• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

F. Kerangka Teori

3. Riba

19

Apabila syarat seperti di atas diadakan dalam akad gadai, maka akad gadai itu sah, tetapi syarat-syaratnya batal dan tidak perlu diperhatikan. Apabila pada waktu pembayaran yang telah ditentukan rahin belum membayar utangnya, maka hak murtahin adalah menjual marhun pembelinya (boleh murtahin sendiri atau yang lain), tetapi dengan harga yang umum berlaku pada waktu itu dari penjualan marhun tersebut.

Hak murtahin hanyalah sebesar piutangnya, dengan akibat apabila harga penjualan marhun lebih besar dari jumlahnya utang sisanya dikembalikan kepada rahin. Apabila sebaliknya, harga penjualan marhun kurang dari jumlah utang, rahin maih menanggung pembayaran kekurangannya.

20

tambahan yang diambil sebagai ganti rugi dari tempo, qaradah berkata: “sesungguhnya riba orang jahiliyah adalah seseorang menjual satu jualan sampai tempo tertentu dan ketika jatuh tempo dan orang yang berhutang tidak bisa membayarnya dia menambah hutangnya dan melambatkan tempo”.26

b. Jenis-jenis Riba

Secara garis besar, riba dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu riba utang-piutang dan riba jual beli. Riba utang piutang terbagi menjadi dua, yaitu riba qardh dan riba jahiliyyah. Adapun riba jual beli terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasi‟ah.

1) Riba qardh

Adalah suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang.

Misalnya, seseorang yang berutang seratus ribu rupiah diharuskan membayar kembali seratus sepuluh ribu rupiah, maka tambahan sepuluh ribu rupiah adalah riba qardh.

Larangan riba ini berdasarkan firman Allah dalam surah ar-Rum ayat 39:













































27



“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah

26 Zaenudin Mansyur, Kontrak Bisnis Syariah dalam Tataran Konsep dan Implementasi, (Lombok: Pustaka Lombok, 2020), hlm. 151.

27 QS ar-Ruum [30]: 39.

21

orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)”. (Q.S.

ar-Ruum [30]: 39) 2) Riba jahiliyyah

Adalah utang yang dibayar lebih dari pokoknya karena peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditentukan, disebut juga riba yad. Biasanya jika peminjam tidak mampu membayar pada waktu yang ditentukan, maka bunganya akan bertambah dan bertambah sejalan dengan waktu tunggakan. Menurut al-Jashshash, riba yang dikenal dan dikerjakan oleh orang Arab dahulu (masa Jahiliyyah) adalah utang beberapa dirham atau dinar, ketika pengembalian diberi tambahan sesuai perjanjian ketika utang dimulai. Dasar larangan riba kategori ini antara lain firman Allah dalam surah Ali „Imran ayat 130:



























28

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”. ( Q.S. Ali-Imran [3]: 130).

3) Riba fadhl yaitu tukar menukar dua barang yang sama jenisnya dengan kualitas berbeda yang disyaratkan oleh orang yang menukarkan. Adapun contoh yang diangkat adalah tukar menukar emas dengan emas, perak dengan perak, beras dengan beras dan sebagainya. Perkataan fadhl berarti kelebihan yang dikenakan dalam pertukaran atau penjualan barang yang sama jenisnya atau bentuknya. Riba kategori ini dilarang berdasarkan Hadis Nabi, yaitu:

28 QS ali-Imran [3]: 130.

22

“Dari „Abd al-Rahman ibn Abi Bakrah, katanya: Abu Bakrah r.a. berkata: Rasulullah SAW bersabda,

“Janganlah kalian jual emas dengan emas kecuali yang sama-sama, perak dengan perak kecuali yang sama-sama.

