• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMANFAATAN ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS ALKOHOL LEMAK DARI MINYAK KELAPA (C 12 ) DAN PATI SAGU SEBAGAI SURFAKTAN DALAM FORMULASI HERBISIDA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMANFAATAN ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS ALKOHOL LEMAK DARI MINYAK KELAPA (C 12 ) DAN PATI SAGU SEBAGAI SURFAKTAN DALAM FORMULASI HERBISIDA"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

PEMANFAATAN ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS ALKOHOL LEMAK DARI MINYAK KELAPA (C12) DAN PATI SAGU

SEBAGAI SURFAKTAN DALAM FORMULASI HERBISIDA

Oleh: D A R T O F34104009

2008

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PEMANFAATAN ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS ALKOHOL LEMAK DARI MINYAK KELAPA (C12) DAN PATI SAGU

SEBAGAI SURFAKTAN DALAM FORMULASI HERBISIDA

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh: D A R T O F34104009

2008

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

PEMANFAATAN ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) BERBASIS ALKOHOL LEMAK DARI MINYAK KELAPA (C12) DAN PATI SAGU

SEBAGAI SURFAKTAN DALAM FORMULASI HERBISIDA

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh: D A R T O F34104009

Dilahirkan di Brebes, 1 Agustus 1986

Tanggal lulus: Agustus 2008

Menyetujui, Bogor, Agustus 2008

Dr. Ir. Ani Suryani, DEA. Dr. Ir. Dadang, M.Sc

Pembimbing Akademik I

Dr. Ir. Dadang, M.Sc. Pembimbing II Dr. Ir. Ani Suryani, DEA.

(4)

Darto. F34104009. Pemanfaatan Alkil Poliglikosida (APG) Berbasis Alkohol Lemak dari Minyak Kelapa (C12) dan Pati Sagu sebagai Surfaktan dalam Formulasi Herbisida. Di bawah bimbingan Ani Suryani dan Dadang.

RINGKASAN

Kegiatan pertanian di Indonesia dilakukan dengan sistem intensifikasi dan ekstensifikasi untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produk pertaniannya. Salah satu contoh sistem intensifikasi pertanian adalah penggunaan pestisida. Herbisida merupakan pestisida yang digunakan untuk mengendalikan gulma atau tanaman pengganggu. Selain bahan aktif, herbisida juga membutuhkan komponen lain seperti surfaktan untuk meningkatkan efektivitasnya. Surfaktan dapat menurunkan tegangan permukaan herbisida, sehingga semprotan herbisida tersebar lebih merata pada permukaan daun. Alkil Poliglikosida (APG) merupakan surfaktan nonionik yang biasa digunakan dalam formulasi herbisida. APG adalah surfaktan yang disintesis dari alkohol lemak dari minyak kelapa (C12)

dan pati sagu. Peluang untuk mengembangkan APG di Indonesia sangat besar karena kelapa dan sagu sebagai bahan baku APG cukup tersedia.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kinerja APG sebagai surfaktan dalam formulasi herbisida dan mendapatkan formulasi herbisida terbaik ditinjau dari kestabilan formulasi, daya tahan simpan, tegangan permukaan, dan efektivitas formulasi sebagai herbisida. Penelitian pendahuluannya yaitu proses produksi APG dan penelitian utama adalah formulasi herbisida dengan menggunakan bahan aktif glifosat dan APG sebagai surfaktan. Rancangan percobaan dalam formulasi herbisida adalah rancangan acak lengkap dengan 2 faktor dan dua kali ulangan. Perlakuan yang digunakan yaitu konsentrasi glifosat (16%, 24%, dan 48%) dan konsentrasi APG (4%, 6%, 8%, dan 10%). Formulasi kemudian diuji kestabilan, daya tahan simpan, tegangan permukaan dan efektivitasnya meliputi daya berantas, persentase penutupan gulma (PPG) dan bobot kering gulma (BKG).

Karakteristik APG meliputi tegangan permukaan, tegangan antarmuka, dan HLB (Hidrofil Lipofil Balance). Hasil pengukuran pada konsentrasi 0,4% (b/v), tegangan permukaan 26,16 dyne/cm dan tegangan antarmuka 8,17 dyne/cm. APG ini mempunyai nilai HLB 8,25 yang menurut konsep Griffin berarti berjenis emulsi minyak dalam air (O/W) dan dapat diaplikasikan sebagai wetting agent. Hasil formulasi, herbisida memiliki kestabilan berkisar antara 68,46% – 99,23%. Selama penyimpanan 5 minggu, relatif tidak terjadi perubahan nilai kestabilan, tegangan permukaan, dan pH. Penggunaan APG dapat menurunkan tegangan permukaan herbisida hingga sekitar 30 dyne/cm atau lebih dari 50%. Tegangan permukaan formulasi herbisida berkisar antara 27,63 – 29,25 dyne/cm, nilai ini lebih rendah jika dibandingkan dengan herbisida komersial. Semakin lama waktu pengamatan, nilai PPG dan BKG akan semakin rendah. Analisis PPG dan BKG, memberikan hasil yang tidak berbeda nyata antara herbisida hasil formulasi dengan herbisida komersial.

APG dapat digunakan untuk formulasi herbisida dan dapat menurunkan tegangan permukaan herbisida hingga 50%. Formulasi herbisida mempunyai efektivitas yang setara dengan glifosat komersial dalam mengendalikan gulma. Formulasi terbaik adalah perlakuan konsentrasi glifosat 48% dan konsentrasi APG 6%. Formulasi ini memiliki kestabilan 98,46%, tegangan permukaan 28,13 – 28,44 dyne/cm, efektivitas setara dengan glifosat komersial 48%, daya berantas baik, persentase penutupan gulma yang relatif rendah, dan bobot kering gulma paling rendah dibandingkan formula lainnya.

(5)

Darto. F34104009. The Utilization of Alkyl Polyglycosides (APG) Based on Fatty Alcohol of Coconut Oil (C12) and Sago Starch as A Surfactant in Herbicide Formulation. Supervised by Ani Suryani and Dadang.

SUMMARY

Intensification and extensification are adapted in Indonesian agriculture activity to improve the quantity and quality of the products. The used pesticides is one of intensification agriculture systems. Herbicide is a pesticide that used to control weeds. Besides of active ingredient, herbicide also need the others components such as surfactant to improving the effectiveness. Surfactant can reduce surface tension of herbicide, so herbicide droplets can be spread evenly on leaf surface. Alkyl polyglycosides (APG) are nonionic surfactant that usually used in herbicide formulation. APG is surfactant which is synthesized from fatty alcohol of coconut oil (C12) and sago starch. There is a big opportunity develop

APG in Indonesian because coconut and sago, that a as raw materials are available in large amount.

This purpose of the research are to identify the performance of APG as surfactant in herbicide formulation and to get the best herbicide formulation, related to stability of formulation, the prosperity to reduce surface tension, and the effectiveness formulation as herbicide. The preface research is the APG production process and the main research is the formulation of herbicide using active ingredient such as glyphosate and APG as surfactant. The experiment design in herbicide formulation is completely random design with 2 factors and twice of repetition. Used the treatments are glyphosate concentrations (16%, 24%, and 48%) and APG concentrations (4%, 6%, 8%, and 10%). After that, the formulations are examined the stability, its surface tension, and the effectiveness contains of exterminate ability, percentage of weeds cover (PWC), and dry weight of weeds (DWW).

The characteristics of APG consist of surface tension, interface tension, and HLB (Hidrofil Lipofil Balance). The measurement in 0,4% concentration (b/v), the surface tension is 26,26 dyne/cm and the interface tension is 8,17 dyne/cm. This APG has HLB value 8,25 that is accorded to Griffin concept means the type of emulsion is oil in water (O/W) and it can be applied as wetting agent. The result of formulation, herbicide has stability in range 68,46% – 99,23%. During the storage in 5 weeks, in relatively it was not happen the change of stability value, surface tension, and pH. APG usage can reduce surface tension of herbicide about 30 dyne/cm or more than 50%. The surface tension of herbicide formulation about 27,63 – 29,25 dyne/cm, this value is lower than commercial herbicide. The longer time of observation, the PWC and DWW value will decrease. The analysis of PWC and DWW showed no significantly different between herbicide that is resulted from those commercial herbicide.

APG can be used to formulate herbicide and can reduce surface tension of herbicide until 50%. Herbicide formulation has effectiveness the same as commercial glyphosate in controlling weeds. The best formulation is treatment with 48% glyphosate concentration and 6% APG concentration. This formulation has stability 98,46%, surface tension 28,13 – 28,44 dyne/cm, the effectiveness the same as commercial glyphosate 48%, exterminate ability is good, percentage of weeds cover is lower, and dry weight of weeds is the lowest if we compare it with other formulation.

(6)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul “Pemanfaatan Alkil Poliglikosoda (APG) Berbasis Alkohol Lemak dari Minyak Kelapa (C12) dan Pati Sagu sebagai Surfaktan dalam Formulasi Herbisida” adalah

hasil karya saya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Agustus 2008

D a r t o F34104009

(7)

RIWAYAT PENULIS

Darto dilahirkan di Brebes pada tanggal 1 Agustus 1986, merupakan anak ketiga dari pasangan bapak Kasim dan ibu Sinah. Pada tahun 1998 penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri Luwunggede II, kemudian melanjutkan pendidikan menengah di SLTP Negeri 2 Ketanggungan dan lulus tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikannya di SMA Negeri 2 Brebes dan lulus tahun 2004. Melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI – IPB), penulis diterima masuk di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2004.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam kegiatan pengembangan potensi diri seperti pelatihan, seminar dan organisasi baik yang ada di dalam dan luar kampus. Organisasi yang pernah diikuti adalah Keluarga Pelajar Mahasiswa Daerah Brebes (KPMDB Bogor) sebagai kepala Departemen Informasi dan Komunikasi pada tahun 2005 dan Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri (Himalogin) sebagai staf Departemen Profesi periode 2006/2007.

