• Tidak ada hasil yang ditemukan

RHINITIS ALERGI 1. Definisi

Dalam dokumen RANGKUMAN (Halaman 39-48)

Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (Von Pirquet,1986).

Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh Ig E.

2. Etiologi

Berdasarkan cara masuknya alergen penyebab rhinitis alergi ini yaitu :

a. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan. Seperti tungau debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatanh, rerumputan, serta jamur.

b. Alergen ingestan, yang masuk ke saluran cerna. Seperti makanan,misalnya susu sapi, telur, coklat, ikan laut, kepiting, dan kacang-kacangan.

c. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan. Misalnya penisilin dan sengatan lebah.

d. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa. Misalnya bahan komestik dan perhiasan.

3. Klasifikasi

a. Rhinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)

Rhinitis ini hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepung sari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu dikenal dengan rinokonjungtivitis.

Hal ini disebabkan gejala klinik yang tampak ialah gejala pada hidung dan mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi).

b. Rhinitis alergi sepanjang tahun (perennial).

Gejala pada penyakit ini timbul intermiten atau terus menerus, tanpa variasi musim. Penyebab yang paling sering adalah alergen inhalan (pada orang dewasa) dan alergen ingestan. Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah dan diluar rumah. Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak dan biasanya disertai dengan gejala alergen yang lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan.

Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi WHO Initiative ARIA tahun 2001, yaitu :

a. Berdasarkan sifat berlangsungnya :

 Intermiten (kadang-kadang), bila gejala kurang dari 4 minggu.

 Persisten/menetap, bila gejala lebih dari 4 minggu. b. Berdasarkan ukuran tingkat berat ringannya penyakit :

 Ringan, bila tidak ditemukannya gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lainnya yang mengganggu.

 Sedang-berat, bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.

4. Patofisiologi

Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran, sehingga memberi gejala campuran. Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi antara lain :

Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen. Reaksi ini bersifat bon spesifik. Bila antigen tidak berhasil seluruhnya dihilangkan reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.

b. Respon sekunder

Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3 kemungkinan yaitu sistem imunitas seluler atau hormonal atau keduannya dibangkitkan. Bila antigen berhasil dieliminasi maka reaksi selesai. Namun bila antigen masih ada atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik maka reaksi ini berlanjtu menjadi respon tertier.

c. Respon tertier

Reaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap tergantung daya eliminasi antigen oleh tubuh.

Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu : 1. Reaksi anafilaksis

2. Reaksi sitotoksik 3. Reaksi kompleks imun 4. Reaksi tuberculin

Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi atau tahap alergi.

Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu :

Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC)

Reaksi ini berlangsung sejak kontak dengan allergen sampai 1 jam setelahnya. Pada kontak pertama dengan allergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai APC akan menagkap allergen yang menempel dipermukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk kompleks peptide MHC kelas IIyang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian APC akan melepaskan sitokin seperti IL 1 yang akan mengaktifkan Th 0 untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4,IL 5, dan IL 13. IL 4 dan IL 13 diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan memproduksi immunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah masuk menuju jaringan dan diikat oleh reseptor IgE dipermukaan sel manosit atau basofil sehingga kedua sel ini menjadi aktif.

Proses ini disebut sensitasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitasi terpapar dengan allergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat allergen spesifik dan terjadilah degranulasi mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yaitu histamine. Selain histamine dikeluarkan jufga mediator lainya seperti Leukotrien D4, Prostaglandin D2, Leukotrien C4, bradikinin, dan berbagai sitokin.

Histamine akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Selain itu menyebabkan kelenjar mucus dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid.

Pada RAFC, sel mastosit akan melepaskan molekul kemotatik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Repon ini akan tetap berjalan dengan gejala yang akan berlangsung dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan.

 Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL)

Reaksi ini berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam setelah pemaparan dan berlangsung sampai 24-48 jam. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL 3, IL 4, Il 5, dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor, dan ICAM 1 pada secret hidung.

Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya. Pada fase iniselain factor spesifik, iritasi oleh factor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.

5. Gambaran Histologik

Secara nikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh darah dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mucus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan membrane basal, serta ditemukannya infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung.

Gambaran tersebut terdapat pada saat serangan. Diluar keadaaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi secara terus menerus sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel yaitu proliferasi jaringan ikat dan hyperplasia mukosa sehingga tampak mukosa hidung menebal.

6. Diagnosa a. Anamnesa

Anamnesa sangatlah penting. Hamper 50% diagnose dapat ditegakan dari anamnesa saja. Gejala khas dari rhinitis alergi ini adalah terdapatnya serangan bersin berulang. Bersin ini terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang pada RAFL. Gejala lain adalah keluar rinore yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidug dan mata gatal, kadang disertai dengan banyak air mata yang keluar.

b. Pemeriksaan Fisik

Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai adanya secret encer yang banyak. Pemeriksaan nasoendoskopi bias dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik lainnya pada anak yaitu terdapat bayangan gelap di daerah bawah mata karena statis vena sekunder akibat obstruksi hidung (allergic shiner).

Selain itu akan tampak anak menggosok-gosok hidungnya dengan punggung tangan dikarenakan gatal (allergic salute). Keadaan menggosok hidung ini kelamaan akan mengakibatkan timbul garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah (allergic crease). Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi sehingga menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue).

In vitro

Hitung eosinofil dalam darah tepi yang dapat meningkat atau normal. Begitu pula dilakukan pemeriksaan IgE yang sering kali menunjukan nilai normal kecuali bila ada tanda alergi lebih dari satu macam penyakit. Pemeriksaan berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi.

Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukan kemungkinan alergi inhalan. Namun jika basofil > 5 sel / ppl mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN akan menunjukan adanya infeksi bakteri.

In vivo

Allergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukil kulit, uji intrakutan yang tunggal atau berseri ( SET / Skin End-point Titration). SET dilakukan untuk allergen inhalan dengan menyuntikkan allergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Untuk alergi makanan, uji kulit yang dilakukan yaitu Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai gold standar yaitu dengan diet eliminasi dan provokasi

7. Penatalaksanaan

a. Terapi ideal yaitu dengan menghindari kontak dengan menghindari kontak dengan allergen penyebabnya dan eliminasi.

b. Medikamentosa

 Antihistamin yang digunakan yaitu antagonis histamine H-1 yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target. Antihistamin dibagi menjadi 2 golongan yaitu :

i. Golongan antihistamin generasi 1

Bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk kelompok obat ini yaitu difenhidramin, prometasin dan klorferinamin, sedangkan yang dapat diberikan secara topical adalah azelastin.

ii. Golongan antihistamin generasi 2

Bersifat lifopobik, sehingga sulit menembus sawar darah otak. Selain itu bersifat selektif mengikat reseptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek kolinergik, antiadrenergik, dan efek pada SSP minimal. Golongan ini dibagi menjadi 2 kelompok yaitu :

 Kelompok pertama, astemisol dan terfenadin yang punya efek kardiotoksik.  Kelompok kedua, loratadin, setirisin, fexofenadin, desloratadin, dan levosetirisin.

c. Operatif

Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior), konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25%.

d. Imunoterapi

Dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan imunoterapi adalah pembentukan IgG blocking antibody dan penurunan IgE. Ada 2 cara yang dilakukan yaitu intradermal dan sublingual

8. Komplikasi

Komplikasi rhinitis alergi yang sering antara lain : a. Polip Hidung

Beberapa penelitian mendapatkan bahwa alergi hidung merupakan salah satu factor penyebab terbentuknya Polip hidung dan kekambuhan polip hidung.

b. Otitis Media Efusi yang sangat residif, terutama pada anak-anak. c. Sinusitis Paranasal

\

Dalam dokumen RANGKUMAN (Halaman 39-48)

Dokumen terkait