• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PEMBAHASAN

5.4 Sikap Responden

5.4.1. Sikap Responden Tentang Cara Penularan IMS Hanya Melalui Hubungan Seks

Berdasarkan hasil penelitian bahwa responden yang terbanyak menjawab pernyataan tentang cara penularan IMS hanya melalui seks adalah sangat setuju yaitu sebanyak 21 orang (48,3), yang menjawab setuju sebanyak 16 orang (33,3%), dan sebagian menjawab tidak setuju sebanyak 9 orang (18,8%), sedangkan yang menjawab sangat tidak setuju sebanyak 1 orang (2,1%).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Chiuman, L(2009), menyatakan bahwa cara penularan IMS melalui seksual adalah benar yaitu sebanyak 50 orang (59,5%), dan yang menjawab salah yaitu sebanyak 34 orang (40,5%). Ada tiga cara penularan IMS yaitu:

 Hubungan seksual yang tidak terlindungi baik melalui vagina, oral maupun anal, cara ini merupakan cara penularan utama (lebih dari 90%).

 Penularan ibu ke janin selama kehamilan, penularan pada persalinan, penularan sesudah bayi lahir.

 Melalui transfusi darah, suntikan atau kontak langsung dengan darah atau produk darah.

IMS tidak ditularkan bila seorang duduk disamping orang yang terinfeksi, penggunaan kamar mandi umum, kolam renang umum, bersalaman, bersin-bersin dan keringat (DinKes, 2009).

Menurut peneliti sebagian besar dari responden menjawab sangat setuju, hal ini dikarenakan mereka mengetahui bahwa IMS adalah infeksi yang tejadi melalui hubungan seksual, dan itu dapat dilihat dari jawaban responden yang menjawab benar pada pertanyaan pengetahuan yaitu pertanyaan nomor 1. Seluruh

responden menjawab bahwa IMS adalah infeksi yang terjadi melalui hubungan seksual.

5.4.2. Sikap Responden Tentang Tidak Menerima Donor Darah Dari Penderita IMS

Berdasarkan hasil penelitian bahwa responden yang terbanyak menjawab pernyataan tentang tidak menerima donor darah dari penderita IMS adalah yang tidak setuju sebanyak 16 orang (33,3%), yang menjawab setuju sebanyak 15 orang (31,3%), sebagian responden menjawab sangat tidak setuju sebanyak 11 orang (22,9%), sedangkan responden yang menjawab sangat setuju sebanyak 6 orang (12,5%).

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Hermawan (2014), tentang Hubungan tingkat pengetahuan remaja SMA kelas XI mengenai IMS dengan perilaku seksual remaja di SMA Negeri 5 Surakarta, menyatakan bahwa donor darah tidak ada hubungan dengan penderita IMS yaitu tidak sebanyak 119 orang (76,3%), dan yang menjawab ya yaitu sebanyak 37 orang (23,7%).

Pencegahan IMS juga dapat dengan mencegah masuknya transfusi darah yang belum diperiksa kebersihannya dari mikroorganisme penyebab IMS, berhati- hati dalam menangani segala sesuatu yang berhubungan dengan darah segar, mencegah pemakaian alat-alat yang menembus kulit (jarum suntik, alat tindik) yang tidak steril, dan menjaga kebersihan alat reproduksi sehingga meminimalisir penularan (Ica, 2009).

Menurut peneliti responden sudah mulai memahami tentang IMS pada saat mereka menjawab pertanyaan pengetahuan, dapat disimpulkan bahwa setelah membaca pertanyaan pengetahuan tersebut dan menjawabnya, mereka memiliki

gambaran tentang pencegahan IMS, dan mereka juga mulai bersikap positif terhadap pencegahan IMS.