Pada bulan Juli sampai Agustus tahun 2007, penulis melaksanakan praktek lapang di Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS), Bandung dengan judul laporan praktek lapang “Proses Produksi Susu Pasteurisasi di Milk Treatment Koperasi Peternakan Bandung Selatan (MT KPBS) Pangalengan, Bandung. Tahun 2008 penulis melaksanakan penelitian di Laboratorium Teknik Kimia dan LDIT Departemen Teknologi Industri Pertanian serta di Lahan Percobaan Leuwikopo Departemen Teknik Pertanian dengan judul “Pemanfaatan Alkil Poliglikosida (APG) Berbasis Alkohol Lemak dari Minyak Kelapa (C12) dan Pati Sagu sebagai

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya hingga penulis dapat menyelesaikan laporan akhir yang berjudul: “Pemanfaatan Alkil Poliglikosida (APG) Berbasis Alkohol Lemak dari Minyak Kelapa (C12) dan Pati Sagu sebagai Surfaktan dalam Formulasi Herbisida”.

Semoga skripsi ini bisa menambah wawasan kita mengenai surfaktan dan aplikasinya serta tentang herbisida dan ilmu gulma.

Alkil Poliglikosida (APG) mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan, mengingat sumber bahan baku alami di Indonesia masih melimpah, potensi pasar terbuka lebar dan surfaktan APG ini ramah bersifat lingkungan. Selain itu Indonesia masih belum bisa mencukupi kebutuhan surfaktan dalam negeri. Salah satu pemanfaatan APG adalah dalam formulasi herbisida, surfaktan ini dapat membantu meningkatkan afektivitas bahan aktif dalam mengendalikan gulma. Herbisida masih dibutuhkan dalam kegiatan pertanian di Indonesia untuk meningkatkan produktivitas pertaniannya dan pasar herbisida di Indonesia juga cukup besar.

Pada kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih kepada Dr. Ani Suryani dan Dr. Dadang yang telah membimbing dalam penyusunan skripsi ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Agus atas diskusi tentang ilmu gulma, Bapak Rusmanto yang telah menyediakan bahan aktif dan Bapak Gatot atas ijin penggunaan lahan percobaan Leuwikopo.

Segala bentuk kritik dan saran sangat kami harapkan agar skripsi ini dapat menjadi lebih baik. Demikian, semoga penyusunan skripsi ini bisa bermanfaat bagi kami khususunya dan rekan-rekan pembaca pada umumnya.

Amin....

Bogor, Agustus 2008

(9)

UCAPAN TERIMAKASIH

Melalui kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ungkapan terima kasih yang tulus kepada:

1. Ibu dan Bapak yang telah memberikan dorongan dan motivasi bagi penulis, serta kakak-kakaku Dewi, Tasli, dan keponakan Puput. Terima kasih atas doa, cinta dan perhatian yang penulis rasakan hingga saat ini. 2. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA. selaku dosen pembimbing I yang telah berkenan

meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan penulis selama kuliah hingga penyusunan skripsi.

3. Dr. Ir. Dadang, M.Sc. selaku dosen pembimbing II yang berkenan untuk mengarahkan penulis selama penelitian dan dalam penyusunan skripsi. 4. Dr. Ir. Dwi Setyaningsih, M.Si. selaku dosen penguji yang telah berkenan

menyediakan dan meluangkan waktu kepada penulis untuk ujian skripsi. 5. Ir. Agus Sudiman Tj., MS. yang telah banyak mengajarkan kepada penulis

tentang ilmu gulma.

6. Bapak Rusmanto, atas bantuannya menyediakan glifosat sebagai bahan aktif yang digunakan dalam penelitian ini.

7. Dr. Ir. Gatot Pramuhadi, M.Si. yang telah mengijinkan penulis melakukan penelitian di Laboratorium Lapang Leuwikopo.

8. Ir. Adi Salamun M.Si., Ir. M. Noerdin dan mas Agus, selaku tim APG yang selalu memberikan dorongan, saling membantu dan berbagi informasi hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

9. Ibu Ega, ibu Rini, bapak Edi, dan semua staf Departemen Teknologi Industri Pertanian lainnya yang telah bersedia membantu penulis selama penelitian.

10. Catur, Andika, Rochmat, Kosi, Hera, Afni, Nutri, Mia, Vrika, Jaelani dan Wiwid selaku teman sebimbingan akademik yang selalu berbagi baik dalam suka dan duka.

11. Zuli Rohmiati, semangat dan masa depanku. Terima kasih untuk perhatian dan dukungan selama ini.

(10)

12. Triple Aliance (Pepy, Nia, Depal) sahabat terbaik penulis dulu, saat ini, hingga nanti. Terima kasih untuk perhatian yang sudah diberikan sampai saat ini. Semoga persahabatan kita bisa abadi.

13. Dahi United Crew (Haekal, Kukun, Ardi, Bewo, dan Samson) atas kebersamaan, kekompakan dan keusilan selama hidup dalam 1 atap.

14. Siti, Ayi, Ivon, Kiki, Ade, Nda, fiU, Wiw, Novi, Beser, Asif, Wawan, Farid, dan keluarga TIN41 semuanya.

15. Berandalan Berprestasi (Rian, Widi, Amrun, Pamuji, Didi, Toyib, Fajar dan Fatwa) atas persahabatan dari SMA hingga sekarang ini.

16. KPMDB Bogor (Keluarga Pelajar Mahasiswa Daerah Brebes cabang Bogor) atas kekeluargaan dan persaudaraan selama hidup di Bogor.

17. Seluruh pihak lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah senantiasa mendukung penulis hingga saat ini.

(11)

DAFTAR ISI

Halaman KATA PENGANTAR... i DAFTAR TABEL... iv DAFTAR GAMBAR... v DAFTAR LAMPIRAN... vi I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG... 1 B. TUJUAN... 3

C. RUANG LINGKUP PENELITIAN... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA A. ALKOHOL LEMAK... 4

B. PATI SAGU... 5

C. SURFAKTAN... 6

D. APG... 7

E. HERBISIDA... 10

III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT... 13

B. METODE PENELITIAN... 13

1. Penelitian Pendahuluan... 13

2. Penelitian Utama... 14

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISASI APG... 17

B. FORMULASI HERBISIDA... 21

1. Kestabilan Formulasi Herbisida selama Penyimpanan 5 Minggu... 22

2. Tegangan Permukaan Herbisida... 24

C. APLIKASI HERBISIDA... 28

1. Daya Berantas Formulasi Herbisida dengan Surfaktan APG... 30

2. Persentase Penutupan Gulma... 32

3. Bobot Kering Gulma... 36

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN... 40

B. SARAN... 41

DAFTAR PUSTAKA... 42

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Nilai HLB dan aplikasinya berdasarkan konsep Grifin... 20

Tabel 2. Nilai stabilitas formulasi herbisida selama lima minggu... 23

Tabel 3. Tegangan permukaan herbisida dan pH... 25

Tabel 4. Daya berantas herbisida selama 3 MSA... 30

Tabel 5. Persentase penutupan gulma selama 3 MSA... 33

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Proses sintesis alkil poliglikosida (APG)... 8

Gambar 2. Proses reaksi dan struktur alkil poliglikosida (APG)... 9

Gambar 3. Sintesis Fischer 2 tahap... 9

Gambar 4. Diagram alir proses produksi alkil poliglikosida (APG)... 14

Gambar 5. APG hasil destilasi... 18

Gambar 6. Grafik tegangan permukaan air akibat pengaruh penambahan APG pada berbagai konsentrasi... 18

Gambar 7. Grafik tegangan antarmuka air : xilene akibat pengaruh penambahan APG pada berbagai konsentrasi... 19

Gambar 8. Penampakan formulasi herbisida... 22

Gambar 9. Grafik pengaruh konsentrasi glifosat dan konsentrasi APG terhadap tegangan permukaan herbisida awal... 26

Gambar 10.Grafik pengaruh konsentrasi glifosat dan konsentrasi APG terhadap tegangan permukaan herbisida minggu ke-5... 27

Gambar 11.Grafik pengaruh konsentrasi glifosat dan konsentrasi APG terhadap persentase penutupan gulma pada 1 MSA... 34

Gambar 12.Grafik pengaruh konsentrasi glifosat dan konsentrasi APG terhadap persentase penutupan gulma pada 2 MSA... 34

Gambar 13.Grafik pengaruh konsentrasi glifosat dan konsentrasi APG terhadap persentase penutupan gulma pada 3 MSA... 35

Gambar 14.Grafik pengaruh konsentrasi glifosat dan konsentrasi APG terhadap bobot kering gulma pada 1 MSA... 37

Gambar 15.Grafik pengaruh konsentrasi glifosat dan konsentrasi APG terhadap bobot kering gulma pada 2 MSA... 38

Gambar 16.Grafik pengaruh konsentrasi glifosat dan konsentrasi APG terhadap bobot kering gulma pada 3 MSA... 39

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Analisis yang dilakukan pada alkil poliglikosida (APG) dan

herbisida... 44 Lampiran 2. Penghitungan rendemen alkil poliglikosida (APG)... 47 Lampiran 3. Penghitungan nilai HLB alkil poliglikosida (APG)... 48 Lampiran 4. Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut Duncan

kestabilan formulasi herbisida... 49 Lampiran 5. Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut Duncan

tegangan permukaan herbisida... 52 Lampiran 6. Data hasil penelitian dan uji Kruskal Wallis efektivitas

herbisida... 55 Lampiran 7. Foto-foto aplikasi formulasi herbisida... 56 Lampiran 8. Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut Duncan

persentase penutupan gulma... 62 Lampiran 9. Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut Duncan

(15)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pertanian merupakan kegiatan ekonomi mayoritas penduduk Indonesia. Kegiatan pertanian Indonesia sedang dikembangkan dengan program intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produknya. Salah satu contoh program tersebut adalah diperkenalkannya sistem pengendalian hama tanaman dengan menggunakan bahan kimia (pestisida). Saat ini penggunaan pestisida khususnya herbisida, fungisida dan insektisida masih dibutuhkan petani untuk menjaga produktivitas pertaniannya.

