• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V: SIMPULAN DAN SARAN, membahas tentang simpulan hasil penelitian dan saran untuk para jamaah Majlis Taklim Baiturrahaman Bukit

TINJAUAN TEORITIS

C. Macam-macam Respon

Dalam bukunya Onong Uchjana Efendy, dijelaskan bahwa:

a. Respon kognitif, yaitu respon yang berkaitan erat dengan penegetahuan keterampilan dan informasi seorang mengenai sesuatu. Respon ini timbul apabila adanya perubahan terhadap yang dipahami atau dipersepsi oleh khalayak.

7 Rafi’udin, Maman Abdul Djaliel, Prinsip dan strategi Dakwah, ( Bandung: CV Pustaka Setia, 1997), cet. Ke-1, h. 9

8

b. Respon afektif, yaitu respons yang berhubungan dengan emosi, sikap dan menilai sesorang terhadap sesuatu. Respons ini timbul bila ada perubahan pada yang disenangi khalayak terhadap sesuatu.

c. Respon konatif, yaitu respons yang berhubungan dengan prilaku nyata, meliputi tindakan atau kebiasaan.

Bentuk dan macam-macam respons yang diartikan sebagai tanggapan dapat dibedakan berdasarkan indera yang digunakan menurut asalnya ataupun ikatannya, berdasarkan indera yang dipakai tanggapan terbagi menjadi lima macam, dalam hal ini Abu Ahmadi mengatakan: “menurut indera yang digunakan tanggapan pengadilan, tanggapan baru, tanggapan pengecap, tanggapan pendengar, tanggapan peraba.” Menurut ikatannya, tanggapan dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu tanggapan keberadaan dan tanggapan pengamatan.9 D. Faktor-fakrtor Terbentuknya Respon

Terdapat 2 faktor yang mempengaruhi terbentuknya sebuah respons, yaitu:

a) Faktor internal, yaitu faktor yang ada dalam diri individu manusia itu sendiri dari 2 unsur yakni rohani dan jasmani. Maka seseorang yang mengadakan tanggapan terhadap sesuatu stimulus maka akan tetap dipengaruhi oleh eksistensi 2 faktor di atas. Dan apabila satu unsur saja terganggu maka akan menghasilkan sebuah tanggapan yang.

Unsur jasmani meliputi keberadaan, keutuhan, dan cara kerja alat indera, urat syaraf dan bagian-bagian dari otak. Sedangkan unsur-unsur psikologi meliputi perasaan, akal, jiwa, fantasi, mental pikiran, motivasi dan sebagainya.

b) Faktor ekstenal, yaitu faktor yang berada pada lingkungan. Menurut Bimo Walgianto dalam bukunya, menyatakan bahwa faktor psikis berhubungan dengan objek menimbulkan stimulus dan stimulus akan mengenani alat indera.10

Manusia adalah salah satu mahluk Allah yang paling sempurna di beri akal, pikiran dan indera maka dari itu manusia akan terus menggali segala sesuatu yang ada di sekitarnya.

E. Dakwah

1. Pengertian Dakwah

Ditinjau dari segi bahasa “Dakwah” berarti panggilan, seruan, atau ajakan. Bentuk perkatan tersebut dalam bahasa Arab disebut Mashdar . sedangkan bentuk kata kerja atau Fi’ilnya adalah yang berarti memanggil, menyeru, atau mengajak. Sedangkan orang yang berdakwah disebut dai, dan orang yang menerima dakwah disebut mad’u.11

Secara defenitif, dakwah dirumuskan oleh para ahli dalam teks dan konteks yang bervariasi. Hal ini terlihat dalam oreintasi dan penekanan bentuk kegiatan. Berikut ini dikemukakan berbagai macam rumusan definisi dakwah: 1) Prof. Toha Yahya Omar menyatakan bahwa dakwah islam sebagai upaya

mengajak umat dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah tuhan untuk kemaslahatan di dunia dan akherat.12

2) Prof. Dr. Hamka menyatakan dakwah adalah seruan dan panggilan untuk menganut suatu pendirian yang pada dasarnya berkonotasi positif dengan

10

Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum, (Yogyakarta: UGM, 1996) h, 55

11 Ahmad Warsono Munawir, Kamus al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hal. 407

12

substansinya terletak pada aktivitas yang memerintahkan amar ma’ruf nahi munkar.13

