Sindroma Ovarium Polikistik
Budi R. Hadibroto
Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP H. Adam Malik – RSUD. Dr. Pirngadi Medan
Abstrak: Sindroma ovarium polikistik merupakan gangguan fungsional dari poros
hipotalamus-hipofise ovarium berkaitan anovulasi. Dalam keadaan relatif terdapat keseimbangan antara gonadotropin dan steroid seks. Pada keadaan ini, kadar LH relatif tinggi dan kadar FSH relatif rendah, sehingga meningkatkan nisbah LH:FSH. Kadar oestradiol sama dengan fase folikuler awal. Sebagai respon atas meningkatnya kadar LH, terjadi peningkatan kadar testosteron, androstendion dan DHA yang disekresikan oleh ovarium. Pada jaringan perifer sebahagian dari hormon androgen tersebut diubah menjadi oestron. Sebagai respon terhadap tingginya kadar hormon androgen, SHBG berkurang sekitar 50%, mendorong meningkatnya proporsi hormon androgen yang aktif dan tidak terikat. Lazim ditemukan efek samping akibat peningkatan hormon androgen. Demikian kompleksnya sindroma ini sehingga melibatkan kompartemen yang lain. Kelenjar adrenal menghasilkan peningkatan kadar DHAS. Umumnya dijumpai pula reistensi insulin.
Kata kunci: anovulasi, hiperandrogen, ovarium polikistik
Abstract: Polycystic ovarian syndrome is a functional derangement of the hypothalamo-pituitary
ovarian axis associated with anovulation. A relatively ‘steady state’ of gonadothropins and sex steroids exists. In this steady state , luteinizing hormone (LH) levels are relatively high and follicle stimulating hormone (FSH) levels are relatively low, leading to an elevated LH:FSH ratio. Oestradiol levels are similar to those in the early follicular phase. In response to the elevated levels of LH, increased levels of testosterone, androstendione and DHA (dehydroepiandros-terone) are secreted by the ovary. Some of these androgens are converted to oestrone in peripheral tissues. In response to high androgen levels, sex hormone binding globulin (SHBG) is reduced by about 50%, leading to an increase in the proportion of unbound, active, androgens. Hence, androgenic side effects are common, despite only a modest rise in serum total testosterone levels.The syndrome is complex and other compartments become involved. The adrenal gland produces eleveated levels of DHAS (dehydroepiandrosterone sulphate). Insulin resistance (resistance to insulin-stimulated glucose uptake) is also common.
Key words: anovulation, hyperandrogen, polycystic ovarian
PENDAHULUAN
Sindroma ovarium polikistik (SOPK) merupakan masalah endokrinologi reproduktif yang sering terjadi dan sampai saat ini masih menjadi kontroversi.
Sindroma ovarium polikistik menyebab-kan 5%-10% wanita usia reproduksi menjadi infertil.1
Gambaran klinis dan biokimia beragam, masih menjadi perdebatan apakah keadaan ini merupakan penyakit tunggal atau merupakan kumpulan gejala. Pada akhir-akhir ini semakin jelas bahwa SOPK bukan hanya penyebab tersering kejadian ovulasi dan hirsutisme namun juga berhubungan dengan gangguan
metabolisme yang memiliki pengaruh penting dalam kesehatan wanita.1,2
Sejak dikemukan oleh Stein dan Leventhal pada tahun 1935, pada mulanya diterangkan bahwa SOPK merupakan suatu kumpulan gejala yang terdiri dari amenorrhea, haid yang tidak teratur, infertil, hirsutisme dan obesitas. Belakangan diketahui bahwa wanita dengan siklus haid yang reguler dengan keadaan hiperandrogen dengan atau tanpa ovarium polikistik juga dapat menderita SOPK. Selain itu pada beberapa wanita dengan sindroma ini dapat menderita ovarium polikistik tanpa tanda-tanda klinis hiperandro-gen namun terdapat bukti adanya disfungsi ovarium.3
Menurut konsensus Rotterdam tahun 2003 mengenai SOPK, bahwa kriteria diagnostik untuk SOPK adanya 2 dari 3 keadaan berikut yaitu: oligomenorrhea atau anovulasi, tanda-tanda hiperandrogen secara klinis maupun biokimia dan ovarium polikistik dimana keadaan-keadaan tersebut diatas bukan disebabkan oleh hiperplasia adrenal kongenital, tumor yang mensekresi androgen atau Cushing Syndrome.4
Meskipun penyebab pasti penyakit ini belum diketahui, namun terdapat kemajuan dalam bidang endokrinologi, biokimia dan farmakologi untuk memberikan pengobatan yang menggembirakan, termasuk terapi yang bersifat farmakologi maupun operatif. Tindakan operatif memberikan angka keberhasilan yang cukup tinggi.
ANGKA KEJADIAN
Kejadian SOPK dengan gejala klinis beragam dan memberikan gambaran angka yang bervariasi. Adam dkk, 1986 melaporkan bahwa pada penderita ovarium polikistik (OPK) yang didiagnosa secara sonografi, didapati 30% menderita amenorrhea, 75% dengan oligomenorrhea, dan 90% didapati adanya peningkatan konsentrasi kadar luteinizing hormon (LH) dan androgen.2,3
PATOGENESA
Patogenesa SOPK kurang jelas diketahui, namun diduga bahwa defek primer kemungkinan karena adanya resistensi insulin
yang menyebabkan hiperinsulinemia.1
Konsentrasi insulin dan LH didalam sirkulasi secara umum akan meningkat. Sel theca yang membungkus folikel dan memproduksi androgen yang nantinya akan dikonversi menjadi estrogen didalam ovarium menjadi sangat aktif dan responsif terhadap stimulasi LH. Sel theca akan lebih besar dan akan menghasilkan androgen lebih banyak. Sel-sel theca yang hiperaktif ini akan terhalang maturasinya sehingga akan menyebabkan sel-sel granulosa tidak aktif dan aktifitas aromatisasinya menjadi minimal. Akibat ketidakmatangan folikel-folikel tersebut maka terjadi pembentukan kista-kista dengan diameter antara 2–6 mm dan masa aktif folikel akan memanjang, sehingga akan terbentuk folikel-folikel baru sebelum folikel-folikel yang lain mati. Folikel-folikel tersebut akan berbentuk seperti kista yang dilapisi oleh sel-sel theca yang
hiperplastik yang mengalami luteinisasi sebagai respon peningkatan kadar LH.1,3,5
GAMBARAN KLINIS
Tanda dan gejala klinis SOPK didapat dari keluhan utama pasien maupun dari pemeriksaan klinis.
Keadaan hiperandrogen memiliki tanda-tanda seperti hirsutisme, timbulnya jerawat bahkan dapat timbul pola alopesia seperti laki-laki. Hirsutisme didefinisikan sebagai suatu keadaan munculnya bulu-bulu kasar pada wanita seperti pola pertumbuhan pada laki-laki seperti diatas bibir, dagu, dada, abdomen bagian atas maupun dipunggung. Keadaan anovulasi kronis ditandai adanya gangguan haid seperti amenorrhea, oligomenorrhea, perdarahan uterus disfungsional dan akan menimbulkan infertilitas. Menariknya penelitian Conway dkk (1989) menunjukkan 20% pasien SOPK tidak mengalami gangguan haid.6
Selain itu akhir-akhir ini dalam mengevaluasi seorang pasien dengan kemungkinan SOPK penting juga dijajaki tentang kemungkinan adanya tanda-tanda resistensi insulin. Obesitas merupakan kunci adanya sindroma resistensi insulin. Dari pemeriksaan klinis tanda adanya resistensi insulin didapati adanya acanthosis nigricans.2,6
DIAGNOSIS
Diagnosis SOPK berdasarkan kombinasi kriteria klinis.,sonografi dan biokimia. Pada wanita yang menderita amenorrhea, kemungkinan timbulnya SOPK bila didapati satu atau lebih gambaran berikut :2,3,4,5,6
1. adanya ovarium polikistik pada
pemeriksaan sonografi.
2. Hirsutisme
3. Hiperandrogenisme.
Pada wanita dengan siklus haid yang normal adanya OPK pada pemeriksaan sonografi menunjukkan adanya hirsutisme yang disebabkan oleh karena faktor ovarium.
Tabel 1.