Herbisida adalah senyawa kimia yang berfungsi untuk mengendalikan gulma atau tanaman pengganggu tanpa mengganggu tanaman pokok. Keuntungan yang diberikan dengan penggunaan herbisida antara lain: dapat mengendalikan gulma sebelum mengganggu, dapat mencegah kerusakan perakaran tanaman, efektif membunuh gulma tahunan dan semak belukar, dalam dosis rendah dapat sebagai hormon tumbuh dan dapat meningkatkan hasil panen dibandingkan dengan perlakuan penyiangan biasa (Sukman dan Yakup, 2002). Dalam formulasi herbisida, biasanya ditambahkan bahan inert dan bahan pembantu untuk mendapatkan formulasi yang diinginkan. Bahan pembantu (adjuvant) ditambahkan untuk meningkatkan aktifitas dari bahan aktif saat penggunaan herbisida pada tanaman, misalnya surfaktan.

Surfaktan merupakan senyawa aktif penurun tegangan permukaan (surface active agent) yang digunakan sebagai bahan penggumpal, pembasah, pembusaan, emulsifier dan komponen bahan adhesif yang telah diaplikasikan secara luas pada berbagai bidang industri. Kehadiran gugus hidrofobik dan hidrofilik yang berada dalam satu molekul menyebabkan surfaktan cenderung berada pada antarmuka antara fase yang berbeda derajat polaritas dan ikatan hidrogen seperti minyak dan air. Pembentukan film pada antarmuka ini menurunkan energi antarmuka dan menyebabkan sifat-sifat khas molekul surfaktan (Georgou et al., 1992).

(16)

Penggunaan herbisida sejauh ini memberikan dampak positif berupa pengendalian gulma dan peningkatan produksi pertanian. Namun di lain pihak, penggunaan herbisida secara terus menerus selama 30 tahun terakhir ini juga berdampak negatif bagi lingkungan. Kasus terjadinya keracunan pada organisme bukan sasaran, polusi sumber-sumber air dan kerusakan tanah, juga keracunan akibat residu herbisida pada produk pertanian, merupakan contoh dampak negatif penggunaan herbisida. Sebagai usaha untuk mengurangi dampak negatif penggunaan herbisida adalah dengan menggunakan surfaktan yang dapat didegradasi oleh alam (biodegradable) pada formulasi herbisida. Salah satu surfaktan yang ramah lingkungan adalah alkil poliglikosida (APG). APG merupakan surfaktan nonionik yang dapat digunakan dalam formulasi herbisida. Surfaktan tersebut akan meningkatkan penetrasi bahan aktif ke dalam pori-pori tanaman sehingga efektivitas herbisida lebih optimal.

Saat ini kebutuhan akan alkil poliglikosida (APG) di Indonesia berasal dari impor. Diperkirakan kebutuhan surfaktan ini akan meningkat terus karena penggunaannya yang luas seperti di bidang proteksi tanaman dan industri pembersih dan kosmetika. Alkil poliglikosida (APG) merupakan surfaktan yang ramah lingkungan karena menggunakan bahan baku alkohol lemak dari minyak kelapa dan karbohidrat dari pati.

Di Indonesia, potensi ketersediaan kelapa sebagai bahan baku alkohol lemak dan pati-patian sebagai sumber karbohidrat cukup banyak mengingat Indonesia adalah negara berbasis pertanian. Kelapa adalah tanaman perkebunan terluas kedua setelah sawit yang terdapat di seluruh propinsi sehingga ketersediaan kelapa sebagai bahan baku alkohol lemak tetap terjaga. Selain itu, potensi sagu di Indonesia jaga sangat tinggi dan produktivitasnya semakin meningkat. Melihat keadaan ini, peluang Indonesia untuk mengembangkan alkil poliglikosida (APG) berbasis alkohol lemak dari minyak kelapa dan pati sagu sangat besar.

(17)

B. TUJUAN

Tujuan umum penelitian ini adalah mengetahui kinerja alkil poliglikosida (APG) sebagai surfaktan dalam formulasi herbisida. Tujuan khususnya yaitu mendapatkan formulasi herbisida yang menggunakan APG dengan karakteristik terbaik ditinjau dari kestabilan formulasi herbisida, daya tahan simpan, kemampuan APG dalam menurunkan tegangan permukaan herbisida, dan efektivitas formulasi sebagai herbisida.

C. RUANG LINGKUP PENELITIAN Ruang lingkup penelitian ini meliputi:

1. Proses produksi alkil poliglikosida (APG) pada kondisi optimum yang didapat pada penelitian sebelumnya (Kurniadji, 2008) yaitu pada suhu butanolisis 147,8 °C dan perbandingan mol pati sagu dengan alkohol lemak 1 : 3,34. Analisis karakteristiknya seperti kestabilan emulsi, kemampuan menurunkan tegangan permukaan, tegangan antarmuka, dan HLB (Hidrofil Lipofil Balance).

2. Proses formulasi herbisida dengan menggunakan bahan aktif glifosat dan alkil poliglikosida (APG) sebagai surfaktan. Selanjutnya formulasi herbisida yang dihasilkan diuji karakteristiknya meliputi kestabilan formulasi, pH, tegangan permukaan dan daya tahan simpan.

3. Pengujian efektivitas herbisida hasil formulasi dalam mengendalikan gulma meliputi daya berantas, persentase penutupan gulma dan bobot kering gulma.

(18)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. ALKOHOL LEMAK

Alkohol lemak merupakan turunan dari minyak nabati seperti minyak kelapa maupun minyak kelapa sawit yang lebih dikenal sebagai alkohol lemak alami sedangkan turunan dari petrokimia (parafin dan etilen) dikenal sebagai alkohol lemak sintesis (Hill, 2000). Menurut APCC (2007), luas areal dan produksi kelapa Indonesia merupakan yang terbesar di dunia. Pada tahun 2006 Indonesia memiliki luas areal kelapa 3,818 juta Ha (32,37 %).

Alkohol lemak utamanya digunakan sebagai bahan perantara (intermediat), di Eropa Barat hanya 5% yang digunakan secara langsung dan kira-kira 95 % dimanfaatkan dalam bentuk turunannya. Pemanfaatan alkohol lemak untuk pembuatan surfaktan kira-kira sebesar 70 – 75% (Presents, 2000). Lebih dari dua per tiga atau sekitar 80% dari jumlah alkohol lemak yang diproduksi digunakan sebagai bahan baku pembuatan surfaktan. Sebagai bahan baku surfaktan, alkohol lemak mampu bersaing dengan produk turunan petroleum seperti alkilbenzena. Selain karena surfaktan yang dihasilkan bersifat lebih stabil, juga harganya lebih murah jika dibandingkan dengan surfaktan turunan petroleum (Kirk dan Othmer,1963).

Alkohol lemak termasuk salah satu jenis bahan oleokimia dasar yang tergolong dalam alkohol rantai panjang. Alkohol alifatik biasanya memiliki panjang rantai antara C6 sampai C22. Sebagian besar merupakan rantai lurus

dan monohidrik serta mempunyai satu atau lebih ikatan ganda. Alkohol lemak C12 lebih dikenal dengan nama lauryl alcohol (dodekanol) dengan rumus

bangun C12H26O, bobot molekul 186,34, densitas 0,8309 dan titik didih

sekitar 259 °C. Tidak berwarna dan tidak larut dalam air (Presents, 2000). Alkohol lemak memiliki gugus hidroksil (OH), yang sifat kelarutannya dipengaruhi oleh ikatan hidrogen. Dengan bertambah panjangnya rantai, pengaruh gugus hidroksil yang bersifat polar menurun. Akibatnya molekul dengan bobot molekul rendah cenderung larut dalam air sedangkan alkohol berbobot tinggi cenderung bersifat non polar.

(19)

B. PATI SAGU

Batang sagu merupakan tempat penyimpanan pati dan kadarnya tergantung umur dan jenis sagu. Semakin tua, kandungan pati dalam empulur semakin besar dan pada umur tertentu kandungan patinya menurun. Untuk mendapatkan pati sagu, empulur dihancurkan terlebih dahulu dengan cara diparut kemudian diekstraksi dengan bantuan air. Sagu mempunyai keunggulan antara lain dapat disimpan lebih lama, dapat dipanen dan diolah tanpa mengenal musim, dan jarang terserang hama dan penyakit (Bujang dan Ahmad, 2000).

Menurut Samad (2002), sagu Indonesia memiliki kadar pati yang lebih baik dibanding sagu Malaysia. Bahkan, beberapa varietas sagu asal Kendari (Sulawesi Tenggara) dan Bukit Tinggi (Sumatera Barat) mampu memproduksi pati lebih dari 300 kilogram per pohon. Berdasarkan catatan BPPT, produksi sagu saat ini mencapai 200 ribu ton per tahun, Usia tanaman sagu ini sekitar 7 – 10 tahun untuk bisa dipanen. Namun baru 56% saja yang dimanfaatkan dengan baik.

