• Tidak ada hasil yang ditemukan

KORBAN DAN SAKSIKASUS

2. Restorative Justice pada Proses Penanganan Perkara Pidana

Dalam pembahasan sebelumnya bahwa perundang-undangan yang ada saat ini tidak secara ekspllisit memberikan kewenangan dilakukannya restorative justice oleh aparat penegak hukum Polri. Oleh karena itu kemudian argumentasi dan pembenaran terhadap tindakan hukum yang dilakukan Polri dalam memberikan keadilan kepada masyarakat adalah diskresi kepolisian, tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab, tindakan lain berdasarkan kepentingan para pihak atau pencabutan laporan polisi meskipun bukan delik aduan. Hal ini sebagaiman dirumuskan di dalam TR Kabagreskrim Nomor: ST/583/VIII/2012 tanggal 8 Agustus 2012 tentang penanganan kasus yang berkaitan dengan konsep restorative

justice. TR Kabagreskrim ini sejalan dengan TR Kapolda Sumut dengan nomor TR

yakni Nomor: STR/315/V/2011 tanggal 27 Mei 2011 yang pada intinya TR dimaksud memuat bahwa terhadap beberapa kasus tertentu yang ditangani oleh penyidik Polri dapat dilaksanakan penyelesaian melalui proses alternatif di luar proses peradilan dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Tersangka dalam tindak pidana yang terjadi adalah anak di bawah umur.

b. Kerugian yang diakibatkan oleh perbuatan pidana tersebut tidak mengakibatkan luka berat dan hilangnya nyawa seseorang.

d. Bukan peristiwa teror dan atau perbuatan pidana yang mengancam keamanan serta merugikan harta kekayaan Negara.

e. Bukan perbuatan pidana yang terkait dengan produksi dan pengedaran Narkoba/Illegal.

Selanjutnya berdasarkan TR Kapolda Sumut dengan nomor TR yakni Nomor: STR/315/V/2011 tanggal 27 Mei 2011 telah merumuskan juga terkait ketentuan yang harus dipenuhi dalam menghentikan penyidikan atas kasus yang telah diselesaikan melalui alternatif di luar proses peradilan, yakni:

a. Alternatif tersebut diambil benar-benar tepat dan diperlukan untuk mencapai penyelesaian terbaik yang bermanfaat bagi masyarakat dengan mengedepankan asas keseimbangan.

b. Alternatif tersebut merupakan tindakan lain yang bertanggungjawab, tidak bertentangan degan hukum selaras dengan kewajiban hukum dan profesi, patuh dan masuk akal serta dalam lingkup jabatannya berdasarkan pertimbangan yang layak dan menghormati HAM.

c. Telah ada kesepakatan damai (rekonsiliasi) antara pihak-pihak yang terkait dengan peristiwa pidana yang terjadi.

d. Adanya persetujuan pihak korban dan atau keluarganya.

e. Keputusan untuk menyelesaikan perkara melalui alternatif di luar proses peradilan harus melalui gelar perkara dan disetujui oleh Kapolres untuk

tingkat Polsek dan Polres, Dir Reserse Polda untuk tingkat Polda dan para Direktur untuk tingkat Bareskrim Polri.

Berdasarkan hal tersebut di atas, diharapkan ada dasar hukum yang kuat dituangkan dalam Undang- Undang yang memberikan kewenangan Polri untuk mengimplementasikan restorative justice atau melakukan penghentian penyidikan / tindakan hukum polisionil berdasarkan pertimbanga untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat. Konsep implementasi restorative justice tersebut apabila digambarkan dalam sebuah diagram adalah sebagai berikut :

Diagram: implementasi restorative justice pada proses penanganan perkara

Salah satu wujud penegakan hukum yang dilakukan oleh Polri adalah penyidikan. Sebagaimana dibahas dalam bab sebelumnya bahwa penegakan hukum

harus berdiri pada dua kepentingan yaitu untuk tujuan sosial dan tujuan hukum. Oleh karena itu selain mencapai substansi hukum berdasarkan peraturan perundang- undangan maka penyidikan juga harus diarahkan untuk mencapai tujuan sosial yaitu untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan. Keadilan yang lebih diterima oleh kedua belah pihak bukan keadilan yang ditetapkan oleh hakim semata. Penyidik dalam mengimplementasikan restorative justice pada proses penanganan perkara tentunya harus memperhatikan keadilan yang dapat diterima oleh kedua belah pihak dengan sasaran mencapai penyelesaian terbaik dan mengedepankan asas keseimbangan. Tindakan yang dilakukan oleh penyidik dalam mengimplementasikan

