (HMF). Senyawa HMF ini menyebabkan warna gelap pada produk hasil proses butanolisis. Selain pembentukan warna gelap juga terdapat residu dari gula yang tidak ikut bereaksi dengan butanol.

Gambar

Tabel 2  Data impor surfaktan non ionik Indonesia
Gambar 1  Proses sintesis Alkil poliglikosida (APG) dengan metode satu dan dua
Gambar 4  Reaksi perubahan gugus aldehid/keton menjadi gugus alkohol dengan pereduksi NaBH4 (Fox dan Whitesell 1994)
Gambar 5  Proses perubahan D-Glukosa menjadi HMF (Aida 2007)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi: (1) pengaruh perlakuan ameliorasi dan pemupukan pada empat seri pengkayaan kadar Zn-tanah terhadap konsentrasi N, P, S, K, Ca, Mg

Ada reaksi saham pada perusahaan manufaktur di Bursa Efek Indonesia sebelum dan sesudah pengumuman Kabinet Kerja Joko Widodo , dilihat dari hasil uji paired sample t-test

Ke dalam basis ditambahkan 21 g ekstrak yang sudah dilarutkan dalam 5,0 mL etanol-air, kemudian digenapkan dengan pelarut etanol-air (1:3) sampai volume 100 mL dan

Tanpa suplementasi (Committee on Maternal Nutrition menganjurkan suplementasi besi selama trimester II dan III), cadangan besi dalam tubuh wanita akan habis pada akhir

Patton (dalam Moleong, 2005: 330) menyampaikan triangulasi yang digunakan adalah triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat

DAFTAR LAMPIRAN ... Latar Belakang Masalah ... Tujuan Penelitian ... Manfaat Penelitian ... Minat Berwirausaha ... Pengertian Minat Berwirausaha ... Aspek - Aspek

Tidak jarang perusahaan Korsel yang mempercayakan rencana investasinya untuk diurus melalui perantara/broker yang kurang kredibel (biasanya orang Korea yang sudah lama tinggal

Protokoler Dan Keuangan Pimpinan Dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 90, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor