• Tidak ada hasil yang ditemukan

RESOLUSI KONFLIK DAN PROFESI MEDIATOR

DRAMATURGIS KOMUNIKASI POLITIK PERSATUAN ISLAM (PERSIS)

RESOLUSI KONFLIK DAN PROFESI MEDIATOR

AGUSTRIJANTO

Dosen Ilmu Komunikasi Kalbis Institute Jl. Pulomas Selatan Kav. 22 Jakarta Timur 13210

agustrijanto@kalbis.ac.id

ABSTRAK

Konflik dapat terjadi kapan pun dan dimanapun. Konflik dapat terbuka atau tetutup, Oleh karena itu dibutuhkan resolusi konflik yatu suatu cara untuk menyelesaikan masalah dengan cara yang lebih elok melalui putusan, teknik, kesepakatan, kebulatan tekad baik dengan permintaan maupun tuntutan yang dihasilkan dalam rapat, musyarawah atau persidangan, yang berbentuk tulisan dan diajukan secara resmi kepada pihak terkait, dan diajukan melalui jalur litigasi atau non litigasi. Rumitnya konflik membuka peluang tentang cara alternatif penyelesaian konflik yang mementingkan perdamaian, tanpa melukai namun tetap memberikan keadilan. Salah satunya adalah resolusi konflik dengan cara damai dan melibatkan profesi juru damai atau mediator. Melalui Peraturan Mahkamah Agung RI (PERMA) No.1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, resolusi konflik dan profesi mediator diatur. Namun masih belum memuaskan diantaranya adalah pengenalan publik kepada profesi mediator sebagai juru damai masih sangat kurang Untuk itu peneliti menerapkan penelitian kualitatif dengan menggunakan studi pustaka dan model Defining Advertising Goal for Advertising Measure (DAGMAR). Peneliti melihat ketidaktahuan masyarakat tentang profesi mediator disebabkan oleh banyak hal. Diantaranya adalah kurangnya mediator memasarkan diri terhadap profesi ini, dan peraturan tentang profesi mediator sebagai juru damai justru dalam beberapa hal dibatasi oleh ketentuan-ketentuan formal, misalnya Etika Pariwara. Peneliti mencermati bahwa keberhasilan mediator dalam menyelesaikan konflik ternyata diperkaya dengan keterampilan berkomunikasi tanpa kekerasan (nonviolent communication). Dengan demikian diharapkan, tulisan ini dapat mengedukasi masyarakat agar dapat melihat dan menyelesaikan konflik secara proporsional.

Kata Kunci: konflik, mediasi, resolusi PENDAHULUAN

Pada dasarnya keberadaan konflik, masalah, persengketaan, perselisihan atau apapun namanya adalah sesuatu yang wajar dalam kehidupan manusia. Sepanjang manusia saling tulus dan mengerti maka konflik apapun dapat diselesaikan dengan baik (Yoshiro Kusano – pakar Chotei dan Wakai / perdamaian dan mediasi dari Jepang, 2008: 213).

Konflik akan selalu berkembang baik secara bentuk maupun substansinya. Konflik dapat mewujud dalam kenyataan yang bersifat kasat mata dan dapat dilihat oleh mata, hingga sesuatu yang tampak abstrak dan perlu penjelasan-penjelasan yang lebih detil dalam menjabarkan konflik. Pengetahuan tentang konflik dapat meluas ke titik penting manakala konflik akan dipahami sebagai sebuah kajian, tidak hanya dipandang sebagai respon. Oleh karena itu konflik harus dipahami untuk dapat didiagnosa penyebab-penyebabnya (umum

dan khusus), dan derajat eskalasinya agar intervensi yang tepat dapat menentukan cara menyelesaikan konflik. Bentuk konflik turut menentukan indikasi, dan mekanisme penyelesaiannya. Setelah indikasi dan mekanisme konflik dipahami maka konflik sebenarnya dapat dipandang juga sebagai cara mendidik masyarakat agar tidak terlalu memandang konflik selalu dari sisi negatif saja mengingat jika konflik ditangani secara konstruktif maka ada manfaat-manfaat positif bagi para pihak (pemaparan Analisis Konflik dalam Buku Panduan Pendidikan Mediator Bersertifikat Jakarta International Mediation Centre – JIMC, 2010).

