KADAR FIBRINOGEN DAN D-DIMER PADA WANITA
DENGAN SINDROMA OVARIUM POLIKISTIK
TESIS
OLEH :
HILMA PUTRI LUBIS
DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RSUP. H. ADAM MALIK
MEDAN
Penelitian ini di bawah bimbingan Tim 5
Pembimbing : Dr. dr. Binarwan Halim, M.Ked(OG), SpOG(K)
dr. Yostoto B Kaban, SpOG(K)
Penyanggah : Prof. dr. Delfi Lutan, MSc, SpOG(K)
dr. Makmur Sitepu, M.Ked(OG),SpOG(K)
dr. Henry Salim Siregar, SpOG(K)
Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas
dan memenuhi salah satu syarat untuk mencapai keahlian
KATA PENGANTAR
Dengan nama ALLAH Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.
Segala Puji dan Syukur saya panjatkan kepada ALLAH Subhaanahu
wata’ala, Tuhan Yang Maha Esa. Hanya atas izin dan kemurahan-Nya lah
penulisan tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Sholawat dan salam saya
haturkan kepada baginda Muhammad S.A.W, beserta seluruh anbiyaa’ dan
para rasul, serta keluarga dan umat mereka seluruhnya.
Tesis ini disusun untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi salah satu
syarat untuk memperoleh keahlian dalam bidang Obstetri dan Ginekologi.
Sebagai manusia biasa, saya menyadari bahwa tesis saya ini masih banyak
kekurangannya dan masih jauh dari sempurna, namun demikian besar
harapan saya kiranya tulisan sederhana ini dapat bermanfaat dalam
menambah perbendaharaan pustaka, dengan judul :
“KADAR FIBRINOGEN DAN D-DIMER PADA WANITA DENGAN
SINDROMA OVARIUM POLIKISTIK”
Dengan selesainya laporan penelitian ini, perkenankanlah saya
menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
1. Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. dr. Syahril Pasaribu ,DTM&H,
MSc(CTM), SpA(K) dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara, Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, SpPD(K-GEH), yang
telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program
Pendidikan Dokter Spesialis di Fakultas Kedokteran USU Medan.
2. Ketua Departemen Obstetri dan Ginekologi FK-USU Medan, Prof. dr.
Delfi Lutan, MSc, SpOG(K) dan Sekretaris Departemen Obstetri dan
Ginekologi FK-USU Medan, Dr. dr. M. Fidel Ganis Siregar, M.Ked (OG),
SpOG(K).
3. Ketua Program Studi Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi FK-USU
Medan, dr. Henry Salim Siregar, SpOG(K) dan Sekretaris Program Studi
Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi FK-USU Medan, dr. M. Rhiza Z.
Tala, M.Ked(OG), SpOG(K).
4. Kepada Prof. dr. Delfi Lutan, MSc, SpOG(K); Prof. dr. Hamonangan
Hutapea, SpOG(K); Prof. Dr. dr. H. M. Thamrin Tanjung, SpOG(K); Prof.
dr. R.Haryono Roeshadi, SpOG(K); Prof. dr. T. M. Hanafiah, SpOG(K),
Prof. dr. Budi R. Hadibroto,SpOG(K); Prof. dr. Daulat H. Sibuea,
SpOG(K), Prof. dr. M. Fauzie Sahil, SpOG (K), yang secara
bersama-sama telah berkenan menerima saya untuk mengikuti pendidikan dokter
spesialis di Departemen Obstetri dan Ginekologi. Semoga ALLAH SWT
membalas kebaikan budi guru-guru saya tersebut.
5. Khususnya kepada Prof. dr. Delfi Lutan, MSc, SpOG (K); yang telah
Dokter Spesialis di Departemen Obstetri dan Ginekologi FK-USU. Saya
ucapkan Terimakasih yang tidak terhingga, semoga ALLAH SWT
membalas kebaikan beliau.
6. Ketua Divisi FER dr. Ichwanul Adenin, M.Ked(OG), SpOG(K) dan
Sekretaris Divisi FER dr. M.Oky Prabudi, SpOG yang telah mengizinkan
Saya untuk melakukan penelitian tentang:
“KADAR FIBRINOGEN DAN D-DIMER PADA WANITA DENGAN
SINDROMA OVARIUM POLIKISTIK”
7. Dr. dr .Binarwan Halim, M.Ked(OG), SpOG(K) dan dr. Yostoto B Kaban,
SpOG (K), selaku pembimbing tesis Saya, serta Prof. dr. Delfi Lutan,
MSc, SpOG (K), dr. Makmur Sitepu, M.Ked (OG), SpOG(K), dr. Henry
Salim Siregar, SpOG(K) selaku penyanggah tesis Saya, yang penuh
dengan kesabaran telah meluangkan waktu yang sangat berharga untuk
membimbing, memeriksa, dan melengkapi penulisan tesis ini hingga
selesai.
8. Kepada Dr. dr. Binarwan Halim, M.Ked(OG), SpOG(K) yang telah banyak
membantu saya, memberikan ide dan bimbingan dalam penelitian ini dan
mengizinkan saya untuk melakukan penelitian di Klinik Halim Fertility
Center Medan.
9. Kepada Dr. dr. M. Fidel Ganis Siregar, M.Ked(OG), SpOG(K) selaku
banyak mengayomi, membimbing dan memberikan nasehat yang
bermanfaat kepada saya selama dalam pendidikan.
10. Kepada dr. Makmur Sitepu, M.Ked(OG),SpOG(K) selaku pembimbing
minirefarat Fetomaternal saya yang berjudul : “ Diagnosis Prenatal
Displasia Skeletal Janin” kepada dr. Yostoto B Kaban, SpOG(K)
selaku pembimbing Minirefarat Magister Kedokteran Klinis Obstetri dan
Ginekologi saya yang berjudul: “Infertilitas Idiopatik”, kepada dr.
Ichwanul Adenin, M.Ked(OG), SpOG(K) selaku pembimbing minirefarat
Fertilitas Endokrinologi dan Reproduksi saya yang berjudul “Abortus
Berulang Pada Penyakit Tiroid”, dan kepara dr. Roy Yustin
Simanjuntak, SpOG(K) selaku pembimbing minirefarat
Onkologi-Ginekologi saya yang berjudul “Eksenterasi Pelvik Pada Kanker
Ginekologi”.
11. Para guru yang saya hormati, seluruh staf pengajar Departemen Obstetri
dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang
tidak dapat saya sebutkan satu persatu, baik di RSUP H.Adam Malik,
RSUD dr.Pirngadi, RS Tembakau Deli, RSU Sundari dan RS KESDAM II
Putri Hijau, Medan, yang telah banyak membimbing dan mendidik saya
sejak awal hingga akhir pendidikan.
12. Kepada Dr. dr. Arlinda Sri Wahyuni, M.kes sebagai pembimbing statistik
yang telah meluangkan waktu dan pikiran untuk membimbing saya dalam
13. Direktur RSUP H.Adam Malik Medan, dr. Lukman Hakim Nasution, SpKK
beserta seluruh staf medis, paramedis maupun non medis-paramedis
yang telah memberikan kesempatan, sarana serta bantuan kepada saya
untuk bekerja selama mengikuti pendidikan dan selama saya bertugas di
instansi tersebut.
14. Direktur RSUD dr.Pirngadi Medan, dr. Amran Lubis, SpJP dan
khususnya Kepala SMF Obstetri dan Ginekologi RSUD dr. Pirngadi
Medan, dr. Syamsul Arifin Nasution, SpOG(K); beserta seluruh staf
medis, paramedis maupun non medis-paramedis yang telah memberikan
kesempatan, sarana serta bantuan kepada saya selama menempuh
pendidikan di Departemen Obstetri dan Ginekologi.
15. Direktur Rumkit Tk. II Puteri Hijau KESDAM II/BB Medan dan Kepala SMF
Obstetri dan Ginekologi Rumkit Tk. II Puteri Hijau KESDAM II/BB Medan
dr. Yazim Yaqub, SpOG; beserta staf yang telah memberi kesempatan
dan sarana serta bimbingan selama Saya bertugas di Rumah Sakit
tersebut.
16. Direktur Rumah Sakit Umum PTPN II Tembakau Deli; dr. Sofyan Abdul
Ilah, SpOG dan dr. Nazaruddin Jaffar, SpOG(K) beserta staf yang telah
memberikan kesempatan dan bimbingan selama Saya bertugas menjalani
pendidikan di Rumah Sakit tersebut.
17. Direktur RSU Haji Medan; dan Kepala SMF Obstetri dan Ginekologi RSU
memberi kesempatan dan sarana serta bimbingan kepada Saya selama
bertugas di Rumah Sakit tersebut.
18. Direktur RSU Sundari Medan; dan Kepala SMF Obstetri dan Ginekologi
RSU Sundari Medan dr. H. M. Haidir, MHA, SpOG dan Ibu Sundari,
Am.Keb beserta staf yang telah memberi kesempatan dan bimbingan
selama Saya bertugas di Rumah Sakit tersebut.
19. Direktur RSUD Panyabungan drg. Bidasari; beserta seluruh staf yang
telah memberikan kesempatan untuk bekerja dan memberikan bantuan
moril selama Saya bertugas di Rumah Sakit tersebut.
20. Ketua Departemen Anestesiologi dan Reanimasi FK-USU Medan beserta
staf, atas kesempatan dan bimbingan yang telah diberikan selama Saya
bertugas di Departemen tersebut.
21. Ketua Departemen Patologi Anatomi FK-USU Medan beserta staf, atas
kesempatan dan bimbingan yang telah diberikan selama Saya bertugas di
Departemen tersebut.
22. Kepada Klinik Halim Fertility Centre Medan beserta seluruh staf yang
telah membantu saya dalam menyelesaikan penelitian ini.
