• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

9 Status Pernikahan

5.1.2.2. Respon Psikososial Usia Dewasa Menengah

Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang mengalami respon psikososial pasca erupsi positif sebanyak 48 responden (98. 0%) dan responden yang mengalami respon psikososial pasca erupsi negatif sebanyak 1 responden (2. 0%). Gambaran ini dapat dilihat pada tabel 5. 1. 4 berikut.

Tabel 5.1.2.2.

Distribusi Frekuensi Respon Psikososial Usia Dewasa Menengah Pasca Erupsi Sinabung di Desa Batu Karang Kecamatan Payung Kabupaten Karo

Respon Psikososial Usia Dewasa Menengah Frekuensi Persentase (%)

Respon Psikososial Positif 48 98,0

5. 2 Pembahasan

5. 2. 1. Respon Psikososial Usia Dewasa Awal

Hasil penelitian pada dewasa awal (usia19-40 tahun) sebanyak 47 responden (97,9%) mengalami respon psikososial positif dan hanya 1 responden yang mengalami respon psikososial yang negatif (2,1%) pasca erupsi Sinabung. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa respon psikososial usia dewasa awal pasca adanya erupsi Sinabung baik. Dewasa awal adalah jenjang usia di mana tahap perkembangan seseorang sedang berada pada puncaknya. Peningkatan yang terjadi dimanifestasikan melalui berbagai macam hal, seperti sosialisasi yang luas, penelitian karir, semangat hidup yang tinggi, perencanaan yang jauh kedepan, dan sebagainya. Berbagai keputusan penting yang mempengaruhi kesehatan, karir, dan hubungan antar pribadi diambil pada masa dewasa awal (Papalia & Olds, 1998).

Menurut Erikson dalam Upton (2012) dewasa awal perlu membentuk hubungan dekat dan cinta dengan orang lain. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian pada korban erupsi Sinabung yang dapat dilihat pada pernyataan pada kuesioner penelitian bahwa mereka melibatkan diri pada setiap kegiatan di lingkungannya, 42 (87,5%) responden mengatakan tidak pernah malu berteman dengan orang lain, lebih sering berinteraksi dengan orang-orang di sekitar bahkan 31 (64,4%) responden dengan mudah dapat akrab dengan orang-orang baru. Hal ini sejalan dengan pendapat Stanhope dan Knollmueller (2010 dalam Priyo, 2012) yang mengatakan bahwa bersosialisasi dapat mengurangi stres. Hal yang senada juga diungkapkan Friedman

(2010) yang menyatakan bahwa interaksi yang berulang-ulang terbukti penting bagi kesehatan psikologis pada saat stres. Menurut Mastuti (2001 dalam Iriani, 2005) bahwa sebagai mahluk sosial, manusia tidak dapat lepas dari orang lain, kepuasan dan keberhasilan dalam hidupnya tidak terlepas dari keberhasilan dalam berinteraksi dengan orang lain.

Dalam Potter & Perry (2009) pada individu dewasa awal biasanya terjadi masalah kesehatan psikososial yang berhubungan dengan pekerjaan dan stresor dari keluarga. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 45.8% responden cocok di tempat kerjanya yaitu sebagian besar berprofesi sebagai petani hal ini mungkin karena mereka sudah terampil bekerja sebagai petani. Menurut Hurlock (1980) seseorang yang memiliki keterampilan lebih sulit untuk mengganti jenis pekerjaan karena ia kesulitan dalam mencari jenis keterampilan baru. Jika dilihat secara umum dari hasil penelitian pada usia dewasa awal memiliki respon yang positif pasca erupsi namun terdapat beberapa responden yang mengalami stres dalam bekerja yaitu sebanyak 7 (14,6%) responden yang mengatakan bahwa mereka tidak pernah konsentrasi saat bekerja dan sebanyak 21 (43,8%) responden yang kadang-kadang dapat konsentrasi saat bekerja. Hal ini sesuai dengan penelitian Kun et al (2009) menyatakan korban gempa bumi di Cina menunjukkan stres dan mengalami gangguan konsentrasi.

Stresor yang menyebabkan korban erupsi tidak dapat konsentrasi saat bekerja adalah paparan abu vulkanik yang tak kunjung berhenti sehingga mengganggu kesehatan dan membuat lahan pertanian rusak serta ketakutan akan gemuruh dari erupsi gunung yang tiba-tiba. Jikalau hal ini terus terjadi kemungkinan besar akan

mengalami masalah psikososial karena penurunan pendapatan keluarga bahkan kehilangan mata pencaharian. Padahal pendapatan atau penghasilan menentukan status ekonomi keluarga (Pappas, 1994 dalam Stanhope & Lancaster , 1996).