5.4.3. Sikap Responden Tentang Memperbanyak Ilmu Agama Agar Tidak Melakukan Seks Bebas Sehingga Meminimalisasi Resiko Tertular IMS

Berdasarkan hasil penelitian didapat dari pernyataan dengan memperbanyak ilmu agama akan membentengi anda dalam melakukan perbuatan dosa yaitu seks bebas, sehingga meminimalisasi resiko tertularnya IMS yang menjawab paling tinggi yaitu tidak setuju sebanyak 28 orang (58,3%), sangat tidak setuju sebanyak 11 orang (20,8%), setuju sebanyak 5 orang (10,4%), dan angat setuju sebanyak 4 orang (8,3%).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Lokollo (2009) tentang Studi Kasus Perilaku Wanita Pekerja Seksual Tidak Langsung Dalam Pencegahan IMS, HIV/AIDS di PUB dan Karaoke, Cafe, dan Diskotek Semarang, bahwa dalam hal pernyataan yang dilakukan kepada responden tentang agama ada hubungan dengan tidak melakukan hubungan seks bebas. Yang menjawab paling besar adalah sangat tidak setuju yaitu sebanyak 29 orang (58%), dan yang paling rendah menjawab tidak setuju yaitu sebanyak 4 orang (8%).

Sidi (2005), menyatakan bahwa religi (agama) adalah kecenderungan rohani manusia, yang berhubungan dengan alam semesta, nilai yang meliputi segalanya, makna yang terakhir, hakekat dari semuanya itu.

Keyakinan beragama menjadi bagian integral dari kepribadian seseorang. Keyakinan itu yang akan mengawasi segala tindakan, perkataan, bahkan perasaanya, pada saat seseorang tertarik pada sesuatu yang tampaknya

menyenangkan, maka keimanannya akan cepat bertindak menimbang dan meneliti, apakah hal tersebut boleh atau tidak oleh agamanya.

Menurut peneliti ilmu agama sangat penting untuk membentengi remaja dalam hal melakukan seks bebas dengan ditambah lagi pengetahuan tentang bahaya yang akan timbul akibat perilaku seks yang menyimpang. Orang-orang yang mempunyai nilai religius yang tiggi akan selalu patuh terhadap ajararan agamanya, salah satunya adalah untuk tidak melakukan perilaku seks bebas (Astuti, 2008).

Oleh karena itu, orang yang mempunyai tingkat religius yang tinggi akan patuh terhadap apa yang dilarang oleh agamanya. Makin tinggi religuisitas remaja, makin dapat pula remaja tersebut mengatur perilaku seksuanya, sejalan dengan nilai dan norma yang ada. Dalam penelitian ini ditemukan masih banyak dari siswa/i SMA Prayatna yang tidak memahami hal tersebut. Dikarenakan kurangnya pemahaman agama mereka, dan pelajaran agama juga mereka dapatkan dari sekolah hanya seminggu sekali.

5.4.4. Sikap Responden Tentang Seorang Wanita Hamil Terkena HIV Akan Melahirkan Bayi Dengan HIV

Berdasarkan hasil penelitian bahwa responden yang terbanyak menjawab pernyataan tentang jika seorang wanita dalam kondisi hamil terkena HIV akan melahirkan bayi dengan riwayat HIV adalah sangat tidak setuju sebanyak 24 orang (50,0%), yang menjawab tidak setuju sebanyak 13 orang (27,1%), sebagian responden menjawab setuju sebanyak 7 orang (14,6%), sedangkan yang terendah responden menjawab sangat setuju sebanyak 6 orang (12,5%).

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Bangun (2008), bahwa seseorang yang menderita HIV/AIDS pada saat mengandung atau hamil

kemungkinan besar anak yang akan di lahirkan terkena HIV/AIDS juga, responden yang menjawab paling besar adalah tidak setuju yaitu sebanyak 62,5% dan yang menjawab yang paling rendah adalah sangat tidak setuju sebanyak 50%.

Seorang ibu hamil yang mengidap HIV dapat menularkan kepada bayi yang dikandungnya. Bukan berarti HIV/AIDS adalah penyakit keturunan, melainkan HIV menular saat darah atau cairan ibu membuat kontak dengan darah dan cairan anaknya. Penularan HIV pada neonatus terjadi pada saat proses persalinan, melalui kontak langsung kulit dan mukosa membran bayi dengan sekresi genital dan darah ibu HIV pada saat persalinan.

Menurut peneliti bahwa responden kurang memahami tentang kehamilan dan HIV dikarenakan mereka tidak pernah mendapatkan pelajaran tentang itu di sekolah, bahkan sebagian dari mereka tidak pernah mendengarkan bahwa ibu HIV dapat melahirkan bayi dengan HIV juga apabila bayi tersebut dilahirkan secara normal, dikarenakan cairan vagina dan darah mengandung virus yang menyebabkan HIV.