23. Kepada dr. Zulfikar Lubis, SpPK(K) dan Laboratorium Klinik Thamrin
beserta staf yang telah membantu saya dalam menyelesaikan penelitian
ini.
24. Kepada senior-senior saya dr. Ilham Sejahtera L, SpOG; dr. Anggia
Melanie L, SpOG; dr. Gorga W.Udjung, SpOG; dr. Siti S.Silvia, SpOG; dr.
SpOG; dr. M.Ikhwan, SpOG; dr. Edward Muldjadi, SpOG; dr. Ari
Abdurrahman Lubis, SpOG; dr. Zilliyadein R, SpOG; dr. Beni J, SpOG;
dr. M. Rizki Yaznil, M.Ked(OG), SpOG; dr. Yuri Andriansah, SpOG; dr.T.
Jeffrey A, SpOG; dr. Made S. Kumara, SpOG; dr. Sri Jauharah L, SpOG;
dr. M. Jusuf Rachmatsyah, M.Ked(OG), SpOG; dr. Boy P.Siregar, SpOG;
dr. Firman Alamsyah, SpOG; dr. Aidil A, SpOG; dr. Rizka H, SpOG; dr.
Hatsari, SpOG; dr. Andri P. Aswar, SpOG; dr. Alfian ZS, SpOG; dr. Errol
Hamzah, SpOG; dr. T.Johan A, M.Ked(OG), SpOG; dr. Tigor PH,
M.Ked(OG), SpOG; dr. Hendry Adi S, M.Ked(OG), SpOG; dr. Heika NS,
M.Ked(OG), SpOG; dr. Riske EP, M.Ked (OG), SpOG; dr. Ali Akbar,
M.Ked(OG), SpOG; dr. Arjuna S, M.Ked(OG), SpOG; dr. Janwar S,
M.Ked(OG), SpOG; dr. Irwansyah Putra, M.Ked(OG), SpOG; dr. Ulfah
WK, M.Ked(OG), SpOG; dr. Ismail Usman, M.Ked(OG), SpOG; dr. Aries
M; dr. Hendri Ginting, M.Ked(OG), SpOG; dr. Robby Pakpahan,
M.ked(OG); dr. Meity E, M.Ked(OG), SpOG; dr. M. Yusuf, M.Ked(OG),
SpOG; dr.Dany Aryani, M.Ked(OG), SpOG; dr. Fatin Atifa, M.Ked(OG),
SpOG; dr. Pantas, M.Ked(OG); dr. Morel, M.Ked(OG), SpOG; dr. Sri
Damayana, M.Ked(OG), SpOG; dr. Eka Handayani, M.Ked(OG), SpOG;
dr. Liza M, M.Ked(OG); dr. M. Rizky P Lubis, M.Ked(OG); dr. M.Arief,
M.ked(OG),SpOG; dr. Ferdiansyah PH, M.Ked(OG), SpOG; dr. Yudha S,
M.Ked(OG), SpOG; dr. Henry Gunawan, M.ked(OG); dr. Ika S, dr. Edy
Rizaldi, M.ked(OG); dr. Hotbin Purba, M.Ked(OG); dr. Edward Manurung,
Wahyu, M.Ked(OG), SpOG; dr. Ray C Barus, M.Ked(OG), SpOG; dr.
Julita AL, M.Ked(OG),SpOG; dr. Kiko M, M.Ked(OG),SpOG; dr. Hiro,
M.Ked(OG), SpOG; dr. Ivo, M.Ked(OG), SpOG; dr. Anindita N,
M.Ked(OG), SpOG; dr. A. Rohim, M.Ked(OG), SpOG; dr. Rizal S,
M.Ked(OG); dr. Fifianty PA; dr. Ricca P.Rahim, M.Ked(OG); dr. Erwin S,
Saya berterima kasih atas segala bimbingan dan dukungan selama ini.
25. Kepada teman-teman seangkatan Saya : dr. M.Dezarino, M.Ked(OG),
SpOG; dr. Rahmanita Sinaga, M.Ked(OG); dr. Masithah T; dr. Ninong
AP; dr. Dona W; dr. M.Faisal Fahmi, M.Ked(OG); dr. Hendrik Tarigan;
dr. Renny A, M.Ked(OG), SpOG; dr. Afriza P; dr. Chandran FS; dr. Alfred
HS; terima kasih untuk kebersamaan dan kerjasamanya selama
pendidikan hingga saat ini.
26. Seluruh PPDS yang pernah menjadi tim jaga saya dan dengan
kebersamaan yang indah, saling mendukung dan memberikan semangat
selama menempuh pendidikan ini, saya ucapkan terima kasih.
27. Seluruh rekan sejawat PPDS yang tidak dapat saya sebutkan satu
persatu, baik para senior maupun para adik angkatan. Terima kasih atas
kerjasama, bantuan, kebersamaan, dorongan semangat dan doa yang
telah diberikan.
28. Kepada almh. Ibu Hj. Asnawati Hsb, Ibu Hj. Sosmalawaty, Ibu Zubaedah,
Mimi, dan seluruh Pegawai di lingkungan Departemen Obstetri dan
Ginekologi RSUP H. Adam Malik Medan terima kasih atas bantuan dan
29. Seluruh pasien, rekan dokter muda, staf medis, paramedis maupun non
medis-paramedis pada seluruh instansi ditempat saya pernah mengikuti
pendidikan maupun bertugas. Terimakasih banyak atas segala
kerjasama, bantuan, bimbingan, serta kebaikan yang diberikan selama
masa pendidikan yang saya jalani.
30. Tiada kata yang dapat Saya ucapkan selain rasa syukur kepada ALLAH
SWT dan sembah sujud serta terima kasih yang tidak terhingga Saya
sampaikan kepada kedua orang tua Saya yang sangat Saya cintai,
Ayahanda dr. Azwan Hakmi Lubis, SpA, M.kes dan ibunda drg.
Asliany Siregar yang telah membesarkan, membimbing, mendoakan,
serta mendidik Saya dengan penuh kesabaran dan kasih sayang dari
sejak kecil hingga kini, memberi contoh yang baik dalam menjalani hidup
serta memberikan motivasi dan semangat kepada Saya selama
mengikuti pendidikan ini. Kepada saudara-saudara kandung Saya, drg.
Hilda Fitria Lubis, SpOrt; dr. Hilfan Ade Putra Lubis, SpJP dan Hilmi
Rizki Lubis, terima kasih atas bantuan, dorongan semangat dan doa
kepada Saya selama menjalani pendidikan.
31. Akhirnya kepada seluruh keluarga handai tolan yang tidak dapat Saya
sebutkan namanya satu persatu, baik secara langsung maupun tidak
langsung, yang telah banyak memberikan bantuan, baik moril maupun
materil, Saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Semoga
ALLAH SWT senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada
Medan, Juli 2014
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
DAFTAR SINGKATAN ... xvi
ABSTRAK ... xviii
ABSTRACT ... xix
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 4
1.3 Hiptesis Penelitian ... 4
1.4 Tujuan Penelitian ... 5
1.5 Manfaat Penelitian ... 6
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7
2.1. Definisi Sindroma Ovarium Polikistik ... 7
2.2. Etiologi Sindroma Ovarium Polikistik ... 7
2.3. Gambaran Klinis Sindroma Ovarium Polikistik ... 9
2.4. Resistensi Insulin pada Sindroma Ovarium Polikistik ... 13
Ovarium Polikistik ... 18
2.6. Risiko Kardiovaskular pada Sindroma Ovarium Polikistik ... 20
2.7. Fibrinogen ... 24
2.7.1. Fibrinogen Sebagai Faktor Hemostasis ... 29
2.7.2. Fibrinogen dan Sindroma Ovarium Polikistik ... 32
2.8. D-Dimer ... 35
2.9. Kerangka Teori ... 39
2.10. Kerangka Konsep ... 40
BAB III . METODE PENELITIAN ... 41
3.1. Rancangan Penelitian ... 41
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian ... 41
3.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 41
3.4. Kriteria Sampel Penelitian ... 44
3.5. Etika Penelitian ... 45
3.6. Bahan dan Cara Penelitian ... 46
3.7. Alur Penelitian ... 48
3.8. Variabel Penelitian ... 49
3.9. Batasan Operasional ... 49
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 52
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 68
5.1 Kesimpulan ... 68
5.2 Saran ... 70
DAFTAR PUSTAKA ... 71
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Ringkasan Etiologi dan Gambaran Klinis SOPK ... 8
Gambar 2.2 Skor Ferriman-Galwey yang dimodifikasi (mFG) untuk penilaian hirsutisme ... 11
Gambar 2.3 Gambaran ovarium polikistik pada ultrasonografi ... 12
Gambar 2.4 Mekanisme Resistensi Insulin... 15
Gambar 2.5 Hubungan Resistensi Insulin dengan
Hiperandrogenemia ... 16
Gambar 2.6 Diagram Skematik yang Menunjukkan Hubungan antara SOPK, Obesitas, dan Gambaran Kardiovaskular pada Wanita dengan SOPK ... 21
Gambar 2.7 Skema hipotesa pathogenesis penyakit kardiovaskular pada SOPK. Gambar ini meringkas jalur potensial dimana faktor risiko kardiovaskular dihubungkan dengan SOPK ... 22
Gambar 2.8 Pemecahan Thrombin dari Fibrinogen dan Polimerisasi Monomer Fibrin menjadi Fibrin. Suatu Skema Pemecahan Thrombin dari Fibrinogen, Diikuti oleh Polimerisasi Monomer Fibrin menjadi Bentuk Fibrin ... 28
Gambar 2.9 Bekuan Darah Fibrin ... 29
Gambar 2.10 Alur Koagulasi dan Fibrinolisis Normal ... 31
Gambar 2.11 Hubungan dan Interaksi antara Fungsi Endotel, Aktivasi Platelet dan Agregasi, Inflamasi, Koagulasi, dan Fibrinolisis pada SOPK ... 34
Gambar 4.1 Diagram Box Plot Kadar Fibrinogen Kelompok SOPK dan Kontrol ... 57
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2,1 Definisi dari sindroma ovarium polikistik menurut beberapa konsensus. ESHRE, ASRM, NIH, AE & PCOS Society ... 9
Tabel 2.2 Faktor fisiologis, Patologis, dan Gaya hidup yang
mempengaruhi kadar fibrinogen ... 25
Tabel 2.3 Kegunaan Klinis Pemeriksaan Fibrinogen ... 27
Tabel 2.4 Daftar faktor-faktor pembekuan darah yang dinyatakan dalam angka Romawi, serta sinonim dan beberapa sifat-sifatnya ... ... 32 Tabel 4.1 Tabel Distribusi Responden ... 52
Tabel 4.2 Tabel Karakteristik Responden ... 55
Tabel 4.3 Kadar Fibrinogen Pada Penderita Sindroma Ovarium Polikistik (SOPK) dan Kontrol ... 56
Tabel 4.4 Kadar D-dimer Pada Penderita Sindroma Ovarium Polikistik (SOPK) dan Kontrol ... 60
Tabel 4.5 Perbandingan Rerata Kadar Fibrinogen Penderita Sindroma Ovarium Polikistik (SOPK) dan Kontrol Berdasarkan Kelompok IMT ... 62
Tabel 4.6 Perbandingan Rerata Kadar D-dimer Penderita Sindroma Ovarium Polikistik (SOPK) dan Kontrol Berdasarkan Kelompok IMT ... 64
Tabel 4.7 Perbandingan Rerata Kadar Fibrinogen Penderita Sindroma Ovarium Polikistik (SOPK) dan Kontrol Berdasarkan Usia ...
