• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Polri Dalam Mengimplementasikan Restorative Justice Pada Penanganan Perkara Pidana (Studi Di Kepolisian Resort Binjai) Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peran Polri Dalam Mengimplementasikan Restorative Justice Pada Penanganan Perkara Pidana (Studi Di Kepolisian Resort Binjai) Chapter III V"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE YANG DILAKUKAN POLRI DI POLRES BINJAI DALAM PROSES PENANGANAN PERKARA PIDANA

A. Kewenangan Polri dalam Proses Penanganan Perkara Pidana

Bangsa Indonesia sebagai suatu negara hukum mempunyai sistem peradilan dan

catur penegak hukum. Dalam komponen peradilan yang cukup urgen adalah Kepolisian.

Kepolisian merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan antar satu dengan lainnya,

karena merupakan bagian satu sistem yang terintegrasi.66

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP telah mengatur secara lebih

rinci tentang kedudukan, peranan dan tugas kepolisian negara Republik Indonesia dalam

kaitannya dengan proses pidana sebagai penyelidik dan penyidik serta melaksanakan

koordinasi dan pengawasan terhadap penyidik pegawai negeri sipil tertentu yang diberi

wewenang khusus oleh undang-undang. Pasal 1 butir 1 KUHAP penyidik adalah pejabat

polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi

wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.

Sistem peradilan pidana

kepolisian dalam memainkan peranannya memerlukan keterikatan dan keterkaitan

dengan komponen sistem peradilan pidana lainnya.

Pada dasarnya Kepolisian negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud

66

(2)

dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

dalam Pasal 4 bertujuan untuk menjamin tertib dan tegaknya hukum serta terbinanya

ketenteraman masyarakat guna mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat dalam

rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri, terselenggaranya fungsi pertahanan

keamanan negara, dan tercapainya tujuan nasional dengan menjunjung tinggi hak azasi

manusia. Fungsi kepolisian adalah satu fungsi pemerintahan negara di bidang penegakan

hukum, perlindungan dan pelayanan masyarakat serta pembimbingan masyarakat dalam

rangka terjaminnya ketertiban dan tegaknya hukum.67

Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai sebuah Institusi besar di Negara

Kesatuan Republik Indonesia ini sudah semestinya senantiasa berbenah menuju Polri

yang Profesional, bermoral, dan mandiri. Paradigma berpikir dan bertindak Polri yang

pada masa lalu cenderung sebagai alat Penguasa atau alat bagi kepentingan tertentu, saat

ini telah bergeser menuju kearah pengabdian yang tulus dan ikhlas untuk kepentingan Kepolisian sebagai bagian intgral

fungsi pemerintahan negara, ternyata fungsi tersebut memiliki takaran yang begitu luas,

tidak sekedar aspek refresif dalam kaitannya dengan proses penegakan hukum pidana

saja, tetapi juga mencakup aspek preventif berupa tugas-tugas yang dilakukan yang

begitu melekat pada fungsi utama administrasi negara mulai dari bimbingan dan

pengaturan sampai dengan tindakan kepolisian yang bersifat administrasi dan bukan

kompetensi pengadilan.

67

(3)

masyarakat, bangsa, dan negara. Perubahan ini telah membawa berbagai implikasi yang

mendasar. Salah satu perubahan yang muncul yaitu Perumusan kembali Peran Polri

sesuai UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang

menetapkan bahwa Polri sebagai Pemelihara Kamtibmas, Penegak Hukum, serta

Pelindung, Pengayom, dan Pelayan Masyarakat. pelaksanaan peran tersebut, Polri tidak

hanya berkiblat pada hukum dan Perundang-undangan Nasional, tetapi juga mengikuti

Prinsip-prinsip Universal yang berlaku dalam Perpolisian Internasional.

Penegak hukum perlu mematuhi ketentuan berperilaku yang patut agar dapat

berperilaku secara etis dan Profesional. Ketentuan berperilaku bagi Penegak hukum

disebut dengan Code of Conduct for Law Enforcement Officials.68 Ketentuan ini diadopsi oleh Resolusi Majelis Umum PBB 34/169 tanggal 17 Desember 1979. Para penegak

hukum harus senantiasa menjalankan tugas yang dibebankan oleh hukum kepada mereka,

yaitu melayani masyarakat dan melindungi setiap orang dari tindakan-tindakan yang

melanggar hukum.69

Anggota Polri dalam menjalankan tugasnya diberikan kewenangan untuk

melakukan tindakan kepolisian berupa Upaya Paksa yang telah diatur dalam

Undang-undang (KUHAP). Tindakan kepolisian tersebut meliputi pemeriksaan

tersangka, penangkapan, penahanan, penggeledahan, memasuki rumah, penyitaan benda,

pemeriksaan surat, pemeriksaan saksi, pemeriksaan di Tempat Kejadian Perkara (TKP),

68

Farouk Muhammad, Pengubahan Perilaku dan Kebudayaan Dalam Rangka Peningkatan Kualitas Pelayanan Polri, Jurnal Polisi Indonesia, Tahun 2, April 2000 – September 2000, hal. 5.

69

(4)

pelaksanaan penetapan dan putusan Pengadilan dan pelaksanaan tindakan lain sesuai

dengan ketentuan dalam Undang-undang (Diskresi).

Terciptanya proses penegakan hukum dalam kerangka penyidikan yang

berdayaguna memerlukan serangkainan upaya penanggulangan melalui pendekatan

sistem hukum yakni bahwa penegakan hukum dilakukan berdasarkan hukum acara yang

ada yaitu dalam Udang undang No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Berdasarkan konteks

penegakan hukum maka peran Polri adalah sebagai penyidik, yang lebih lanjut diatur

sebagai berikut:70

Polri di dalam melaksanakan proses penyidikan, diperlukan pemenuhan

unsur-unsur penyidikan, yaitu:

Pertama, sebelum melakukan penyidikan, terlebih dahulu dilakukan

penyelidikan. Dasar hukum peneyelidikan di atur pada Pasal 1 butir 5, Penyelidikan

adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa

yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan

penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Kedua, dalam pasal 8

KUHAP disebutkan bahwa setelah penyidik membuat berita acara sebagaimana dalam

Pasal 75 KUHAP, maka penyidik menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum.

1. Serangkaian tindakan mencari dan mengumpulkan bukti

Hal ini mengandung konsekuensi bahwa penyidik harus mencari dan mengumpulkan bukti yang sah sebagaimana ditentukan oleh Undang-Undang, berarti penyidik tidak bisa sewenang-wenang sehingga harus memperhatikan hak-hak tersangka dan kewajiban yang harus dilaksanakan, penyimpangan terhadap hal ini dapat mengakibatkan tidak sahnya kegiatan penyidikan dan

70

(5)

bahkan timbulnya penuntutan/gugatan praperadilan atau ganti rugi maupun rehabilitasi bagi tersangka/terdakwa atau pihak-pihak lain yang merasa dirugikan.

2. Dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi.

Secara otomatis unsur ini akan terpenuhi. Apabila alat-alat bukti yang diperoleh penyidik benar-benar dapat memastikan dan meyakinkan bahwa tindak pidana itu telah terjadi, kapan waktunya, di mana terjadinya, mengapa terjadi, siapa pelakunya.

3. Guna menentukan tersangka.

Yang paling pokok dalam proses penyidikan ini adalah menentukan siapa pelakunya berdasarkan alat-alat bukti tersebut. 71

Polri sebagai penyidik berkewajiban untuk meneruskan perkara pidana yang telah

cukup bukti sebagaimana dalam pasal 184 KUHAP. Tetapi berdasarkan Undang undang

RI Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, jaksa agung mempunyai kewenangan untuk

mengeyampingkan perkara demi kepentingan umum, atau disebut deponir. Secara

internal laporan polisi yang harus ditangani oleh Polri dilakukan oleh unit kerja tersendiri,

yaitu Fungsi reserse criminal. Berdasarkan Skep Kapolri no 23 Tahun 2010, bahwa unit

kerja yang diberi tugas dan tanggung jawab untuk menerima laporan masyarakat tersebut

adalah Sentra Pelayanana Kepolisian Terpadu ( SPKT ).

B. Penerapan Restorative Justice dalam Proses Penanganan Perkara Anak

Sistem Peradilan Pidana adalah suatu rangkaian antara unsur/faktor yang saling

terkait satu dengan lainnya sehingga menciptakan suatu mekanisme sedemikian rupa

71

(6)

untuk sampai tujuan dari sistem tersebut. Adapun tujuan dari Sistem Peradilan Pidana

tersebut adalah untuk mencapai suatu masyarakat yang terbebas dari kejahatan,

menghilangkan kejahatan dan bukan penjahatnya.72 Proses Peradilan Pidana dalam arti

jalannya suatu Peradilan Pidana, yakni suatu proses sejak seseorang diduga telah

melakukan tindak pidana sampai orang tersebut dibebaskan kembali setelah

melaksanakan pidana yang telah dijatuhkan kepadanya. Adapun tujuan Proses Peradilan

Pidana adalah untuk mencari kebenaran yang materiil dalam melaksanakan Hukum

Pidana. Hal ini berarti harus mencari dan melaksanakan ketentuan tertulis yang ada dalam

hukum pidana, dan mencegah jangan sampai menghukum seorang yang tidak bersalah.