Kadar pati kering dalam sagu diatas kandungan pati beras yang hanya 6 ton per ha, sedangkan pati kering jagung hanya 5,5 ton. Sagu mampu menghasilkan pati kering hingga 25 ton per ha. Selain itu, potensi sagu yang bisa digarap di Indonesia sangat luas saat ini, setidaknya terdapat hutan sagu seluas 1,25 juta ha di Papua dan Maluku, serta 148 ribu ha lahan sagu semibudidaya di Kepulauan Riau, Mentawai, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Lahan sagu ini merupakan lahan terluas di dunia (BPPT, 2006).

Pati tersusun dari dua komponen yaitu amilosa dan amilopektin. Amilosa merupakan rantai lurus dengan ikatan ∂-1,4-D-glikosidik. Panjang rantai lurus tersebut adalah 250 – 2000 unit glukosa dengan bobot antara 40.000 – 340.000. Amilosa memiliki sifat kristal yang tinggi, kelarutan yang kurang baik dan dapat dilarutkan dalam air bersuhu tinggi. Pada saat didinginkan kembali, amilosa akan membentuk gel yang keras. Amilopektin mempunyai ikatan ∂-1,4-D-glikosidik dengan cabang ikatannya ∂-1,6-D-glikosidik. Jumlah unit glukosa 5.000 – 40.000 dengan berat molekul 800.000

(20)

sampai jutaan. Apabila terdapat iodium, amilosa akan membentuk kompleks yang menghasilkan warna biru sedangkan amilopektin akan membentuk warna merah. (Pomeranz, 1991).

C. SURFAKTAN

Surfaktan atau surface active agent merupakan suatu molekul amphipatik atau amphifilik yang mengandung gugus hidrofilik dan lipofilik dalam satu molekul yang sama. Secara umum kegunaan surfaktan adalah untuk menurunkan tegangan permukaan, tegangan antarmuka, meningkatkan kestabilan partikel yang terdispersi dan mengontrol jenis formasi emulsi, misalnya oil in water (O/W) atau water in oil (W/O) (Rieger,1985).

Surfaktan dibagi menjadi empat kelompok penting dan digunakan secara luas pada hampir semua sektor industri modern. Jenis-jenis surfaktan tersebut adalah surfaktan anionik, surfaktan kationik, surfaktan nonionik dan surfaktan amfoterik (Rieger, 1985). Sedangkan Swern (1997) membagi surfaktan menjadi empat kelompok sebagai berikut:

1. Surfaktan kationik, merupakan surfaktan yang bagian pangkalnya berupa gugus hidrofilik dengan ion bermuatan positif (kation). Umumnya merupakan garam-garam amonium kuarterner atau amina.

2. Surfaktan anionik, merupakan surfaktan yang gugus hidrofiliknya dengan ion bermuatan negatif (anion). Umumnya berupa garam natrium, akan terionisasi menghasilkan Na+ dan ion surfaktan yang bermuatan negatif. 3. Surfaktan nonionik, merupakan surfaktan yang tidak berdisosiasi dalam

air, kelarutannya diperoleh dari sisi polarnya. Surfaktan jenis ini tidak membawa muatan elektron, tetapi mengandung hetero atom yang menyebabkan terjadinya momen dipol.

4. Surfaktan amfoterik, mengandung gugus yang bersifat anionik dan kationik seperti pada asam amino. Sifat surfaktan ini tergantung pada kondisi media dan nilai pH.

(21)

Sifat hidrofilik surfaktan nonionik terjadi karena adanya grup yang dapat larut dalam air yang tidak berionisasi. Biasanya grup tersebut adalah grup hidroksil (R–OH) dan grup eter (R–O–R’). Daya kelarutan dalam air grup hidroksil dan eter lebih rendah dibandingkan dengan kelarutan grup sulfat atau sulfonat. Kelarutan grup hidroksil atau eter dalam air dapat ditingkatkan dengan penggunaan grup multihidroksil atau multieter. Beberapa contoh produk multihidroksil (hasil reaksi antara gugus hidrofob dengan produk multihidroksil) antara lain: glukosida, gliserida, glikol ester, gliserol ester, poligliserol ester dan poligliserida, poliglikosida, sorbitol ester dan sukrosa ester (Porter, 1991).

D. APG

Alkil poliglikosida (APG) merupakan surfaktan yang ramah lingkungan karena disintesis dengan menggunakan bahan baku yang berbasis karbohidrat seperti sagu dan minyak nabati misalnya minyak kelapa, minyak sawit, minyak biji kapok dan minyak biji karet. Bahan baku utama untuk memproduksi APG adalah pati (sagu, tapioka dan sebagainya) atau dekstrosa (berbasis pati-pati tersebut) dan alkohol lemak (berbasis minyak nabati).

Alkil poliglikosida (APG) diperoleh melalui reaksi asetalisasi dari glukosa dan alkohol dengan mengeliminasi/menghilangkan air yang terbentuk. Alkil poliglikosida (APG) pertama kali dikenal sekitar tahun 1983 oleh Emil Fischer (Margaretha, 1999).

Sedangkan menurut Hill (2000), proses produksi APG dapat dilakukan melalui dua prosedur yang berbeda, yaitu prosedur pertama berbasis bahan baku pati dan alkohol lemak (pati-alkohol lemak), sedangkan prosedur kedua berbasis bahan baku dekstrosa (gula turunan pati) dan alkohol lemak (dekstrosa-alkohol lemak). Diagram proses pembuatan APG dari masing-masing prosedur disajikan pada Gambar 1.

(22)

Gambar 1. Proses sintesis alkil poliglikosida (APG)

Alkil poliglikosida (APG) mempunyai dua struktur kimia. Rantai hidrokarbon yang bersifat hidrofobik (lipofilik) dan bagian molekul yang bersifat hidrofilik. Sifat rantai yang hidrofobik disebabkan oleh rantai hidrokarbon tersebut tersusun dari alkohol lemak (dodekanol/tetradodecanol). Sedangkan, bagian molekul yang bersifat hidrofilik dari APG disebabkan bagian tersebut tersusun dari molekul glukosa yang berasal dari pati (Hill, 2000). Gambar proses reaksi dan struktrur APG disajikan pada Gambar 2.

Pati atau sirup dekstrosa

Butanolisis

Transasetalisasi

Butanol

Alkohol lemak

Butanol/ Air Netralisasi

Distilasi Pelarutan Pemucatan Alkyl Polyglycoside Asetalisasi Alkohol lemak

Glukosa anhidrat atau glukosa monohidrat (dekstrosa)

Air

Alkohol lemak

(23)

Gambar 2. Proses reaksi dan struktur alkil poliglikosida (APG)

Menurut Paten 5.138.046 (Wuest, et al., 1992), sintesis surfaktan APG dapat dengan reaksi 2 tahap dari pati atau hasil degradasi pati seperti poliglukosa atau sirup glukosa, tahap pertama direaksikan dengan alkohol rantai pendek, terutama butanol, dan tahap kedua transasetalisasi direaksikan dengan rantai lebih panjang C 8-22 terutama C 12-18 dari alkohol lemak bahan

baku alami. Reaksi butanolisis dilakukan pada temperatur diatas 125 oC dan dibawah tekanan 4 – 10 bar dalam zone reaksi tertutup reaksi kedua dilaksanakan pada temperatur dibawah 115-118 oC dengan kondisi vakum. Campuran reaksi kedua rasio molar tepung dihitung sebagai anhidroglukosa, terhadap alkohol rantai panjang 1:1,5 – 1:7, 1:2,5 – 1:7, 1:3 – 1:5. Sedangkan rasio molar sakarida : air = 1:5 – 1:12, 1:6 – 1:12, 1:6 – 1:9, 1:6 – 1:8. Pada Gambar 3 dapat dilihat proses reaksi sintesa APG dua tahap.

Gambar 3. Sintesis Fischer 2 tahap Glukosa

Hidrofobik Hidrofilik

(24)

Tahapan proses sintesa alkil poliglikosida (APG) dengan dua tahap meliputi tahap dasar sebagi berikut:

1. Reaksi glikosidasi (glycosidation) dengan menggunakan katalis asam untuk mereaksikan sumber monosakarida dengan butanol untuk membentuk butil glikosida dengan menghilangkan air yang terbentuk selama reaksi.

2. Transglikosidasi (transglycosidation) mereaksikan butil glikosida dengan alkohol rantai panjang (C8 – C20) untuk membentuk rantai alkil

poliglikosida rantai panjang dengan menghilangkan butanol selama reaksi 3. Netralisasi dari katalis asam yang digunakan.

4. Destilasi untuk menghilangkan alkohol rantai panjang yang tidak bereaksi 5. Pemucatan untuk meningkatkan warna dan bau dari produk alkil

poliglikosida (APG)

6. Isolasi alkil poliglikosida (APG).

Untuk reaksi satu tahap monosakarida langsung direaksikan dengan alkohol rantai panjang selanjutnya langsung dilanjutkan ke tahap reaksi nomor 3 sampai 6 (Buchanan et al., 1998).

Alkil poliglikosida (APG) dapat diklasifikasikan sebagai surfaktan nonionik. Menurut Matheson (1996) surfaktan nonionik adalah surfaktan yang tidak bermuatan atau tidak terjadi ionisasi molekul. Oleh karena cabang dari surfaktan tersebut adalah rantai dari alkohol lemak dan gugus gula (dekstrosa) yang tidak bermuatan. Sifat hidrofilik yang dimiliki surfaktan nonionik didapatkan karena keberadaan gugus hidroksil dari dekstrosa. Selain itu gugus polar (hidrofilik) dan gugus non polar (hidrofobik) juga menentukan kemampuan surfaktan dalam membentuk kestabilan emulsi didalam campuran produk (Swern, 1979).

