• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.4. Resistensi Insulin pada Sindroma

Awalnya pada tahun 1921, Achard dan Thiers menemukan adanya diabetes pada wanita yang berjenggot atau berkumis, mereka menyebutnya sebagai "diabetes in bearded women" yang kemudian dikenal sebagai Achard and Thiers syndrome. Pada tahun 1980, Burghen et al melaporkan bahwa perempuan dengan gangguan hiperandrogenisme dan SOPK mempunyai kadar insulin basal dan insulin setelah stimulasi glukosa yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol yang mempunyai berat badan sama. Saat ini diketahui bahwa wanita dengan SOPK menunjukkan derajat resistensi insulin yang lebih parah serta hiperinsulinemia yang terkompensasi dibandingkan dengan wanita tanpa SOPK.24 Resistensi insulin didefinisikan

sebagai ketidakmampuan insulin untuk menjalankan fungsi fisiologisnya. Manifestasinya bisa bersifat perifer (pada jaringan) atau sentral (pada liver) akibat berkurangnya kemampuan insulin untuk menurunkan kadar glukosa plasma. Resistensi insulin menyebabkan hiperinsulinemia yang akan menyebabkan metabolisme androgen yang abnormal, mengganggu pertumbuhan folikel dan merubah respons gonadotropin.25 Prevalensi

resistensi insulin pada wanita dengan SOPK diperkirakan antara 50% dan 75%, dan lebih banyak pada penderita SOPK yang obese dibandingkan dengan normal.19 Di Jakarta, Wiweko dan Mulya mendapatkan 75% wanita

dengan SOPK mengalami resistensi insulin, sementara di Medan, Setiawan mendapatkan proporsi pasien SOPK dengan resistensi insulin sebesar 17,1%.25,26

Dunaif menyatakan bahwa mekanisme berkurangnya sensitivitas insulin ini disebabkan oleh abnormalitas setelah terjadinya ikatan insulin terhadap reseptornya pada saat transduksi reseptor insulin. Wanita dengan SOPK, baik yang kurus maupun obesitas, dijumpai lebih resisten terhadap insulin dibandingkan dengan kontrol wanita bukan penderita SOPK.24

Gambar 2.4. Mekanisme resistensi insulin19.

Dalam fibroblast, otot, dan adiposit 50% pasien SOPK ada penurunan autofosforilasi residu tirosin dari reseptor insulin dan peningkatan fosforilasi residu serin dari reseptor insulin. Fosforilasi residu serin atau treonin dari reseptor insulin akan menurunkan transduksi signal, dan ini menjadi mekanisme molekular dari resistensi insulin pada pasien SOPK.27

Gambar 2.5.Hubungan Resistensi insulin dengan hiperandrogenemia19

Selain mekanisme di atas resistensi insulin juga mengakibatkan peningkatan androgen pada pasien SOPK dimana peningkatan androgen ini akan mengakibatkan perubahan profil lipid dengan patofisiologi yang telah dijelaskan di atas. Ada beberapa mekanisme mengapa resistensi insulin menyebabkan androgenemia yaitu: hiperinsulinemia kompensasi akibat resistensi insulin akan menurunkan sintesis hepatik SHBG sehingga androgen bebas meningkat dalam darah; insulin yang berlebihan dapat berikatan dengan reseptor IGF-1 dalam ovarium, menyebabkan peningkatan produksi androgen oleh sel-sel teka; fosforilasi residu serin enzim P450c17

adrenal dan ovarium pada pasien SOPK meningkatkan aktifitas enzim 17,20 lyase yang akan memproduksi hiperandrogenisme.27

Berbagai cara telah dipakai untuk menilai keadaan resistensi insulin antara lain uji toleransi glukosa oral (UTGO), uji toleransi insulin, infus glukosa secara berkesinambungan, klem euglikemik.19,25 Selain itu, rasio

glukosa puasa dan insulin puasa (G:I ratio) telah digunakan secara luas sebagai indeks sensitivitas insulin pada wanita SOPK dimana rasio kurang dari 4,5 memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang sesuai untuk resistensi insulin. Homeostatic model assessment of insulin resistance (HOMA-IR) merupakan pengukuran lain sensitivitas insulin yang umum digunakan pada studi epidemiologi yang besar. HOMA-IR dihitung dengan membagi kadar glukosa puasa (mg/dl) dan insulin (µU/mL) dengan konstanta: [glukosa (mg/dl)] [insulin (µU/mL)] /405, atau [glukosa (mmol/L)][insulin (µU/mL)] /22,5. Resistensi insulin pada pengukuran dengan HOMA-IR ditandai dengan nilai lebih dari 3,2-3,9. Quantitative insulin sensitivity check index (QUICKI) merupakan metode pengukuran sensitivitas insulin yang lain. Perhitungan dari metode QUICKI yaitu kebalikan dari jumlah kadar glukosa puasa dan insulin, melalui logaritma: (1/[log(glukosa)+log(insulin)]; resistensi insulin ditandai dengan nilai lebih dari 0,33. HOMA-IR dan QUICKI dapat digunakan pada pasien dengan euglikemik dan hiperglikemik.19 Penelitian oleh