Dalam konteks inilah dibicarakan tentang mekanisme peradilan pidana sebagai suatu

proses, atau yang disebut “criminal justice process". Criminal justice process dimulai

dari proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di muka sidang pengadilan, serta

diakhiri dengan pelaksanaan pidana di lembaga masyarakat.73

Peranan sistem peradilan sebagai indeks demokrasi menjadi sangat penting, oleh

karena dapat meningkatkan wibawa Penguasa dan sekaligus meningkatkan kepercayaan

masyarakat. Apabila sistem peradilan gagal dalam pencapaian keadilan (miscarriages of

justice) akan merusak legitimasi dan integritas sistem peradilan (damagig the integrity of

72

Marjono Reksodiputro, Pembaharuan Hukum Pidana, Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, Jakarta, 1995, hal. 19

73

(7)

the justice system).74

1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.

Tujuan mendasar dari sistem peradilan pidana ini dapat dirumuskan

antara lain sebagai berikut :

2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana.

3. Mengusahakan agar mereka yang pemah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatan.75

Sistem Peradilan Pidana (criminal justice system) menunjukkan mekanisme kerja

(interkoneksi) penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan

sistem, yang terdiri dari lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga

pemasyarakatan.76 Konsekuensi logis dari dianutnya proses hukum yang adil atau layak

(due process of law) harus didukung oleh sikap batin (penegak hukum) yang

menghormati hak-hak warga masyarakat. Pengertian fisik (struktural) sistem peradilan

pidana harus diartikan sebagai kerjasama antara berbagai sub sistem peradilan

(kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan) untuk mencapai tujuan

tertentu. Tujuan jangka pendek adalah untuk resosialisasi pelaku tindak pidana, jangka

menengah untuk mencegah kejahatan dan jangka panjang untuk kesejahteraan dan

keamanan masyarakat.77

Pelaku tindak pidana ternyata tidak hanya oleh orang dewasa, namun juga anak,

bahkan perempuan. Penanganan terhadap perkara anak khususnya pada proses

74

Farouk Muhammad, Op.cit, hal. 7.

75

Mardjono Reksodiputro, Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Ketiga, Pusat Pelayanan Keadilan dan Bantuan Hukum, Jakarta, 1997, hal. 13.

76

Ibid, hal. 14.

77

(8)

penyidikan tentunya sangat berbeda dengan pelaku tindak pidana pada umumnya.

Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak yakni diberlakukannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang

Pengadilan Anak, telah dipertegas bahwa penyidikan terhadap perkara anak yang

berhadapan dengan hukum (anak nakal) dilakukan oleh penyidik Polri dengan dasar

hukum Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Pengadilan Anak Nomor 3 Tahun 1997.

Berdasarkan undang-undang ini mengenal adanya penyidik anak, penyidik yang

berwenang melakukan penyidikan terhadap perkara pidana anak. Penyidik anak diangkat

oleh Kapolri dengan Surat Keputusan Khusus untuk kepentingan tersebut. Untuk dapat

diangkat sebagai penyidik anak, Undang –Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang

Pengadilan Anak melalui Pasal 41 Ayat (2) menetapkan syarat –syarat yang harus

dipenuhi oleh seorang anggota Polri adalah: Pertama, telah berpengalaman sebagai

penyidik tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa. Kedua, mempunyai minat,

perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak.

Berdasarkan syarat-syarat yang harus dipenuhi di dalam proses penyidikan anak,

penyidik anak dituntut lebih peka terhadap hak –hak anak, akibat-akibat dari tindakan

yang akan dilakukannya terhadap anak berhadapan hukum khusunya dalam hal ini anak

nakal demi kepentingan terbaik bagi anak salah satunya melakukan diversi melalui

kewenangan diskresi kepolisian atau tetap melanjutkan perkara ke tahap penuntutan.

Kewenangan diskresi yang dimiliki kepolisian, seharusnya dapat menjadi dasar penyidik

(9)

anak lebih didasarkan pada kedudukan kepolisian sebagai lembaga penegak hukum yang

pertama dan langsung berhubungan dengan masyarakat, polisi pada dasarnya

mempunyai potensi yang demikian besar untuk merubah kultur masyarakat.

Kewenangan dan otoritas polisi apabila dikemas secara dinamis akan menjadi

sarana bagi polisi dalam membangun masyarakat. Salah satu pedoman yang dinilai dapat

menjadi pegangan penyidik Polri dalam menerapkan konsep diversi dalam menangani

anak yang berhadapan dengan hukum adalah Peraturan Kabareskrim Polri Nomor 1

Tahun 2012 Tentang Standart Operasional Prosedur Penanganan Anak Yang Berhadapan

Hukum di Lingkungan Badan Reserse Kriminal yang memberi petunjuk dan aturan

tentang teknik diversi yang dapat dilakukan terhadap anak yang berhadapan dengan

hukum. Peraturan Kabareskrim Polri Nomor 1 Tahun 2012 ini terbentuk karena didalam

penanganan perkara pidana anak penyidik kepolisian di masa depan tidak berpedoman

kepada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, namun

berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak. Undang-Undang Pengadilan Anak ini mengenal adanya penyidik anak,

yang berwenang melakukan penyidikan. Penyidik anak diangkat oleh Kapolri dengan

Surat Keputusan Khusus untuk kepentingan penyidikan. Undang-undang ini telah

mensyaratkan penetapan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang anggota Polri

adalah: Pertama, telah berpengalaman sebagai penyidik tindak pidana yang dilakukan

(10)

masalah anak.78

Keberadaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian yang

didalamnya terdapat Pasal yang secara implicit relevan dengan adanya tindakan

kepolisian untuk melakukan diversi melalui kewenangan diskresi kepolisian yaitu Pasal

16 dan Pasal 18 Undang Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia yang membahas masalah Diskresi Kepolisian. Peraturan Kabareskrim Polri

Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Standart Operasional Prosedur Penanganan Anak Yang

Berhadapan Hukum di Lingkungan Badan Reserse Kriminal telah merumuskan bahwa

penyidik yang dapat diangkat menjadi penyidik anak adalah penyidik yang telah memiliki

khususan penanganan kasus yang melibatkan anak. Penanganan terhadap kasus yang

melibatkan anak sebagai pelaku kejahatan berdasarkan Peraturan Kabareskrim, belum

secara efektif dilaksanakan sehingga pada pelaksanaan kegiatan penanganaan kasus

terhadap anak belum sepenuhnya memenuhi apa yang menjadi tuntutan dan harapan dari

masyarakat yang sangat erat kaitannya dengan kemampuan penyidik dalam menangani

suatu kasus dan belum adanya standar pengukuran akuntabilitas dan transfaransi untuk

meminimalisir public compline melalui Penerapan Restorative Justice. Adapun kualitas

dan kemampuan penyidik dalam penanganan kasus tindak pidana anak dapat

digambarkan sebagai berikut:79

78

Paulus Hadisuprapto, Juvenille Delinquency: Pemahaman dan Penanggulangan, UNDIP, Semarang, 1996, hal. 44.

79

(11)

a. Masih banyak penyidik yang belum menguasai/memahami peraturan

perundang-undangan terkait anak dengan tindak pidana yang ditangani,

sistem pemidanaan sehingga banyak menimbulkan compline dari

masyarakat atas penanganan perkara anak terutama terhadap anak yang

bermasalah dengan hukum dan anak sebagai korban kejahatan.

b. Masih ditemukan penyidik yang menangani perkara anak yang

bermasalah dengan hukum memperlakukan anak seperti orang yang telah

dewasa sehingga mempersangkakan tersangka dengan menerapkan konsep

sistem pemidanaan retributif dan masih belum maksimalnya penanganan

perkara anak dengan menerapkan restorative justice mulai dari penerimaan

/ pembuatan Laporan Polisi (LP ) di SPK. Pendistribusian LP kepada

penyidik. Penyampaian Surat Panggilan. Proses pemeriksaan dan

penindakan untuk penyidikan.

c. Restorative justice dalam proses penegakan hukum belum berjalan dan

bukan menjadi sasaran prioritas penyidik di Satuan Reserse Kriminal

Polres Binjai.

d. Penyidik belum memahami secara benar-benar terhadap prinsip

restorative justice dalam penerapan penegakan hukum, sehingga kinerja

penyidik masih cenderung menampilkan kinerja paradigma lama atau

konvensional.

e. Penyidik yang sudah melakukan pendidikan kejuruan terkait penanganan

anak masih belum memadai.