Kriteria Diagnostik Sindroma Resistensi Insulin
Adanya 3 atau lebih keadaan berikut : Lingkar pinggang > 88 cm Kadar trigliserida ≥ 150 mg/dl Kadar HDL kolesterol < 50 mg/dl Tekanan Darah ≥ 130/85 mmHg Kadar gula darah puasa ≥ 110 mg/dl Dikutip dari 4
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Sonografi
Pemeriksaan sonografi pelvis akan sangat mendukung untuk menegakkan diagnosa SOPK. Jumlah folikel dan volume ovarium penting dalam pemeriksaan sonografi. Adam dkk menetapkan kriteria SOPK secara sonografi adalah dengan adanya kista folikel ≥ 10 buah dengan diameter 2 – 8 mm dengan stroma yang tebal. Jonard dkk mengajukan kriteria SOPK secara sonografi dengan adanya peningkatan luas ovarium (> 5,5 cm2) atau dengan volume ovarium > 11 ml dan /atau adanya folikel ≥ 12 buah dengan diameter 2 – 9 mm. Kriteria yang diajukan oleh Jonard dkk ini memiliki spesifisitas 99% dan sensitivitas 75% untuk mendiagnosa SOPK secara sonografi.6
Pemeriksaan Hormonal
Pemeriksaan hormonal pada penderita SOPK memperlihatkan beberapa kelainan endokrin. Beberapa hormon yang perlu diperiksa :
1. Nisbah luteinizing hormon/follicle
stimulating hormon :
Nisbah ≥ 2,0 menunjukkan adanya suatu SOPK
2. Kadar 17-hydroxyprogesteron :
Kadar ≥ 200 ng/dl mengkonfirmasikan
diagnosis SOPK. 3. Testosteron :
Kadar testosteron ≤ 150 ng/dl banyak didapati pada penderita SOPK.
4. Dehydorepiandrosterone-sulfate (DHEAS)
:
Kadar DHEAS akan normal atau sedikit meningkat pada penderita SOPK.
5. Prolaktin :
Lima sampai 30% pasien SOPK dilaporkan mengalami hiperprolakti-nemia ringan. 6. Kadar gula darah puasa/rasio insulin :
< 7,0 pada orang dewas menunjukkan adanya resistensi insulin.
< 4,5 pada pasien SOPK yang obesitas, euglikemia.
PENATALAKSANAAN
Setelah SOPK didiagnosa dan penyebab hiperandrogen telah disingkirkan, maka dapat dilakukan penatalaksanaan untuk SOPK. Tujuan terapi SOPK adalah :
1. Menghilangkan gejala dan tanda
hiperandrogenisme.
2. Mengembalikan siklus haid menjadi
normal.
3. Memperbaiki fertilitas.
4. Menghilangkan gangguan metabolisme
yang terjadi.6,7
Pendekatan terapi SOPK dewasa ini dilakukan dengan 3 macam cara7 :
I. Non farmakologi
II. Farmakologi III. Operatif
I. Non Farmakologi
Tanda dan gejala hirsutisme akan memakan waktu cukup lama untuk kembali normal setelah pemberian terapi antiandrogen. Untuk menghilangkan bulu-bulu yang tumbuh pada penderita SOPK, banyak wanita melakukan tindakan untuk menghilangkan bulu-bulu secara elektrolisis atau laser untuk tujuan kosmetik.
Penurunan berat badan akan memberikan pengaruh terhadap kadar hormon dalam sirkulasi.
Satu penelitian menerangkan pada 6 orang penderita SOPK yang mengalami penurunan berat badan rata-rata sebesar 16,2 kg akan menyebabkan penurunan kadar testosteron, 4 orang diantaranya terjadi ovulasi.7
II. Farmakologi2,6,7,8
a. Kontrasepsi oral
Tujuan pemakaian obat ini adalah untuk menurunkan produksi steroid ovarium dan produksi androgen adrenal, meningkatkan sex hormon-binding globulin (SHBG), menormalkan rasio gonadotropin dan menurunkan konsentrasi total testosteron dan androstenedione didalam sirkulasi.
Mengembalikan seleksi haid yang normal, sehingga dapat mencegah terjadinya hiperplasia endometrium dan kanker endometrium.