3) Menurut Muhammad Natsir dakwah mengandung arti kewajiban yang menjadi tanggung jawab seorang muslim dalam amar ma;ruf nahi munkar.14 4) Menurut Syiekh Ali Mahfudz, sebagaimana yang dikutip oleh Rafi’udin

menjelaskan bahwa dakwah adalah mengajak (mendorong) manusia untuk mengikuti kebenaran dan petunjuk, menyeru mereka berbuat kebajikan dan melarang mereka dari perbuatan munkar agara mereka dapat kebahagian dunia dan akhirat.15

Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa dakwah adalah menyampaikan dan memanggil serta mengajak manusia ke jalan Allah SWT, untuk melaksanakan perintah-Nya dan menjahui larangan-Nya dalam mencapai kehidupan bahagia di dunia dan di akhirat, sesuai dengan tuntunana agama.

2. Tujuan Dakwah

Tujuan utama dakwah adalah nilai hasil akhir yang ingin dicapai atau diperoleh keseluruhan tindakan dakwah. Untuk tercapainya tujuan utama maka semua penyusunan rencana dan tindakan dakwah harus ditujukan dan diarahkan.

Tujuan utama dakwah sebagaimana telah dirumuskan ketika memberikan tentang dakwah adalah terwujudnya kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat yang diridhai Allah SWT.

Nilai atau hasil akhir yang ingin dicapai oleh keseleuruhan usaha dakwah itu pada hakekatnya adalah merupakan akibat atau konsekuensi logis saja dari dilaksanakannya usaha-usaha itu. Artinya apabila usaha mengajak umat manusia kepada Islam dilakukan dengan sungguh-sungguh, dengan demikian pula usaha merealisir ajaran Islam dalam segenap aspek kehidupan serta usaha amar ma’ruf

nahi munkar dijalankan dengan sebaiknya. Maka dapatlah diharapakan umat

manusia akan memetik buahnya berupa kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Bisri Afandi mengatakan bahwa yang diharapkan oleh dakwah adalah terjadinya perubahan dalam diri manusia, baik kelakuan adil maupun aktual pribadi maupun keluarga dan masyarakat. Way of thinking atau cara berfikirnya berubah, way of life atau cara hidupnya berubah menjadi lebih baik ditinjau dari segi kualitas maupun kuantitas. Yang dimaksud adalah nilai-nilai agama sedangkan kualitas adalah bahwa kebaikan yang bernilai agama itu semakin dimiliki banyak orang dalam segala situasi dan kondisi.16

Berdasarkan pengertian di atas tentang tujuan dakwah, penulis menyimpulkan bahwa tujuan dakwah adalah untuk merubah hidup manusia baik diri sendiri maupun masyarakat lain, baik cara berfikirnya maupun tingkah lakunya.

3. Subjek dan Objek dakwah a) Subjek Dakwah

Subjek adalah pelaku atau orang yang melakukan pekerjaan, sedangan subjek dakwah adalah pelaku pekerjaan dakwah seperti da’i, da’iyah, mengajak dan memberi pengajaran dan pelajaran bagi umat agama Islam.

16

Untuk melakukan aktivitas dakwah, seorang da’i perlu mempunyai syarat-syarat dan kemampuan tertentu agar bisa berdakwah dengan hasil yang baik dan sampai apada tujuannya. Persyaratan dan kemampuan yang perlu dimiliki oleh da’i secara umum bisa mencontoh kepada Rasulullah SAW, merupakan standar atau uswatun hasanah bagi umatnya, maka tentunta hal itupun berlaku dalam dakwah Islam.17

Berdasarkan penejelasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa subjek dakwah adalah seorang da’i atau da’iyah yang member pelajaran dan pengajaran tentang agama Islam kepada ummat Islam khususnya.

b) Objek Dakwah

Yang dinamakan objek dakwah atau sasaran dakwah adalah orang-orang yang dituju oleh suatu kegiatan dakwah.18

Seorang da’i harus mengetahui keberagaman audience, dari sudut ideology, mereka ada yang atheis, musyrik, Yahudi, Nasrani dan munafiq. Ada juga yang muslim tapi masih membutuhkan bimbingan atau umat Islam yang masih melakukan maksiat, mereka juga berbeda dari segi intelektualitas, sstatus sosial, kesehatan, pendidikan, ada yang buta huruf, ada yang kaya, miskin, ada yang sehat dan sakit. Oleh karena itu, sebelum seorang da’i melalui dakwah untuk orang lain, ada baiknya ia memperhatikan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Menjadi diri sendiri hingga menjadi panutan dalam hal kebaikan.