f. Dalam menangani suatu perkara tindak pidana anak masih dirasakan

kurangnya koordinasi dengan pihak Criminal Justice System atau instansi

terkait lainnya.

g. Keseriusan dalam penanganan perkara anak dengan menerapkan

(12)

h. Lemahnya pengawasan proses penyidikan terhadap perkara anak. Guna

terwujudnya proses penyidikan yang transparan dalam penerapan

restorative justice pada penanganan perkara anak, maka pengawasan

terhadap proses penyidikan perlu dilakukan baik pengawasan internal oleh

pengawas penyidik atau pimpinan kesatuan dan pengawasan eksternal dari

masyarakat selaku stakeholder.

i. Lemahnya sistem informasi manajemen quic wins khususnya terkait

SP2HP untuk melakukan akuntabilitas dan transparansi kinerja penerapan

restorative justice di Satuan Reserse Kriminal Polres Binjai merupakan

salah satu kendala dalam melakukan akuntabilitas dan transparansi

penanganan perkara, karena akibat sistem informasi yang lemah dan

terbatas menyebabkan sistem pelaporan akan menjadi terganggu dan tidak

optimal, oleh karena itu akuntabilitas memerlukan sistem informasi yang

memadai, apabila sistem informasi salah maka akan menghasilkan sistem

pelaporan yang tidak akuntabel.

Selanjutnya, penelitian ini menggunakan teori penegakan hukum dan

implementasi hukum sebagaimana diutarakan oleh Friedman bahwa adanya pelapisan

sosial dalam masyarakat adalah kunci bagi penjelasan mengapa hukum itu bersifat

deskriminatif, baik pada peraturan-peraturannya sendiri maupun pada penegakan

hukumnya.80

80

Ibid, hal. 51.

Friedman mengungkapkan bahwa hukum harus dibicarakan menurut

seginya sendiri yaitu segi struktur, substansi dan budaya hukum. Faktor yang ketiga yaitu

(13)

tetap berjalan pada relnya sementara berjalannya hukum akan sangat dipengaruhi oleh

budaya hukum masyarakat sebagai basis dari hukum dalam menerima dan melaksanakan

hukum itu sendiri.

Terkait dengan teori ini maka dapat diperoleh gambaran awal mengenai

munculnya problematika penyidikan terhadap tindak pidana yang dilakukan anak tidak

dapat dilepaskan dari pengaruh pelapisan sosial dimana anak sejak awal ditempatkan

pada posisi yang berbeda dengan orang dewasa baik dalam tataran usia maupun hak dan

kewajibannya sehingga merupakan suatu hal yang seharusnya apabila prosedur

penanganan terhadap perkara anak dilakukan dengan cara yang berbeda dengan orang

dewasa yang melakukan tindak pidana.

Penanganan kasus pidana yang dilakukan oleh anak, tidak semua kasus dilakukan

penahanan. Tidak dilakukannya penahanan didasarkan pertimbangan yang matang untuk

menghindari dampak negatif pada anak baik sebagai korban maupun pelaku. Selain itu

kondisi kantor kepolisian sendiri yang terkadang tidak memiliki ruang untuk melakukan

penahanan sehingga acapkali dipertimbangkan hal-hal membawa konsekuensi logis

dalam kerangka perlindungan hukum terhadap anak termasuk dengan menerapkan

pelaksanaan penangguhan penahanan. Tersangka yang ditahan, hak asasinya akan

dibatasi, namun hak asasi yang berhubungan dengan harkat dan martabat serta

kepentingan pribadinya, tidak boleh dikurangi dan harus dijamin oleh hukum sekalipun

dia berada dalam penahanan. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ada

(14)

obyektif dari penahanan. Penahanan itu hanya dapat dikenakan kepada tersangka atau

terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan

dalam tindak pidana yang diancam pidana penjara lima tahun atau lebih dan yang

disebutkan pada sub b ayat (4) dari Pasal 21 KUHAP.81

Unsur yang menjadi landasan dasar penahanan yaitu, unsur yuridis atau obyektif, karena undang-undang sendiri telah menentukan terhadap pasal-pasal tindak pidana mana penahanan dapat diterapkan, tidak terhadap semua tindak pidana dapat dilakukan penahanan atas tersangka atau terdakwa. Undang-undang sendiri telah menentukan baik secara umum maupun secara terinci terhadap kejahatan yang bagaimana pelakunya dapat dikenakan penahan, serta ada juga unsur keadaan kekhawatiran atau subyektif yang menitik beratkan kepada keadaan atau keperluan ditinjau ditinjau dari subyektivitas tersangka atau terdakwa tetapi sekaligus berjumpa, dua segi obyektif, yakni segi subyektif tersangka atau terdakwa, yang dinilai secara subyektif oleh penegak hukum yang bersangkutan.

Melakukan penahanan harus ada

syarat formal, yaitu adanya surat penahanan. M. Yahya Harahap berpendapat bahwa:

82

Anak yang melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindakan kriminal

sangat dipengaruhi beberapa faktor lain di luar diri anak. Perlindungan terhadap anak dari

pengaruh proses formal sistem peradilan pidana, maka timbul pemikiran manusia atau

para ahli hukum dan kemanusiaan untuk membuat aturan formal tindakan mengeluarkan

(remove) seorang anak yang melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindak

pidana dari proses peradilan pidana dengan memberikan alternatif lain yang dianggap

lebih baik untuk anak. Berdasaran pikiran tersebut, maka lahirlah konsep diversion yang

81

M. Karjadi dan R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan Penjelasan Resmi dan Komentar, Politeia, Bogor, 1997, hal. 32.

82

(15)

dalam istilah bahasa Indonesia disebut diversi atau pengalihan.

Jack E. Bynum dalam bukunya Juvenile Delinquency a Sociological Approach

menyatakan ”Diversion is an attempt to divert, or channel out, youthful offender from the

juvenile justice system (Diversi adalah sebuah tindakan atau perlakuan untuk

mengalihkan atau menempatkan pelaku tindak pidana anak keluar dari system peradilan

pidana).83

Pengertian diversi juga dimuat dalam United Nation Standart Minimum Rules for

the Administration of Juvenile Justice (The Beijing Rules) butir 6 dan butir 11 terkandung

pernyataan mengenai diversi yakni sebagai proses pelimpahan anak yang berkonflik

dengan hukum dari sistem peradilan pidana ke proses informal seperti mengembalikan

kepada lembaga sosial masyarakat baik pemerintah atau non pemerintah. Diversi

berupaya memberikan keadilan kepada kasus-kasus anak yang telah terlanjur melakukan

tindak pidana sampai kepada aparat penegak hukum sebagai pihak penegak hukum.

Prinsip diversi dalam model restorative justice merupakan salah satu usaha untuk

mencari penyelesaian konflik secara damai di luar pengadilan masih sulit diterapkan.

Banyak hukum adat di Indonesia yang bisa menjadi restorative justice, namun

keberadaannya tidak diakui negara atau tidak dikodifikasikan dalam hukum nasional.

Hukum adat bisa menyelesaikan konflik yang muncul di masyarakat dan memberikan

kepuasan pada pihak yang berkonflik. Munculnya ide restorative justice sebagai kritik

83

(16)

atas penerapan sistem peradilan pidana dengan pemenjaraan yang dianggap tidak efektif

menyelesaikan konflik sosial. Penyebabnya, pihak yang terlibat dalam konflik tersebut

tidak dilibatkan dalam penyelesaian konflik. Korban tetap saja menjadi korban, pelaku

yang dipenjara juga memunculkan persoalan baru bagi keluarga dan sebagainya.84

Menurut pendapat Peter C. Kratcoski, ada tiga jenis pelaksanaan program diversi

yang dapat dilaksanakan yaitu :85

1) Pelaksanaan kontrol secara sosial (social control orientation), yaitu aparat penegak hukum menyerahkan pelaku dalam tanggung jawab pengawasan atau pengamatan masyarakat, dengan ketaatan pada persetujuan atau peringatan yang diberikan. Pelaku menerima tanggung jawab atas perbuatannya dan tidak diharapkan adanya kesempatan kedua kali bagi pelaku oleh masyarakat.

2) Pelayanan sosial oleh masyarakat terhadap pelaku (social service orientation), yaitu melaksanakan fungsi untuk mengawasi, mencampuri, memperbaiki dan menyediakan pelayanan pada pelaku dan keluarganya. Masyarakat dapat mencampuri keluarga pelaku untuk memberikan perbaikan atau pelayanan.

3) Menuju proses restorative justice atau perundingan (balanced or restorative justice

orientation), yaitu melindungi masyarakat, memberi kesempatan pelaku bertanggung

jawab langsung pada korban dan masyarakat dan membuat kesepakatan bersama antara korban pelaku dan masyarakat. Pelaksanaannya semua pihak yang terkait dipertemukan untuk bersama-sama mencapai kesepakatan tindakan pada pelaku.