Usia dewasa awal merupakan masa perubahan peran yaitu menjadi orang tua yang merupakan masa berbahaya dimana dengan hadirnya seorang anak dalam keluarga, anak-anak tumbuh semakin besar yang tentu menjadi beban yang semakin besar, anak yang tumbuh besar banyak melakukan kritik dan berbeda pendapat dengan orang tua serta orang tua yang berbeda pendapat dalam mendidik anak-anak (Hurlock, 1980). Namun dalam penelitian ini menunjukkan bahwa orang tua dapat menjadi orang tua yang baik bagi anak-anaknya sebanyak 77,1% dan dapat memenuhi kebutuhan anak-anak sebanyak 70, 8%.

5. 2. 2. Respon Psikososial Usia Dewasa Menengah

Respon psikososial yang sama juga terjadi pada usia dewasa menengah. Dari 49 jumlah responden terdapat 48 responden (98,0%) yang mengalami respon psikososial positif dan 1 responden (2,0%) yang mengalami respon psikososial negatif pasca adanya erupsi Sinabung.

Menurut Potter & Perry (2009) kesehatan psikososial yang dialami oleh usia dewasa menengah adalah ansietas dan depresi yang ditimbulkan banyak faktor seperti kegagalan atau kehilangan di pekerjaan, sekolah, dan hubungan keluarga. Potter & Perry (2009) juga menyebutkan individu yang mengalami depresi sedih, murung, putus asa, gangguan pola tidur seperti sulit tidur (insomnia) atau tidur yang berlebihan (hipersomnia) serta perasaan tidak berguna. Pada penelitian ini meskipun

didapatkan hasil akhir bahwa usia dewasa menengah mengalami respon psikososial positif, namun ada beberapa item kuesioner yang merupakan pernyataan negatif dialami oleh para korban erupsi.

Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 20 (40,8%) responden sering menangis, 34 (69,4%) responden mengalami gangguan tidur yaitu terlalu sedikit tidur sehingga menyebabkan rasa lelah ketika bangun tidur, 22 (44,9%) responden sering mengalami sakit kepala, dan mengalami gangguan pola makan yaitu sebanyak 31 (63,3%) responden menyatakan lebih sedikit makan. Gejala-gejala tersebut merupakan indikasi bahwa para korban erupsi mengalami gangguan psikis. Menurut penelitian Taufik (2005) beberapa gejala psikologis yang di alami oleh para korban bencana antara lain: rasa takut, cemas, duka cita yang mendalam (berlarut dalam kesedihan), tidak berdaya, putus asa, dan kehilangan kontrol yang ditandai dengan teringat kembali kejadian traumatik yang telah di alaminya secara berulang-ulang, pobia, frustasi, depresi, psikosomatis dan somatopsikologis.

Menurut Mundakir (2009) salah satu dampak psikososial yang terjadi pada individu yang mengalami bencana adalah perubahan kognitif yaitu penurunan daya pikir seperti tidak mampu berpikir jernih, menjadi ragu-ragu karena tidak ada kepastian dan pikiran yang terpecah-pecah dan persoalan lainnya yang sedang dihadapi. Perubahan kognitif terjadi dengan ciri pikiran kacau, salah persepsi, menurunnya kemampuan untuk mengambil keputusan, menurunnya daya konsentrasi dan daya ingat, mengingat hal-hal yag tidak menyenangkan dan menyalahkan diri sendiri (Norris, F.H, 2008 dalam Mundakir, 2009)

Pada kedua kategori usia, dewasa awal dan dewasa menengah dari hasil penelitian para korban rata-rata berada pada tingkat pendidikan tinggi SMU (Sekolah Menengah Umum). Hal ini tentu berpengaruh terhadap koping para korban saat menghadapi bencana. Menurut Effendy (2008) menyatakan , semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin mudah menerima informasi sehingga banyak pula pengetahuan yang dimiliki dalam hal ini adalah bagaimana para korban Sinabung menyikapi bencana yang sedang dihadapi.

Hasil penelitian Muna, Arwani, dan Purnomo (2013) tingkat pendidikan dasar mempunyai peluang 0. 071 kali mengalami depresi dibandingkan dengan tingkat pendidikan menengah. Hal ini sejalan dengan pendapat Nursalam & Siti (2002) bahwa pendidikan dapat mempengaruhi seseorang termasuk juga perilaku seseorang akan pola hidup terutama dalam motivasi untuk sikap, berperan dalam pembangunan kesehatan.

Data demografi responden dewasa awal dan dewasa menengah menunjukkan bahwa 100% sudah menikah dan 97% sudah memiliki anak. Menurut penelitian Trilistya (2006) kejadian depresi pada orang yang menikah lebih tinggi di banding yang tidak menikah karena menikah merupakan salah satu jenis stresor. Orang yang menikah memiliki tanggungan hidup yang lebih besar dibandingkan dengan yang tidak menikah, misalnya tuntutan untuk mencari nafkah keluarga, kebutuhan akan tempat tinggal dan lain-lain.