... 64
... 65
Tabel 4.9 Perbandingan Rerata Kadar Fibrinogen Pada Penderita Sindroma Ovarium Polikistik (SOPK) Berdasarkan Resistensi Insulin ... 66
Tabel 4.10 Perbandingan Rerata Kadar D-dimer Pada Penderita
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Ethical Clearance
Lampiran 2. Lembar Penjelasan Kepada Calon Subyek Penelitian
Lampiran 3. Lembaran Persetujuan Setelah Penjelasan Subjek
Penelitian
Lampiran 4. Lembaran Formulir Penelitian
Lampiran 5. Analisa Statistik
DAFTAR SINGKATAN
SOPK : Sindroma Ovarium Polikistik
PAI-Fx : Plasminogen Activator Inhibitor Activity
DHEAS : Dehydroepiandrosterone Sulfate
GFC : Global Fibrinolytic Capacity
PAI-1 : Plasminogen Activator Inhibitor-1
IMT : Indeks Massa Tubuh
DM : Diabetes Mellitus
CYP11a : Cytochrome P450, family 11, subfamily A
AES : Androgen Excess Society
ESHRE : European Society of Human Reproduction and Embriology
ASRM : American Society of Reproductive Medicine
NIH : National Institutes of Health
AE & PCOS Society : Androgen Excess Society & Polycystic Ovarian
Syndrome Society
FSH : Folicle Stimulating Hormone
E2 : Estradiol
WHO : World Health Organization
mFG : Modification Ferriman-Galwey
FAI : Free Androgen Index
DHT : Dihydrotestosterone
SHBG : Sex Hormone Binding Globulin
IGF-1 : Insulin Growth factor-1
MTFHR : Methylene Tetrahydrofolate Reductase
IVF : In Vitro Fertilization
APCR : Activated Protein C Resistance
PCO : Polycystic Ovary
PT : Prothrombin Time
APTT : Activated Partial Thromboplastin Time
HMWK : High Molecular Weight Kininogen
CIMT : Carotid Intima-Media Thickness
IL-6 : Interleukin 6
CRP : C-Reactive Protein
t-PA : Tissue Plasminogen Activator
FDP : Fibrin Degradation Products
DIC : Disseminated Intravascular Coagulation
DVT : Deep Vein Thrombosis
PE : Pulmonary Embolism
VT : Venous Thrombosis
AT : Arterial Thrombosis
u-PA : Urokinase Plasminogen Activator
ELISA : Enzyme Linked Immunosorbent Assay
HOMA-IR :Homeostatic model assessment of insulin resistance
KADAR FIBRINOGEN DAN D-DIMER PADA WANITA DENGAN SINDROMA OVARIUM POLIKISTIK
Hilma Putri Lubis
Delfi Lutan, Makmur Sitepu, Henry Salim Siregar , Binarwan Halim, Yostoto B Kaban,
Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Medan, Indonesia, Juli, 2014
ABSTRAK
LATAR BELAKANG : Sindroma ovarium polikistik ( SOPK ) adalah disfungsi
ovarium dengan ciri utama morfologi ovarium yang polikistik serta keadaan hiperandrogenisme. Fibrinogen dan D-dimer merupakan salah satu faktor hemostatik. Fibrinogen dianggap sebagai faktor risiko independen untuk penyakit kardiovaskular. D-dimer, produk akhir fibrin degradation products oleh aktivitas kerja plasmin dalam sistem fibrinolitik juga berpengaruh pada terjadinya risiko kardiovaskular dan keguguran terutama pada penderita SOPK.
TUJUAN : Mengetahui perbedaan kadar fibrinogen dan D-dimer pada wanita
penderita SOPK dibandingkan dengan wanita tanpa SOPK.
METODE : Penelitian analitik komparatif dengan rancangan studi potong lintang
(cross sectional). Populasi pada penelitian ini adalah wanita penderita sindroma ovarium polikistik di RSUP.H.Adam Malik, RS jejaring FK USU, Klinik Halim Fertility Center dan klinik swasta lain di Medan. Sampel penelitian adalah bagian dari populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang diambil secara
consecutive sampling.
HASIL : Dari 60 orang subjek penelitian, yang terbagi secara rata menjadi 2
kelompok, penderita SOPK dan kelompok kontrol yang bukan penderita SOPK, didapatkan rerata kadar fibrinogen penderita SOPK (289,1) sedikit lebih rendah daripada kontrol (301,9) dengan nilai p=0,430. Rerata kadar D-Dimer penderita SOPK lebih rendah (148,6) daripada kontrol (193,3) dengan nilai p =0,041.
KESIMPULAN : Dari hasil penelitian, tidak didapati perbedaan bermakna antara
kadar fibrinogen penderita SOPK dengan kontrol (p>0,05). Rerata kadar D-dimer penderita SOPK lebih rendah secara bermakna dibandingkan kontrol (p<0,05).
FIBRINOGEN AND D-DIMER LEVEL IN WOMAN WITH
POLYCYSTIC OVARIAN SYNDROME
Hilma Putri Lubis
Delfi Lutan, Makmur Sitepu, Henry Salim Siregar , Binarwan Halim, Yostoto B Kaban,
Obstetric and Gynecology Department Medical Faculty University of Sumatera Utara
Medan, Indonesian, July, 2014
ABSTRACT
BACKGROUND : Polycystic Ovarian Syndrome (PCOS) is a dysfunction of
ovarium with polycystic ovarian morphology and hiperandrogenism state. Fibrinogen dan D-dimer are hemostatic factors. Fibrinogen considered as an independent risk factor for cardiovascular disease. D-dimer, final product of cross-linked fibrin degeneration by plasmin in fibrinolytic system, also contributes to cardiovascular and miscarriage risk especially in PCOS patient.
OBJECTIVE : To find the difference of fibrinogen and D-dimer level between
women with PCOS and without PCOS.
METHODS : Comparative analytic study with cross sectional design. This study
population are women with PCOS in RSUP.H.Adam Malik, FK USU satellite hospitals, Klinik Halim Fertility Center and other private clinic in Medan. Study samples are part of population which fulfilled the inclusion and exclusion criteria and collected with consecutive sampling.
RESULTS : From 60 study subjects, which divided equally into 2 groups, with
PCOS and without PCOS, mean level of fibrinogen in women with PCOS ((289,1) is slightly lower than women without PCOS (301,9) with p-value=0,430. Mean level of D-Dimer in women with PCOS is lower (148,6) than control (193,3) with p-value=0,041
CONCLUSION : From the study, no significant difference found in the level of
fibrinogen between women with PCOS and control group (p>0,05). Mean level of D-dimer in women with PCOS is significantly lower than control (p<0,05).
KADAR FIBRINOGEN DAN D-DIMER PADA WANITA DENGAN SINDROMA OVARIUM POLIKISTIK
Hilma Putri Lubis
Delfi Lutan, Makmur Sitepu, Henry Salim Siregar , Binarwan Halim, Yostoto B Kaban,
Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Medan, Indonesia, Juli, 2014
ABSTRAK
LATAR BELAKANG : Sindroma ovarium polikistik ( SOPK ) adalah disfungsi
ovarium dengan ciri utama morfologi ovarium yang polikistik serta keadaan hiperandrogenisme. Fibrinogen dan D-dimer merupakan salah satu faktor hemostatik. Fibrinogen dianggap sebagai faktor risiko independen untuk penyakit kardiovaskular. D-dimer, produk akhir fibrin degradation products oleh aktivitas kerja plasmin dalam sistem fibrinolitik juga berpengaruh pada terjadinya risiko kardiovaskular dan keguguran terutama pada penderita SOPK.
TUJUAN : Mengetahui perbedaan kadar fibrinogen dan D-dimer pada wanita
penderita SOPK dibandingkan dengan wanita tanpa SOPK.