Salah satu pedoman yang dapat menjadi pegangan penyidik Polri dalam

menerapkan konsep diversi dalam menangani anak yang berhadapan dengan hukum

adalah TR Kabareskrim Polri No. Pol.: TR/1124/XI/2006 yang memberi petunjuk dan

aturan tentang teknik diversi yang dapat dilakukan terhadap anak yang berhadapan

84

Muhammad Mustofa, Disampaikan dalam Lokakarya Menghukum Tanpa Memenjarakan: Mengaktualisasikan Gagasan "Restorative Justice" di Indonesia, di Depok, Kamis (26/2/2004). Diskusi yang diselenggarakan Departemen Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI dan Australia Agency for International Development.

85

(17)

dengan hukum. TR Kabareskrim Polri yang berpedoman pada Pasal 18 Undang-Undang

No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang membahas

masalah Diskresi Kepolisian. TR Kabareskrim Polri ini memberi pedoman dan

wewenang bagi penyidik Polri untuk mengambil tindakan lain yang bertujuan untuk

kepentingan terbaik bagi anak dalam menangani anak yang berhadapan dengan hukum.

Adapun kriteria penyelesaian perkara pidana yang melibatkan anak sebagai pelaku

kejahatan berdasarkan TR Kabareskrim Polri Nomor: TR/1124/XI/2006 ini sebagai

berikut:

1. Kategori tindak pidana yang diancam dengan sanksi pidana sampai dengan 1

(satu) tahun harus diprioritaskan untuk diterapkan diversi, tindak pidana yang

diancam dengan sanksi pidana di atas 1 (satu) tahun sampai dengan 5 (lima)

tahun dapat dipertimbangkan untuk menerapkan diversi, semua kasus

pencurian harus diupayakan penerapan diversi kecuali menyebabkan timbul

kerugian yang terkait dengan tubuh dan jiwa.

2. Memperhatikan usia pelaku, semakin muda usia pelaku maka urgenitas

penerapan prinsip diversi semakin diperlukan.

3. Hasil penelitian masyarakat dari BAPAS, bila ditemukan faktor pendorong

anak terlibat dalam kasus pidana adalah faktor yang ada di luar kendali anak

maka urgenitas penerapan prinsip diversi semakin diperlukan.

4. Kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana anak, bila akibat yang

(18)

seseorang maka urgensitas penerapan prinsip diversi semakin diperlukan.

5. Tingkat keresahan masyarakat yang diakibatkan oleh perbuatan anak.

6. Dukungan lingkungan keluarga baik dari korban maupun pelaku serta

masyarakat di sekitar TKP dan anak bertempat tinggal.

7. Persetujuan korban atau keluarga.

8. Kesediaan pelaku dan keluarganya.

9. Dalam hal anak melakukan tindak pidana bersama-sama orang dewasa maka

orang dewasa harus diproses hukum sesuai prosedur biasa.

Dasar hukum penerapan diversi ini adalah Pasal 18 ayat 1 huruf L yang diperluas

oleh Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia yang berbunyi: “Polisi dapat mengadakan tindakan lain menurut

hukum yang bertanggung jawab dengan batasan bahwa tindakan tersebut tidak

bertentangan dengan hukum yang berlaku, selaras dengan kewajiban hukum/ profesi

yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan tersebut, tindakan tersebut harus

patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkup jabatannya, didasarkan pada

pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa dan menghormati Hak

Asasi Manusia. 86

86

TR Kabareskrim No. Pol.: TR/1124/XI/2006, Butir DDD. 3. 19Ibid., Butir DDD. 2.

Adapun contoh penanganan kasus yang dilakukan oleh fungsi Reserse

(19)

Tabel 1:

DATA PENANGANAN KASUS DENGAN MENERAPKAN KONSEP RESTORATIVE JUSTICE DI SATUAN RESERSE KRIMINAL POLRES BINJAI

No NO. TGL. LP PSL/ TKP KASUS / PSL/ MO

1 LP/734/VI/2011/SPK’A TGL 30-06-2011. Jl. Kuini Kel. Limau Sundai Kec. Binjai Barat.

Penghinaan 310 Melalui SMS

2 LP/ 836/VII/2011/SPK’C TGL 29-07-2011 Di Hotel Garuda Jl. S. Hatta Kel. Tunggurono Kec. Binjai Timur.

Cabul. Pasal 81,82,UU RI NO 23 Thn 2002 dan Pasal 293

3 LP/ 865/VIII/2011/SPK’C TGL 07-08-2011 JL. Bhayangkara Kel. Satria Kec. Binjai Kota.

Anirat Pasal 351 KUH Pidana

4 LP/954/IX/2011/SPK’A TGL 05-09-2011 JL s. Hatta Kel. Tunggurono Kec. Binjai Timur.

Cabul. Pasal 293 Subs 281 KUHP Yo 81 Subs 82 UU RI No.23 Thn 2002

5 LP/972/IX/2011/SPK’A TGL 10-09-2011 Jl. S.Hatta Kel. Tb.Langkat Kec. Binjai Timur

Bawa Lari Perempuan di bawah Umur Pasal 332

6 LP/986/IX/2011/SPK’C TGL 15-09-2011 Psr II Namutrasi Ds. Purwobinangun Kec. Sei Bingai.

Anirat Pasal 80 UU RI NO 23 Thn 2004 Yo 351

7 LP/1120/X/2011/SPK’C TGL 21-10-2011 Jl. Gatot Subroto Kel. Limau Mungkur Kec. Binjai Barat.

(20)

8 LP/1125/X/2011/SPK’C TGL 21-10-2011 Jl. Dr. Wahidin Kel. Sm. Rejo Kec. Binjai Timur.

Kej Susila Pasal 281

9 LP/1135/X/2011/SPK‘B TGL 24-10-2011 Tanah lapang Merdeka kel Tangsi kec. Binjai Kota.

Bawa Lari Perempuan di bawah Umur Pasal 332

10 LP/1140/X/2022/SPK’B TGl 26-10-2011 Jl. S. Hatta Kel.Tb. Langkat Kec. Binjai Timir

Pencurian biasa

11 LP/1120/X/2011/SPK’C TGL 21-10-2011 Jl. Gatot Subroto Kel. Limau Mungkur Kec. Binjai Barat.

Penganiyaan Ringan yang tidak membuat terhalangnya korban

Sumber: Laporan Penanganan Perkara pada Sat Reskrim Polres Binjai, 2011

Penanganan perkara yang dilakukan oleh Satuan Reserse Kriminal Polres Binjai

dengan menerapkan restorative justice terhadap kasus penghinaan, perbuatan cabul,

melarikan anak di bawah umur, pencurian biasa, penganiyaan ringan dan penganiyaan

dengan pemberatan sebagaimana digambarkan pada Tabel 1 di atas dengan alasan

sebagai berikut: Pertama, kasus penghinaan dan penganiyaan ringan dilakukan

restorative justice dengan pertimbangan bahwa antara pelapor dan terlapor telah

melakukan perdamaian dan dilihat dari aspek sanksi pidananya diancam dengan sanksi

pidana di bawah 5 (lima) tahun, di samping itu penyidik pada Satuan Reserse Kriminal

menilai apabila tindak pidana penghinaan tetap dilanjutkan proses penyidikan dapat

berimplikasi timbulnya gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat. Kedua, kasus

(21)

Kabagreskrim Nomor: TR/1124/XI/2006 terkait penanganan perkara terhadap anak,

restorative justice dilakukan dengan memperhatikan pelaku dan korban adalah anak,

telah adanya persetujuan korban atau keluarga dan kesediaan pelaku dan keluarganya

untuk menyelesaikan permasalahan. Ketiga, kasus penganiyaan dengan pemberatan

dilakukan pendekatan restorative justice oleh penyidik pada Satuan Reserse Kriminal

Polres Binjai dengan pertimbangan kepentingan umum dan Harkamtibmas yakni tindakan

tersebut diambil benar-benar tepat dan diperlukan untuk mencapai penyelesaian terbaik

yang bermanfaat dengan mengedepankan asas keseimbangan. Pertimbangan lainnya

yakni telah ada kesepakatan damai (rekonsiliasi) antara pihak-pihak yang terkait dengan

peristiwa pidana yang terjadi.