5.4.5. Kategori Sikap Responden

Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan bahwa sikap responden dalam hal pencegahan IMS yang paling tinggi dalam kategori sedang sebanyak 24 orang (50,0%), kategori kurang sebanyak 21 orang (43,8%), dan kategori baik sebanyak 3 orang (6,3%).

Hal ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Handayani (2011), sikap siswa tentang IMS mayoritas baik sebanyak 44 orang (62,9%), dan ada 26 orang (37,1%) bersikap sedang (cukup). Hal ini juga tidak sejalan dengan Penelitian Sri (2011), sikap responden dalam kategori kurang sebanyak 33 orang (66%), sikap sedang 16 orang (32%), dan sikap baik sebanyak 1 orang (2%).

Sikap adalah respon/penilaian tertutup siswa terhadap segala sesuatu mengenai perilaku pencegahan IMS. Sikap berfungsi menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan, mengatur tingkah laku seseorang, mengatur perlakuan dan pernyataan kepribadian seseorang. Sikap berasal dari pengalaman atau dari orang terdekat dengan remaja itu sendiri. Sikap terbentuk karena adanya peran penting dari pengetahuan, berfikir, keyakinan dan emosional (Alfort, 2009).

Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa sikap merupakan respon yang masih tertutup terhadap stimulus atau objek. Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam perilaku karena dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mendukung seperti pengalaman, motivasi, pendidikan dan lainnya. Begitupun yang diungkapkan oleh Paat (2007) bahwa pengalaman yang banyak mengenai informasi pendidikan seks akan mendorong seseorang untuk dapat lebih mudah merubah sikap dan berperilaku lebih baik.

Menurut peneliti jika hal ini dikaitkan dengan kerangka konsep yang telah dibuat, dimana pengetahuan remaja tentang pencegahan IMS akan mempengaruhi sikap remaja terhadap pencegahan IMS. Pada tingkat pengetahuan ditas telah dijelaskan bahwa pengetahuan responden berada dalam kategori sedang, dan sikap responden juga berada dalam kategori sedang sehingga peneliti dapat menarik kesimpulan bahwa dengan pengetahuan yang baik, maka sikap responden juga akan baik.

Menurut Alfort dalam Notoatmodjo (2007), sikap memiliki 3 komponen yaitu : kepercayaan, kehidupan emosional, dan kecendrungan untuk bertindak. Ketiga komponen ini akan membentuk sikap yang utuh. Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting. Dalam mewujudkan sikap yang utuh dari satu individu, pengetahuan dari

individu tersebut sangat memgang peranan yang penting. Dapat disimpulakn bahwa pengetahuan seseorang akan mempengaruhi bagaimana orang tersebut bersikap.

5.5. Tindakan Responden

5.5.1. Tindakan Responden Tentang Kegiatan Seksual Yang Pernah Dilakukan Responden

Berdasarkan hasil penelitian diketahui sebagian besar responden menjawab lebih dari 3 jawaban tentang kegiatan seksual yang pernah dilakukan bersama pacar yaitu sebanyak 28 orang (58,3%), sebanyak 15 orang (31,3%) menjawab antara 2-3 jawaban, dan sangat sedikit yang menjawab kurang dari 2 jawaban yaitu sebanyak 5 orang (10,4%).

Hasil penelitian Fatimah (2013), bahwa aktivitas seksual yang paling banyak dilakukan oleh remaja adalah siswa yang pernah berpegangan tangan dengan pacar sebanyak 101 orang (70,1%), yang tidak pernah berpegangan tangan dengan pacar sebanyak 43 orang (29,9%).

Notoatmodjo (2012), tindakan mempunyai beberapa tingkatan yaitu :

1 Persepsi (perception) yaitu mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil.

2 Respon terpimpin (guided response), bila seseorang dapat melakukan sesuatu dengan urutan yang benar.

3 Mekanisme (mechanism), bila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis.

Pengukuran tindakan dilakukan secara langsung dengan cara mengobservasi tindakan atau keinginan yang dilakukan sedangkan secara tidak langsung melalui wawancara atau menggunakan kuesioner. Dalam mengukur

tindakan terhadap perilaku seksual khususnya pencegahan IMS, penelitian menggunakan atau observasi tidak langsung (Notoatmodjo, 2003).