Konflik sering diartikan sebagai suatu persepsi atau anggapan adanya perbedaan kepentingan atau keyakinan bahwa aspirasi para pihak tidak dapat tercapai. Penggunaan kata aspirasi dapat dimaknai luas seperti keinginan, harapan, tuntutan, kemauan, atau gugatan. Di dalam aspirasi termaktub aspek kepentingan yang dianggap paling berharga. Jadi aspek kepentingan turut memengaruhi eskalasi konflik.

Konflik yang terjadi di tengah masyarakat atau para pihak sering disebabkan oleh ketidaksiapan sebagian pihak terhadap perubahan. Sepanjang interaksi komunikasi terjadi maka sangat terbuka potensi konflik baik secara terbuka maupun tertutup. Peran komunikasi di dalam konflik sebenarnya mampu menciptakan banyak manfaat, energi dan solusi. Komunikasi yang konstruktif diyakini mampu mendorong para pihak yang sedang berkonflik untuk membentuk kekompakan dalam menentukan cara penyelesaian konflik. Persoalannya adalah bagaimana menempatkan komunikasi dan konflik serta cara penyelesaian konflik itu sendiri. Secara komunikasi, konflik dipandang dengan cara lama dan cara baru. Cara lama bermakna buruk, biang masalah (trouble maker), dan harus dihindari. Sementara cara terkini dimaknai tidak selalu buruk, tidak perlu dihindari/ harus dihadapi, dapat dikelola secara progresif, bermanfaat jika ditangani dengan benar, serta konflik dapat menstimulasi kreativitas.

Dibandingkan dengan sengketa, konflik identik dengan percekcokan, perselisihan dan pertentangan. Sementara sengketa diartikan sebagai sesuatu yang dapat menyebabkan perbedaan pendapat atau perselisihan. Banyak hal yang dapat menyebabkan konflik. Konflik dapat disebabkan oleh faktor data seperti kekurangan informasi, kesalahan informasi, perbedaan pandangan, relevansi, interpretasi, penafsiran, atau prosedur. Konflik yang disebabkan oleh kepentingan dapat mewujud dalam persaingan kepentingan, prosedural, dan psikologi.

Konflik dapat disebabkan oleh persoalan keyakinan berupa perbedaan nilai dalam menilai suatu ide/ sikap, penilaian oleh diri sendiri tanpa memperhatikan penilaian orang lain, perbedaan pandangan hidup, ideologi maupun agama.

Konflik mungkin disebabkan oleh pola pelaku atau interaksi yang destruktif seperti ketidakseimbangan, kontrol, kepemilikan, distribusi, otoritas, atau juga gepografis, fisik, dan lingkungan yang menghalangi kerjasama, dan keterbatasan waktu.

Konflik yang terjadi karena persoalan komunikasi dapat mempengaruhi sikap emosional, kesalahan-kesalahan persepsi, pola komunikasi yang buruk, dan tingkah laku yang saling menyerang atau negatif yang dilakukan berulang-ulang. Dalam banyak hal, konflik yang disebabkan oleh komunikasi dapat merembet ke berbagai bentuknya dengan cara dan akibat yang tidak terbayangkan. Masyarakat dapat melihat banyak fenomena saat ini tentang bagaimana media sosial misalnya, dapat menyampaikan berita-berita dengan sedemikian rupa dengan mengesampingkan efek yang ditimbulkannya. Peran komunikasi menjadi sangat luas

dengan pengaruh yang luar biasa. Komunikasi dapat menciptakan kebaikan, namun dapat juga sebaliknya dan sangat bergantung pada para pelaku komunikasi sebagai komunikator. Berdasarkan paparan materi pelatihan Mediator Mandiri Bersertifikat dari JIMC (Jakarta International Mediation Centre- JIMC) yaitu salah satu Lembaga Mediasi yang Terakreditasi Mahkamah Agung dengan nomor akreditasi 159/KMA/SK/VIII/2010, penulis mencoba memaparkan penyebab-penyebab konflik dengan pemilahan sebagai berikut:

Tabel 1. Konflik 1 Data 2 Kepentingan 3 Keyakinan 4 Struktural 5 Hubungan Kekurangan Informasi Kesalahan informasi Perbedaan pandangan & relevansi Perbedaan interpretasi Perbedaan penafsiran terhadap prosedur Persaingan kepentingan Kepentingan prosedural Kepentingan psikologi Perbedaan kriteria Penilaian egois Perbedaan pandangan hidup, ideologi, maupun agama

Pola pelaku atau interaksi yang destruktif Ketidakseimbangan, kontrol, kepemilikan atau distribusi sumber daya Ketimpangan kekuasaan dan otoritas Perbedaan geografis, fisik, lingkungan Keterbatasan waktu Emosional Kekeliruan persepsi Komunikasi yang buruk Tingkah laku negatif yang dilakukan berulang-ulang

(Sumber: Modul pelatihan Mediasi di JIMC 2010 dan diolah kembali oleh penulis)

Pemaparan ini penulis uraikan mengingat isi konflik dapat bervariasi. Namun secara transparan, merujuk pada kolom ke 5 (lima) yaitu konflik yang disebabkan oleh hubungan maka komunikasi merupakan aspek paling penting dalam menciptakan timbulnya konflik: komunikasi menjadi baik atau komunikasi menjadi buruk. Tidak dapat dipungkiri jika komunikasi menjadi bagian dari konflik yang jika dibiarkan akan menjadi sumber persoalan yang pelik.

Dari penyebab-penyebab konflik seperti tersebut di atas, dapat dicermati bahwa komunikasi yang buruk menyebabkan timbulnya konflik-konflik lanjutan yang lebih luas, seberapa dalam komunikasi buruk dapat meningkatkan suhu atau eskalasi konflik maka hal ini sangat bergantung pada banyak faktor.

Konflik dapat diuraikan dari berbagai segi dan hal ini menjadi alasan untuk mencari, menemukan, memformulasikan, dan mengkreativitaskan tentang bagaimana cara menyelesaikan konflik. Cara untuk menyelesaikan konflik melalui putusan atau kebulatan pendapat berupa permintaan / tuntutan yang ditetapkan berdasarkan rapat (musyawarah,

sidang) biasa disebut resolusi konflik29. Resolusi juga dapat berbentuk pernyataan tertulis, biasanya berisi tuntutan tentang suatu hal. Namun pada pokoknya, resolusi adalah terobosan yakni bagaimana upaya menyelesaikan konflik dengan cara-cara yang lebih bijaksana, lebih cepat, dan lebih dapat diterima oleh semua pihak sehingga terasakan ada nilai-nilai kebaruan dalam beresolusi konflik,

Resolusi Konflik dan Profesi Mediator

Profesi mediator merupakan profesi yang tergolong baru dan belum dikenal dengan baik oleh masyarakat luas. Padahal profesi mediator merupakan profesi yang nyata ada, dan legal dalam tataran peraturan formal serta dilindungi oleh ketentuan resmi yakni Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Mediator adalah profesi yang akrab dengan dunia komunikasi karena saat berperaktek atau melaksanakan tugasnya, Mediator wajib menggunakan teknik, dan paradigma komunikasi sebagai resolusi konflik.