Selanjutnya, berdasarkan Telegram Rahasia Kabareskrim Nomor:

TR/1124/XI/2006 terdapat pengertian mengenai diversi, yakni suatu pengalihan bentuk

penyelesaian dari penyelesaian yang bersifat proses pidana formal ke alternatif

penyelesaian dalam bentuk lain yang di nilai terbaik menurut kepentingan anak. Dengan

kata lain dapat diartikan bahwa diversi artinya pengalihan kasus-kasus yang berkaitan

dengan anak yang disangka telah melakukan pelanggaran diluar prosedur peradilan

formal dengan atau tanpa syarat-syarat tertentu. Berdasarkan uraian di atas dalam hal

anak yang berhadapan dengan hukum, hanya anak yang berkonflik dengan hukum atau

anak sebagai pelaku tindak pidana yang dapat diselesaikan melalui jalur diversi. Batasan

lain terkait penerapan diversi sebagai kewenangan diskresi kepolisian juga telah

(22)

1. Kewenangan diskresi kepolisian (Pasal 18 Ayat 1 UU No. 2 Tahun 2002 tentang

Polri) dengan syarat tindakan tersebut benar-benar diperlukan, tindakan yang

diambil benar-benar untuk kepentingan tugas kepolisian, berdasarkan asas

keseimbangan yaitu mempertimbangkan sifat perbuatan anak dengan akibat yang

ditumbulkannya serta tetap memperhatikan kepentingan terbaik demi tumbuh

kembang anak.

2. Prinsip diversi yang terdapat dalam konversi hak-hak anak yaitu suatu pengalihan

bentuk penyelesaian dari penyelesaian yang bersifat proses pidana formal

kealternatif penyelesaian dalam bentuk lain yang dinilai terbaik demi kepentingan

anak. Diversi dapat dalam bentuk dikembalikan ke orang tua si anak baik tanpa

maupun disertai peringatan informal/formal, mediasi, musyawarah dengan

melibatkan keluarga pelaku dan keluarga korban, atau bentuk-bentuk

penyelesaian terbaik lainnya yang sesuai dengan budaya masyarakat setempat.

Peringatan informal adalah pemberian peringatan disertai penjelasan tentang

dampak buruk dari perbuatan anak baik bagi korban maupun orang lain dan

menasehati serta memperingatkan si anak agar tindak melakukan lagi. Peringatan

formal adalah peringatan informal yang diberikan kepada si anak baik secara

tertulis atau lisan di depan orang tuanya si anak. Diversi dalam bentu mediasi

adalah tindakan polisi menjadi perantara guna mengkomunikasikan atau

memfasilitasi pemenuhan kebutuhan korban dan perlindungan terhadap anak

(23)

perbuatan si pelaku anak. Musyawarah dengan melibatkan keluarga adalah

pertemuan antara anak sebagai pelaku dengan semua pihak yang telah dirugikan

oleh tindakan si anak untuk secara bersama-sama memutuskan hal-hal yang harus

dilakukan untuk memperbaiki kesalahannya dan mencegah terulang perbuatan

serupa di kemudian hari, sementara polisi tetap berperan sebagai fasilitator.

3. Dasar hukum penerapan diversi adalah Pasal 16 ayat 1 huruf L UU No. 2 Tahun

2002 tentang Polri yang berbunyi mengadakan tindakan lain menurut hukum yang

bertanggungjawab dengan batasan bahwa tindakan tersebut tidak bertentangan

dengan dengan hukum yang berlaku, selaras dengan kewajiban hukum/profesi

yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan tersebut, tindakan tersebut

harus patuh dan masuk akal dan termasuk dalam lingkup jabatannya, didasarkan

pada pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa dan

menghormati HAM.

4. Sedapat mungkin mengembangkan prinsip diversi dalam model restorative justice

guna memproses perkara pidana yang dilakukan oleh anak yakni dengan

membangun pemahaman dalam komunitas setempat bahwa keterlibatan anak

dalam tindak pidana harus dipahami sebagai kenakalan anak akibat

kegagalan/kesalahan orang dewasa dalam mendidik dan mengawal anak sampai

usia dewasa. Tindak pidana anak juga harus dipandang sebagai pelanggaran

terhadap manusia dan relasi antara manusia sehingga memunculkan kewajiban

(24)

membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik melalui pelibatan semua pihak

untuk mengambil peran guna mencari solusi terbaik, baik bagi kepentingan

pihak-pihak yang menjadi korban dan juga bagi kepentingan anak sebagai pelaku

dimasa sekarang dan di masa yang datang. Dengan cara demikian diharapkan

setiap tindak pidana yang melibatkan anak dapat diproses dengan pendekatan

restorative justice sehingga menjauhkan anak dari proses hukum

formal/pengadilan agar anak terhindar dari trauma psikologis dan stigmasasi serta

dampak buruk lainnya sebagai ekses penegakan hukum formal/pengadilan.

5. Penahanan terhadap anak hanya dilakukan ketika sudah tidak ada jalan lain dan

merupakan langkah terakhir (ultimum remedium), dan pelaksanaannya harus

dipisahkan dari tahanan dewasa.

Selanjutnya

Prasyarat yang harus dipenuhi untuk dapat terlaksananya restorative justice,

yaitu:87

1. Harus ada pengakuan atau pernyataan bersalah dari pelaku.

2. Harus ada persetujuan dari pihak korban untuk melaksanakan penyelesaian di luar system peradilan anak yang berlaku.

3. Persetujuan dari kepolisian atau dari kejaksaan sebagai institusi yang memilki kewenangan diskresioner.

4. Dukungan komunitas setempat untuk melaksanakan penyelesaian di luar system peradilan pidana anak.

87

(25)

Adapun kasus yang bisa dilaksanakan penyelesaiannya dengan konsep restorative

justice adalah:88

1. Kasus tersebut bukan kasus kenakalan anak yang mengorbankan kepentingan orang banyak dan bukan pelanggaran lalu lintas jalan.

2. Kenakalan anak tersebut tidak mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, luka berat atau cacat seumur hidup.

3. Kenakalan anak tersebut bukan kejahatan terhadap kesusilaan yang serius yang menyangkut kehormatan.

Berdasarkan TR Kabareskrim Polri No. Pol.: TR/1124/XI/2006 diversi dan

Restorative Justice menjadi suatu kewajiban untuk dilaksanakan di setiap tingkatan

pemeriksaan oleh penyidik dengan mempertimbangkan tindak pidana yang dilakukan

oleh anak, umur anak pada saat melakukan tindak pidana, hasil penelitian mengenai anak

dari badan pemasyarakatan, serta dukungan dari lingkungan keluarga dan masyarakat.

Kesepakatan diversi sudah dicapai, maka harus ada persetujuan dari korban atau keluarga

korban serta kesediaan anak dan keluarganya, namun persetujuan dari korban dan atau

keluarganya dibutuhkan apabila tidak memenuhi kriteria sebagai berikut:89

1. Tindak pidana yang dilakukan adalah tindak pidana pelanggaran.

2. Tindak pidana yang dilakukan adalah tindak pidana ringan.

3. Tindak pidana yang dilakukan tindak menimbulkan korban.

4. Nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum propinsi setempat.

88

Hasil workshop Draff Pedoman Diversi untuk Perlindungan bagi Anak yang berhadapan dengan hukum yang diadakan oleh Unicef pada tanggal 1-2 Juni 2005 di Jakarta, dikutip dalam Marlina, Ibid, hal. 207.

89

(26)

Kriteria sebagaimana dirumuskan di atas telah dijadikan kerangka penyidik pada

Satuan Reserse Kriminal Polres Binjai dalam melakukan penyidikan perkara pidana yang

melibatkan anak sebagai pelaku kejahatan. Mekanisme yang dilakukan dengan

melibatkan banyak pihak yang terlibat (pelaku, korban serta keluarga) dam memberikan

ruang bagi kedua belah pihak untuk menyelesaikan perkara pidananya di luar pengadilan,

namun kewenangan untuk melakukan penegakan hukum tetap berada di pihak Kepolisian

selaku penyidik. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 13 huruf b Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2002 yang berbunyi tugas pokok Polri adalah menegakkan hukum,

namun tidak menutup kemungkinan bagi kepolisian untuk bertindak diluar ketentian

hukum yang berlaku demi kepentingan umum, berdasarkan Pasal 18 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, kepolisian diberikan peluang untuk bertindak menurut

penilainnya sendiri untuk kepentingan umum. Adapun penerapan restorative justice yang

telah dilakukan oleh Satuan Reserse Kriminal Polres Binjai dapat diuraikan sebagai

berikut:90

“Berdasarkan data statistic criminal pada Satuan Reserse Kriminal Polres Binjai menunjukkan tindak pidana yang melibatkan anak sebagai pelaku pada Tahun 2014 berjumlah 38 kasus, tindak pidana yang diselesaikan secara restorative justice sebanyak 15 kasus dan tindak pidana yang tidak diselesaikan secara restorative justice adalah sebanyak 23 kasus. Dari kasus yang ditangani oleh Satuan Reserse Kriminal Polres Binjai pada Tahun 2014 ini, sebanyak 38 kasus adalah tindak pidana yang dilakukan oleh anak sebagai pelaku dengan jumlah penyelesaian kasus dengan konsep restorative justice sebanyak 15 kasus (crime clear 4,0%). Beberapa kasus yang tidak dilaksanakan penerapan konsep diversi dan restorative justice oleh Satuan Reserse Kriminal Polres Binjai berdasarkan kewenangan diskresi dikarenakan kasus tersebut harus diteruskan ke Kejaksaan

90

(27)

dengan pertimbangan kasusnya adalah kasus Narkoba dan Pencabulan, sedangkan untuk kasus tindak pidana ringan seperti kasus tindak pidana ringan seperti pencabulan biasa, pencurian, penganiayaan biasa dilakukan mekanisme

restorative justice ”.