E. HERBISIDA

Herbisida menurut Ensiklopedia Pustaka Tani (2005) adalah zat yang berfungsi untuk membunuh gulma atau tumbuhan pengganggu. Gulma yang terkena herbisida sel-sel daunnya menjadi seperti terbakar, kemudian mati. Berdasarkan bahan aktifnya herbisida digolongkan menjadi herbisida organik

(25)

dan herbisida anorganik. Dalam praktek pengendalian secara kimiawi menggunakan herbisida, gulma dikelompokkan dalam tiga golongan yaitu berdaun lebar (broad leaved weed), rumput (grasses) dan teki (sedges). Dengan demikian selektivitas herbisida secara umum diarahkan pada ketiga golongan gulma tersebut. Hal tersebut dapat diilustrasikan bahwa 2,4-D amina efektif mengendalikan gulma golongan berdaun lebar dan teki,

alachlor efektif mengendalikan gulma golongan rumput dan glifosat

merupakan herbisida yang selektif mengendalikan gulma golongan berdaun lebar, rumput dan teki. Berdasarkan mekanisme aksinya, herbisida dibedakan menjadi jenis sistemik (ditranslokasikan ke seluruh jaringan tumbuhan) dan kontak.

Salah satu bahan aktif pada herbisida adalah glifosat. Glifosat dapat digunakan untuk semua jenis gulma, dengan aktifitas agak lambat, dimana gajala keracunan baru dapat dilihat 2 – 4 hari setelah aplikasi untuk gulma setahun, sedangkan untuk gulma tahunan setelah 10 hari atau lebih (Bangun dan Pane, 1984). Menurut Utomo (1995), kelemahan glifosat terletak pada pengendalian yang kurang berhasil bila hujan turun kurang dari enam jam setelah aplikasi. Glifosat juga memerlukan air bersih untuk aplikasinya.

Berikut ini adalah data teknis glifosat menurut Klingman (1982): Nama umum : Glifosat

Nama kimia : N – (phosponomethyl) – Glycine atau Isoprophyl Amina Glifosat

Rumus bangun : O H H H O HO – C – C – N – C – P – OH

H H OH Rumus molekul : C3H8NO5P

Daya larut : larut dalam air dan pelarut polar

Karakteristik : cara kerja sistematik (ditranslokasikan),

tidak menimbulkan keracunan pada tanaman pokok dan tidak ada efek residu pada tanah.

(26)

Glifosat merupakan herbisida yang dapat didegradasi oleh mikroorganisme. Glifosat akan diuraikan oleh organisme menjadi CO2, air,

nitrat, dan fosfat ytang tidak berbahaya. Sebagai akibat pengikatan oleh partikel tanah, glifosat tidak bebas tersedia dalam larutan tanah, oleh karena itu glifosat tidak mobil di dalam tanah. Dari hal di atas jelas bahwa glifosat aman bagi lingkungan, tidak mempunyai residu dalam tanah dan tidak tersebar ke daerah lain (Moenandir, 1988).

Glifosat diserap oleh daun kemudian terangkut ke bagian lain melalui

phloem. Cara kerja glifosat adalah menghambat pembentukan asam amino

aromatik, khususnya menghambat kerja enzim 5-enolpyruvyl

shikimate-3-phosphate syntease (EPSPs) dalam lintasan asam shikimat yang akan

membentuk asam-asam amino aromatik seperti tryptophan, tyrosin, dan

phenylalanine sehingga menghambat sintesis protein yang dibutuhkan

tumbuhan (Cremlyn, 1991). Dengan dihambatnya kerja enzim EPSPs, produksi asam amino aromatik berkurang sehinga sel akan mati.

Penggunaan herbisida melalui penyemprotan (spraying) membutuhkan jenis surfaktan yang memiliki sifat yang dapat meningkatkan daya rata sehingga menjadikan larutan herbisida semakin basah, dapat meningkatkan efektivitas herbisida, serta tidak mengganggu stabilitas bahan aktif yang digunakan dalam formula herbisida tersebut. Surfaktan bekerja dengan memperluas penyebaran genangan (coverage) larutan herbisida pada permukaan daun sehingga semprotan herbisida tersebar lebih merata. Dengan penggunaan surfaktan tersebut, permukaan daun yang tertutup larutan herbisida menjadi lebih luas dan menjadikan larutan herbisida bertahan lebih lama di atas permukaan daun. Beberapa surfaktan juga membantu herbisida tertentu untuk meresap ke dalam permukaan daun dan akar dengan lebih cepat dan merata (Tominack, 2000).

(27)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT

Bahan-bahan yang digunakan untuk proses produksi alkil poliglikosida (APG) ini adalah alkohol lemak dari minyak kelapa (C12), pati sagu, butanol,

aquades, katalis, NaOH, H2O2 dan DMSO. Sementara itu bahan yang

digunakan untuk formulasi herbisida adalah glifosat 62%, APG hasil proses produksi dan aquades. Bahan-bahan yang digunakan untuk analisa antara lain: xilene, benzene, dan pyridine.

Peralatan yang digunakan untuk proses produksi alkil poliglikosida (APG) adalah reaktor bertekanan, pemanas listrik, hot plate magnetic stirrer, pompa vakum, sentrifuse, saringan vakum, dan pompa air. Untuk peralatan yang digunakan dalam formulasi herbisida dan aplikasinya adalah labu ukur 50 ml, hot plate magnetic stirrer, knapsack sprayer tipe GS-008, ember, dan pengaduk. Peralatan pendukung dalam penelitian ini antara lain: vortex, timbangan, oven, cawan aluminium, gelas ukur, gelas piala, labu takar, erlenmeyer, tabung ulir, corong, pH meter, pipet volumetrik, pipet tetes, sudip, dan termometer.

B. METODE PENELITIAN

1. Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mendapatkan alkil poliglikosida (APG) sebagai surfaktan untuk bahan baku formulasi herbisida. Proses terbaik didapat pada perbandingan mol pati sagu dengan alkohol lemak 1 : 3,34 dan suhu butanolisis 147,8 °C (Kurniadji, 2008). Tahapan proses produksi APG adalah butanolisis, transasetalisasi, netralisasi, distilasi, pelarutan dan pemucatan. APG yang dihasilkan kemudian dianalisis yang meliputi kemampuan menstabilkan, kemampuan menurunkan tegangan permukaan dan tegangan antarmuka, dan HLB (Lampiran 1). Diagram alir proses produksi alkil poliglikosida (APG) dapat dilihat pada Gambar 4.

(28)

Gambar 4. Diagram alir proses produksi alkil poliglikosida (APG)

2. Penelitian Utama

Yang menjadi penelitian utama adalah pembuatan formulasi herbisida. Bahan aktif yang digunakan adalah glifosat 62% dengan alkil poliglikosida (APG) sebagai surfaktan dalam formulasi herbisida tersebut dan air sebagai pelarut. Rancangan percobaan dalam pembuatan formulasi herbisida adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan 2 faktor dan dua

NaOH Netralisasi

Distilasi Alkohol lemak

APG kasar Air APG Pemucatan Pelarutan H2O2 NaOH Butanolisis Pati Sagu Butanol Katalis Air Transasetalisasi Butanol Air Alkohol lemak

(29)

kali ulangan. Faktor yang digunakan adalah konsentrasi glifosat (A) dan konsentrasi APG (B). Konsentrasi glifosat diujikan dalam tiga taraf yaitu glifosat 16%, glifosat 24%, dan glifosat 48%, konsentrasi APG yang diujikan adalah 4%, 6%, 8%, dan 10%. Model rancangan percobaan yang digunakan adalah:

Yijk = µ + Ai + Bj + ABij + εijk

Keterangan:

Yijk = Nilai pengamatan akibat pengaruh faktor A taraf ke-i, faktor B

taraf-j pada ulangan ke-k

µ = Nilai rata-rata

Ai = Pengaruh faktor A pada taraf ke-i

Bj = Pengaruh faktor B pada taraf ke-j

ABij = Pengaruh interaksi antara faktor A taraf ke-i dengan faktor B

taraf ke-j

εijk = Pengaruh kesalahan percobaan

Berdasarkan rancangan percobaan di atas, maka formulasi herbisida yang dibuat adalah sebagai satuan percabaan berikut:

A1B1 = Glifosat 16% + APG 4% kode : A A1B2 = Glifosat 16% + APG 6% kode : B A1B3 = Glifosat 16% + APG 8% kode : C A1B4 = Glifosat 16% + APG 10% kode : D A2B1 = Glifosat 24% + APG 4% kode : E A2B2 = Glifosat 24% + APG 6% kode : F A2B3 = Glifosat 24% + APG 8% kode : G A2B4 = Glifosat 24% + APG 10% kode : H A3B1 = Glifosat 48% + APG 4% kode : I A3B2 = Glifosat 48% + APG 6% kode : J A3B3 = Glifosat 48% + APG 8% kode : K A3B4 = Glifosat 48% + APG 10% kode : L

(30)

Bahan aktif yang dipakai yaitu glifosat 62%, untuk mendapatkan konsentrasi glifosat yang diinginkan menggunakan rumus pengenceran (V1.M1=V2.M2). Formulasi herbisida yang dihasilkan kemudian dianalisis

kestabilannya dan kemampuan menurunkan tegangan permukaan. Untuk mengetahui efektivitas formulasi herbisida yang menggunakan APG di lapangan, maka formulasi herbisida perlu diaplikasikan.