Sebagai bagian dari profesi yang akrab dengan resolusi konflik, profesi Mediator terbuka secara luas karena memiliki beberapa keunggulan dalam karakteristiknya. Rachmadi Usman (Susanti Adi: 17) memaparkan karakteristik mediasi yang harus dipahami oleh Mediator, dalam pokok-pokok sebagai berikut:

Tabel 2. Karakteristik Mediasi No Karakteristik Mediasi

1 kerelaan Sukarela

2 pemutus Oleh para pihak, bukan sepihak

3 Banding mengikat

dan tidak mengikat

Jika tercapai kesepakatan maka dapat dilaksanakan seperti sebuah perjanjian kontrak yang mengikat

4 Pihak lain Dipilih oleh para pihak, dan dijadikan/ menjadi penengah, serta berfungsi sebagai fasilitator (mediator)

5 Derajat formalitas Biasanya informal, tidak terstruktur, dan tidak berbelit-belit 6 Aturan pembuktian Tidak ditentukan saklek, semua berdasarkan kesepakatan para

pihak

7 Hubungan para

pihak

Kooperatif dan kerjasama

8 Proses

penyelesaian

Presentasi bukti, argumen, dankepentingan tidak mengikat

29

Kamus Besar Bahasa Indonesia – online. Pemaknaan resolusi ini adalah dari aspek gramatik atau tata bahasa. Dalam perkembangan praktek bermediasi, resolusi konflik ini termasuk dalam kelompok ADR

Alternative Dispute Resolution atau menyelesaikan persengketaan/ konflik dengan cara-cara damai dan di luar jalur litigasi. Namun pada kenyataannya, sebagian pihak masih memilih menyelesaikan konflik dengan cara- cara litigasi di pengadilan, atau dalam beberapa kasus, menyelesaikan konflik dengan cara-cara yang tidak patut.

9 Fokus penyelesaian Masa depan

10 Suasana emosionil Bebas emosional negatif

11 Hasil Kesepakatan yang diterima kedua pihak, win win solution

12 Publikasi Rahasia, sangat pribadi, privat

13 Jangka waktu Segera, 3-6 minggu,

Sementara itu, Christopher W. Moore – seorang ahli mediasi membagi profesi mediator dalam 3 kelompok (Susanti Adi, 2009: 26) yaitu

1. Social Networks Mediator yaitu orang-orang yang dikenal baik dan dapat dipercaya dan diterima oleh oara pihak yang berkonflik. Esensi dari definisi ini adalah bahwa resolusi konflik memerlukan keserasian dan keinginan untuk sama-sama tetap memiliki hubungan baik dimana mediator menjadi komponen pelengkap bersama para pihak.

2. Autoritative Mediators yaitu mediator yang berusaha membantu menyelesaikan konflik dengan cara membuat para pihak merasa sama-sama kuat dan seimbang sehingga para pihak memiliki potensi dan kapasitas untuk memengaruhi hasil akhir dari suatu proses mediasi. Peran Autoritative Mediators dihormati dan dikehendaki oleh para pihak, ia memiliki pengaruh tetapi tidak mempengaruhi para pihak yang berkonflik agar menyelesaikan konflik sesuai caranya. Autoritative Mediators mendorong para pihak yang berkonflik agar secara terbuka mau menyelesaikan konfliknya melalui komunikasi- komunikasi yang intens.

Autoritative Mediators (AM) memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

2.1 AM Benevolent yaitu tidak memiliki hubungan dengan para pihak, mencari solusi bagi para pihak, tidak berpihak, dan kemungkinan mempunyai sumber daya untuk membantu pemantauan dan implementasi kesepakatan.

2.2 AM Administrative/ managerial mediator yaitu memiliki hubungan otoritatif dengan para pihak, mencari penyelesaian yang diupayakan bersama- sama, berwenang memberi saran, dan kemungkinan mempunyai sumber daya untuk membantu pemantauan dan implementasi kesepakatan.