C. Penerapan Restorative Justice oleh Polri

Mekanisme restorative justice dapat dilakukan dengan alternatif yaitu di luar

sistem peradilan tanpa melibatkan aparat penegak hukum , diluar sistem peradilan dengan

melibatkan aparat penegak hukum dan bagian dari sistem peradilan. Mekanisme

penyelesaian kasus tanpa bersentuhan dengan peradilan pidana diuraikan dalam skema

berikut:

SUBJEK

MENGUNDANG

PELAKSANAAN

LAPORAN

MERANCANG PERTEMUAN

PELAKU

KORBAN KASUS

FEED BACK

FORUM

(28)

Mekanisme pelaksanaan penyelesaian kasus secara restorative justice tanpa

bersentuhan dengan sistem peradilan pidana dilakukan dengan tahapan setelah terjadinya

kasus, maka dibutuhkan sebuah forum yang dalam hal ini inisiatif berasal dari

masyarakat, yaitu tokoh-tokoh masyarakat atau pihak lain yang berkepentingan. Forum

ini kemudian merancang sebuah pertemuan dalam rangka musyawarah dan pemulihan.

Selanjutnya forum mengundang pihak pelaku dan korban untuk melaksanakan

musyawarah dalam menyelesaikan kasus yang ada. Setelah dilakukan dibutuhkan laporan

untuk mempertanggungjawabkan hasil musyawarah kepada pihak-pihak terkait.

Penerapan mekanisme ini dilakukan oleh Polri dengan mengedepankan tindakan preemtif

dan preventif melalui forum kemitraan Polisi dengan masyarakat yang berorientasi pada

problem oriented policing. Forum yang telah dibentuk oleh institusi Kepolisian sampai

dengan lini untuk mengefektifkan musyawarah dalam penyelesaian kasus-kasus yang

terjadi yakni Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM) dan Balai Kemitraan

Polisi dan Masyarakat (BKPM).91

Selanjutnya mekanisme penyelesaian kasus dilaksanakan bersentuhan dengan

sistem peradilan pidana dengan tetap melibatkan aparat penegak hukum yakni penyidik

Kepolisian. Alur pelaksanaannya sebagai berikut:

91

(29)

GELAR PERKARA/FORUM

RJ PUAN SUMDA YG

DIHARAPKAN

KORBAN DAN SAKSI KASUS

LAPORAN POLISI

BAP

PANGGIL

SETUJU

SP3

PENYELESAIAN KASUS DILAKSANAKAN BERSENTUHAN DENGAN SISTEM PERADILAN

PIDANA

Gambar: Mekanisme Pelaksanaan Penyelesaian Kasus secara Restorative Justice bersentuhan dengan Sistem Peradilan Pidana

Mekanisme di atas menunjukkan bahwa kasus telah bersentuhan dengan sistem

peradilan pidana, dalam hal ini adalah Polisi, ketika terjadi kasus pihak Kepolisian yakni

penyidik mengadakan pemeriksaaan atas peristiwa pidana yang telah dilaporkan. Pada

saat proses penyidikan para pihak yakni pelaku dan korban dipertemukan. Apabila

diperoleh persetujuan penyelesaian secara musyawarah dan kekeluargaan atau restorative

justice maka dilakukan gelar perkara di dalam forum restorative justice untuk dilakukan

keputusan secara bersama yang selanjutnya dilakukan SP3 (Penghentian Penyidikan)

dengan menggunakan kewenangan diskresi kepolisian, dengan demikian kasus berhenti

di tingkat penyidikan dan tidak sampai ke Pengadilan. Penghentian penyidikan yang

(30)

mengacu pada mekanisme penghentian penyidikan sebagaimana di atur pada Surat

Telegram (TR) Kabagreskrim Nomor: ST/583/VIII/2012 tanggal 8 Agustus 2012 tentang

penanganan kasus yang berkaitan dengan konsep restorative justice yakni melalui

mekanisme pencabutan laporan agar diikuti dengan pembuatan BAP yang isinya tentang

pencabutan keterangan yang bersangkutan dalam BAP sebelumnya baik oleh pelapor

maupun terlapor sehingga unsur pasal menjadi berkurang dengan dasar tidak cukup bukti)

sehingga penyidikan dapat dihentikan dengan alasan tidak cukup bukti.

Berdasarkan uraian di atas menujukkan bahwa penerapan restorative justice yang

tanpa melibatkan aparat penegakan hukum yakni penyidik kepolisian, melibatkan aparat

penegak hukum dan bahagian dari sistem peradilan. Penerapan restorative justice dengan

melibatkan penyidik selaku aparat penegak hukum dan sebagai bahagian dari sistem

peradilan pidana dapat diuraikan sebagai berikut:

3. Restorative Justice demi Kepentingan Umum dan Harkamtibmas berdasarkan Penilaian Sendiri

Penerapan restorative justice yang dilakukan Polri sebagai upaya

penyelesaian tindak pidana demi kepentingan umum dan Harkamtibmas

berdasarkan penilaian sendiri telah dirumuskan dalam Surat Telegram (TR)

Kabagreskrim Nomor: ST/583/VIII/2012 tanggal 8 Agustus 2012 tentang

penanganan kasus yang berkaitan dengan konsep restorative justice, sebagai

(31)

a. Mempertimbangkan proses penegakan hukum sesuai hukum positif

yang berlaku dan bila penyelesaian melalui restorative justice

merupakan hal yang sangat mendesak dengan melihat psikologis

masyarakat di wilayahnya serta atas pertimbangan untuk memenuhi

rasa keadilan masyarakat, maka keputusan diserahkan masing-masing,

sejauh dapat dipertanggungjawabkan dengan upaya ultimum remedium

dan koordinasi dengan penegak hukum di wilayah.

b. Agar dalam penanganan kasus yang cenderung akan diselesaikan

dengan restorative justice dengan mengutamakan asas kemanfaatan

dan keadilan hukum bukan pendekatan kepastian hukum, dilaksanakan

tanpa pamrih dan semata-mata untuk keadilan dan tanpa imbalan.

c. Gunakan Pasal 18 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri yakni

”melakukan tindakan atas penilaian sendiri didasarkan kepada

pertimbangan manfaat serta resiko dari tindakan tersebut dan

betul-betul untuk kepentingan umum”.

d. Konsep restorative justice tersebut telah diupayakan adanya mediasi

untuk damai diantara pelapor dan terlapor agar tidak terjadi komplain

dikemudian hari dan menyarankan kepada pelapor untuk mencabut

laporan/pengaduannya.

e. Dalam rangka restorative justice, proses penyidikan dengan

(32)

atau kerugian telah dikembalikan, melalui suatu proses mendiasi,

alasan tersebut dapat dimasukkan dalam alasan penghentian yaitu

”demi hukum” karena dengan proses mediasi dalam rangka restorative

justice tujuan hukum yakni kepastian hukum, keadilan dan manfaat

salah satunya telah tercapai.

f. Pencabutan laporan agar diikuti dengan pembuatan BAP yang isinya

tentang pencabutan keterangan yang bersangkutan dalam BAP

sebelumnya baik oleh pelapor maupun terlapor.

g. Berdasarkan berita acara lanjutan yang mencabut BAP sebelumnya

maka pembuktian atas unsur pasal menjadi berkurang (tidak cukup

bukti) sehingga penyidikan dapat dihentikan dengan alasan tidak

cukup bukti dan laporan permasalahan tersebut dapat dinyatakan

selesai.

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Kepolisian Negara RI

Nomor 2 Tahun 2002 memberikan pengertian Kepolisian adalah segala hal-ihwal

yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan

perundang-undangan. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Kepolisian Negara RI

Nomor 2 Tahun 2002 menyatakan bahwa anggota Kepolisian Negara Republik

Indonesia adalah pegawai negeri pada kepolisian Negara Republik Indonesia.

Selanjutnya Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Kepolisian Negara RI

(33)

adalah anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berdasarkan

Undang-Undang mewakili wewenang umum Kepolisian. Dalam ayat (2) Kepolisian

Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional yang merupakan satu

kesatuan dalam melaksanakan peran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Ketentuan dalam Pasal 5 ayat (2) merupakan penerapan dari ketentuan yang

tercantum dalam Ketetapan MPR No.VII/MPR/2002.

Dalam Pasal 5 Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia,

Kepolisian merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan

dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan,

pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya

keamanan dalam negeri. Ketentuan ini menjelaskan tentang Kepolisian Nasional

yang merupakan satu kesatuan.

