DAFTAR LAMPIRAN
C. RESPONSE SURFACE METHOD (RSM)
Reaksi transesterifikasi kimia umumnya berlangsung secara random yang dapat memutus dan menyusun kembali asam lemak dalam molekul triasilgliserol. Kecepatan reaksi transesterifikasi dipengaruhi oleh suhu reaksi serta jumlah dan jenis katalis yang digunakan. Menurut Konishi et.al., (1993), interesterifikasi kimia minyak kedelai dan asam stearat dalam heksan dapat berlangsung pada suhu 30oC – 60oC. Cho dan deMan (1993) didalam Haryati (1999), melaporkan transesterifikasi kimia biasanya berlangsung pada suhu 80 oC – 90oC selama 30 menit menggunakan katalis 0.2-0.5%. Kondisi reaksi optimum didapat secara parsial diantara suhu, konsentrasi katalis dan waktu reaksi. Menurut Haryati (1999), ketiga faktor tersebut secara simultan mempengaruhi reaksi transesterifikasi.
waktu pemanasan, dan konsentrasi katalis, sedangkan variabel respon yang digunakan untuk menentukan hasil reaksi adalah Rendemen, MAG, DAG, dan TAG. Penelitian ini menggunakan RSM dalam bentuk ”second order” yang melibatkan satu faktor square dan dua faktor cross froduct. Bentuk “second order” hanya mempunyai nilai kritis maksimal atau minimal (Haryati, 1999).
Sintesis MDAG dapat dilakukan dengan cara gliserolisis kimia menggunakan RBDPO sebagai substrat direaksikan dengan gliserol dengan bantuan katalis kimia. Pada tahap gliserolisis kimia terjadi pemutusan dan penyusunan kembali asam lemak secara random, yang sangat dipengaruhi oleh suhu reaksi, waktu reaksi dan konsentrasi katalis yang digunakan. Untuk mengetahui pengaruh ketiga faktor diatas terhadap mutu dan rendamen MDAG yang dihasilkan, maka digunakan Response Surface Method (RSM). Shieh et.al., (1995), melaporkan bahwa RSM bisa digunakan untuk mengoptimasi reaksi transesterifikasi kimia antara trioleoil gliserol dengan asam kaprat. Selain itu metode ini juga bisa digunakan untuk mengoptimasi formulasi produk (Cho et.al., 1993; Toufeill et.al., 1994). Reaksi transesterifikasi dikondisikan sebaik mungkin agar dapat menghasilkan nilai rendemen yang tinggi, MAG dan DAG yang maksimal dan TAG yang minimal. RSM terhadap reaksi transesterifikasi RBDPO dapat dilihat pada Lampiran 4.
Central Composite Design (CCD) merupakan rancangan dari RSM yang memberikan model persamaan multiple regression yang dapat menunjukan pengaruh dari konsentrasi katalis, waktu reaksi, dan suhu reaksi terhadap setiap parameter yang diujikan (Triasilgliserol, Diasilgliserol, Monoasilgliserol, dan Rendemen), seperti terlihat dibawah ini (Cochran dan Cox, 1962).
Y = β1 + β2C + β3t + Β4T + β5Ct + β6CT + β7C2 + β8t2 + β9T2 Dimana Y adalah variabel respon yang diinginkan, β1 – β9
C, t, dan T menunjukan variabel independen seperti konsentrasi katalis, waktu reaksi dan suhu reaksi.
D. EMULSIFIER
Sistem emulsi pangan maupun non pangan bersifat jauh lebih komplek dibandingkan definisi emulsi, yaitu dispersi koloidal suatu droplet cairan pada fase cairan lain; karena fase terdispersi dapat berupa padatan atau fase kontinyu yang mungkin mengandung bahan yang terdiri dari kristal padatan, seperti pada es krim (Bos et al., 1997). Persamaan karakter pada hampir semua sistem emulsi adalah ketidakstabilan emulsi. Ketidakstabilan atau rusaknya sistem emulsi dapat dicegah dengan dua cara. Cara yang pertama adalah dengan penggunaan alat mekanik untuk mengatur ukuran droplet terdispersi. Cara yang kedua adalah penambahan bahan penstabil seperti emulsifier. Tujuan utama penambahan emulsifier adalah mencegah koalesen atau penggabungan irreversibel dua atau lebih droplet atau partikel menjadi unit yang lebih besar (Kamel, 1991).
