• Tidak ada hasil yang ditemukan

RINITIS ALERGI

Dalam dokumen RANGKUMAN (Halaman 33-37)

PENDAHULUAN

Rinitis alergi adalah peradangan pada membran mukosa hidung, reaksi peradangan yang diperantarai IgE, ditandai dengan obstruksi hidung, sekret hidung cair, bersin-bersin, dan gatal pada hidung dan mata. Rinitis alergi mewakili permasalahan kesehatan dunia mengenai sekitar 10 – 25% populasi dunia, dengan peningkatan prevalensi selama dekade terakhir. Rinitis alergi merupakan kondisi kronik tersering pada anak dan diperkirakan mempengaruhi 40% anak-anak. Sebagai konsekuensinya, rinitis alergi berpengaruh pada kualitas hidup, bersama-sama dengan komorbiditas beragam dan pertimbangan beban sosial-ekonomi, rinitis alergi dianggap sebagai gangguan pernafasan utama. Tingkat keparahan rinitis alergi diklasifikasikan berdasarkan pengaruh penyakit terhadap kualitas hidup seseorang. Diagnosis rinitis alergi melibatkan anamnesa dan pemeriksaan klinis yang cermat, lokal dan sistemik khususnya saluran nafas bawah.

DEFINISI

Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.(1)

KLASIFIKASI

Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu : 1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)

2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)

Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat berlangsungnya.

Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Iniative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :

1. Intermiten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu 2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi :

1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu

2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas(1,7)

Penyebab rinitis alergi berbeda-beda bergantung pada apakah gejalanya musiman, perenial, ataupun sporadik/episodik. Beberapa pasien sensitif pada alergen multipel, dan mungkin mendapat rinitis alergi perenial dengan eksaserbasi musiman. Ketika alergi makanan dapat menyebabkan rinitis, khususnya pada anak-anak, hal tersebut ternyata jarang menyebabkan rinitis alergi karena tidak adanya gejala kulit dan gastrointestinal. Untuk rinitis alergi musiman, pencetusnya biasanya serbuksari (pollen) dan spora jamur. Sedangkan untuk rinitis alergi perenial pencetusnya bulu binatang, kecoa, tikus, tungau, kasur kapuk, selimut, karpet, sofa, tumpukan baju dan buku-buku. Alergen inhalan selalu menjadi penyebab. Serbuksari dari pohon dan rumput, spora jamur, debu rumah, debris dari serangga atau tungau rumah adalah penyebab yang sering. Alergi makanan jarang menjadi penyebab yang penting. Predisposisi genetik memainkan bagian penting. Kemungkinan berkembangnya alergi pada anak-anak adalah masing-masing 20% dan 47%, jika satu atau kedua orang tua menderita alergi.

PATOFISIOLOGI

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu :

1. Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya. Munculnya segera dalam 5-30 menit, setelah terpapar dengan alergen spesifik dan gejalanya terdiri dari bersin-bersin, rinore karena hambatan hidung dan atau bronkospasme. Hal ini berhubungan dengan pelepasan amin vasoaktif seperti histamin.

2. Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam. Muncul dalam 2-8 jam setelah terpapar alergen tanpa pemaparan tambahan. Hal ini berhubungan dengan infiltrasi sel-sel peradangan, eosinofil, neutrofil, basofil, monosit dan CD4 + sel T pada tempat deposisi antigen yang menyebabkan pembengkakan, kongesti dan sekret kental.(1,3)

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai APC akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Kompleks antigen yang telah diproses dipresentasikan pada sel T helper (Th0). APC melepaskan sitokin seperti IL1 yang akan mengaktifkan Th0 ubtuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan IL13. IL4 dan IL13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi IgE. IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan mediator yang tersensitisasi. Bila

mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk terutama histamin.(1)

Rinitis Alergi melibatkan membran mukosa hidung, mata, tuba eustachii, telinga tengah, sinus dan faring. Hidung selalu terlibat, dan organ-organ lain dipengaruhi secara individual. Peradangan dari mukosa membran ditandai dengan interaksi kompleks mediator inflamasi namun pada akhirnya dicetuskan oleh IgE yang diperantarai oleh respon protein ekstrinsik.(6)

Kecenderungan munculnya alergi, atau diperantarai IgE, reaksi-reaksi pada alergen ekstrinsik (protein yang mampu menimbulkan reaksi alergi) memiliki komponen genetik. Pada individu yang rentan, terpapar pada protein asing tertentu mengarah pada sensitisasi alergi, yang ditandai dengan pembentukan IgE spesifik untuk melawan protein-protein tersebut. IgE khusus ini menyelubungi permukaan sel mast, yang muncul pada mukosa hidung. Ketika protein spesifik (misal biji serbuksari khusus) terhirup ke dalam hidung, protein dapat berikatan dengan IgE pada sel mast, yang menyebabkan pelepasan segera dan lambat dari sejumlah mediator. Mediator-mediator yang dilepaskan segera termasuk histamin, triptase, kimase, kinin dan heparin. Sel mast dengan cepat mensitesis mediator-mediator lain, termasuk leukotrien dan prostaglandin D2. Mediator-mediator ini, melalui interaksi beragam, pada akhirnya menimbulkan gejala rinore (termasuk hidung tersumbat, bersin-bersin, gatal, kemerahan, menangis, pembengkakan, tekanan telinga dan post nasal drip). Kelenjar mukosa dirangsang, menyebabkan peningkatan sekresi. Permeabilitas vaskuler meningkat, menimbulkan eksudasi plasma. Terjadi vasodilatasi yang menyebabkan kongesti dan tekanan. Persarafan sensoris terangsang yang menyebabkan bersin dan gatal. Semua hal tersebut dapat muncul dalam hitungan menit; karenanya reaksi ini dikenal dengan fase reaksi awal atau segera

Setelah 4-8 jam, mediator-mediator ini, melalui kompetisi interaksi kompleks, menyebabkan pengambilan sel-sel peradangan lain ke mukosa, seperti neutrofil, eosinofil, limfosit dan makrofag. Hasil pada peradangan lanjut, disebut respon fase lambat. Gejala-gejala pada respon fase lambat mirip dengan gejala pada respon fase awal, namun bersin dan gatal berkurang, rasa tersumbat bertambah dan produksi mukus mulai muncul. Respon fase lambat ini dapat bertahan selama beberapa jam sampai beberapa hari. Sebagai ringkasan, pada rinitis alergi, antigen merangsang epitel respirasi hidung yang sensitif, dan merangsang produksi antibodi yaitu IgE. Sintesis IgE terjadi dalam jaringan limfoid dan dihasilkan oleh sel plasma. Interaksi antibodi IgE dan antigen ini terjadi pada sel mast dan menyebabkan pelepasan mediator farmakologi yang menimbulkan dilatasi vaskular, sekresi kelenjar dan kontraksi otot polos. Efek sistemik, termasuk lelah, mengantuk, dan lesu, dapat muncul dari respon peradangan. Gejala-gejala ini sering menambah perburukan kualitas hidup.

1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu rumah, tungau, serpihan epitel, bulu binatang.

2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan misalnya susu, telur, coklat, ikan, udang.

3. Alergen injektan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa.

4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik, perhiasan.

Dalam dokumen RANGKUMAN (Halaman 33-37)

Dokumen terkait