Polisi adalah merupakan organ yang mendasar dalam sebuah negara

terlebih dalam peradaban yang sangat komplek ini. Tindakan hukum yang

berkaitan dengan kriminal, hanyalah sebahagian kecil dari tugasnya. Kepolisian

sebagai bagian integral fungsi pemerintahan negara, ternyata fungsi Kepolisian

mempunyai tataran luas, tidak sekedar aspek represif dalam kaitannya dengan

proses pidana saja, tetapi mencakup pula aspek preventif berupa tugas-tugas yang

melakukan yang melekat pada fungsi utama administrasi negara mulai dari

bimbingan dan pengaturan sampai dengan tindakan Kepolisian yang bersifat

(34)

Republik Indonesia bertujuan untuk menjamin tertib dan tegaknya hukum serta

terbinanya ketentraman masyarakat guna mewujudkan keamanan dan ketertiban

masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri,

terselenggaranya fungsi pertahanan keamanan negara, dan tercapainya tujuan

nasional dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Kedudukan Polri saat ini berlangsung di bawah Presiden, berdasarkan

perkembangan hukum kepolisian bertitik tolak pada asas-asas atau sendi-sendi

pokok yang perlu untuk tugas kepolisian. Polri sangat berperan dan bertanggung

jawab dalam membangun supremasi hukum yang berdasarkan kehendak rakyat,

penyambung lidah rakyat sebab Polisi berasal dari rakyat. Kewenangan yang

diperolehnya berasal dari rakyat, dan itu harus dikembalikan kepada rakyat

dalam bentuk perlindungan terhadap rakyat dengan memberikan rasa keadilan.

Karena sikap dari angota polisi yang bertugas di lapangan sangat menentukan,

dan sebagai cermin bagi citra korps kepolisian dalam mewujudkan idaman polisi

yang dicintai oleh masyarakat. Asas berarti prinsip atau garis pokok dari mana

mengalir kaidah-kaidah atau garis hukum. Hukum Kepolisian adalah Hukum

positif yaitu kaidah-kaidah atau garis-garis hukum yang dapat diterapkan secara

langsung kepada suatu perbuatan konkrit yang terdapat dalam masyarakat.

Sebaliknya, asas sifatnya umum sehingga sukar untuk diterapkan pada sesuatu

(35)

Polisi yang diberi wewenang untuk bertindak berdasarkan penilaiannya

sendiri, tidak berarti bahwa dapat berbuat sewenang-wenang. Mengenai

wewenang untuk bertindak dalam rangka asas Plichnatigheid, ada juga

batas-batasnya. Oleh karena asas Plichnatigheid ini merupakan kelanjutan dari asas

legalitas maka tindakan yang dilakukan oleh Polisi dibatasi, yaitu tidak boleh

bertentangan dengan undang-undang. Dengan perkataan lain ialah bahwa tindakan

polisi tidak boleh bertentangan dengan undang-undang atau setidaknya

tindakannya itu harus sesuai dengan jiwa dari undang-undang sehingga

seandainya hal tersebut sempat dibuat peraturan/undang-undangnya oleh badan

pembuat undang-undang, peraturan ini akan membenarkan tindakan polisi

tersebut.

Memang sulit sekali diadakan pembatasan oleh karena penilaian

masing-masing tentang tindakan yang dilakukan selalu berbeda-beda. Akan tetapi

sebegitu jauh masih didapat diadakan ukuran bagi tindakan Polisi yang didasarkan

atas Plichnatigheid ini, yaitu:

a. Tindakan itu harus noodzakelijk artinya secara obyektif menurut pandangan umum, betul-betul perlu dan tindakan tidak boleh kurang tidak boleh lebih. Contohnya: Pemasangan papan reklame dipinggir jalan harus sedemikian rupa sehingga tak menghalangi pemandangan dari pengendara kendaraan. Kalau menghalangi pemandangan maka Polisi bisa memerintahkan memindahkan ke tempat lain walaupun penempatannya ditempat itu sudah mendapat izin.

b. Zakelijk, artinya tidak bersifat pribadi, tidak terikat pada kepentingan

(36)

c. Doelmatig, ialah tindakan yang sesuai atau yang bisa mencapai sasaran.

Yang dianggap tindakan yang doelmatig yaitu bahwa tindakan itu merupakan tindakan/jalan yang paling tepat untuk mengelakkan gangguan secara sempurna dan tepat, atau tindakan yang paling tepat agar kerugian bagi perorangan itu dapat diperkecil atau juga segala tindakan yang sesuai dengan kepentingan hukum, terutama mengenai hak-hak manusia yang menurut pendapat umum tidak berlebih-lebihan untuk mencapai tujuan dengan memperhatikan usul-usul orang yang bersangkutan.

d. Evenredig, ialah harus ada keseimbangan antara tindakan Polisi dengan

berat ringannya kesalahan, artinya dalam mengambil tindakan dengan alat-alat itu tidak terlalu berlebih-lebihan sehingga menghambur-hamburkan tenaga atau sampai melanggar hak-hak asasi. Contoh: terhadap seorang pengendara sepeda yang salah jalan maka Polisi itu perlu menahan orang tersebut atau menyita sepedanya tetapi cukup dengan memberikan peringatan bahwa jalan itu terlarang dan kemudian itu menunjukkan jalan yang bisa dilalui.

e. Asas Subsidiaritas, merupakan asas yang mewajibkan pejabat Polisi untuk mengambil tindakan-tindakan yang perlu sebelum pejabat yang berwenang untuk itu hadir. Asas ini sebenarnya bersumber dari kewajiban umum Polisi untuk memelihara ketertiban dan keamanan umum.92

Pada dasarnya setiap anggota polisi yang bertugas di lapangan merupakan

penterjemah-penterjemah hukum yang hidup, dan paling mudah ditemui oleh

masyarakat untuk menanyakan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan

hukum yang menyangkut pribadinya. Adapun tugas dan wewenang Kepolisian

Republik Indonesia diatur pada Pasal 13 UU No. 2 Tahun 2002 tentang

Kepolisian yang menyebutkan bahwa tugas pokok Kepolisian Negara Republik

Indonesia adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan

hukum, memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada

masyarakat. Selanjutnya pada Pasal 14 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002

92

(37)

menyatakan dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas:

a. melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;

b. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan;

c. membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;

d. turut serta dalam pembinaan hukum nasional;

e. memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;

f. melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;

g. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;

h. menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;

i. melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;

j. melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;

k. memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta

l. melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Kepolisian RI juga memiliki kewenangan di samping tugas yang harus

diembannya. Pasal 15 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik

Indonesia menyatakan kewenangan Polri adalah:

(1) Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang:

(38)

b. membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum;

c. mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat; d. mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau

mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;

e. mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian;

f. melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan;

g. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;

h. mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang;

i. mencari keterangan dan barang bukti;

j. menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;

k. mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat;

l. memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat;

m. menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu. (2) Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan

perundang-undangan lainnya berwenang:

a. memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya;

b. menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor; c. memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor;

d. menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik;

e. memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam;

f. memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan;

g. memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian;

h. melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional;

i. melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait;

(39)

k. melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian.

(3) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a dan d diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Kewenangan lain diatur pada Pasal 16 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri

yang mengatur:

(1) Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk:

b. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; c. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian

perkara untuk kepentingan penyidikan;

d. membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;

e. menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;

f. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;

i. mengadakan penghentian penyidikan;

j. menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;

k. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana;

l. memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan

m. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. (2) Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l adalah

tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut:

a. tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;

b. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan;

(40)

e. menghormati hak asasi manusia.

2. Restorative Justice pada Proses Penanganan Perkara Pidana

Dalam pembahasan sebelumnya bahwa perundang-undangan yang ada saat ini

tidak secara ekspllisit memberikan kewenangan dilakukannya restorative justice oleh

aparat penegak hukum Polri. Oleh karena itu kemudian argumentasi dan

pembenaran terhadap tindakan hukum yang dilakukan Polri dalam memberikan

keadilan kepada masyarakat adalah diskresi kepolisian, tindakan lain menurut

hukum yang bertanggung jawab, tindakan lain berdasarkan kepentingan para pihak

atau pencabutan laporan polisi meskipun bukan delik aduan. Hal ini sebagaiman

dirumuskan di dalam TR Kabagreskrim Nomor: ST/583/VIII/2012 tanggal 8

Agustus 2012 tentang penanganan kasus yang berkaitan dengan konsep restorative

justice. TR Kabagreskrim ini sejalan dengan TR Kapolda Sumut dengan nomor TR

yakni Nomor: STR/315/V/2011 tanggal 27 Mei 2011 yang pada intinya TR

dimaksud memuat bahwa terhadap beberapa kasus tertentu yang ditangani oleh

penyidik Polri dapat dilaksanakan penyelesaian melalui proses alternatif di luar

proses peradilan dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Tersangka dalam tindak pidana yang terjadi adalah anak di bawah umur.

b. Kerugian yang diakibatkan oleh perbuatan pidana tersebut tidak

mengakibatkan luka berat dan hilangnya nyawa seseorang.