METODE : Penelitian analitik komparatif dengan rancangan studi potong lintang
(cross sectional). Populasi pada penelitian ini adalah wanita penderita sindroma ovarium polikistik di RSUP.H.Adam Malik, RS jejaring FK USU, Klinik Halim Fertility Center dan klinik swasta lain di Medan. Sampel penelitian adalah bagian dari populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang diambil secara
consecutive sampling.
HASIL : Dari 60 orang subjek penelitian, yang terbagi secara rata menjadi 2
kelompok, penderita SOPK dan kelompok kontrol yang bukan penderita SOPK, didapatkan rerata kadar fibrinogen penderita SOPK (289,1) sedikit lebih rendah daripada kontrol (301,9) dengan nilai p=0,430. Rerata kadar D-Dimer penderita SOPK lebih rendah (148,6) daripada kontrol (193,3) dengan nilai p =0,041.
KESIMPULAN : Dari hasil penelitian, tidak didapati perbedaan bermakna antara
kadar fibrinogen penderita SOPK dengan kontrol (p>0,05). Rerata kadar D-dimer penderita SOPK lebih rendah secara bermakna dibandingkan kontrol (p<0,05).
FIBRINOGEN AND D-DIMER LEVEL IN WOMAN WITH
POLYCYSTIC OVARIAN SYNDROME
Hilma Putri Lubis
Delfi Lutan, Makmur Sitepu, Henry Salim Siregar , Binarwan Halim, Yostoto B Kaban,
Obstetric and Gynecology Department Medical Faculty University of Sumatera Utara
Medan, Indonesian, July, 2014
ABSTRACT
BACKGROUND : Polycystic Ovarian Syndrome (PCOS) is a dysfunction of
ovarium with polycystic ovarian morphology and hiperandrogenism state. Fibrinogen dan D-dimer are hemostatic factors. Fibrinogen considered as an independent risk factor for cardiovascular disease. D-dimer, final product of cross-linked fibrin degeneration by plasmin in fibrinolytic system, also contributes to cardiovascular and miscarriage risk especially in PCOS patient.
OBJECTIVE : To find the difference of fibrinogen and D-dimer level between
women with PCOS and without PCOS.
METHODS : Comparative analytic study with cross sectional design. This study
population are women with PCOS in RSUP.H.Adam Malik, FK USU satellite hospitals, Klinik Halim Fertility Center and other private clinic in Medan. Study samples are part of population which fulfilled the inclusion and exclusion criteria and collected with consecutive sampling.
RESULTS : From 60 study subjects, which divided equally into 2 groups, with
PCOS and without PCOS, mean level of fibrinogen in women with PCOS ((289,1) is slightly lower than women without PCOS (301,9) with p-value=0,430. Mean level of D-Dimer in women with PCOS is lower (148,6) than control (193,3) with p-value=0,041
CONCLUSION : From the study, no significant difference found in the level of
fibrinogen between women with PCOS and control group (p>0,05). Mean level of D-dimer in women with PCOS is significantly lower than control (p<0,05).
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Sindroma ovarium polikistik (SOPK) merupakan masalah
endokrinologi reproduktif yang sering terjadi dan sampai saat ini masih
menjadi kontroversi. Sindroma ovarium polikistik menyebabkan 5%-10%
wanita usia reproduksi menjadi infertil. 1 Sindroma ovarium polikistik ( SOPK )
adalah suatu disfungsi ovarium dengan ciri utama morfologi ovarium yang
polikistik serta keadaan hiperandrogenisme, sementara manifestasi klinisnya
dapat berupa haid yang tidak teratur, tanda - tanda kelebihan kadar hormon
androgen serta obesitas. Saat ini SOPK telah melewati gambaran yang lebih
luas dari sekedar tanda dan gejala gangguan fungsi ovarium.2 Wanita
dengan SOPK cenderung mengalami gangguan ovulasi sehingga cenderung
infertil. Selain itu, dari kepustakaan dijelaskan bahwa wanita dengan SOPK
cenderung mengalami risiko peningkatan keguguran dibandingkan dengan
kehamilan normal. Salah satu teori yang berhubungan dengan terjadinya
keguguran pada SOPK adalah gangguan pembekuan darah dimana
mekanisme patofisiologinya adalah melalui hiperkoagulasi dengan disertai
keadaan hipofibrinolisis yang dapat mengakibatkan terjadinya insufiensi
aliran darah menuju plasenta yang berakhir dengan kematian janin.3,4
Penelitian oleh Glueck dkk di Ohio menunjukkan bahwa wanita
yang tinggi yaitu 44%. Beberapa penyebab yang diduga termasuk
hipofibrinolisis dengan peningkatan PAI-Fx, peningkatan testosterone,
androstenedione, atau DHEAS, dan kadar progesterone yang rendah.3
Selain itu, wanita dengan sindroma ovarium polikistik (SOPK) juga
cenderung berkembang menjadi resistensi insulin dengan kompensasi
hiperinsulinemia, dislipidemia, hipertensi, dan obesitas-semua komponen
sindroma metabolik yang meningkatkan risiko diabetes tipe 2 dan kejadian
kardiovaskular. Faktor lain, seperti supresi fibrinolisis, hal ini juga
berkontribusi untuk meningkatkan risiko infark miokard. Bagaimanapun, pada
SOPK, walaupun diasumsikan bahwa gangguan sistem hemostasis dan
koagulasi menyebabkan peningkatan risiko kejadian kardiovaskular, bukti
pada literatur masih diperdebatkan dan berdasarkan dari beberapa studi,
dengan beberapa pertanyaan yang perlu dijawab, khususnya berhubungan
dengan patogenesis dan faktor risiko. Studi juga menjelaskan mengenai
suatu proinflamasi dan prothrombotik, khususnya pada adanya sindrom
metabolik.5
Gangguan koagulasi dan fibrinolisis juga dapat berperan menjadi
penyakit jantung. Beberapa penelitian dari wanita dengan SOPK telah
menunjukkan disregulasi sistem hemostatik. Beberapa hasil menunjukkan
suatu keadaan protrombotik, termasuk hifofibrinolisis, hiperkoagulabilitas,
dan disfungsi endotel dan trombosit. Penelitian sebelumnya fokus pada
sejumlah kecil komponen alur koagulasi dan fibrinolisis. Selain itu, hal ini
dengan obesitas. Mekanisme gangguan potensial sistem hemostatis pada
wanita dengan SOPK masih belum diketahui. Ada bukti bahwa tingkat
plasma dari beberapa faktor hemostatik dimodulasi oleh hiperglikemia,
resistensi insulin dengan kompensasi hiperinsulinemia, agen proinflamasi,
dan dislipidemia, semuanya merupakan tipe pada SOPK.5,6
Bulent dkk, di Turki, mendapatkan bahwa GFC (Global Fibrinolytic
Capacity) secara signifikan lebih rendah pada kelompok SOPK,
dibandingkan dengan kelompok kontrol (2,49±1,6 vs.5,95 ± 2,43 µg/ml).
Pada penelitian ini juga didapatkan bahwa wanita dengan SOPK memiliki
gangguan fibrinolisis, sesuai dengan penurunan GFC.7
Louise dkk, di Swedia, mendapatkan bahwa kadar fibrinogen dan
aktivitas plasminogen activator inhibitor (PAI-1) lebih tinggi pada wanita dengan SOPK daripada kontrol, dimana SOPK dikarakteristikkan dengan
adanya keadaan protrombotik.5
Fibrinogen dan D-dimer merupakan salah satu faktor hemostatik.
Fibrinogen juga dianggap sebagai faktor risiko independen untuk penyakit
kardiovaskular.8,9 Selain itu, D-dimer yang merupakan produk akhir
degenerasi cross-linked fibrin oleh aktivitas kerja plasmin dalam sistem fibrinolitik juga berpengaruh pada terjadinya risiko kardiovaskular dan
keguguran terutama pada penderita SOPK. 9
Oleh karena itu, adanya risiko keguguran dan risiko penyakit
dengan aktivitas koagulasi yang dapat dinilai dari kadar fibrinogen dan
D-dimer.
1.2. RUMUSAN MASALAH
Dugaan peningkatan rerata kadar fibrinogen dan D-dimer pada
penderita sindroma ovarium polikistik menandakan adanya peningkatan
risiko jangka panjang kejadian penyakit kardiovaskular dan risiko keguguran
melalui peningkatan aktivitas koagulasi. Berdasarkan latar belakang
penelitian, memunculkan pertanyaan, bagaimana rerata kadar fibrinogen dan
D-dimer pada wanita dengan sindroma ovarium polikistik dibandingkan
dengan wanita tanpa sindroma ovarium polikistik? Sehingga perlu dilakukan
penelitian kadar fibrinogen dan D-dimer pada penderita dengan sindroma
ovarium polikistik, dimana penelitian tersebut belum pernah dilakukan di
Sumatera Utara dan Indonesia sebelumnya.
1.3. HIPOTESIS
1. Rerata kadar fibrinogen berbeda pada wanita dengan sindroma
ovarium polikistik dibandingkan dengan wanita tanpa sindroma
ovarium polikistik.
2. Rerata kadar D-dimer berbeda pada wanita dengan sindroma ovarium
polikistik dibandingkan dengan wanita tanpa sindroma ovarium
1.4. TUJUAN PENELITIAN
1.4.1. TUJUAN UMUM
1. Untuk mengetahui rerata kadar fibrinogen dan D-dimer pada wanita
penderita sindroma ovarium polikistik.
1.4.2. TUJUAN KHUSUS
1. Untuk mengetahui karakteristik wanita penderita sindroma ovarium
polikistik dan wanita tanpa sindroma ovarium polikistik berdasarkan
umur, indeks massa tubuh (IMT) , fenotip SOPK dan resistensi insulin.