restorative justice pada penanganan perkara harus bertanggungjawab, tidak

bertentangan degan hukum selaras dengan kewajiban hukum dan profesi, patuh dan masuk akal serta dalam lingkup jabatannya berdasarkan pertimbangan yang layak dan menghormati HAM serta keadilan yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Salah satu pengemban fungsi penyidikan adalah reserse kriminal, namun menimbang beban perkara yang meningkat dari tahun ke tahun yang harus diselesaikan oleh fungsi reskrim maka perlu dicari terobosan sistem sehingga penyelesaian kasus tidak menjadi sentralisasi fungsi reskrim namun menjadi bagian dari fungsi kepolisian yang lain secara komprehensif. Apabila digambarkan dengan diagram maka sistematika implementasi restorative justice secara komprehensi adalah sebagai berikut :

Diagram: sistematika penyidikan dengan menerapkan restorative justice

Mencermati diagram di atas bahwa restorative justice yang dilakukan oleh Polri bisa dilaksanakan pada tingkat pra penyidikan oleh Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) yang dikoordinir oleh Biro Opserasi pada tingkat Polda atau Bagian Operasi pada tingkat Polres/ta/tabes. SPKT diharapkan dapat memverifikasi dan menganalisis setiap laporan yang diterima termasuk untuk melakukan tindakan alternative dalam menyelesaiakan laporan dengan menerapkan restorative justice dengan terlebih dahulu mengidentifikasi apakah laporan yang diterima dapat dilakukan alternative penyelesaian melalui

restorative justice atau laporan yang diterima dilanjutkan ke fungsi Reskrim untuk

Restorative justice yang telah masuk pada proses penyidikan maka upaya

yang dilakukan oleh Kepolisian dapat digambarkan pada langkah-langkah sebagai berikut:93

1. Klasifikasi perkara yang masuk restorative justice, antara lain: Pertama, perkara-perkara yang menjadi perhatian secara manusiawi, misalnya tersangka sudah lanjut usia, tersangka untuk kepentingan perut/hidup bukan sebagai mata pencaharian. Kedua, perkara-perkara tindak pidana yang ringan yang kerugian di bawah Rp. 2.500.000,00. Ketiga, perkara-perkara kecelakaan lalu lintas yang mempunyai criteria misalnya karena kelalaiannya berkendara di jalan raya, korban meninggal dunia namun tersangka masih ada hubungan keluarga dan kecelakaan lalu lintas yang melibatkan massa. Keempat, perkara-perkara pidana namun atas pertimbangan kemanusiaan dan mengedepankan pembinaan. Kelima, perkara-perkara yang rentan melibatkan kekuatan massa dan terjadi konflik misalnya pengelolaan sumber daya, pembagian hasil sumber daya yang dikelola, sengketa tanah, politik dan SARA.

2. Perencanaan, dalam menerima laporan atau informasi adanya suatu tindak pidana maka Kasat Reskrim akan menilai tingkat keseriusan dalam penanganan tersebut. Kasat Reskrim sebagai penanggungjawab secara teknis penyidikan tetap direncanakan untuk mengumpulkan keterangan sebagai dokumen atau kelengkapan penyidikan.

3. Pengorganisasian, pada perkara-perkara yang tidak menimbulkan konflik maka langkah yang diambil antara lain tetap dilakukan proses penyidikan dan apabila telah memenuhi unsur-unsur pidana yang disangkakan apabila kejahatan yang diancam hukuman lebih dari 5 tahun namun dilakukan oleh orang usia lanjut dan anak maka tidak perlu melakukan upaya paksa (penahanan). Apabila perkara ringan telah memenuhi unsur tindak pidana yang disangkakan, maka direncanakan untuk dilakukan mediasi antara korban dan pelaku/tersangka. Dalam hal terjadinya kecelakaan lalu lintas dimana tersangkanya adalah suami, isteri atau orang tua korban maka tidak perlu dilakukan upaya paksa (penahanan). Apabila ada tanda-tanda bahwa perkara telah memenuhi kriteria ini maka langkah yang harus dilakukan yakni Kasat Reskrim memerintahkan tim penyidik untuk mendalami perkara yang dilaporkan dan melaksanakan penyidikan sesuai prosedur