2. Memperbaiki keadaan rumah tangga dan keluarga agar menjadi rumah tangga yang Sakinah, Mawaddah dan Rohmah.

3. Memperbaiki masyarakat dengan menebar kebaikan dan memerangi kemunkaran secara bijak, disamping juga memberikan motivasi untuk perbuatan-perbuatan yang baik dan akhlak yang mulia.

4. Mengajak umat non muslim ke jalan yang hak dan syariat Islam.19

Berdasarkan pengertian di atas penulis menyimpulkan subjek dakwah adalah orang-orang yan dituju untuk kegiatan dakwah, orang-orang tersebut di antaranya adalah orang munafiq, atheis, Nasrani, Yahudi, maupun orang muslim itu sendiri yang membutuhkan siraman rohani atau masih membutuhkan bimbingan tantang agama Islam.

4. Metode Dakwah

Dari segi bahasa metode berasal dari dua perkataan yaitu “meta” (melalui) dan “hodos” (jalan cara), maka metode adalah cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai suatu tujuan.20

Sumber yang lain menyebutkan bahwa metode berasal dari bahasa Jerman

methodica artinya ajaran tentang metode. dalam bahasa Yunani metode berasal

dari kata methodos artinya jalan, yang dalam bahasa Arab disebut thariq.21 Sehingga metode adalah cara yang telah diatur dan memulai proses pemikiran untuk mencapai suatau maksud.

Metode dakwah adalah cara-cara tertentu yang dilakukan oleh seorang da’i kepada mad’u untuk mencapai suatu tujuan atas dasar hikmah dan kasih sayang.22

Metode yang harus dijalani oleh seorang da’i, yaitu metode yang sesuai dengan surat an-Nahl ayat 125.

19

Said bin Ali al-Qahtani, Dakwah Islam dakwah Bijak, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), h. 101

20

M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 61

21 Hasanuddin, Hukum Dakwah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), h. 35

22

Menurut Muhammad Natsir dalam bukunya Fiqhud Dakwah mengatakan bahwa hikmah adalah ilmu yang sehat yang sudah dicernakan dengan ilmu yang terpadu dengan rasa periksa, sehingga menjadi daya penggerak untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat, berguna, kalau dibawa dalam bidang dakwah untuk melakukan tindakan yang berguna dan bermanfaat secara efektif.23

Metode yang kedua adalah mauidzatil hasanah, yaitu memeberikan contoh atau nasehat yang baik. Nasehat yang baiak adalah memberikan nasehat kepada orang lain dengan cara yang baik, berupa petunjuk-petunjuk ke arah kebaikan dengan bahasa yang baik yang dapat mengubah hati, agar nasehat tersebut dapat diterima. Jadi dakwah bukan propaganda yang memaksakan orang lain.24

Metode yang ketiga adalah metode al-Mujadalah bil lati hiya ahsan, yaitu penyampaian dakwah yang dilakukan dengan cara berdebat atau bertukar pikiran secara baik, bertukar pikiran disini dapat dilakukan dalam berbagai bentuk dialog, diskusi, seminar dan lain-lain. Dengan tujuan satu sama lain mengenai serta mempelajari, ajaran-ajaran yang satu dengan yang lainnya secara luas untuk menghapuskan sifat sombong kepada ilmu pengetahuan yang dimiliki seseorang.25

Berdasarkan pengertian di atas penulis menyimpulkan metode dakwah adalah cara yang digunkan oleh seorang da’i dalam menyampaikan dakwahnya terhadap mad’u nya. Di dalam al-Quran surat an-Nahl ayat 125 dijelaskan bagaimana cara atau metode yang digunakan dalam berdakwah, cara yang diterangkan dalam al-Quran adalah al-hikmah, Mauidzatil hasanah, dan

Mujadalah bil lati hiya ahsan. Cara inilah yang sampai sekarang masih dipakai oleh para da’i dan da’iyah.