2. Untuk mengetahui perbedaan kadar fibrinogen pada wanita penderita
sindroma ovarium polikistik dibandingkan dengan wanita tanpa
sindroma ovarium polikistik.
3. Untuk mengetahui perbedaan kadar D-dimer pada wanita penderita
sindroma ovarium polikistik dibandingkan dengan wanita tanpa
sindroma ovarium polikistik.
4. Untuk mengetahui perbandingan kadar fibrinogen berdasarkan
kelompok indeks massa tubuh antara wanita penderita sindroma
ovarium polikistik dibandingkan dengan wanita tanpa sindroma
ovarium polikistik.
5. Untuk mengetahui perbandingan kadar D-dimer berdasarkan
kelompok indeks massa tubuh antara wanita penderita sindroma
ovarium polikistik dibandingkan dengan wanita tanpa sindroma
6. Untuk mengetahui perbandingan kadar fibrinogen berdasarkan
kelompok umur antara wanita penderita sindroma ovarium polikistik
dibandingkan dengan wanita tanpa sindroma ovarium polikistik.
7. Untuk mengetahui perbandingan kadar D-dimer berdasarkan
kelompok umur antara wanita penderita sindroma ovarium polikistik
dibandingkan dengan wanita tanpa sindroma ovarium polikistik.
8. Untuk mengetahui rerata kadar fibrinogen pada wanita penderita
sindroma ovarium polikistik berdasarkan resistensi insulin.
9. Untuk mengetahui rerata kadar D-dimer pada wanita penderita
sindroma ovarium polikistik berdasarkan resistensi insulin.
1.5. MANFAAT PENELITIAN
1. Dari hasil penelitian diharapkan dapat diketahui perbedaan rerata
kadar fibrinogen dan D-dimer pada wanita penderita sindroma ovarium
polikistik dibandingkan dengan wanita tanpa sindroma ovarium
polikistik. Sehingga dapat mengarahkan klinisi dalam melakukan
manajemen terhadap penderita sindroma ovarium polikistik mengenai
perlunya pemberian antikoagulan.
2. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi data dasar untuk penelitian
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINISI SINDROMA OVARIUM POLIKISTIK
SOPK adalah suatu sindroma, kumpulan dari gejala disfungsi ovarium,
dengan tampilan utama hiperandrogenisme dan morfologi ovarium yang
polikistik. manifestasi klinis dari kelainan ini dapat berupa : menstruasi yang
ireguler, tanda -tanda kelebihan kadar androgen beserta obesitas, dan
dihubungkan dengan DM tipe 2.10,11,12
Sejak pengamatan awal oleh Stein dan Leventhal pada tahun 1935,
ternyata sindroma ovarium polikistik (SOPK), telah berkembang menjadi
suatu endokrinopati multisistim. Jika melihat dari gejala dan tandanya, yaitu
hirsutisme, infertilitas pada wanita dengan siklus anovulatorik dan gangguan
menstruasi, maka SOPK merupakan suatu gangguan endokrin yang paling
banyak dijumpai pada wanita terutama usia subur.10,11
2.2. ETIOLOGI SINDROMA OVARIUM POLIKISTIK
Etiologi dari SOPK sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. dasar
genetik dan multifaktor diduga sebagai penyebab kelainan ini. Model pasti
hubungan genetik atau familial dari SOPK masih belum jelas. SOPK
diketahui sebagai kelainan yang bersifat familial yang mana saudara
kandung penderita SOPK mempunyai risiko mengalami kelainan ini sebesar
antara saudara kandung, dan 24% - 52% antara ibu dengan anak. Penelitian
klinis dan in vitro sel teka ovarium menemukan disregulasi gen CYP11a pada
pasien dengan SOPK. Gen ini mengkode enzim yang membelah rantai sisi
struktur bangun kolesterol, yaitu enzim yang berperan dalam biosintesis
hormon steroid. Data-data biokimiawi mengimplikasikan bahwa penyebab
dasar kelainan biosintesis androgen dan atau gangguan metabolismenya
sebagai etiologi dari SOPK.10,13
Patofisiologi yang pasti dari SOPK adalah kompleks dan kebanyakan
masih tidak jelas, akan tetapi suatu ketidakseimbangan hormonal yang
mendasarinya yang diakibatkan oleh kombinasi peningkatan androgen
dan/atau insulin. Faktor genetik dan lingkungan terhadap gangguan
hormonal bergabung dengan faktor-faktor lain termasuk obesitas, disfungsi
ovarium, dan abnormalitas hipofisis berkontribusi terhadap etiologi SOPK.14
2.3. GAMBARAN KLINIS SINDROMA OVARIUM POLIKISTIK
Menurut kriteria Rotterdam 2003, sebagai standar baku emas
diagnosis SOPK, 2 dari 3 hal berikut ini harus terpenuhi untuk menegakkan
diagnosis SOPK : 1)Oligo/anovulasi yang secara klinis didiagnosis sebagai
oligo/amenore (siklus menstruasi > 35 hari dan atau < 10 x dalam setahun);
2)Hiperandrogenisme baik secara klinis maupun biokimiawi serta 3)
Morfologi ovarium yang polikistik (≥ 12 folikel pada masing-masing ovarium dengan ukuran diameter tiap folikel 2 – 9 mm dan atau volume ovarium > 10
ml. Satu ovarium yang polikistik mencukupi dalam penegakan diagnosis).
Pada tahun 2006, Androgen Excess Society ( AES ) dan SOPK Society membentuk satuan kerja yang juga mengeluarkan definisi dari SOPK akan
tetapi secara umum kriteria dari ketiganya mempunyai kemiripan, dengan
kriteria Rotterdam 2003 sebagai standar baku emas saat ini.10,17,18
Tabel 2.1. Definisi dari sindroma ovarium polikistik menurut beberapa
NIH (1990)
Harus mencakup kedua kriteria dibawah ini :
1. Oligo-ovulasi
2.Hiperandrogenism
ESHRE / ASRM, Rotterdam (2003)
Mencakup setidaknya 2 dari 3 kriteria dibawah ini :
1. Oligo atau anovulasi
2. Gejala klinis dan atau laboratoris kelebihan androgen
3. Ovarium yang polikistik
(dengan mengenyampingkan kelainan lain yang terkait )
AE &PCOS Society (2009)
Harus mencakup kriteria dibawah ini
1.Hiperandrogenisme (hirsutisme dan atau hiperandrogenemia )
2.Disfungsi ovarium ( oligo ovulasi dan atau ovarium polikistik )
3.Dengan mengenyampingkan kelainan lain yang terkait
1. Oligoovulasi atau anovulasi
Siklus menstruasi normal mencerminkan fungsi ovulasi yang normal.
Sekitar 60-85% pasien SOPK memiliki gangguan menstruasi dan jenis
yang paling sering adalah oligomenore dan amenore. Pemeriksaan awal
pada perempuan dengan gejala ini adalah kadar FSH dan E2 serum untuk
mengeksklusi hipogonadisme hipogonadotropik (gangguan sentral) dan
premature ovarian failure. SOPK termasuk pada kategori anovulasi normogonadotropik normoestrogenik (kelas 2 WHO). Meskipun demikian,
kadar LH serum pasien SOPK seringkali meningkat.2,19,20
2. Hiperandrogenisme
Hiperandrogenisme pada Kriteria Rotterdam 2003 mencakup tanda-tanda
a) Hiperandrogenisme klinis
Mencakup hirsutisme, akne, alopesia androgenic, dan tanda-tanda
lainnya. Hirsutisme adalah tanda kelebihan androgen yang paling jelas
dan merupakan gejala yang penting pada SOPK. Penilaian hirsutisme
dilakukan dengan menggunakan skor Ferriman-Galwey yang dimodifikasi.2,19,20,21,22
Gambar 2.2. Skor Ferriman-Galwey yang dimodifikasi (mFG) untuk penilaian hirsutisme. Setiap area diberikan skor 0-4 dan penilaian 9 area
tersebut dijumlahkan. Skor≤15:hirsutis me ringan, skor 16-25: hirsutisme sedang, dan skor≥25: hirsutisme berat.21
b) Hiperandrogenisme biokimiawi
Tanda biokimiawi hiperandrogenisme adalah peningkatan androgen di
sirkulasi. Androgen yang terpenting yang biasanya digunakan untuk
androstenedion, DHEA, dan DHEA-S. Di antara androgen tersebut, yang
lebih sensitive untuk mendiagnosis hiperandrogenisme adalah
testosterone bebas (free T) atau free androgen index (FAI). Pemeriksaan
total T tidak sensitive untuk menilai kelebihan androgen karena sebagian
T akan diubah menjadi DHT yang lebih poten.2,19,20
3. Gambaran ovarium polikistik
Definisi gambaran ovarium polikistik criteria Rotterdam 2003 adalah
adanya 12 folikel atau lebih yang memiliki diameter 2-9 mm pada
masing-masing ovarium dan/atau peningkatan volum ovarium (>10mL). distribusi
folikel dan peningkatan ekogenitas stroma tidak termasuk dalam criteria
penilaian ini.2,19,20
Gambar 2.3. Gambaran Ovarium Polikistik pada ultrasonografi.19
Dewaily dkk (2010) menemukan bahwa gambaran ovarium polikistik
sendiri merupakan tanda dari hiperandrogenisme. Selain itu, ditemukan
bahwa kadar AMH serum juga berhubungan dengan jumlah folikel dan
secara tidak langsung juga merupakan tanda dari hiperandrogenisme.
mendiagnosis SOPK, awalnya harus ditemukan oligo-ovulasi dan
hiperandrogenisme.19,20
Wijeyaratne et al menyatakan bahwa Prevalensi SOPK pada ras
kaukasia, kulit hitam, dan hispanik di AS berturut-turut adalah 3,4% ; 4,7%;
dan 13%. Sementara di benua Asia, prevalensi dijumpai sebesar 2% di Cina,
dan 6,3% di Asia selatan. Variasi etnis berhubungan dengan prevalensi
SOPK, terutama terkait keadaan hiperandrogenisme dan resistensi insulin.