Perilaku kegiatan seksual pada remaja yaitu ; berdandan untuk menarik perhatian lawan jenis, merayu, menggoda, tebar pesona, curi pandang dan ngelirik-lirik (Saroha, 2009).

Menurut peneliti bahwa remaja melakukan kegiatan seksual sudah menjadi hal yang wajar bagi mereka. Karena hal itu tidak mengganggu orang lain, apalagi mereka menganggap bahwa kegiatan seksual tidak dapat mengakibatkan terjadinya penyakit IMS. Mereka melakukannya hanya untuk mencari perhatian lawan jenis. Meningkatnya dorongan seksual pada remaja yang menyebabkan mereka ingin selalu diperhatikan lawan jenis mereka. Terlebih lagi keseluruhan dari responden memiliki pacar, mereka mengaku sangat senang apabila pasangan mereka memujinya. Jadi mereka harus selalu berpenampilan berbeda dan menarik di dapan pasangan.

5.5.2. Tindakan Responden Tentang Perilaku Seksual Yang Pernah Dilakukan

Berdasarkan hasil penelitian diketahui sebagian besar responden memilih lebih 3 jawaban tentang perilaku seksual yang pernah dilakukan yaitu sebanyak 26 orang (54,2%), sebanyak 16 orang (33,3%) memilih jawaban antara 2-3 jawaban, dan sebanyak 6 orang (12,5%) memilih jawaban kurang dari 2.

Hasil penelitian Sri (2013), responden yang pernah mencium pipi pacar sebanyak 84 orang (58,3%) sedangkan yang tidak pernah sebanyak 60 orang (41,7%). Pernah mencium bibir pacar sebanyak 72 orang (50,0%) dan yang tidak pernah sebanyak 72 orang (50,0%). Pernah berpelukan dengan pacar sebanyak 69 orang (47,9%) dan yang tidak pernah sebanyak 75 orang (52,1%).

Irawati (2005), mengatakan bahwa bentuk-bentuk perilaku seksual pada remaja yaitu ; berpelukan, cium kering, cium basah, meraba bagian tubuh sensitif, petting, oral seksual, dan intercource atau bersenggama.

Menurut peneliti bahwa dalam hal perilaku seksual responden, mereka mengatakan sudah menjadi hal wajar. Mereka melakukannya hanya sebagai ungkapan kasih sayang, dan menjadikan pengalaman berpacaran mereka menjadi bahan curhat mereka di sekolah. Mulai dari kemana pergi berkencan, makan dimana saat berkencan, dan apa saja yang dilakukan saat bersama pacar, serta hal yang lebih sensitif juga mereka ceritakan misalnya apakan mereka menyentuh bagian sensitif pacar dan lain sebagainya. Perilaku seksual seperti percumbuan bahkan sampai melakukan hubungan seksual, bukan suatu hal yang luar biasa dilakukan oleh remaja. Menurut pengakuan mereka hal tersebut mereka lakukan karena memang seperti itulah gaya pacaran remaja zaman sekarang, perilaku tersebut dijadikan sebagai bukti cinta kepada pacar, dan penyaluran seks yang mereka anggap aman, karena melakukannya bersama pacar.

5.5.3. Tindakan Responden tentang Cara Yang Dilakukan Agar Terhindar Dari IMS

Berdasarkan hasil penelitian diketahui sebagian besar responden menjawab tidak melakukan seks yaitu sebanyak 32 orang (66,7%), sebanyak 10 responden (20,8%) menjawab tidak melakukan oral seks, dan tidak melakukan seks, dan sebanyak 6 responden (12,5%) yang menjawab tidak melakukan seks, menggunakan kondom saat berhubungan seksual, dan tidak melakukan oral seks.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Chandra (2012), mengatakan bahwa seks adalah cara untuk menghindar terjadinya penyakit IMS

yang menjawab paling besar adalah ya yaitu sebanyak 47,27%, dan yang menjawab paling rendah adalah tidak yaitu sebanyak 12,73%.

IMS merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting untuk dikendalikan secara cepat dan tepat, karena mempunyai dampak selain pada aspek kesehatan juga politik dan sosial ekonomi. Kegagalan diagnosa dan terapi pada tashap dini mengakibatkan terjadinya komplikasi serius seperti infertilitas, kehamilan ektopik, disfungsi seksual, kematian janin, infeksi neonatus, bayi BBLR (Berat Badan Lahir Rendah), kecacatan bahkan kematian (Ghifari, 2003).