F. Sedekah

1. Pengertian Sedekah

Secara etimologi, sedekah asal kata bahasa Arab ash-shadaqoh yang berarti suatu pemberian yang diberikan oleh seorang muslim kepada orang lain secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu. Juga berarti suatu pemberian yang diberikan oleh seseorang sebagai kebajikan yang mengharap ridho Allah SWT dan pahala semata. Sedekah dalam pengertian di atas oleh para fuqaha (ahli fikih) disebuh sadaqah at-tatawwu' (sedekah secara spontan dan sukarela.26

Secara terminologi, sedekah diartikan sebagai pemberian seseorang,secara ikhlas, kepada yang berhak menerimanya diiringi oleh pemberian pahala dari Allah. Berdasarkan pengertian ini, maka infaq (pemberian sumbangan) harta untuk kebaikan termasuk ke dalam katagori sedekah.27

Sedekah dapat diberikan kepada fakir, miskin, untuk kepentingan umum atau kepentingan orang banyak. Semakin banyak orang yang menerima/menikmati sedekah yang kita berikan semakin besar nilai syukur kita kepada Allah SWT dan tentu saja nilai pahalanya. Disamping itu ada sedekah yang nilai pahala Allah SWT lebih besar dan lebih baik, yaitu sedekah berupa harta benda yang bersifat lama, dan selalu memberikan manfaat, inilah yang

26

Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2007), cet ke-2, hal. 88

27

disebut shadaqah jariyah. Selama barang itu masih dimanfaatkan, selama itu pula orang yang bersedekah masih mendapat pahalanya.28

2. Dasar Hukum Sedekah

Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa sedekah merupakan salah satu perbuatan yang disyariatkan dan hukumnya adalah sunnah. Di samping sunah, adakalanya hukum sedekah menjadi haram yaitu dalam kasus seseorang yang bersedekah mengetahui pasti bahwa orang yang bakal menerima sedekah tersebut akan menggunakan harta sedekah untuk kemaksiatan.29

3. Perbedaan Sedekah dengan Zakat

Menurut fukaha, perbedaan sedekah dengan zakat dapat dilihat dari beberapa segi yaitu:

a) Dari segi subjek (orang yang bersedekah)

Sedekah dianjurkan (disunahkan) kepada setiap orang yang beriman, baik miskin maupun kaya, dan kuat lemah. Sedangkan zakat, diwajibkan kepada orang-orang tertentu, yaitu orang-orang kaya yang telah memenuhi persyaratan sebagai wajib zakat. Hal ini diterangkan Nabi SAW dalam hadist, Sesungguhnya Allah mewajibkan zakat kepada mereka yaitu dari harta benda yang mereka miliki, yang diambil dari orang-orang kaya dan beriman

kepada orang-orang faqir (miskin) di antara mereka (HR.

b) Dari segi yang disedekahkan

Pada sedekah yang disedekahkan tidak terbats pada harta secara fisik, melainkan mencakup semua kebaikan, sebagimana dijelaskan pada bagian terdahulu. Sedangkan pada zakat yang dikeluarkan terbatas pada harta kekayaan secara fisik, seperti hasil pertanian, peternakan, perdagangan, dan hasil propesi lainnya.

c) Dari segi penerimanya (objeknya)

Zakat hanya boleh diberikan kepada orang-orang yang telah ditentukan oleh Allah di dalam Al-Quran, yaitu kepada golongan yang delapan.30

4. Perbedaan dan Persamaan Sedekah dan Infaq

a) Sedekah lebih umum dan lebih luas sasarannya dan juga barang yang disedekahkan. Infaq lebih khusus yaitu membelanjakan harta di jalan Allah SWT.

b) Sedekah dan infaq sama-sama hukumnya sunnah. c) Sesuatu yang diberikan sama-sama bermanfaat.

d) Sedekah dan infaq sama-sama mencari pahala sebanyak-banyaknya, dalam rangka taqarrub kepada Allah SWT.31

5. Hikmah Sedekah

a) Sebagai bukti ungkapan syukur kepada Allah SWT. b) Menjauhan sifat kikir dan sombong.

c) Menambah keberkahan pada harta yang kita miliki. d) Menghapuskan sebagian dosa yang telah kita perbuat.

30

Ibid, 91

31

e) Memberikan bantuan/pertolongan terhadapa sesama manusia. f) Menyambung tali silaturrahmi dan persaudaraan.

g) Melindungi keselamatan diri kita di akherat nanti.32 G. Majelis Taklim

1. Pengertian Majelis Taklim

Kata Majelis Taklim terdiri dari dua kata, yaitu “Majelis” dan Taklim”. Kata “Majelis” dalam bahasa Arab berasal dari kata “Jalasa Yajlisu” yang berarti duduk sedangkan kata “Majelis” merupakan “Ism Mashdar” yang mengandung arti tempat duduk. Di dalam kamus bahasa Arab Munjid dikatakan bahwa kata “Majelis” berarti tempat duduk yang di dalamnya berkumpulnya orang-orang. Maka berdasarkan kata asal tersebut, Majelis Taklim adalah wadah atau tempat berlangsungnya kegiatan belajar mengajar, maka terdapat di dalamnya yaitu: jamaah, guru atau ustad, materi yang diajarkan, sarana dan tujuan.33