Muharam pada tahun 2000 di Jakarta tentang nisbah gula darah puasa (Gp) dan insulin puasa (Ip) pada ovarium polikistik menyimpulkan bahwa titik

potong nisbah Gp/Ip <10,1 untuk menyatakan adanya resistensi insulin dengan sensitivitas 90,2%, spesifisitas 90,9%.25

2,5. RISIKO KEGUGURAN PADA SINDROMA OVARIUM POLIKISTIK

Beberapa komplikasi kehamilan yang berhubungan dengan diagnosis maternal sindroma ovarium polikistik telah dijelaskan. Hal ini termasuk peningkatan prevalensi dari abortus spontan, diabetes gestasional, toksemia preeklampsia, kehamilan yang menginduksi hipertensi, dan bayi lahir kecil usia kehamilan. Peningkatan risiko abortus spontan pada trimester pertama pada wanita dengan SOPK, berkisar dari 25% hingga 73%, dimana relatif tinggi.28,29,30

Penelitian oleh Glueck dkk di Ohio menunjukkan bahwa wanita dengan SOPK memiliki angka kejadian keguguran pada trimester pertama yang tinggi yaitu 44%. Spekulasi yang menyebabkan angka keguguran yang tinggi ini termasuk hipofibrinolisis dengan peningkatan PAI-Fx, peningkatan testosterone, androtenedione, atau DHEAS, dan kadar progesterone yang rendah.3,4

Penelitian oleh Velazquez dkk menunjukkan bahwa pasien dengan SOPK mengalami peningkatan aktivitas plasminogen activator inhibitor (PAI- Fx; merupakan inhibitor yang paling potensial dari fibrinolisis), yang menyebabkan hipofibrinolisis dan peningkatan risiko keguguran.31,32

Pada SOPK, hipofibrinolisis diperantarai oleh aktivitas plasminogen activator inhibitor activity (PAI-Fx) yang tinggi, determinan utama

hipofibrinolisis, merupakan penyebab independen keguguran. PAI-Fx tinggi dapat menyebabkan gangguan plasenta yang terjadi pada preeclampsia dan keguguran berulang. Hipofibrinolisis juga dihubungkan dengan retardasi perkembangan intrauterine, solusio plasenta, dan abortus.3,4

Selain itu, trombofilia juga merupakan faktor risiko abortus yang penting pada beberapa pasien dengan SOPK. Menurut penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa faktor V leiden berhubungan trombofilia, heterozigot mutasi faktor protrombin, dan homozigot mutasi gen methylene tetrahydrofolate reductase (MTHFR) yang merupakan penyebab lain keguguran pada pasien dengan SOPK. Defisiensi beberapa protein termasuk protein C, protein S, dan antitrombin III, juga berhubungan dengan komplikasi kehamilan termasuk keguguran.4,31

Trombofilia merupakan gangguan multigenetik akibat kelainan koagulasi yang didapat (antibodi antiphospholipid) atau kelainan koagulasi yang diturunkan (defisiensi antitrombin protein antikoagulan alami, protein C atau protein S, faktor V leiden, dan prothrombin G20210A), atau kelainan metabolic hiperhomosisteinemia. Pada wanita dengan keguguran berulang, skrining menyebutkan adanya peningkatan insidensi SOPK. Oleh karena itu, peningkatan angka kejadian kematian janin bukan hanya karakteristik wanita dengan keguguran berulaang dengan trombofilia, tetapi juga pada wanita dengan SOPK. Hal ini dipostulasikan bahwa pasien dengan familial trombofilia, mungkin dipengaruhi oleh kelainan endokrin dari SOPK, juga dihubungkan dengan kegagalan transfer embrio dan keguguran. Trombofilia

dapat menyebabkan kegagalan implantasi pada fertilisasi invitro (IVF). Gangguan preklinik setelah IVF menyebabkan kelainan pada reseptivitas uterus dan/atau kualitas embrio.4,31

Pada penelitian Kazerooni,dkk di Iran menjelaskan bahwa pasien dengan SOPK yang mengalami keguguran berulang menunjukkan adanya peningkatan kadar serum testosterone, DHEAS, Homosistein, insulin, dan PAI-Fx, dan penurunan sensitivitas insulin. Selain itu,dari penelitian ini juga menunjukkan adanya mutasi proporsi APCR dan faktor V leiden yang lebih tinggi pada pasien dengan SOPK yang mengalami keguguran berulang.31

Dokumen terkait