93

untuk melengkapi administrasi penyidikan sebagai dokumen Negara. Menunjuk tokoh-tokoh masyarakat dan personil yang mengetahui persoalan dan memberikan masukan dalam gelar perkara atau mediasi. 4. Pelaksanaan, penanganan perkara tindak pidana sebagaimana diamksud

dalam kriteria di atas, maka pelaksanaan dilakukan melalui proses penyidikan sesuai dengan prosedur, pendekatan terhadap masing-masing pihak baik korban, tersangka, lingkungan dan masyarakat sekitar untuk dilakukan proses keadilan restorasi. Proses penyidikan sebagaimana dimaksud dalam KUHAP dan Perkap No. 14 Tahun 2012 tentang Managemen Penyidikan Tindak Pidana mulai menerima Laporan Polisi sampai dengan pemberkasan perkara. Proses restorative justice (keadilan restorasi) dalam perkara dilakukan dengan cara penentuan waktu dan tempat dilakukan keadilan restorasi, dilakukan mediasi atau gelar perkara, daftar hadir dan notulen gelar serta dokumentasi harus dibuat, melaporkan perkembangan kepada pimpinan yang lebih tinggi tentang perkembangan proses keadilan restorasi tersebut. Apabila dalam gelar dicapai kesepakatan yang telah memenuhi criteria restorasi justice antara lain menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri, juga lingkungan dan masyarakatnya dengan mengutamakan pembinaan daripada pembalasan, langkah yang dilakukan oleh Satuan Reserse Kriminal yakni perkara dianggap selesai dan perkara dihentikan SP3 mendasari hasil kesepakatan bukan pada Pasal 109 KUHAP. Apabila tidak diketemukan kesepakatan masing-masing pihak memahami perkaranya maka perkara dilanjutkan sampai ke sidang pengadilan. Masing-masing pihak saling menghormati hasil keputusan tersebut dan tetap menjaga keamanan dan ketertiban. Apabila dikemudian hari ada yang mempermasalahkan kesepakatan restorasi yang sudah dibuat, maka SP3 akan dicabut kembali dan berkas akan dikirim ke Jaksa Penuntut Umum. SP3 selama tidak ada complain dan mengingat kadaluwarsa perkara tindak pidana apabila melebihi batas waktu kadaluarsa maka perkara selesai secara hukum.

5. Pengawasan dan pengendalian, subjek pengawasan dan pengendalian pada penerapan restorative justive pada fungsi Reskrim yakni Kasat Opsnal yang mempunyai wewenang menangani perkara, pejabat pengemban fungsi pengawasan penyidik dan Kanit Idik. Objek pengawasan dan pengendalian dalam restorative justice meliputi petugas penyidik/penyidik pembantu, kegiatan penyidikan/penyelidikan, administrasi penyelidikan dan penyidikan, adminstrasi lain yang mendukung. Adapun tanggungjawab penyidik/penyidik pembantu dalam penerapan restorative justice pada penanganan perkara yakni: Pertama, membuat administrasi penyidik/penyelidikan. Kedua, membuat SP2HP diberikan kepada pelapor.

Ketiga, administrasi gelar perkara. Keempat, laporan hasil gelar perkara. Kelima, kesepakatan bersama para pihak. Keenam, membuat laporan

kemajuan (Lapju). Ketujuh, Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). 6. Analisis dan evaluasi, dalam setiap pelaksanaan restorative justice untuk

menyelesaikan perkara akan dilakukan analisis tentang kekurangan dan langkah apa yang akan dilakukan selanjutnya supaya perkara tidak mengembang luas. Dalam melakukan evaluasi terhadap masalah yang diselesaikan melalui restorative justice, hal yang perlu diperhatikan antara lain: Pertama, apabila perkara tidak bisa selesai/pelaku seorang resedivis maka perkara dilanjutkan sampai ke Pengadilan. Kedua, pelaksanaan

restorative justice tidak bertujuan mengabaikan hukum positif namun

dengan keadaan dan situasi di lapangan sehingga petugas Polri mengambil langkah diskresi kepolisian sebagaimana di atur dalam Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri untuk menjaga situasi dan kondisi masyarakat dan memenuhi rasa keadilan dengan mengedepankan pembinaan. Ketiga, hasil restorative justice sebagai dasar untuk melakukan penghentian penyidikan (SP3) selain yang diatur dalam Pasal 109 KUHAP dan perkara dianggap selesai (clearen). Keempat, apabila penghentian penyidikan (SP3) mendapatkan perlawanan maka SP3 (baik dengan adanya complain masyarakat kepada pimpinan maupun lewat jalur hukum Pra Peradilan dan apabila pemohon dikabulkan oleh Pengadilan Negeri) tersebut akan dicabut kembali dan berkas perkara dilanjutkan.

BAB IV

HAMBATAN DAN UPAYA POLRI KHUSUSNYA POLRES BINJAI DALAM

Dokumen terkait