Sedangkan Dra. Hj. Tutty Alawiyah A.S. dalam bukunya strategi Dakwah di Lingkungan Majlis Taklim, mengatakan bahwa” salah satu arti Majelis adalah pertemuan atau perkumpulan orang banyak, sedangkan Taklim berarti pengajaran atau pengajian Islam”. 34

Pada musyawarah Majelis Taklim se-DKI pada tanggal 9-10 Juli 1980, memberikan batasan (ta’rif) Majelis Taklim adalah lembaga pendidikan non formal Islam yang memiliki kurikulum tersendiri, diselenggarakan secara berkala dan teratur, dan diukuit oleh jamaah yang relatif banyak, dan bertujuan untuk

membina dan mengembangkan hubungan yang santun dan serasi antara manusia dengan Allah SWT.35

Maka dari beberapa definisi di atas, penulis menyimpulkan bahwa Majelis Taklim adalah suatu tempat atau wadah pengkajian dan pengajaran umat Islam yang berbentuk lembaga non formal, yang memiliki bentuk kurikulum tersendiri, dan dilakukan secara teratur, dalam rangka membina umat kepada kehidupan yang sesuai dengan syariat Islam, baik dalam rangka menjalin hubungan

hablumminannas dan hablumminallah.

2. Pengertian Jamaah

Jamaah secara bahasa diambil dari kata dasar jama’a artinya mengumpulkan sesuatu, dengan mendedekatkan sebagian dengan sebagian lain. Dan kata tersebut berasal dari kata ijtima’ (perkumpulan), yang merupakan lawan kata dari tafarruq yang artinya perceraian dan juga lawan kata dari furqah

(perpecahan).

Pengertian jamaah secara istilah (terminologi), yiatu kelompok kaum mukminin, dan mereka adalah pendahulu ummat dari kalangan para sahabat, tabi’in dan orang-orang ynag mengikuti jejak kebaikan mereka sampai hari kiamat. Dimana mereka berkumpul berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah dan mereka berjalan sesuai dengan jalan Rasulullah SAW secara lahir maupun batin.

Istilah Jamaah mempunyai arti yang berbeda-beda konteks, kalimat dan kaitannya.pertama, dikaitkan dengann kata “ahlu sunnah” sehingga menjadi ahlu sunnah wal jamaah, yang berarti golongan yang mengikuti tradisi Nabi Muhammad SAW serat berada dalam kumpulan kaum muslim. Kedua, istilah

jamaah dikaitkan dengan ijma’ sebagai sumber hukum yang merupakan hasil ulama dalam suatu masalah yang didalamnya terjadi sidang pendapat. Ketiga, istilah jamaah dikaitkan dengan iman atau pemimpin, yang berarti komunitas kaum muslimin yang dipimpin seorang imam.

Istilah jamaah juga diakaitkan dengan shalat, terutam dalam pelaksanaan shalat Jumat harus mencukupi jumlah 40 orang. Sehingga jika jumlah ini tidak terpenuhi, maka shalatnya tidak sah. Mazhab-mazhab lain berpendapat bahwa jika pengertian jamaah telah terpenuhi ditinjau dari segi jumlahnya, tiga orang atau lebih, termasuk imam maka shalatnya sah. Hal ini disebabkan arti dari istilah jamaah itu sendiri, yaitu jamak, banyak atau lebih dari tiga orang. 36

Jamaah ada yang bersifat tetap dan ada pula yang bersifat sewaktu-waktu (tidak tetap). Jamaah yang bersifat tetap biasanya jamaah yang mengikuti pengajian yang dilangsungkan di majelis taklik seperti pengajian, pengajian malam Jumat, dan lain sebagainya. Sedangkan jamaah yang tidak tetap adalah jamaah yang hanya mendatangi kegiatan tahunan seperti Maulid Nabi Muhammad SAW.

Adapun yang dimaksud dengan jamaah dalam penelitian ini adalah jamaah yang mengikuti kegiatan pengajian. Mereka adalah jamaah yang rutin mengikuti pengajian yang dilangsungkan di majelis taklim Baiturrahaman Bukit Cinere.

Dokumen terkait