Aplikasi herbisida dilakukan satu kali yaitu pada awal percobaan pada petak yang ditetapkan dengan 2 kali ulangan. Petak percobaan dibuat dengan ukuran 3 x 2 m, dengan jarak antar petak 0,5 m. Penyemprotan menggunakan knapsack sprayer dengan dosis semprot 3 l/ha dan volum semprot 400 l/ha. Aplikasi formula herbisida dilakukan pada pagi hari sekitar pukul 07.00 – 09.30 dan cuaca dalam keadaan cerah, minimal 6 jam setelah aplikasi tidak turun hujan. Analisis efektivitas herbisida dalam mengendalikan gulma secara umum (golongan grasses, sedges maupun

broad leaved) meliputi daya berantas, persentase penutupan gulma, dan

bobot kering gulma. Prosedur analisis efektivitas herbisida dapat dilihat pada Lampiran 1.

(31)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. KARAKTERISASI APG

Alkil poliglikosida (APG) merupakan surfaktan yang berasal dari bahan alami yaitu alkohol lemak dan pati sagu. Proses pertama sintesis APG adalah butanolisis yang dilakukan pada suhu 147,8 °C, tekanan 4 – 5 bar selama 30 menit, dimana pati sagu, butanol, air, dan katalis (p-toluena) direaksikan. Pada butanolisis dihasilkan butil poliglikosida. Proses selanjutnya adalah transasetalisasi (penambahan alkohol lemak C12/dodekanol) yang berlangsung

pada suhu 110 – 120 °C dengan tekanan vakum selama 2 jam. Tahap ini merupakan proses penggantian C4 oleh C12 dari alkohol lemak dan akan

dihasilkan dodecil poliglikosida dan dodekanol berlebih. Proses netralisasi (penambahan NaOH) dilakukan pada suhu 80 – 90 °C tekanan normal sampai kondisinya basa. Netralisasi ini bertujuan untuk menghentikan proses asetalisasi agar tidak terjadi hidrolisis lanjut yang dapat menyerang poliglukosa.

Proses destilasi berlangsung pada suhu 170 – 180 °C untuk mengeluarkan alkohol lemak berlebih dan akan dihasilkan APG. Alkil poliglikosida hasil destilasi kemudian dimurnikan dengan penambahan air sebanyak 3/7 dari APG yang dihasilkan atau dengan kemurnian 70 %. Selanjutnya adalah proses pemucatan dengan menambahkan H2O2 35%

sebanyak 10,5 % dari APG yang dihasilkan untuk menghasilkan warna yang lebih cerah. H2O2 bersifat oksidator dan akan merusak ikatan rangkap pigmen

menjadi komponen yang tidak berwarna. Aktivitas ini meningkat dengan semakin meningkatnya konsentrasi H2O2. Proses terakhir adalah penambahan

NaOH sampai kondisinya basa (pH 8), karena jika pHnya asam dapat merusak APG tersebut.

Setiap satu kali proses berlangsung, dapat menghasilkan APG hasil destilasi (belum dilakukan proses pemurnian dan pemucatan) rata-rata sebanyak 19,28 gram atau dengan rendemen sebesar 9,77 %. Tabel penghitungan rendemen APG dapat dilihat pada Lampiran 2, dan APG hasil

(32)

destilasi ditunjukkan pada Gambar 5. Analisis alkil poliglikosida (APG) yang dilakukan adalah uji kemampuan menstabilkan emulsi, kemampuan menurunkan tegangan permukaan dan tegangan antarmuka serta HLB (Hidrofil Lipofil Balance). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa APG ini mempunyai kestabilan emulsi sebesar 92,35 % setelah 48 jam.

Gambar 5. APG hasil destilasi

Tegangan permukaan dirumuskan sebagai energi yang harus digunakan untuk memperbesar permukaan suatu cairan sebesar 1 cm2. Pengukuran kemampuan menurunkan tegangan permukaan air dengan berbagai konsentrasi APG dilakukan dengan metode du Nouy. Pada metode ini tegangan permukaan sebanding dengan gaya yang diperlukan untuk menarik cincin platina hingga lapisan tipis air tepat putus.

Gambar 6. Grafik tegangan permukaan air akibat pengaruh penambahan APG pada berbagai konsentrasi.

(33)

Pada Gambar 6 menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi APG yang digunakan maka tegangan permukaan air akan semakin turun. Nilai tegangan permukaan APG berkisar antara 24,17 – 27,17 dyne/cm. Tegangan permukaan air adalah 72 dyne/cm, jadi surfaktan APG dapat menurunkan tegangan permukaan air hingga sekitar 65%.

Pengukuran tegangan antarmuka air : xilene dengan penambahan APG pada berbagai konsentrasi dilakukan dengan menggunakan tensiometer metode du Nouy. Pengukuran ini menggunakan larutan yang yang tidak saling bercampur satu sama lain yaitu antara air (polar) dengan xilene (non polar). Besarnya tegangan antarmuka sebanding dengan gaya yang diperlukan untuk menarik cincin platina hingga lapisan tipis pada cincin yang terbentuk pada batas dua larutan (antarmuka) tepat putus.

Gambar 7. Grafik tegangan antarmuka air : xilene akibat pengaruh penambahan APG pada berbagai konsentrasi.

Semakin tinggi konsentrasi APG, maka tegangan antarmuka akan semakin turun seperti yang ditunjukkan pada Gambar 7. Hasil pengukuran tegangan antarmuka larutan APG sebanding dengan nilai tegangan permukaan hanya nilai yang diperoleh lebih kecil. Tegangan antarmuka sebanding dengan tegangan permukaan, akan tetapi nilai tegangan antarmuka akan selalu lebih kecil daripada tegangan permukaan pada konsentrasi yang sama (Moecthar, 1989). Hal ini sesuai dengan hasil nilai tegangan permukaan dan tegangan antarmuka surfaktan APG pada konsentrasi yang sama.

(34)

Penentuan nilai HLB APG dilakukan untuk mengetahui kesesuainnya sebagai pengemulsi. Metode yang digunakan adalah metode titrimetri. Perhitungan nilai HLB dengan mencari persamaan linier dari jenis surfaktan yang telah diketahui nilainya. Menurut Martin et al. (1970) bahwa nilai HLB dari tween 80 ialah 15,0; span 20 ialah 8,6; dan asam oleat ialah 1. Merujuk pada penelitian sebelumnya (Indrawanto, 2008), kurva standar pengukuran HLB mengikuti persamaan linier y = 7x - 5,8 dengan R2 = 0,997. Persamaan linier tersebut didapat dari pengukuran standar tween 80, span 20 dan asam oleat. Berdasarkan interpolasi pada kurva standar, surfaktan APG yang dibuat memiliki nilai HLB sebesar 8,25. Kurva standar dan penghitungan nilai HLB dapat dilihat pada Lampiran 3. Berdasar konsep Grifin dalam Holmberg et al. (2003) pada Tabel 1, APG tergolong dalam surfaktan untuk aplikasi sebagai

wetting agent dan untuk jenis emulsi minyak dalam air (O/W).

Tabel 1. Nilai HLB dan aplikasinya berdasarkan konsep Grifin

Nilai HLB Aplikasi 3 - 6 Pengemulsi W/O 7 - 9 Wetting agent 8 – 14 Pengemulsi O/W 9 - 13 Detergen 10 -13 Solubilizer 12 -14 Dispersant

Sumber : Holmberg et al. (2003)

HLB merupakan nilai yang bergantung pada perbandingan antara rantai hidrofilik dan lipofilik suatu molekul surfaktan. Semakin panjang rantai hidrofilik maka semakin tinggi nilai HLB, sebaliknya semakin panjang rantai lipofilik maka semakin rendah nilai HLB. Surfaktan yang memiliki nilai HLB yang sama dapat berbeda dalam hal kelarutannya. Surfaktan mempunyai dua aksi yang berbeda yaitu membantu pembentukan suatu sistem emulsi dan menentukan suatu jenis emulsi yang terbentuk apakah dalam bentuk minyak dalam air (O/W) atau air dalam minyak (W/O). Penentuan suatu jenis emulsi

(35)

ini berhubungan erat dengan nilai HLB (Suryani, et al. 2000). Umumnya HLB digunakan hanya untuk surfaktan nonionik. Surfaktan dengan nilai HLB rendah larut dalam minyak dan meningkatkan emulsi air dalam minyak (W/O). Sebaliknya surfaktan dengan nilai HLB tinggi larut dalam air dan meningkatkan emulsi minyak dalam air (O/W). Nilai HLB berkisar antara 1 hingga 20 (Holmberg et al. 2003).

B. FORMULASI HERBISIDA

Herbisida adalah pestisida yang digunakan untuk mengendalikan gulma atau tumbuhan pengganggu. Yang menentukan efektivitas kerja herbisida dalam mengendalikan gulma adalah bahan aktif yang terkandung di dalamnya. Terdapat bermacam-macam bahan aktif herbisida antara lain: 2,4 D, dalapon, propanil, diuron, glifosat, parakuat, ametrin, dan lain-lain. Pada penelitian ini, bahan aktif yang digunakan adalah glifosat karena bahan aktif ini dapat digunakan untuk mengendalikan semua golongan gulma baik itu golongan grasses, sedges maupun broad leaved. Glifosat dapat larut dalam air, sehingga mempermudah dalam formulasi dan biaya dalam formulasinya menjadi lebih murah. Selain itu, glifosat juga bersifat ramah bagi lingkungan.

Menurut Moenandir (1988), glifosat merupakan herbisida yang dapat didegradasi oleh mikroorganisme. Secara kimia hal ini berhubungan erat dengan asam amino glycine yang juga dikandung oleh sistem hewan dan tanaman, sebagai akibatnya mikroorganisme di dalam tanaman dapat dengan mudah mendegradasi glifosat.