Prinsip umum pengendalian IMS adalah bertujuan untuk memutus rantai penularan IMS dan mencegah berkembangnya IMS dan komplikasinya. Tujuan tersebut dapat dicapai bila ada penyatuan semua sumber daya dan dana untuk kegiatan pengendalian IMS, termasuk HIV/AIDS (Ghifari, 2003).

Menurut peneliti dalam hal tindakan remaja untuk menghindari agar tidak terjadi IMS sudah baik. Karena dilihat dari hasil jawaban remaja, bahwa mereka memilih untuk tidak melakukan seks dalam upaya pencegahan IMS. Hal ini bisa dilihat dari pengetahuan remaja sudah baik dan bisa juga dilihat dari pengalaman setiap remaja.

5.5.4. Kategori Tindakan

Berdasarkan hasil penelitian didapat bahwa kategori tindakan responden tentang pencegahan IMS dalam kategori sedang sebanyak 23 orang (47,9%), kategori kurang sebanyak 19 orang (39,6%), dan kategori baik sebanyak 6 orang (12,5%).

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Handayani (2011), mengatakan bahwa tingkat tindakan PSK tentang IMS adalah dalam kategori

kurang yaitu sebanyak 33 orang (66,0%), kategori sedang yaitu sebanyak 16 orang (32,0%), dan kategori baik yaitu sebanyak 1 orang (2,0%).

Notoatmodjo (2007), tindakan adalah realisasi dari pengetahuan dan sikap menjadi suatu perbuatan nyata. Tindakan juga merupakan respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk nyata atau terbuka.

Notoatmodjo (2005), suatu sikap tidak selalu berakhir dengan tindakan (over behavior). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu reaksi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas atau sarana dan prasarana. Tindakan dibedakan menjadi tiga tingkat menurut kualitasnya yaitu ; praktik terpimpin (guided response), praktik secara mekanisme (mechanism), dan adopsi (adoption).

Menurut Yusuf (2004), tingkah laku seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh pengetahuan yang dimilikinya. Namun ada berbagai faktor lain, seperti pola asuh orangtua, kelas sosial, status ekonomi, lingkungan sekolah, kelompok teman sebaya. Menurut asumsi peneliti, responden mayoritas berasal dari kelas sosial, status ekonomi, dan kelompok teman sebaya yang hampir sama, sehingga tingkah laku yang dimiliki oleh responden juga sama.

Notoatmodjo (2007) dijelaskan bahwa tindakan kesehatan individu adalah hasil interaksi beberapa hal, yakni mencakup lingkungan keluarga (kebiasaan- kebiasaan tiap anggota keluarga mengenai kesehatan), lingkungan terbatas (tradisi, adat-istiadat, dan kepercayaan masyarakat sehubungan dengan kesehatan), dan lingkungan umum (kebijakan-kebijakan pemerintah di bidang kesehatan). Hasil penelitian yang ada sejalan dengan teori-teori ini, dimana mayoritas responden yang memiliki tindakan yang baik pada awalnya sikap yang baik juga, sedangkan responden yang memiliki sikap yang kurang maupun yang

cukup juga memiliki tindakan yang baik sebagai hasil dari interaksi berbagai faktor yang ada.

Pengetahuan yang sedang, sikap yang sedang dan akan menjadikan tindakan mereka sedang. Tindakan remaja ini akan menjadi lebih baik jika terus diberikan arahan dan bimbingan yang baik dalam hal seksualitas remaja khususnya. Misalnya tentang kesehatan reproduksi remaja. Permasalahan kespro remaja adalah kurangnya inormasi mengenai masalah Kespro, pergeseran perilaku remaja, pelayanan kesehatan yang buruk dan perundang-undangan yang kurang baik.

Tindakan remaja tentang pencegahan IMS sangat bergantung pada informasi yang diterima oleh remaja, misalnya penyuluhan, media massa, maupun orang tua serta kemampuan remaja dalam menyerapdan menginterpretasikan informasi tersebut. Dalam hal menurunkan angka kejadian IMS di kalangan remaja, promosi kesehatan dengan metode peer education sangat cocok untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap remaja tentang pencegahan IMS sehingga akan terwujudnya tindakan yang baik remaja dalam hal pencegahan terhadap IMS.

Dokumen terkait