2.3 AM Vested Interested Mediator yaitu memiliki hubungan dengan para pihak, memiliki kepentingan yang kuat terhadap hasil akhir, turut memikirkan

kepentingan diri sebagai mediator dan para pihak, kemungkinan mempunyai sumber daya, dan tekanan untuk membantu pemantauan dan implementasi kesepakatan

3. Independent Mediators atau Mediator Mandiri adalah mediator yang menjaga jarak terhadap pihak yang bersengketa atau menjaga jarak dengan persoalan yang dihadapi. Mediator tipe ini banyak ditemukan dalam masyarakat yang telah mengembangkan tradisi kemandirian dan mampu menghasilkan banyak mediator profesional. Mediator Mandiri wajib menjaga jarak antara dirinya dengan para pihak dan materi konflik yang sedang ditanganinya. Penulis berpandangan bahwa pengklasifikasian Mediator ini berhubungan dengan latar belakang dan kemampuan masing-masing mediator dalam melaksanakan tugasnya guna menyelesaikan konflik, baik latar belakang pendidikan, keahlian, maupun alasan sosial. Sebagian Mediator memiliki latar belakang di bidang hukum dan berprofesi sesuai dengan pendidikan formalnya seperti Hakim, atau ada pula yang berlatar pendidikan keahlian sesuai

profesionalitasnya tanpa harus berlatar belakang pendidikan hukum, dan Mediator yang menjalankan tugas karena latar belakang keyakinan dan kepercayaan masyarakat terhadap kearifan dan kemampuannya menyelesaikan konflik, seperti Kepala Adat.

Secara formal, kewajiban bermediasi yang ditengahi oleh Mediator diatur dalam sejumlah Undang-Undang, antara lain yaitu:

 Undang-Undang No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan hidup

 Undang-Undang No 2 Tahun 2004 tentang Ketenagakerjaan

 Undang-Undang No 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi

 Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

 Undang Undang No 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

 Undang-Undang No 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi

 Undang-Undang No 14 Tahun 20001 Tentang Paten

 Undang-Undang No 15 Tahun 2001 tentang Merek

Sebagai bagian dari resolusi konflik yakni Alternative Dispute Resolution (ADR), ADR sering dimaknai sebagai resolusi, terobosan atau alternatif dalam menyelesaikan konflik dengan pengistilahan yang bervariatif seperti manajemen konflik kooperatif, atau penyelesaian konflik diluar pengadilan. Salah satu pertimbangan penting mengapa resolusi konflik memerlukan terobosan khususnya melalui pendekatan komunikasi adalah karena sistem hukum dapat menjadi borderless atau tidak berbatas sehingga diperlukan resolusi konflik yang dapat diterima oleh semua pihak, apapun latar belakangnya (Susanti Adi: 2009, 5)

Profesi Mediator dalam tulisan ini menyorot pada perannya sebagai penyelesai konflik yang memiliki keunikan sendiri dimana Mediator diharuskan memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik, terutama kemampuan mendengar dan posisinya yang wajib netral. Kemampuan berkomunikasi merupakan syarat penting bagi Mediator seperti diatur dalam Pedoman Perilaku Mediator yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung RI.

Kajian Teori/ Konsep

Metode penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif. Penelitian ini menggunakan deskriptif analisis yang menjelaskan profesi Mediator sebagai profesi yang mengembangkan resolusi konflik, dan bagaimana mempromosikan profesi Mediator sebagai salah satu profesi yang dapat lebih diterima oleh masyarakat, baik gaungnya maupun sebagai cara yang tepat untuk dipilih dalam menyelesaikan konflik dalam kehidupan sosial sehari-hari.

Penulis mengkaji cara mempromosikan profesi Mediator seperti yang dilakukan oleh salah satu lembaga mediasi yang terakreditasi Mahkamah Agung RI yaitu Jakarta International Mediation Centre ( JIMC) yang beralamat di Plaza Gani Djemat Lantai 7 Jl, Imam Bonjol No 76 Jakarta. Peneliti menerapkan penelitian kualitatif dan model Defining Advertising Goal for Advertising Measure (DAGMAR) yang biasa digunakan dalam dunia periklanan atau advertising. Dalam penelitian ini digunakan dua jenis data, yakni data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari sumber data pertama atau tangan pertama di lapangan. Sumber data ini adalah wawancara, observasi. (Kriyantono).

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Profesi Mediator identik dengan resolusi konflik. Tetapi masyarakat belum mengetahui atau memahaminya dengan baik. Peneliti melihat ketidaktahuan masyarakat tentang profesi Mediator disebabkan oleh banyak faktor. Walaupun sebenarnya, profesi Mediator sangat berpeluang dan memiliki tantangan yang menarik dalam menyelesaikan konflik.