(41)

d. Bukan peristiwa teror dan atau perbuatan pidana yang mengancam keamanan

serta merugikan harta kekayaan Negara.

e. Bukan perbuatan pidana yang terkait dengan produksi dan pengedaran

Narkoba/Illegal.

Selanjutnya berdasarkan TR Kapolda Sumut dengan nomor TR yakni Nomor:

STR/315/V/2011 tanggal 27 Mei 2011 telah merumuskan juga terkait ketentuan

yang harus dipenuhi dalam menghentikan penyidikan atas kasus yang telah

diselesaikan melalui alternatif di luar proses peradilan, yakni:

a. Alternatif tersebut diambil benar-benar tepat dan diperlukan untuk mencapai

penyelesaian terbaik yang bermanfaat bagi masyarakat dengan

mengedepankan asas keseimbangan.

b. Alternatif tersebut merupakan tindakan lain yang bertanggungjawab, tidak

bertentangan degan hukum selaras dengan kewajiban hukum dan profesi,

patuh dan masuk akal serta dalam lingkup jabatannya berdasarkan

pertimbangan yang layak dan menghormati HAM.

c. Telah ada kesepakatan damai (rekonsiliasi) antara pihak-pihak yang terkait

dengan peristiwa pidana yang terjadi.

d. Adanya persetujuan pihak korban dan atau keluarganya.

e. Keputusan untuk menyelesaikan perkara melalui alternatif di luar proses

(42)

tingkat Polsek dan Polres, Dir Reserse Polda untuk tingkat Polda dan para

Direktur untuk tingkat Bareskrim Polri.

Berdasarkan hal tersebut di atas, diharapkan ada dasar hukum yang kuat

dituangkan dalam Undang- Undang yang memberikan kewenangan Polri untuk

mengimplementasikan restorative justice atau melakukan penghentian penyidikan /

tindakan hukum polisionil berdasarkan pertimbanga untuk memenuhi rasa keadilan

masyarakat. Konsep implementasi restorative justice tersebut apabila digambarkan

dalam sebuah diagram adalah sebagai berikut :

Diagram: implementasi restorative justice pada proses penanganan perkara

Salah satu wujud penegakan hukum yang dilakukan oleh Polri adalah

(43)

harus berdiri pada dua kepentingan yaitu untuk tujuan sosial dan tujuan hukum. Oleh

karena itu selain mencapai substansi hukum berdasarkan peraturan

perundang-undangan maka penyidikan juga harus diarahkan untuk mencapai tujuan sosial yaitu

untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan. Keadilan yang lebih diterima oleh

kedua belah pihak bukan keadilan yang ditetapkan oleh hakim semata. Penyidik

dalam mengimplementasikan restorative justice pada proses penanganan perkara

tentunya harus memperhatikan keadilan yang dapat diterima oleh kedua belah pihak

dengan sasaran mencapai penyelesaian terbaik dan mengedepankan asas

keseimbangan. Tindakan yang dilakukan oleh penyidik dalam mengimplementasikan

restorative justice pada penanganan perkara harus bertanggungjawab, tidak

bertentangan degan hukum selaras dengan kewajiban hukum dan profesi, patuh dan

masuk akal serta dalam lingkup jabatannya berdasarkan pertimbangan yang layak

dan menghormati HAM serta keadilan yang dapat diterima oleh kedua belah pihak.

Salah satu pengemban fungsi penyidikan adalah reserse kriminal, namun

menimbang beban perkara yang meningkat dari tahun ke tahun yang harus

diselesaikan oleh fungsi reskrim maka perlu dicari terobosan sistem sehingga

penyelesaian kasus tidak menjadi sentralisasi fungsi reskrim namun menjadi bagian

dari fungsi kepolisian yang lain secara komprehensif. Apabila digambarkan dengan

diagram maka sistematika implementasi restorative justice secara komprehensi

(44)

Diagram: sistematika penyidikan dengan menerapkan restorative justice

Mencermati diagram di atas bahwa restorative justice yang dilakukan oleh

Polri bisa dilaksanakan pada tingkat pra penyidikan oleh Sentra Pelayanan

Kepolisian Terpadu (SPKT) yang dikoordinir oleh Biro Opserasi pada tingkat

Polda atau Bagian Operasi pada tingkat Polres/ta/tabes. SPKT diharapkan dapat

memverifikasi dan menganalisis setiap laporan yang diterima termasuk untuk

melakukan tindakan alternative dalam menyelesaiakan laporan dengan

menerapkan restorative justice dengan terlebih dahulu mengidentifikasi apakah

laporan yang diterima dapat dilakukan alternative penyelesaian melalui

restorative justice atau laporan yang diterima dilanjutkan ke fungsi Reskrim untuk

(45)

Restorative justice yang telah masuk pada proses penyidikan maka upaya

yang dilakukan oleh Kepolisian dapat digambarkan pada langkah-langkah sebagai

berikut:93

1. Klasifikasi perkara yang masuk restorative justice, antara lain: Pertama, perkara-perkara yang menjadi perhatian secara manusiawi, misalnya tersangka sudah lanjut usia, tersangka untuk kepentingan perut/hidup bukan sebagai mata pencaharian. Kedua, perkara-perkara tindak pidana yang ringan yang kerugian di bawah Rp. 2.500.000,00. Ketiga, perkara-perkara kecelakaan lalu lintas yang mempunyai criteria misalnya karena kelalaiannya berkendara di jalan raya, korban meninggal dunia namun tersangka masih ada hubungan keluarga dan kecelakaan lalu lintas yang melibatkan massa. Keempat, perkara-perkara pidana namun atas pertimbangan kemanusiaan dan mengedepankan pembinaan. Kelima, perkara-perkara yang rentan melibatkan kekuatan massa dan terjadi konflik misalnya pengelolaan sumber daya, pembagian hasil sumber daya yang dikelola, sengketa tanah, politik dan SARA.

2. Perencanaan, dalam menerima laporan atau informasi adanya suatu tindak pidana maka Kasat Reskrim akan menilai tingkat keseriusan dalam penanganan tersebut. Kasat Reskrim sebagai penanggungjawab secara teknis penyidikan tetap direncanakan untuk mengumpulkan keterangan sebagai dokumen atau kelengkapan penyidikan.

3. Pengorganisasian, pada perkara-perkara yang tidak menimbulkan konflik maka langkah yang diambil antara lain tetap dilakukan proses penyidikan dan apabila telah memenuhi unsur-unsur pidana yang disangkakan apabila kejahatan yang diancam hukuman lebih dari 5 tahun namun dilakukan oleh orang usia lanjut dan anak maka tidak perlu melakukan upaya paksa (penahanan). Apabila perkara ringan telah memenuhi unsur tindak pidana yang disangkakan, maka direncanakan untuk dilakukan mediasi antara korban dan pelaku/tersangka. Dalam hal terjadinya kecelakaan lalu lintas dimana tersangkanya adalah suami, isteri atau orang tua korban maka tidak perlu dilakukan upaya paksa (penahanan). Apabila ada tanda-tanda bahwa perkara telah memenuhi kriteria ini maka langkah yang harus dilakukan yakni Kasat Reskrim memerintahkan tim penyidik untuk mendalami perkara yang dilaporkan dan melaksanakan penyidikan sesuai prosedur

93

Referensi

Dokumen terkait

Sajrone komponen iki guru ngamati dhampak utawa asil saka tindakan kang ditindakake marang siswa. Tes kanthi mangsuli pitakonan-pitakonan kanggo mangertene pencapaian

Skripsi dengan judul"Subjective Well Being Remaja Binaan yang Melakukan Sholat Dhuha (Studi Kasus di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Jombang)" yang ditulis oleh Nur Viawati

Selain itu, penulis menganggap bahwa Museum Benteng Vredeburg memiliki keunikan yakni bangunannya berupa bangunan bekas Belanda yang sudah termasuk dalam Benda

Karena itu sikap disiplin menjadi terbangun dengan sendirinya dikalangan masyarakat Iboih akibat proses interaksi dengan para wisatawan asing yang menggunakan

Untuk menyediakan suatu aplikasi yang berguna dalam memprediksi potensi bullying pada siswa, peneliti menggunakan metode forward chaining berdasarkan

Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah atas kehadirat Allah SWT yang memberi rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

(1) Kesimpulan dari pengujian-pengujian yang telah dilakukan dalam penelitian tersebut untuk pengujian pertama bahwa pada periode 2001-2003, fenomena day of the week

Berdasarkan dari latar belakang masalah di atas maka yang menjadi fokus penelitian dalam skripsi ini adalah Strategi Guru pendidikan Agama Islam mengatasi Perilaku