Perlakuan glifosat dibedakan menjadi tiga taraf konsentrasi yaitu 16%, 24% dan 48%. Hal ini karena herbisida glifosat yang beredar di pasaran menggunakan tingkatan konsentrasi tersebut. Sementara untuk perlakuan APG, dibedakan menjadi empat taraf konsentrasi yaitu 4%, 6%, 8%, dan 10%. Penggunaan surfaktan APG yang lebih dari 10% akan menyebabkan herbisida yang dihasilkan lebih kental sehingga kemungkinan untuk menggumpal sangat besar. Menurut McWhorter (1990), penambahan surfaktan untuk herbisida berkisar antara 2 – 15%.

(36)

Proses pertama formulasi herbisida yaitu pelarutan APG dalam air dengan bantuan pemanasan. Suhu untuk membuat APG larut sempurna adalah sekitar 80 – 90 °C. Setelah APG benar-benar larut, kemudian dimasukkan dalam labu ukur 50 ml. Glifosat 62% sebagai bahan aktif dimasukkan sesuai dengan konsentrasi yang telah ditentukan, kemudian ditambahkan air sampai tanda tera. Formulasi dalam labu ukur dikocok supaya bercampur merata dan homogen.

Herbisida yang dihasilkan memiliki warna coklat muda mengikuti warna surfaktan APG yang digunakan. Semakin tinggi konsentrasi APG yang digunakan, warna coklat semakin gelap. Sebagai pembanding digunakan tiga jenis herbisida komersial yaitu Serbu (glifosat 16%), Sistemik (glifosat 24%) dan Round Up (glifosat 48%). Herbisida komersial memberikan warna yang menarik (Serbu-hijau, Sistemik-merah, Round Up-kuning) dan penampakan yang bening. Warna yang beragam dari herbisida komersial disebabkan penggunaan zat pewarna dalam formulasinya, karena glifosat sebagai bahan baku sendiri tidak berwarna atau bening seperti air. Penampakan formulasi herbisida dapat dilihat di Gambar 8.

Gambar 8. Penampakan formulasi herbisida

1. Kestabilan Formulasi Herbisida selama Penyimpanan 5 Minggu Suatu sistem emulsi, pada dasarnya merupakan suatu sistem yang tidak stabil, karena masing-masing partikel mempunyai kecenderungan untuk bergabung dengan partikel lainnya. Suatu sistem emulsi yang baik tidak membentuk lapisan, tidak terjadi perubahan warna dan konsistensi tetap. Stabilitas atau kestabilan emulsi merupakan salah satu karakter terpenting dan mempunyai pengaruh besar terhadap mutu produk emulsi ketika dipasarkan (Suryani et al. 2000).

(37)

Pengamatan terhadap kestabilan formulasi herbisida dilakukan setiap minggu selama lima minggu. Hal ini dilakukan untuk mengetahui perubahan yang dapat terjadi pada kestabilan formulasi dalam rentang waktu penyimpanan tersebut. Hasil pengamatan kestabilan formulasi herbisida dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Nilai stabilitas formulasi herbisida selama lima minggu

Kode Glifosat (%(b/v))

APG (%(b/v))

Kestabilan formulasi herbisida (%) Minggu ke-1 Minggu ke-2 Minggu ke-3,

ke-4 dan ke-5

A 16 4 96,15 bc 96,15 c 96,15 c B 16 6 93,08 bc 92,31 bc 92,31 bc C 16 8 83,08 b 82,31 b 82,31 b D 16 10 69,23 a 68,46 a 68,46 a E 24 4 100,00 c 99,23 c 99,23 c F 24 6 99,23 c 98,46 c 98,46 c G 24 8 98,46 c 98,46 c 98,46 c H 24 10 99,23 c 99,23 c 99,23 c I 48 4 99,23 c 98,46 c 98,46 c J 48 6 98,46 c 98,46 c 98,46 c K 48 8 98,46 c 98,46 c 98,46 c L 48 10 98,46 c 98,46 c 98,46 c M Glifosat komersial 16% 100,00 c 100,00 c 100,00 c N Glifosat komersial 24% 100,00 c 100,00 c 100,00 c O Glifosat komersial 48% 100,00 c 100,00 c 100,00 c Keterangan: angka pada kolom yang sama dan diikuti oleh huruf yang

sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji Duncan.

Dari Tabel 2, dapat diketahui bahwa nilai stabilitas formulasi herbisida yang dibuat berkisar antara 68,46% – 99,23%. Nilai kestabilan emulsi relatif konstan dari minggu ke minggu pengamatan, kecuali pada formulasi B, C, D, E, F, dan I terjadi penurunan kestabilan dari minggu ke-1 ke minggu ke-2. Untuk stabilitas pada minggu ke-3, ke-4, dan ke-5 nilainya tetap atau tidak terjadi perubahan dari minggu ke-2. Untuk kestabilan yang nilainya 98,46% ke atas, hanya sedikit sekali yang tidak stabil yaitu mengapung pada bagian atas tabung sekitar 1 mm. Untuk yang

(38)

nilainya 96,15% ke bawah, yang tidak stabil terdapat pada bagian bawah. Ada semacam cairan yang memisah dari formulasi herbisida di atasnya.

Hasil analisis ragam (ANOVA) pada minggu ke-1 dengan α = 0,05 menunjukkan bahwa faktor konsentrasi glifosat berpengaruh nyata terhadap kestabilan formula herbisida, hal ini ditandai dengan nilai F hitung lebih besar dari F tabel. Sedangkan faktor konsentrasi APG dan interaksi antara kedua faktor tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap kestabilan formulasi karena nilai F hitung lebih kecil dari F tabel. Analisis ragam (ANOVA) pada minggu ke-2 juga memberikan hasil yang sama yaitu untuk faktor konsentrasi glifosat berpengaruh nyata, sedangkan faktor konsentrasi APG dan interaksi kedua faktor tidak berpengaruh nyata terhadap kestabilan formulasi (Lampiran 4).

Berdasarkan uji lanjut Duncan, diketahui bahwa kestabilan formulasi herbisida akibat pengaruh faktor konsentrasi glifosat berbeda nyata untuk glifosat 16%, sedangkan untuk glifosat 24% dan glifosat 48% tidak berbeda nyata. Hal ini berlaku juga untuk minggu ke-1 dan minggu ke-2 (Lampiran 4). Dari Tabel 2, herbisida hasil formulasi memiliki nilai kestabilan yang tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan glifosat komersial berdasarkan uji Duncan.

Formulasi yang berbeda nyata adalah formulasi C (glifosat 16% dan APG 8%) dan D (glifosat 16% dan APG 10%) dimana nilai kestabilannya lebih rendah dibandingkan formulasi lainnya. Penyebab rendahnya kestabilan adalah kemungkinan suhu yang terlalu tinggi pada saat melarutkan APG sehingga gugus hidrofilik menjadi mengembang dan kurang stabil. Formulasi dengan APG 8% dan 10% akan menghasilkan formulasi yang kental, sehingga mudah untuk menggumpal. Berdasarkan pengamatan, pada suhu yang rendah formulasi ini mudah membeku.

2. Tegangan Permukaan Herbisida

Surfaktan merupakan senyawa yang digunakan untuk menurunkan tegangan permukaan suatu bahan, karena surfaktan memiliki dua gugus dalam satu molekulnya yaitu gugus hidrofilik dan hidrofobik. Sifat

(39)

surfaktan yang dapat menurunkan tegangan permukaan dapat digunakan dalam formulasi herbisida karena bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan aktivitas herbisida tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Kearney dan Kaufman (1988), untuk meningkatkan aktivitas glifosat dapat dilakukan penambahan surfaktan sehingga glifosat dapat diabsorbsi ke dalam jaringan daun. Surfaktan dapat berfungsi menurunkan tegangan permukaan larutan herbisida, sehingga dapat berpenetrasi dengan mudah.

Pengukuran tegangan permukaan dilakukan pada awal formulasi dan setelah lima minggu penyimpanan, hal ini untuk mengetahui perubahan tegangan permukaan yang mungkin terjadi dalam penyimpanan. Konsentrasi yang diujikan adalah 0,72% (v/v) sesuai dengan konsentrasi larutan herbisida saat aplikasi penyemprotan. Hasil pengamatan tegangan permukaan dan nilai pH herbisida dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Tegangan permukaan herbisida dan pH

Kode Glifosat (%(b/v)) APG (%(b/v)) Tegangan permukaan (dyne/cm) pH

Awal Minggu ke-5 Awal Minggu ke-5 A 16 4 29,25 c 29,00 g 7 7 B 16 6 28,75 bc 28,75 f 7 7 C 16 8 28,38 abc 28,50 e 7 7 D 16 10 28,13 ab 28,25 cd 7 7 E 24 4 28,13 ab 28,94 fg 7 7 F 24 6 27,88 ab 28,75 f 7 7 G 24 8 27,75 ab 28,38 cde 7 7 H 24 10 27,63 a 28,19 bc 7 7 I 48 4 28,63 abc 29,00 g 7 7 J 48 6 28,13 ab 28,44 de 7 7 K 48 8 27,81 ab 28,00 b 7 7 L 48 10 27,69 a 27,75 a 7 7 M Glifosat komersial 16% 31,50 e 31,50 i 5 5 N Glifosat komersial 24% 33,00 f 32,88 j 5 5 O Glifosat komersial 48% 30,25 d 30,50 h 5 5 Keterangan: angka pada kolom yang sama dan diikuti oleh huruf yang

(40)

Dari Tabel 3, dapat diketahui bahwa nilai tegangan permukaan herbisida hasil formulasi berkisar antara 27,69 – 29,25 dyne/cm. Untuk mengetahui sejauh mana APG dapat menurunkan tegangan permukaan herbisida, pengukuran juga dilakukan pada glifosat 16%, 24%, dan 48% tetapi tanpa menggunakan APG. Hasilnya, nilai tegangan permukaan glifosat 16%, 24%, dan 48% (APG 0%) berturut-turut 59,00; 60,25; dan 61,00 dyne/cm. Jelas terbukti bahwa surfaktan APG dapat menurunkan tegangan permukaan herbisida sampai sekitar 30 dyne/cm (50% lebih).