Kemungkinan hubungan SOPK dengan variasi etnis adalah karena pengaruh
genetika dengan etnis-etnis tertentu yang mempunyai kecenderungan
gangguan metabolisme dan obesitas, yang mana hal tersebut kebanyakan
dipengaruhi lingkungan dan budaya.23
2.4. RESISTENSI INSULIN PADA SINDROMA OVARIUM POLIKISTIK
Awalnya pada tahun 1921, Achard dan Thiers menemukan adanya
diabetes pada wanita yang berjenggot atau berkumis, mereka menyebutnya
sebagai "diabetes in bearded women" yang kemudian dikenal sebagai
Achard and Thiers syndrome. Pada tahun 1980, Burghen et al melaporkan
bahwa perempuan dengan gangguan hiperandrogenisme dan SOPK
mempunyai kadar insulin basal dan insulin setelah stimulasi glukosa yang
lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol yang mempunyai berat badan
sama. Saat ini diketahui bahwa wanita dengan SOPK menunjukkan derajat
resistensi insulin yang lebih parah serta hiperinsulinemia yang terkompensasi
sebagai ketidakmampuan insulin untuk menjalankan fungsi fisiologisnya.
Manifestasinya bisa bersifat perifer (pada jaringan) atau sentral (pada liver)
akibat berkurangnya kemampuan insulin untuk menurunkan kadar glukosa
plasma. Resistensi insulin menyebabkan hiperinsulinemia yang akan
menyebabkan metabolisme androgen yang abnormal, mengganggu
pertumbuhan folikel dan merubah respons gonadotropin.25 Prevalensi
resistensi insulin pada wanita dengan SOPK diperkirakan antara 50% dan
75%, dan lebih banyak pada penderita SOPK yang obese dibandingkan
dengan normal.19 Di Jakarta, Wiweko dan Mulya mendapatkan 75% wanita
dengan SOPK mengalami resistensi insulin, sementara di Medan, Setiawan
mendapatkan proporsi pasien SOPK dengan resistensi insulin sebesar
17,1%.25,26
Dunaif menyatakan bahwa mekanisme berkurangnya sensitivitas insulin
ini disebabkan oleh abnormalitas setelah terjadinya ikatan insulin terhadap
reseptornya pada saat transduksi reseptor insulin. Wanita dengan SOPK,
baik yang kurus maupun obesitas, dijumpai lebih resisten terhadap insulin
Gambar 2.4. Mekanisme resistensi insulin19.
Dalam fibroblast, otot, dan adiposit 50% pasien SOPK ada penurunan
autofosforilasi residu tirosin dari reseptor insulin dan peningkatan fosforilasi
residu serin dari reseptor insulin. Fosforilasi residu serin atau treonin dari
reseptor insulin akan menurunkan transduksi signal, dan ini menjadi
Gambar 2.5.Hubungan Resistensi insulin dengan hiperandrogenemia19
Selain mekanisme di atas resistensi insulin juga mengakibatkan
peningkatan androgen pada pasien SOPK dimana peningkatan androgen ini
akan mengakibatkan perubahan profil lipid dengan patofisiologi yang telah
dijelaskan di atas. Ada beberapa mekanisme mengapa resistensi insulin
menyebabkan androgenemia yaitu: hiperinsulinemia kompensasi akibat
resistensi insulin akan menurunkan sintesis hepatik SHBG sehingga
androgen bebas meningkat dalam darah; insulin yang berlebihan dapat
berikatan dengan reseptor IGF-1 dalam ovarium, menyebabkan peningkatan
adrenal dan ovarium pada pasien SOPK meningkatkan aktifitas enzim 17,20
lyase yang akan memproduksi hiperandrogenisme.27
Berbagai cara telah dipakai untuk menilai keadaan resistensi insulin
antara lain uji toleransi glukosa oral (UTGO), uji toleransi insulin, infus
glukosa secara berkesinambungan, klem euglikemik.19,25 Selain itu, rasio
glukosa puasa dan insulin puasa (G:I ratio) telah digunakan secara luas
sebagai indeks sensitivitas insulin pada wanita SOPK dimana rasio kurang
dari 4,5 memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang sesuai untuk resistensi
insulin. Homeostatic model assessment of insulin resistance (HOMA-IR) merupakan pengukuran lain sensitivitas insulin yang umum digunakan pada
studi epidemiologi yang besar. HOMA-IR dihitung dengan membagi kadar
glukosa puasa (mg/dl) dan insulin (µU/mL) dengan konstanta: [glukosa
(mg/dl)] [insulin (µU/mL)] /405, atau [glukosa (mmol/L)][insulin (µU/mL)] /22,5.
Resistensi insulin pada pengukuran dengan HOMA-IR ditandai dengan nilai
lebih dari 3,2-3,9. Quantitative insulin sensitivity check index (QUICKI) merupakan metode pengukuran sensitivitas insulin yang lain. Perhitungan
dari metode QUICKI yaitu kebalikan dari jumlah kadar glukosa puasa dan
insulin, melalui logaritma: (1/[log(glukosa)+log(insulin)]; resistensi insulin
ditandai dengan nilai lebih dari 0,33. HOMA-IR dan QUICKI dapat digunakan
pada pasien dengan euglikemik dan hiperglikemik.19 Penelitian oleh
Muharam pada tahun 2000 di Jakarta tentang nisbah gula darah puasa (Gp)
potong nisbah Gp/Ip <10,1 untuk menyatakan adanya resistensi insulin
dengan sensitivitas 90,2%, spesifisitas 90,9%.25
2,5. RISIKO KEGUGURAN PADA SINDROMA OVARIUM POLIKISTIK
Beberapa komplikasi kehamilan yang berhubungan dengan diagnosis
maternal sindroma ovarium polikistik telah dijelaskan. Hal ini termasuk
peningkatan prevalensi dari abortus spontan, diabetes gestasional, toksemia
preeklampsia, kehamilan yang menginduksi hipertensi, dan bayi lahir kecil
usia kehamilan. Peningkatan risiko abortus spontan pada trimester pertama
pada wanita dengan SOPK, berkisar dari 25% hingga 73%, dimana relatif
tinggi.28,29,30
Penelitian oleh Glueck dkk di Ohio menunjukkan bahwa wanita
dengan SOPK memiliki angka kejadian keguguran pada trimester pertama
yang tinggi yaitu 44%. Spekulasi yang menyebabkan angka keguguran yang
tinggi ini termasuk hipofibrinolisis dengan peningkatan PAI-Fx, peningkatan
testosterone, androtenedione, atau DHEAS, dan kadar progesterone yang
rendah.3,4
Penelitian oleh Velazquez dkk menunjukkan bahwa pasien dengan
SOPK mengalami peningkatan aktivitas plasminogen activator inhibitor (PAI-Fx; merupakan inhibitor yang paling potensial dari fibrinolisis), yang
menyebabkan hipofibrinolisis dan peningkatan risiko keguguran.31,32
hipofibrinolisis, merupakan penyebab independen keguguran. PAI-Fx tinggi
dapat menyebabkan gangguan plasenta yang terjadi pada preeclampsia dan
keguguran berulang. Hipofibrinolisis juga dihubungkan dengan retardasi
perkembangan intrauterine, solusio plasenta, dan abortus.3,4
Selain itu, trombofilia juga merupakan faktor risiko abortus yang
penting pada beberapa pasien dengan SOPK. Menurut penelitian
sebelumnya menunjukkan bahwa faktor V leiden berhubungan trombofilia,
heterozigot mutasi faktor protrombin, dan homozigot mutasi gen methylene tetrahydrofolate reductase (MTHFR) yang merupakan penyebab lain keguguran pada pasien dengan SOPK. Defisiensi beberapa protein termasuk
protein C, protein S, dan antitrombin III, juga berhubungan dengan komplikasi
kehamilan termasuk keguguran.4,31
Trombofilia merupakan gangguan multigenetik akibat kelainan
koagulasi yang didapat (antibodi antiphospholipid) atau kelainan koagulasi
yang diturunkan (defisiensi antitrombin protein antikoagulan alami, protein C
atau protein S, faktor V leiden, dan prothrombin G20210A), atau kelainan
metabolic hiperhomosisteinemia. Pada wanita dengan keguguran berulang,
skrining menyebutkan adanya peningkatan insidensi SOPK. Oleh karena itu,
peningkatan angka kejadian kematian janin bukan hanya karakteristik wanita
dengan keguguran berulaang dengan trombofilia, tetapi juga pada wanita
dengan SOPK. Hal ini dipostulasikan bahwa pasien dengan familial
trombofilia, mungkin dipengaruhi oleh kelainan endokrin dari SOPK, juga
dapat menyebabkan kegagalan implantasi pada fertilisasi invitro (IVF).