Medroxyprogesteron asetat dapat dijadikan sebagai terapi untuk menghilangkan gejala hirsutisme. Dosis 150 mg intramuskular setiap 6 minggu selama 3 bulan atau 20 – 40 mg perhari.
b. Antiandrogen
Fungsi kerja antiandrogen adalah untuk menurunkan produksi testosteron maupun untuk mengurangi kerja dari testosteron.
Beberapa antiandrogen yang tersedia antara lain :
- Cyproteron acetat yang bersifat
kompetitif-inhibisi terhadap testosteron dan dyhidrotestosteron pada reseptor androgen. Dosis 100 mg perhari pada hari 5 – 15 siklus haid.
- Flutamide bersifat menekan biosintesa
testosteron. Dosis yang digunakan 250 mg 3 kali pemberian perhari selama 3 bulan.
- Finasteride yang merupakan inhibitor
spesifik enzym 5α reduktase digunakan dengan dosis 5 mg/hari.
c. GnRh analog
Pemberian GnRh agonis akan memperbaiki denyut sekresi LH sehingga luteinisasi prematur dari folikel dapat dicegah dan dapat memperbaiki rasio FSH/LH.
d. Metformin
Bertujuan untuk menekan aktifitas cytochrom P450c-17α ovarium, yang akan menurunkan kadar androgen, LH dan hiperinsulinemia. Diberikan dengan dosis 500 mg 3 kali pemberian perhari selama 30 hari. e. Clomiphene Citrat
Merupakan terapi pilihan untuk induksi ovulasi dan mengembalikan fungsi fertilisasi. Pada keadaan hiperandrogen pada wanita yang anovulasi, clomiphen citrat dilaporkan meningkatkan frekwensi siklus ovulasi sampai 80% dengan rata-rata terjadi kehamilan sekitar 67%. Dosis diberikan 50 mg satu kali pemberian perhari dengan dosis maksimal perhari dapat ditingkatkan menjadi 200 mg.
III. Operatif
a. Reseksi baji ovarium (Ovarian Wedge
Resection)
Reseksi baji ovarium dapat dilakukan secara laparatomi atau laparoskopi. Reseksi baji ovarium direkomendasi oleh Kistner dan Patton terhadap pasien SOPK yang mengalami ovulasi pada pemberian clomiphene citrat namun tidak terjadi kehmailan. Keduanya menganjurkan tindakan reseksi baji dilakukan pada pasien yang tidak mengalami kehamilan setelah 7 atau 8 kali siklus pengobatan dengan clomiphene citrat. Pada reseksi baji ovarium dilakukan insisi 2 – 3 cm pada korteks ovarium yang menebal. Insisi dibuat sesuai dengan alur ovarium, dan dihindari daerah hilus ovarium untuk menghindari terjadinya perdarahan yang banyak. Melalui lubang insisi bagian medulla diangkat dan sebanyak mungkin korteks ovarium dipertahankan.9
Gjonnaess (1984) melakukan prosedur reseksi baji ovarium secara laparoskopi. Dengan memakai elektrode unipolar dibuat 8 – 15 lubang sedalam 2 – 4 mm pada kapsul pada masing-masing ovarium. Dengan tindakan ini
ovulasi dapat disembuhkan pada 92% pasien dengan angka keberhasilan kehamilan sebesar 80%.10
b. Pemgeboran ovarium dengan Laser secara
Laparoskopi (Laparoscopy Laser Ovarian Drilling)
Tindakan pengeboran ovarium dengan laser diperkenalkan dan digunakan untuk terapi SOPK sejak 15 tahun terakhir. Dasar tindakan ini adalah bahwa laser memiliki densitas power yang terkontrol sehingga didapat kedalaman penetrasi pada jaringan sesuai yang diharapkan serta kerusakan jaringan akibat pengaruh panas yang dapat diprediksi. Pemakaian laser juga akan mengurangi resiko perlengketan.11
Beberapa jenis laser yang sering digunakan adalah : karbon dioksida (CO2), argon dan
YAG.10,11,12 Tindakan pengeboran ovarium
dengan laser dilakukan dengan laparoskop dengan diameter 10 mm yang dihubungkan
dengan laser CO2. Dapat digunakan CO2
ultrapulsa (40 – 80 W, 25 – 200 mJ) atau CO2
superpulsa (25 – 40 W). Seluruh folikel subkapsular yang tampak divaporisasi dan dibuat lubang ukuran 2 – 4 mm secara acak pada stroma ovarium.9 Tahun 1997 tehnik tindakan
pengeboran ovarium dengan laser distandarisasi dengan menggunakan jarum elektrode unipolar yang ditusukkan kedalam kavum abdomen secara tegak lurus, dibuat 10 – 15 tusukan pada masing-masing ovarium dengan arus koagulasi sebesar 40-W selama 2 detik pada masing-masing tusukan.11
Dengan menggunakan laser YAG, Huber dkk (1988) melakukan pengeboran ovarium sebanyak 3 – 5 buah pada masing ovarium dengan panjang 5 – 10 mm dan kedalaman 4 mm. Tindakan ini berhasil memberikan ovulasi spontan pada 5 dari 8 orang pasien yang diterapi.