Beberapa salah pengertian tentang profesi ini ditemukan dalam pemahaman sebagai berikut:

Tabel 3.

Beberapa pengertian tentang MEDIATOR yang telah berkembang di masyarakat

Juru antara jual beli tanah, kebun, rumah. Di Palangkaraya ditemukan pemahaman sebagian masyarakat tentang pekerjaan mediator sebagai juru antara jual beli.

Orang-orang yang bekerja di dunia advertising dan menjadi perantara dalam proses jual beli media: buying, budgeting, planning,

Salah satu peran peran Public Relations dalam menjembatani hubungan kerjasama atau komunikasi antara korporat dengan pihak ketiga.

Salah satu peran Marketing dalam mencapai tujuan order, target, atau permintaan klien dengan cara menjadi perantara

Bahasa penghalus dari istilah CALO

(Hasil olahan JIMC dan Penulis saat mengadakan Pelatihan Mediator Bersertifikat Terakreditasi Mahkamah Agungg RI di Palangkaraya, 2010).

Sementara Profesi mediator yang dimaksud dalam tulisan ini adalah merujuk pada PERMA No 1 Tahun 2016 pasal 1 ayat 3:

Mediator adalah Hakim atau pihak lain yang memiliki Sertifikat Mediator sebagai pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan suatu penyelesaian.

Profesi Mediator dapat dilakoni oleh Hakim atau pihak lain. Pihak lain adalah siapapun yang memiliki Sertifikat Mediator dengan cara yang bersangkutan mengikuti pendidikan dan pelatihan Mediator Bersertifikat 40 Jam sesuai ketentuan dari Mahkamah Agung Republik Indonesia. Pada prakteknya profesi mediator dapat dijalankan oleh Hakim, orang-orang yang memiliki Sertifikat Mediator, dan pihak lain yang dipercaya memiliki kemampuan untuk memediasi.

Penyebab ketidaktahuan profesi mediator ini dapat dicermati berdasarkan konsep tingkatan DAGMAR - Defining Advertising Goal for Advertising Measure (Tom Brannan: 42)yaitu

Tabel 4. Model DAGMAR

Model DAGMAR ini menempatkan ketidaktahuan masyarakat terhadap sesuatu nama diri atau identitas seperti merek, brand, profesi (profesi Mediator) sebagai alasan pertama mengapa sebuah identitas belum/ tidak dikenal baik di tengah masyarakat. Hal ini berarti telah berkembang ketidaksadaran (un-awareness) di tengah masyarakat bahwa sebenarnya profesi mediator mungkin ada, mungkin tidak ada, namun masyarakat tidak mengetahuinya sehingga perlu dikembangkan pemahaman-pemahaman yang berkelanjutan dan jitu tentang profesi Mediator. Alasan kedua adalah mengembangkan pemahaman ke arah yang lebih baik sehingga tercipta kesadaran (awareness) yang berlanjut ke pemahamanan (comprehension) sehingga timbul keyakinan (conviction) dan diakhiri dengan tindakan nyata (action) untuk menggunakan jasa Mediator untuk menyelesaikan konflik.

Salah satu cara mengampanyekan profesi Mediator adalah dengan mengadakan pelatihan-pelatihan mediasi ke berbagai daerah di Indonesia. Namun usaha ini juga memiliki kendala khusus, seperti diuraikan oleh Dr Triana Dewi Seroja, SH, M.Hum selaku Sekretaris Jenderal Jakarta International Mediation Centre (JIMC) bahwa