Gangguan preklinik setelah IVF menyebabkan kelainan pada reseptivitas
uterus dan/atau kualitas embrio.4,31
Pada penelitian Kazerooni,dkk di Iran menjelaskan bahwa pasien
dengan SOPK yang mengalami keguguran berulang menunjukkan adanya
peningkatan kadar serum testosterone, DHEAS, Homosistein, insulin, dan
PAI-Fx, dan penurunan sensitivitas insulin. Selain itu,dari penelitian ini juga
menunjukkan adanya mutasi proporsi APCR dan faktor V leiden yang lebih
tinggi pada pasien dengan SOPK yang mengalami keguguran berulang.31
2.6. RISIKO KARDIOVASKULAR PADA SINDROMA OVARIUM
POLIKISTIK
Ada beberapa pendapat kontroversial mengenai apakah penyakit
kardiovaskular meningkat pada SOPK. Namun, ada persetujuan umum
bahwa ada hubungan peningkatan faktor risiko kardiovaskular dengan
SOPK. Wanita dengan SOPK, bahkan dengan usia muda, memiliki faktor
risiko kardiovaskular, seperti resistensi insulin, hipertensi, gangguan
kapasitas fungsional kardiopulmonal, disfungsi autonom dan inflamasi kronik
tingkat rendah. Faktor risko ini meningkat dengan obesitas. Penelitian pada
wanita dengan SOPK, mengindikasikan peningkatan risiko sindrom
metabolik dibandingkan dengan kontrol yang sehat, disebabkan adanya
resistensi insulin pada kebanyakan wanita dengan SOPK. Beberapa studi
usia reproduksi dengan SOPK berkisar 43% hingga 47%. Adanya sindrom
metabolik dapat meningkatkan risiko kejadian kardiovaskular, dimana sangat
jelas bahwa obesitas meningkatkan risiko sindrom metabolik pada SOPK.
Dahlgren dkk. memprediksi risiko relative infark miokard 7,4 pada kelompok
wanita kecil dengan bukti histopatologi ovarium polikistik (PCO)
dibandingkan dengan kontrol yang didasarkan pada usia.16,33,34
Gambar 2.6. Diagram skematik yang menunjukkan hubungan antara SOPK,
Gambar 2.7. Skema hipotesa pathogenesis penyakit kardiovaskular pada
SOPK. Gambar ini meringkas jalur potensial dimana faktor risiko
kardiovaskular dihubungkan dengan SOPK.34
SOPK dipengaruhi oleh resistensi insulin genetik, resistensi insulin
lingkungan (terkait obesitas), seperti kelainan metabolik pada kebanyakan
kasus. Wanita dengan SOPK juga memiliki bukti penyakit kardiovaskular
subklinis dan tampak memilki peningkatan risiko kejadian kardiovaskular dan
kematian, khususnya ketika dikombinasikan dengan faktor risiko yang lain,
seperti obesitas dan hipertensi. Sebagian besar wanita dengan SOPK
dipengaruhi oleh sindrom metabolik, dan diabetes, merupakan faktor risiko
kardiovaskular utama, dimana terjadi peningkatan empat kali lipat pada
pada SOPK, termasuk keadaan proinflamasi dan protrombotik, dimana
keduanya memiliki hubungan dengan penyakit kardiovaskular. Mekanisme
dasar peningkatan risiko kardiometabolik pada SOPK masih belum jelas,
walaupun resistensi insulin merupakan suatu kandidat, penelitian
menunjukkan bahwa wanita dengan SOPK baik obesitas dan normal, baik
hiperinsulinemia dan beberapa dengan kadar insulin yang tidak meningkat,
memiliki peningkatan risiko kardiovaskular. Hiperandrogenisme (dengan
resistensi insulin) juga berhubungan dengan peningkatan metabolik dan
morbiditas kardiovaskular pada SOPK. Peningkatan kadar testosterone telah
menunjukkan adanya faktor risiko independent untuk infark miokard dan
aterosklerosis koroner. Ada beberapa laporan peningkatan penanda
inflamasi pada SOPK, termasuk C-reactive protein (CRP) dan disfungsi endotel, kekakuan arteri, aterosklerosis awal sebagai indikator kerusakan
kardiovaskular. Sejumlah wanita SOPK merupakan obesitas atau mengalami
kelebihan berat badan yang dapat meningkatkan risiko kardiovaskular secara
langsung maupun tidak langsung, dengan meningkatkan resistensi insulin,
hiperandrogenisme, dislipidemia, dan aktivasi potensial sistem
hemostatik.33,34,35,36
Penelitian lebih jauh diperlukan, tetapi penggunaan pil kontrasepsi
juga membuat wanita dengan SOPK pada peningkatan risiko perkembangan
masalah kardiovaskular yaitu melalui peningkatan risiko kejadian thrombosis
arteri, disfungsi arteri, dan resistensi insulin, dimana meningkatkan risiko
kelainan kardiometabolik pada SOPK. Walaupun tidak ada studi
epidemiologis yang menunjukkan ada bukti peningkatan klinis peningkatan
risiko trombotik vena, studi epidemiologis pada SOPK terbatas. Hal ini
ditemukan bahwa 29% wanita SOPK memiliki riwayat keluarga positif
thrombosis vena dibandingkan 8% kontrol, tetapi penelitian lebih jauh
diperlukan bahwa insidensi penyakit kardiovaskular meningkat pada pasien
SOPK dibandingkan kontrol. Sistem hemostasis juga secara integral
berhubungan dengan dinding endotel dan pembuluh darah. Disfungsi endotel
dan kelainan dinding pembuluh darah fungsional dan struktural terlihat pada
SOPK juga berhubungan secara patofisiologi untuk mengganggu hemostasis
pada SOPK. Pada akhirnya, peranan patofisiologis potensial bahwa faktor
hemostatik berperan pada gambaran kardiometabolik mungkin dapat
menjadi pengukuran terapeutik pada SOPK. Hal ini penting khususnya
karena wanita menjadi obesitas, hidup lebih panjang, dan memiliki tingkat
diabetes dan karena banyak wanita meninggal berhubungan dengan
penyakit kardiovaskular.16,33,34,37,38,39,40
2.7. FIBRINOGEN
Fibrinogen merupakan protein plasma utama (konsentrasi normal 200
– 400 mg/dl), yang disintesa di hepatosit. Fibrinogen terdiri dari
masing-masing dua dari tiga rantai polipeptida berbeda (Aα, Bβ, dan γ) dihubungkan
Setelah fibrinopeptida dilepaskan, monomer fibrin yang dihasilkan
mengalami polimerisasi untuk membentuk bekuan fibrin yang larut.
Fibrinogen juga menunjukkan heterogenitas karena pembelahan dalam
sirkulasi, pada carboxyl termini dari rantai polipeptida, yang menimbulkan
serangkaian molekul dengan berbagai ukuran. Fibrinogen dan fibrin dapat
mengalami degradasi menjadi fragmen yang lebih kecil secara progresif oleh
enzim proteolitik, termasuk plasmin dan neutrofil elastase. Fibrinogen
merupakan fase akut reaktan dan kadarnya dapat meningkat sehubungan
dengan berbagai variabel fisiologis dan kondisi inflamasi.41,42
Tabel 2.2. Faktor fisiologis, Patologis, dan Gaya hidup yang mempengaruhi
kadar fibrinogen42
Peningkatan Fibrinogen
Peningkatan usia dan jenis kelamin perempuan
Musim
Kehamilan dan kontrasepsi oral
Wanita post menopause
Reaksi fase akut
Merokok
Latihan
Penurunan Fibrinogen
Afibrinogenemia, hifofibrinogenemia
Penyakit dekompensasi hati
Hepatitis viral
DIC
Hemodilusi
Variasi dari fibrinogen harus diperhitungkan ketika fibrinogen dianggap
sebagai faktor risiko untuk penyakit jantung iskemik. Polimorfisme promoter
gen beta fibrinogen telah dihubungkan dengan peningkatan kadar fibrinogen.
Karier alel-A (sekitar 20% dari populasi) memiliki 7-10% kadar fibrinogen
yang lebih tinggi dibandingkan genotip GG. Penurunan kadar fibrinogen
terjadi sebagai hasil defek gen yang diturunkan, menghasilkan protein
fibrinogen yang abnormal, menurun, atau tidak ada, atau sebagai akibat dari
penyakit liver atau gangguan koagulasi.41,42
Dahulu, pemeriksaan fibrinogen diperlukan dalam pemeriksaan
keadaan hemoragik atau dalam pemeriksaan laboratorium pada gangguan
hemoragik. Beberapa senter menggunakan pemeriksaan fibrinogen
tetapi informasi yang tersedia berbeda tergantung pada tipe pemeriksaan
yang digunakan.41,42,43
Kondisi yang jarang afibrinogenemia congenital, hipofibrinogenemia,
dan disfibrinogenemia disebabkan oleh defek gen, menyebabkan penurunan
sintesa fibrinogen dan pelepasan dan/atau spesies molekul yang abnormal.
Pada afibrinogenemia, ada penurunan sintesa fibrinogen di hepar dengan
fibrinogen plasma yang sangat rendah atau tidak terdeteksi, menyebabkan
suatu keadaan diathesis hemoragik, dengan waktu pembekuan yang
panjang dan fungsi trombosit yang abnormal. Pada hipofibrinogenemia,
kadar fibrinogen di sirkulasi menunjukkan penurunan ringan hingga sedang,
dan pasien mengalami asimptomatik atau memiliki masalah hemoragik.