Emulsifier adalah bahan yang berfungsi untuk mengurangi tegangan permukaan diantara dua fase yang tidak saling bercampur, sehingga dapat bersatu dan berbentuk emulsi (Dziezak, 1988). Emulsifier biasanya berupa ester yang memiliki gugus hidrofilik dan lipofilik (Zielinski, 1997). Gugus lipofilik biasanya berupa asam lemak dengan rantai karbon 16 atau lebih, juga dapat berupa asam lemak tak jenuh. Asam lemak tak jenuh seperti linoleat, memiliki kekurangan karena sifatnya yang mudah teroksidasi dan menghasilkan off flavor pada produk akhir. Gugus hidrofilik emulsifier dapat berupa gugus polar yang terdiri dari berbagai macam gugus fungsional, seperti gugus hidroksil, asam karboksilat dan asam peptida.
umur simpan, dan sifat reologi dengan membentuk komplek dengan protein dan lemak, (3) memperbaiki tekstur makanan yang berbasis lemak dan pengontrolan polimorfisme lemak. Berbagai produk pangan seperti produk bakery, eskrim, minuman formulasi, confectionary, dan produk olahan daging menggunakan emulsifier untuk memperbaiki tekstur dan penampakannya.
Penggunaan emulsifier harus disesuikan pada aplikasi yang spesifik karena kinerja emulsifier sangat dipengaruhi oleh kondisi proses dan keberadaan ingridien atau bahan-bahan lain. Pemilihan emulsifier untuk diaplikasikan pada berbagai produk harus mempertimbangkan berbagai faktor, antara lain: muatan emulsifier (ionik, nonionik dan amfoterik), pH sistem, nilai HLB emulsifier, titik leleh, sinergisme, kompetisi emulsifier dan sebagainya.
a. Emulsifier Ionik, Nonionik
Emulsifier yang mempunyai muatan atau emulsifier ionik dibagi menjadi dua, yaitu emulsifier kationik dan anionik. Emulsifier kationik adalah emulsifier yang mempunyai muatan positif pada sisi aktif molekulnya, seperti asam phosfatida pada lesitin; sedangkan emulsifier anionik seperti SDS (sodium dedocyl sulfate) dan SLS (sodium lauryl sulfat) memiliki muatan negatif pada sisi aktif molekulnya. Emulsifier ampoterik seperti lesitin adalah emulsifier yang memiliki baik gugus anion maupun kation sehingga sifat surface active-nya tergantung pada pH. Pada pH netral, lesitin bersifat kationik. MDAG dan banyak emulsifier komersial lain pada produk pangan termasuk jenis emulsifier nonionik, yaitu emulsifier yang tidak memiliki muatan ion serta tidak larut dalam air karena ikatan kovalennya, namun memiliki segmen lipofilik dan hidrofilik seperti MAG dengan asam lemak rantai panjang (Kamel, 1991).
Industri pangan juga menggunakan emulsifier yang mengandung garam metal atau logam, yaitu garam kalsium (Ca) dan
garam sodium (Na). Logam Ca dan Na ditambahkan untuk menetralkan asam laktat pada emulsifier. Emulsifier yang mengandung garam ini misalnya Calcium stearoyl-2-lactylate (CSL). Emulsifier tersebut diproduksi melalui reaksi esterifikasi garam asam laktat parsial dengan asam lemak (Thompson et al., 1956 dalam Zielinski, 1997).
b. Muatan emulsifier dan derajat keasaman (pH) sistem emulsi Sistem emulsi mempunyai derajat keasaman atau pH tertentu. Sistem emulsi seperti mayonaise atau kebanyakan produk salad dressing lainnya memiliki nilai pH yang relatif rendah, sedangkan sistem emulsi produk pangan pada umumnya berkisar pada pH netral. Kondisi asam atau perubahan pH tersebut tidak terlalu berpengaruh pada kinerja emulsifier nonionik, seperti monogliserida (Dziezak, 1988), namun perlu diperhatikan pada penambahan emulsifier ionik terutama yang bersifat amfoterik, seperti lesitin, karena jenis muatan dan kinerjanya berbeda pada pH yang berbeda.
c. Nilai hydrophile lipophile balance (HLB) emulsifier
Nilai HLB suatu emulsifier adalah angka yang menunjukan ukuran keseimbangan dan regangan gugus hidrofilik (menyukai air atau polar) dan gugus lipofilik (menyukai minyak atau non polar), yang merupakan sistem dua fase yang diemulsikan. HLB berdasarkan pada persentase relatif dari hidrofilik kedalam grup lipofilik dalam molekul emulsifier.
Emulsifier dengan nilai HLB rendah digolongkan sebagai emulsifier lipofilik yang akan menyerap air atau bahan larut air kedalam fase minyak sehingga digunakan untuk emulsi air dalam
menjadi emulsi oil-continous dan water-continous (Bancroft, 1913; Ostberg, 1995 dalam Bergenstahl, 1997). Klarifikasi emulsifaier berdasarkan nilai HLB-nya dapat dilihat pada Tabel 5 .