Pernyataan di atas berbanding terbalik dengan hal yang di alami oleh para korban erupsi yang menyatakan bahwa dengan adanya suami, anak-anak bahkan

keluarga besar justru menjadi semangat dan dukungan bagi para korban untuk tetap bertahan. Hal ini terbukti dari pernyataan responden pada usia dewasa awal sebanyak 77,1% mengaku dapat menjadi orang tua yang baik dan sebanyak 70,8% orang tua dapat memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Karakteristik responden dengan 100% menikah selain menjadi indikasi bahwa para korban mendapat dukungan baik dari suami/istri hal ini juga dapat dikaitkan dengan pemenuhan seksual para korban erupsi. Dari kuesioner sebagian besar responden dapat melakukan kewajibannya sebagai seorang suami/istri dalam hal hubungan suami/istri dan menyatakan kebutuhan seksualnya terpenuhi. Seksual adalah kebutuhan fisiologis. Kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan mendasar yang harus dipuaskan terlebih dahulu sebelum kebutuhan lainnya (Maslow 2000, dalam Baihaqi et al., 2007). Seksual jika dikaitkan dengan psikososial bahwa hubungan seksual dapat menurunkan stres (Virginasari, 2011).

Respon psikososial pada usia dewasa menengah yang positif mungkin dipengaruhi oleh dukungan keluarga dan orang-orang di sekitar para korban. Hal ini juga dapat terlihat pada jawaban responden pada kuesioner sebanyak 91,8% responden akur dengan saudara-saudaranya dan 18,4% responden selalu mendengarkan atau menerima saran-saran dari orang dewasa lainnya dalam artian ada proses saling membangun. Penelitian yang dilakukan oleh Mundakir (2009) bahwa dukungan sosial dari suami atau istri , tokoh masyarakat maupun tokoh agama dapat mempengaruhi psikologis. Dari observasi peneliti dan pengakuan para responden, bahwa mereka menjadi lebih sering beribadah setelah adanya erupsi seperti pergi ke

gereja dan menghadiri perpulungen jabu-jabu setiap minggunya bagi yang beragama Kristen, wiridan bagi yang beragama Islam. Motivasi ibadah yang tinggi akan meningkatkan kekebalan dalam menghadapi stresor (Liza, 2008). Menurut penelitian yang dilakukan Argyle (2001) dalam Amawidyati & Utami (2007) menyatakan bahwa religiusitas membantu individu mempertahankan kesehatan mental pada saat-saat sulit. Menurut Najati (2005) kehidupan religius atau keagamaan dapat membantu manusia dalam menurunkan kecemasan, kegelisahan, dan ketegangan.

Erupsi Sinabung yang telah berlangsung cukup lama yaitu sekitar 5 tahun. Dan 3 tahun belakangan hingga sekarang Sinabung terus mengeluarkan debu panas. Hal ini membuat para korban di Desa Batu Karang sudah terbiasa dengan kondisi seperti letusan-letusan, paparan abu, bahkan kondisi lahan pertanian yang sering gagal panen.

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN 6. 1. Kesimpulan

Hasil penelitian yang diperoleh dari 97 responden, yang dibagi kedalam dua kategori usia dewasa yaitu dewasa awal 48 responden dan dewasa menengah 49 responden. Dari 48 orang dewasa awal sebanyak 47 (97,9%) responden yang mengalami respon psikososial positif dan 1 (2,1%)

Responden yang mengalami respon psikososial negatif. Dari 49 orang usia dewasa menengah sebanyak 48 (98,0%) responden yang mengalami respon psikososial positif dan 1 (2,0%) responden yang mengalami respon psikososial negatif.

6. 2. Saran

1) Bagi Pendidikan Keperawatan

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi mahasiswa untuk mengaplikasikan asuhan keperawatan jiwa khususnya bagi masyarakat yang sedang atau pasca mengalami bencana.

2) Bagi Pelayanan Keperawatan

Bagi praktik keperawatan diharapkan agar dapat meningkatkan pelayanan keperawatan jiwa khususnya pelayanan bagi masyarakat yang sedang atau pasca

mengalami bencana untuk menghindari dan mencegah terjadinya perubahan psikologis dan sosial bagi para korban.

3) Bagi Penelitian Keperawatan

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi penelitian selanjutnya khususnya mengenai respon psikososial usia dewasa pasca erupsi. Diharapkan ada penelitian selanjutnya untuk mengembangkan penelitian yaitu tentang hubungan antara lama waktu terjadinya suatu bencana dengan respon psikososial para korban.

6. 3. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki keterbatasan dan kekurangan yaitu instrumen penelitian yang kurang sesuai untuk menggambarkan kondisi psikososial para korban erupsi, oleh sebab itu bagi peneliti selanjutnya supaya mempertimbangkan instrumen penelitian ini sehingga dapat menggambarkan hasil penelitian sesuai dengan tujuan penelitian.

Dokumen terkait