Disfibrinogenemia dikarakteristikkan dengan fungsi fibrinogen yang
abnormal. Kira-kira 250 pasien dengan disfibrinogenemia telah dilaporkan
pada literatur, 55% asimptomatik, 25% memiliki tendensi hemoragik, dan
20% memiliki trombofilia.42
Peningkatan kadar fibrinogen juga relevan secara klinis. Fibrinogen
merupakan protein plasma utama dan, oleh karena itu, peningkatan kecil
pada kadar fibrinogen akan menyebabkan dampak signifikan pada viskositas
plasma, dan reologi darah. Peningkatan viskositas plasma (seperti pada
sindrom hiperviskositas) telah dihubungkan dengan peningkatan risiko
tromboembolisme. Pada saat ini, sejumlah studi prospektif yang besar telah
menunjukkan bahwa kadar fibrinogen merupakan prediktor variasi kejadian
kardiovaskular, termasuk stroke, infark miokard, iskemia pada tungkai dan
reoklusi arteri pasca pembedahan.41,42
Hubungan statistik ini tetap signifikan terlepas dari tipe pemeriksaan
fibrinogen yang dikerjakan, meskipun sebagian penulis telah menduga
bahwa pemeriksaan imunologi mungkin lebih baik dalam memprediksi
penyakit kardiovaskular dibandingkan pemeriksaan fungsional.41,42,43
Gambar 2.8. Pemecahan thrombin dari fibrinogen dan polimerisasi monomer
fibrin menjadi fibrin. Suatu skema pemecahan thrombin dari fibrinogen, diikuti
Gambar 2.9. Bekuan darah fibrin. Bagian dari bekuan darah yang
ditampilkan (sel darah merah (merah), serat fibrin (biru), agregasi trombosit
(ungu))43
2.7.1 FIBRINOGEN SEBAGAI FAKTOR HEMOSTASIS
Pada pembuluh darah yang rusak, kaskade koagulasi secara cepat
diaktifasi untuk menghasilkan trombin dan akhirnya untuk membentuk solid
fibrin dari solublefibrinogen, memperkuat plak trombosit primer.Koagulasi
dimulai dengan dua mekanisme yang berbeda, yaitu proses aktifasi kontak
dan kerja dari tissue factor. Aktivasi kontak mengawali suatu rangkaian dari reaksi-reaksi yang melibatkan faktor XII, faktor XI, faktor IX, faktor
VIII,prekalikrein, High Molecular Weight Kininogen (HMWK), dan platelet factor 3 (PF-3). Reaksi-reaksi ini berperan untuk pembentukan suatu enzim yang mengaktifasi faktorX, dimana reaksi-reaksi tersebut dinamakan jalur
instrinsik (intrinsic pathway). Sedangkan koagulasi yang dimulai dengan
dinamakan jalur ekstrinsik ( extrinsic pathway). Langkah selanjutnya dalam proses koagulasi melibatkan faktor X dan V, PF-3, protrombin,dan fibrinogen.
Reaksi-reaksi ini dinamakan jalur bersama (common pathway).Jalur ekstrinsik dimulai dengan pemaparan darah ke jaringan yang luka. Disebut
ekstrinsik karena tromboplastin jaringan (tissue factor) berasal dari luar darah. Pemeriksaan Protrombin Time (PT) digunakan untuk skrining jalur ini. Apabila darah diambil secara hati-hati sehingga tidak terkontaminasi cairan
jaringan, darah tersebut masih membeku didalam tabung gelas. Jalur ini
disebut jalur intrinsik, karena substansi yang diperlukan untuk pembekuan
ada dalam darah. Jalur intrinsik dicetuskan oleh kontak faktor XII dengan
permukaan asing. Partial thromboplastin time (PTT) dan activated PTT
(aPTT) adalah monitor yang baik untuk jalur ini. Kedua jalur akhirnya sama
Gambar 2.10. Alur Koagulasi dan Fibrinolisis Normal45
Faktor-faktor pembekuan darah adalah glikoprotein, yang kebanyakan
diproduksi dihepar dan disekresi ke sirkulasi darah. Tabel berikut ini
menunjukan daftar faktor-faktor pembekuan darah yang dinyatakan dalam
Tabel 2.4. Daftar faktor-faktor pembekuan darah yang dinyatakan dalam
angka Romawi, serta sinonim dan beberapa sifat-sifatnya44
2.7.2 FIBRINOGEN DAN SINDROMA OVARIUM POLIKISTIK
Wanita dengan SOPK dikarakteristikkan dengan adanya beberapa
kelainan metabolik yang dapat berkembang menjadi aterosklerosis.
Predisposisi untuk perkembangan menjadi aterosklerosis pada wanita
dengan SOPK usia pertengahan telah diteliti oleh Talbott,dkk. Mereka
mengukur ketebalan dinding carotid intima-media (CIMT) dengan
ultrasonografi B-mode. Pada usia berkisar 30-44 tahun peneliti tidak
menemukan perbedaan pada CIMT carotid antara kasus SOPK dan control.
Pada usia ≥45 tahun, subjek dengan SOPK mengalami IMT lebih besar dari kontrol. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan pada
protein (CRP) dan fibrinogen merupakan penanda yang mungkin berguna pada fase subklinis dari atherosklerosis. Protein fase akut dihasilkan oleh
hepatosit oleh karena adanya stimulasi sitokin (terutama IL-6). Peningkatan
bukti bahwa aterosklerosis merupakan proses inflamasi kronik dan karena
adanya fakta ini penanda respon inflamasi seperti CRP dan fibrinogen
mungkin berguna dalam penilaian risiko penyakit kardiovaskular.8,46,47
Peningkatan fibrinogen yang terjadi pada sindroma ovarium polikistik
saat ini masih kontroversial diduga ada beberapa faktor yang
mempengaruhinya salah satunya yaitu respon inflamasi. Sindroma ovarium
polikistik saat ini diduga melibatkan proses inflamasi, oleh karena itu,
fibrinogen yang terutama dihasilkan oleh hepatosit di hepar akan mengalami
peningkatan sebagai respon terhadap sitokin sebagai mediator inflamasi, dan
peningkatan kadar fibrinogen ini berhubungan dengan peningkatan risiko
kejadian penyakit kardiovaskular.5 Fibrinogen merupakan faktor risiko
kejadian atherosklerosis, dan hal ini akan meningkatkan risiko kejadian
penyakit kardiovaskular. Fibrinogen dapat memediasi efek proatherogenik
dengan meningkatkan viskositas plasma, mendorong agregasi trombosit dan
dengan merangsang otot polos proliferasi . Fibrinogen mempengaruhi
agregasi trombosit melalui reaksinya dengan reseptor trombosit (glikoprotein
kompleks IIb / IIIa). Ini adalah kunci dari reaksi pembentukan thrombus.
Fibrinogen juga diketahui berhubungan dengan resistensi insulin dan
peningkatannya telah diteliti terutama pada pasien dengan SOPK. Suatu
peningkatan fibrinogen dengan infark miokard akut dan stroke . Di antara
studi tersebut termasuk dalam meta-analisis ini, pasien wanita dievaluasi,
yang dilaporkan adanya hubungan fibrinogen secara signifikan dengan
penyakit jantung koroner, tetapi tidak dengan stroke.8,46
Gambar 2.11. Hubungan dan interaksi antara fungsi endotel, aktivasi platelet
dan agregasi, inflamasi, koagulasi, dan fibrinolisis pada SOPK. Beberapa
penelitian telah menunjukkan peningkatan jumlah platelet dan fungsi
abnormal, inhibisi fungsi endothel, dan inhibisi fibrinolisis pada SOPK, yaitu
2.8. D-DIMER
D-dimer adalah produk akhir degenerasi cross-linked fibrin oleh aktivitas kerja plasmin dalam sistem fibrinolitik. Sejak 1990, tes D-dimer
digunakan untuk pemeriksaan trombosis. Hasil pemeriksaan yang positif
menunjukkan adanya trombus, namun tidak dapat menunjukkan lokasi
kelainan dan menyingkirkan etiologi-etiologi potensial lain.48
Dalam proses pembentukan bekuan normal, bekuan fibrin terbentuk
pada tahap terakhir proses koagulasi. Fibrin dihasilkan oleh aktivitas trombin
yang memecah fibrinogen menjadi fibrin monomer. Fibrinogen adalah
glikoprotein dengan formula Aα,Bβ, γ. Terdiri dari 3 pasang rantai polipeptida yang tidak identik dan saling beranyaman yaitu 2 rantai Aα, 2 Bβ, dan 2γ. Molekul fibrinogen adalah dimer yang diikat oleh ikatan disulfida pada bagian
terminal end. Pasangan rantai Aα dan Bβ memiliki fibinopolipeptida berukuran kecil pada bagian terminal yang disebut sebagai fibrinopolipeptida
A dan B.44,48
Proses perubahan fibrinogen menjadi fibrin terdiri dari 3 tahap yaitu
tahap enzimatik, polimerisasi dan stabilisasi. Pada tahap enzimatik, 2 molekul
fibrinopeptida A dan 2 molekul fibrinopeptida B dipecah dan fibrinogen diubah
oleh trombin menjadi monomer fibrin yang larut. Tahap polimerisasi,
fibrinopolipeptida A dilepas yang akan menimbulkan agregasi side to side
disusul dengan pelepasan fibrinopeptida B yang mengadakan kontak dengan
unit-unit monomer dengan lebih kuat dan membentuk bekuan yang tidak
trombin, faktor XIIIa dan ion kalsium (Ca2+) sehingga terbentuk unsoluble fibrin yang stabil.44,48
Trombin menyebabkan aktivasi faktor XIII menjadi XIIIa yang berperan
sebagai transamidinase. Faktor XIIIa menyebabkan ikatan silang ( cross-linked) fibrin monomer yang saling berdekatan dengan membentuk ikatan kovalen yang stabil (fibrin Mesh). Rantai α dan γ berperan dalam pembentukan unsoluble fibrin yang stabil.44,48
Plasminogen yang secara normal terdapat dalam plasma akan diserap
oleh fibrin. Saat di dalam fibrin, plasminogen diubah oleh tissue-plasminogen activator (tPA) menjadi plasmin. Plasmin merupakan enzim fibrinolitik utama yang berfungsi memecah fibrinogen dan fibrin yang menghasilkan
bermacam-macam produk degenerasi fibrinogen (Fibrin Degradation Product
/ FDP). Jika plasmin melisiskan unsoluble fibrin, maka akan meningkatkan jumlah produk degradasi fibrin yang terlarut. Fibrindegradation product (FDP) yang dihasilkan berupa fragmen X, Y, D dan E. Dua fragmen D dan satu