Tegangan permukaan formulasi herbisida karena penambahan APG relatif tidak mengalami perubahan meskipun telah disimpan selama lima minggu, hal ini menunjukkan bahwa penyimpanan tidak merubah sifat kimia formulasi herbisida yang dibuat. Berdasarkan uji Duncan, formulasi herbisida mempunyai nilai tegangan permukaan yang berbeda nyata jika dibandingkan dengan herbisida komersial. Dari analisis pH, semua formulasi herbisida memberikan pH netral atau 7, sedangkan herbisida komersial mempunyai nilai pH lebih asam yaitu 5. Artinya formulasi herbisida lebih baik ditinjau dari nilai pH, karena pH yang netral lebih aman untuk digunakan. Nilai pH juga tidak mengalami perubahan pada waktu awal formulasi dan setelah penyimpanan selama 5 minggu.

Gambar 9. Grafik pengaruh konsentrasi glifosat dan konsentrasi APG terhadap tegangan permukaan herbisida awal

(41)

Dari Gambar 9, dapat dilihat bahwa nilai tegangan permukaan herbisida awal akan menurun seiring dengan meningkatnya konsentrasi APG yang digunakan. Dapat dilihat juga tegangan permukaan herbisida hasil formulasi memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan herbisida komersial. Hasil analisis ragam (ANOVA) pada α = 0,05 diketahui bahwa faktor konsentrasi glifosat dan konsentrasi APG berpengaruh nyata terhadap tegangan permukaan herbisida awal, sedangkan interaksi kedua faktor tersebut tidak berpengaruh nyata (Lampiran 5).

Berdasarkan uji lanjut Duncan, diketahui bahwa tegangan permukaan herbisida awal akibat pengaruh faktor konsentrasi glifosat berbeda nyata untuk glifosat 16%, sedangkan untuk glifosat 24% dan glifosat 48% pengaruhnya tidak berbeda nyata. Untuk pengaruh faktor konsentrasi APG ada kecenderungan tidak berbeda nyata, yang berbeda nyata adalah pada APG 4% dengan APG 8% dan 10%. Data lengkap uji lanjut Duncan dapat dilihat pada lampiran 5.

Gambar 10. Grafik pengaruh konsentrasi glifosat dan konsentrasi APG terhadap tegangan permukaan herbisida minggu ke-5.

Gambar 10, menunjukkan tinggi konsentrasi APG yang digunakan maka tegangan permukaan herbisida akan semakin rendah. Berdasarkan hasil analisis ragam (ANOVA) pada α = 0,05 diketahui bahwa faktor konsentrasi glifosat, konsentrasi APG dan interaksi kedua faktor tersebut

(42)

berpengaruh nyata terhadap tegangan permukaan herbisida minggu ke-5 (Lampiran 5). Dari uji lanjut Duncan, dapat diketahui bahwa kombinasi dari kedua faktor perlakuan cenderung memberikan hasil yang tidak berbeda nyata satu dengan lainnya. Kombinasi perlakuan konsentrasi glifosat 48% dan konsentrasi APG 10% (formulasi L) merupakan kombinasi perlakuan terbaik karena kestabilannya konstan dan mempunyai tegangan permukaan terendah yaitu sebesar 27,75 dyne/cm (Lampiran 5).

C. APLIKASI HERBISIDA

Untuk mengetahui efektivitas formulasi herbisida dalam mengendalikan gulma, maka formulasi yang sudah dibuat diaplikasikan (disemprotkan) pada gulma. Penyemprotan dilakukan di Laboratorium Lapang Leuwikopo pada 1 Mei 2008 pukul 07.00 – 09.30. Cuaca saat penyemprotan (siang, dan sore hari) cerah yang berarti sangat mendukung percobaan, karena herbisida glifosat membutuhkan minimal 6 jam setelah aplikasi tidak turun hujan.

Setiap formulasi herbisida disemprotkan pada petak percobaan yang ditumbuhi gulma seluas 6 m2 dengan dua kali ulangan. Kondisi awal sebelum penyemprotan, penutupan gulma pada petak percobaan adalah 100%. Gulma yang berada pada setiap petak percobaan dianggap homogen dengan komposisi gulma dominan adalah golongan grasses, ada juga gulma golongan

broad leaved dan ada sedikit gulma golongan sedges. Dosis semprot herbisida

yang digunakan adalah 3 liter/ha sehingga setiap petak percobaan hanya membutuhkan 1,8 ml formulasi herbisida. Penyemprotan menggunakan knapsack sprayer dengan konsentrasi semprot 0,72% (v/v) atau menggunakan dosis pelarut sekitar 400 l/ha. Setelah penyemprotan, pengamatan dilakukan setiap minggu selama tiga minggu. Pengamatan meliputi daya berantas, persentase penutupan gulma dan bobot kering gulma.

Sebagai pembanding, disemprotkan juga herbisida glifosat komersial dan kontrol (air). Kontrol glifosat tanpa APG tidak dilakukan penyemprotan karena dilihat dari nilai tegangan permukaannya sangat tinggi dan diasumsikan efektivitasnya tidak akan sebaik dengan penambahan APG. Tegangan permukaan yang tinggi menyebabkan droplet (cairan semprot)

(43)

tidak dapat menempel dengan sempurna pada permukaan daun karena masih terdapat rongga diantara droplet tersebut, sehingga bagian herbisida yang kontak dengan permukaan daun sedikit. Dengan adanya APG, tegangan permukaan menjadi rendah dan droplet menjadi tersebar lebih merata pada permukaan daun sehinga kontak herbisida dengan daun menjadi lebih luas. Jika bagian herbisida yang kontak dengan permukaan daun lebih luas, maka peluang herbisida untuk dapat berpenetrasi ke dalam jaringan daun juga semakin besar dan efektivitas herbisida tersebut menjadi lebih baik.

Berdasarkan mekanisme aksinya, herbisida dibedakan menjadi herbisida sistemik dan herbisida kontak. Glifosat merupakan herbisida jenis sistemik (ditranslokasikan ke seluruh jaringan tumbuhan) yang diaplikasikan lewat daun. Menurut Tjitrosoedirdjo (1984), sebenarnya selain daun, juga pelepah, tangkai, bahkan batang yang masih muda dapat menjadi tempat penetrasi molekul herbisida. Tetapi daun merupakan bagian tempat penetrasi terbesar untuk herbisida.

Mekanisme kerja glifosat dalam meracuni gulma adalah sebagai berikut: herbisida glifosat disemprotkan ke daun dan dengan adanya surfaktan maka tegangan permukaan turun yang menyebabkan herbisida tersebar lebih merata pada daun. Adanya trikoma pada permukaan daun mencegah kontak antara droplet dengan permukaan daun sehingga herbisida tidak dapat masuk ke dalam sistem tanaman. Dalam hal ini surfaktan dapat membantu mengatasi masalah ini karena tegangan permukaan menjadi rendah sehingga droplet itu seolah-olah merayap membasahi permukaan daun (Tjitrosoedirdjo, 1984).

Kemudian terjadi penetrasi oleh herbisida masuk ke dalam sistem tanaman melalui lapisan kutikula dan selanjutnya ditranslokasikan ke tempat reaksi akan terjadi melalui simplas atau floem bersama dengan hasil asimilasi. Molekul herbisida yang terhindar dari reaksi degradasi akan sampai pada titik dalam reaksi yang dengan ikutnya molekul herbisida ini akan menyebabkan perubahan biokimia pada tumbuhan tersebut. Glifosat akan menghambat kerja enzim EPSPs dalam membentuk asam amino aromatik seperti tryptophan,

tyrosin, dan phenylalanine sehingga menghambat sintesis protein yang

Gambar

Gambar 1. Proses sintesis alkil poliglikosida (APG)
Gambar 2. Proses reaksi dan struktur alkil poliglikosida (APG)
Gambar 4. Diagram alir proses produksi alkil poliglikosida (APG)
Gambar 6.  Grafik  tegangan  permukaan  air  akibat  pengaruh  penambahan  APG pada berbagai konsentrasi
+7

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Hal ini sesuai dengan tujuan didirikannya masjid di sekolah adalah sebagai pembinaan agama siswa dalam bentuk fasilitas penunjang proses pembelajaran seperti sebagai

variabel artificial adalah variable yang di tambahkan pada fungsi pembatas mempunyai hubungan persamaan untuk memperoleh basis, atau juga dapat dinyatakan sebagai

dilakukan oleh masyarakat yang sadar akan manfaat dari melakukan program.

Data Masukan Yang Diharapkan Pengamatan Kesimpulan Data nama Kategori masih kosong Tampilkan pesan kesalahan “Kategori harus diisi” Dapat menampilkan pesan kesalahan

Patton (dalam Moleong, 2005: 330) menyampaikan triangulasi yang digunakan adalah triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat

1) Dalam mengajar dibutuhkan keterampilan khusus yang didasarkan pada konsep dan ilmu pengetahuan yang spesifik. 2) Seorang guru harus memiliki bidang keahlian yang jelas,

Protokoler Dan Keuangan Pimpinan Dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 90, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

Asia Afrika No.114 Bandung, mengundang penyedia untuk mengikuti pelelangan umum dengan pasca kualifikasi melalui LPSE Kementerian Keuangan sebagai berikut :.