“... anggaran untuk promosi profesi mediator cukup besar. Sementara kebutuhan jasa tenaga Mediator masih perlu ditingkatkan. Untuk mengadakan sekali pelatihan mediator, JIMC masih mengandalkan pada kas lembaga dan biaya pendaftaran peserta yang bervariasi antara/ sebesar 5-7 juta rupiah/ orang, tergantung ke kota mana, di kota mana JIMC mengadakan pelatihan tersebut. Jumlah peserta yang relevan adalah minimal 20 orang untuk di luar pulau Jawa. Karena akomodasi dan biaya perjalanan itu sangat urgent. Kalau di bawah 20 orang peserta, JIMC belum bisa melaksanakannya karena pasti akan minus. Di luar itu, JIMC juga harus memperhitungkan sumber dana program karena JIMC memang tidak boleh menggunakan sponsor atau kerjasama komersial. Di masa datang, JIMC juga terus memikirkan bagaimana dapat melaksanakan serangkaian promosi aktif tanpa harus terbebani oleh ketentuan formal tentang etika beriklan...”

(diskusi internal Penulis dengan nara sumber)

Ketidaksadaran

Kesadaran

Pemahaman

keyakinan

Profesi Mediator merupakan profesi yang menyelesaikan konflik dengan pendekatan komunikasi dan memerhatikan kepentingan para pihak. Di dalam Pedoman Perilaku Mediator MA RI 2010, pasal 3 disebutkan bahwa

Dalam menjalankan fungsinya, mediator harus beritikad baik, tidak berpihak, dan tidak mempunyai kepentingan pribadi serta tidak mengorbankan kepentingan para pihak.

Menurut hemat Penulis, pasal ini menyiratkan pentingnya pendekatan komunikasi dalam bentuk itikad baik yang terbukti, imparsial/ netral, tidak memiliki kepentingan pribadi sama sekali, dan selalu menjaga kepentingan masing-masing pihak yang berkepentingan. Dihubungkan dengan pernyataan di atas, komunikasi merupakan sebuah sistem, dan sistem tersebut adalah kajian yang bersifat multidisipliner yang terkait dengan bidang-bidang lainnya seperti politik, sosiologi, ekonomi, hukum, dan sejarah (Anwar Arifin, 2014:11). Dalam pandangan penulis, konflik dapat berisikan materi-materi beragam. Oleh karena itu, seorang Mediator harus berpandangan luas dalam mencermati materi konflik saat menyelesaikan konflik dengan pendekatan komunikasi yang tepat.

Peran Komunikasi dalam Profesi Mediator

Peran komunikasi dalam profesi Mediator tertuang dalam Mediator‟s Skills yang menempatkan point ke VI untuk Keterampilan Komunikasi yang menyebutkan dengan tegas bahwa Mediator harus menguasai ketrampilan komunikasi dalam wujud komunikasi verbal dan non verbal, kemampuan mendengar yang baik, kepiawaian melakukan re-framing/

membingkai ulang kalimat, kehandalan dalam mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang komunikatif, kemahiran reiterasi yakni mengulang pertanyaan untuk meyakinkan, ketepatan untuk menyimpulkan dan membuat catatan, dan bersikap empati serta melakukan humor di situasi dan kondisi yang tepat (Mediator‟s Skills, JIMC Modul: 18)

Bagi Mediator yang bukan berlatar belakang pendidikan formal komunikasi, materi- materi komunikasi ini mungkin dirasakan sebagai sesuatu yang baru dan sulit. Namun pada prakteknya, berkomunikasi bagi seorang Mediator dalam menyelesaikan konflik sudah dilakukan secara alamiah dan mengikuti ketentuan formal. Di meja mediasi, komunikasi yang dilakukan oleh Mediator banyak dipengaruhi oleh komunikasi antarpribadi yang menitikberatkan pada pentingnya hubungan baik antara Mediator dengan para pihak yang berkonflik. Untuk itu, para Mediator selalu menggunakan jarak fisik yang wajar dalam berkomunikasi secara verbal, namun juga harus dapat menangkap hal-hal yang bersifat non verbal yang tersembunyi, tak terkatakan, atau tak terlihat selama proses menyelesaikan konflik dilakukan.

Edward Hall – penemu proxemics yaitu penggunaan jarak dalam berkomunikasi mengemukan bahwa dalam budaya Anglo Amerika, dikenal empat jenis jarak yang harus