Danielle (1989) melakukan pengeboran ovarium dengan menggunakan laser argon, CO2
atau kalium titanyl phosphate (KTP) dimana dibuat tehnik 2 tusukan (two-puncture technique) untuk drainage folikel subkapsular yang tampak dan membuat lubang pada stroma ovarium. Tindakan ini memberikan ovulasi spontan pada 71% kasus.11,13
Dari beberapa penelitian penggunaan laser untuk pengeboran ovarium didapati hasil ovulasi spontan antara 70 – 80% dengan tingkat keberhasilan kehamilan antara 56 – 80%.
DAFTAR PUSTAKA
1. Norman RJ, Wu R, Stankiewicz MT.
Polycystic ovary syndrome. Med J Aust 2004;180:132 – 37.
2. Frank S. Polycystic ovary syndrome. N
Engl J Med 1995;333:853 – 61.
3. Hershlag A, Peterson CM. Polycystic
ovarian syndrome. In: Novak’s Gynecology, Berek JS editor. William & Wilkins, New York, 1996.p 837 – 45.
4. The Rotterdam ESHRE/ASRM-Sponsored
PCOS Consensus Workshop Group. Revised 2003 Consensus on diagnostic criteria and long-term health risks Related to polycystic ovary syndrome. Fertil Steril 2004;81(1):19 – 25.
5. Speroff L, Glass RH, Kase NG. Clinical
Gynecologic Endocrinology and Infertility. Sixth Edition. Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia, 1999. p 487 – 573.
6. Sheehan MT. Polycystic ovarian
syndrome: diagnostic and management. Clin Med Res 2004;2(1):13 – 27.
7. Patel SR, Korytkowski MT. Treating
polycystic ovary syndrome: today’s approach. Women Health Primary Care 2000;3(2):109 – 113.
8. Amin M, Abdel-Kareem O, Takekida S,
Moriyama T, Abd el Aal G, Maruo T. Update management of non responder to
clomiphene citrate in polycystic ovary syndrome. Kobe J Med Sci 2003;49(3):59 – 73.
9. Sanfilippo JS, Rock JA. Surgery for benign disease of the ovary. In: Te Linde’s Operative Gynecology, Rock JA, Thompson JD editors. Lippincott-Raven Publishers, Philadelphia, 1997. p 625 – 44.
10. Cohen J. Laparoscopic procedures for
treatment of infertility related to polycystic ovarian syndrome. Hum Reprod Update 1996;2(4):337 – 44.
11. Pirwany I, Tulandi T. Laparoscopic
treatment of polycystic ovaries: is it time to relinquish the procedure?. Fertil Steril 2003;80(2):241 – 51.
12. Palomba S, Orio F, Nardo LG, Falbo A,
Russo T, Corea D. Metformin administration versus laparoscopic ovarian diathermy in clomiphene citrate-resistant women with polycystic ovary syndrome; A prospective parallel randomized double-blind placebo-controlled trial. J Clin Endo Metab 2004;89(10):4801 – 09.
13. Amer SAK, Li TC, Ledger WL. Ovulation
induction using laparoscopic ovarian drilling in women with polycystic ovarian syndrome; predictors of success. Hum Reprod 2004;19(8):1719 – 24.