Tabel 5. Nilai HLB dan aplikasinya
Nilai HLB Aplikasi 3-6 Emulsifaier w/o 7-9 Wetting agent 8-18 Emulsifaier o/w 13-15 Detergen 15-18 Stabilizer Sumber : Becker (1983)
MAG diklasifikasikan sebagai emulsifier lipofiflik, dan memiliki kisaran nilai HLB antara 3.7 samapai 9.2. Variasi ini disebabkan oleh grup substitusi yang teresterifikasi (Dziezak, 1988). Sedangkan menurut O’Brien (1998), emulsifier MDAG mempunyai nilai HLB berkisar 2.8 sampai 4.3 tergantung banyaknya asam lemak yang terinkorporasi pada posisi 1 dan 3, yang sering disebut posisi alpha.
Menurut Kamel (1991) terdapat korelasi antara nilai HLB dengan kelarutan emulsifier dalam aquades seperti terlihat pada Tabel 6, yang memperlihatkan bahwa apabila emulsifier semakin tidak larut dalam air, nilai HLB tersebut semakin rendah dan semakin bersifat lipofilik.
Emulsifier yang banyak digunakan pada saat ini adalah gliserol monostearat (GMS). Emulsifier ini tersusun dari asam stearat yang terinkorporasi didalam gliserol. GMS saat ini banyak digunakan terutama dalam pembuatan es krim. Emulsifier memiliki berbagai macam kegunaan, antara lain seperti yang terlihat pada Tabel 7.
Tabel 6. Korelasi nilai HLB dengan kelarutan emulsifier Kelarutan emulsifier dalam air Nilai HLB
Tidak larut dalam air 1 – 4
Terdispersi sangat sedikit (poor dispersion) 3 – 6 Dispersi keruh setelah didispersi dengan cepat 6 – 8
Dispersi keruh stabil 8 – 10
Dispersi jernih atau bening 10 – 13
Larutan bening 13+
Sumber: Kamel (1991)
Tabel 7. fungsi emulsifier pada produk pangan Fungsi emulsifier Contoh produk
Bahan pengaerasi Whipping toppings, icing, cakes
Pendispersi Flavor dan vitamin Pelembut adonan Roti dan produk bakery
Defoamer Pembuatan yeast dan gula
Pengkomplek pati Makaroni, pasta Anti kristalisasi Minyak salad
Bahan anti lengket Permen, permen karet Penstabil pelelehan produk beku Topping beku, pemutih kopi Bahan penghidrasi Produk susu bubuk
Bahan enkapsulasi Flavor, aroma Penstabil dispersi Mentega kacang Sumber: Hassenhuettl (1997)
d. Titik leleh emulsifier
Suhu dan titik leleh emulsifier yang digunakan juga harus disesuaikan dengan sistem emulsi, yaitu suhu pada waktu emulsifier
suhu kritis tertentu, yaitu titik Kraft (Bergenstahl, 1997). Pada titik atau suhu ini, kelarutan emulsifier mencapai konsentrasi yang cukup untuk membentuk formasi pada interface.
Setiap emulsifier mempunyai titik leleh tertentu tergantung titik leleh asam lemak pembentuk emulsifier (Hassenhuattl, 1997a). Semakin tinggi kandungan asam lemak tak jenuh, titik leleh emulsifier akan semakin rendah. Misalnya titik leleh sorbitan monostearat adalah 52.8oC dan titik leleh monoolein adalah 50oC -45oC.
e. Sinergisme dan kompetisi emulsifier
Sinergisme adalah pencampuran dua jenis emulsifier atau lebih yang bersifat komplementer satu sama lain dan membentuk emulsi yang sangat stabil (Kamel, 1991), seperti pencampuran MDAG dengan lesitin pada pembuatan margarin. Kombinasi dua atau lebih emulsifier perlu dicoba untuk menentukan kondisi emulsi yang paling stabil.
Kompetisi pada pencampuran emulsifier dapat menurunkan kinerja emulsifier. Pada sistem emulsi yang menggunakan emulsifier ionik, stabilitas emulsi dipengaruhi oleh dominasi jenis muatan pada permukaan partikel teremulsi, sehingga perlu diperhatikan untuk tidak mencampurkan emulsifier anionik dan kationik karena akan saling menetralkan satu sama lain sehingga tidak efektif lagi. Selain itu penggunaan emulsifier juga harus mempertimbangkan keberadaan ingredien lain pada pangan tersebut, misalnya pati, telur, dan lainnya sebagai bahan penstabil alami (Cowles, 1998).