Dan jual belilah emas dan perak atau perak dengan emas sesuai dengan keinginan kalian”. (HR. al-Bukhari)

4) Riba nasi‟ah yaitu riba yang dikenakan kepada orang yang berhutang disebabkan memperhitungkan waktu yang ditangguhkan. Contoh: Aminah meminjam cincin 10 gram pada Ramlan. Oleh Ramlan disyaratkan membayarnya tahun depan dengan cincin emas sebesar 12 gram, dan apabila terlambat 1 tahun, maka tambah 2 gram lagi, menjadi 14 gram dan seterusnya. Ketentuan melambatkan pembayaran satu tahun. Larangan riba nasi‟ah didasarkan pada al-Qur‟an surat Ali Imron ayat 130, yaitui:



























29

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.

Ayat tersebut dengan tegas menjelaskan bahwa kontrak atau perjanjian yang pada prosesnya dilakukan dengan cara mengambil keuntungan secara berlipat ganda maka hukumnya haram. Ayat ini juga menegaskan secara gamblang bahwa sedikit maupun banyak lipatan yang akan diperoleh oleh salah satu pihak dalam kontrak bisnis maka tetap saja hukumnya haram. Bukan berarti lipatan itu dalam jumlah yang banyak baru diklaim sebagai perbuatan riba, namun sedikitpun juga demikian asalkan salah satu pihak ada yang tidak rela dengan hal itu.30

29 Al-Qur‟an Surat Ali Imran [3]: 130.

30 Zaenudin Mansyur, Kontrak…, hlm. 151-153.

23 c. Sebab-sebab dilarangnya Riba

Baik Al-Qur‟an maupun Hadis Nabi mengharamkan riba, bahkan Hadis dijelaskan bahwa semua pihak yang terlibat dalam riba seperti orang yang mentransaksikan, memakan, mewakili, dan mencatat, serta menjadi saksinya dilaknat oleh Rasulullah. Larangan tersebut bukan tanpa sebab.

Menurut al-Fahr al-Razi, ada beberapa sebab dilarang dan diharamkannya riba tersebut. Pertama, riba memungkinkan seseorang memaksakan pemilikan harta dari orang lain tanpa ada imbalan. Keuntungan yang diperoleh pihak peminjam masih bersifat spekulasi belum tentu terjadi, sedangkan pemungutan tambahan dari peminjam oleh pemberi pinjaman adalah hal yang pasti tanpa resiko. Kedua, riba menghalangi pemodal ikut serta berusaha mencari rezeki, karena ia dengan mudah membiayai hidupnya, cukup dengan bunga berjangka itu. Karena itu, ia tidak mau lagi mamangku pekerjaan yang berhubungan dengan dipakainya tenaganya atau sesuatu yang membutuhkan kerja keras. Hal ini akan membawa kemunduran masyarakat, sebagaimana dimaklumi bahwa dunia tidak bisa berkembang tanpa perdagangan, seni dan kreasi karya buah tangan. Ketiga, jika riba diperbolehkan, masyarakat dengan maksud memenuhi kebutuhannya tidak segan-segan meminjam uang walaupun bunganya sangat tinggi. Hal ini akan merusak tata hidup tolong-menolong, saling menghormati, dan sifat-sifat baik lainnya serta perasaan berutang budi. Keempat, dengan riba biasanya pemodal menjadi semakin kaya dan peminjam semakin miskin.

Sekiranya riba dibenarkan, orang kaya akan menindas orang miskin dengan cara ini. Kelima, larangan riba sudah ditetapkan oleh nash, di mana tidak seluruh rahasia tuntutannya diketahui oleh manusia. Keharamannya itu pasti, kedati orang tidak tahu persis segi dan sebab pelarangannya.

Menurut Shalih ibn Ghanim al-Sadlan, riba diharamkan karena beberapa faktor berikut. Pertama, riba menyebabkan hancurnya ekonomi masyarakat karena biasanya pemberi utang

24

malas bekerja, tidak produktif, tinggal menunggu bunga dari peminjam dan itu memberatkannya. Kedua, hancurnya solidaritas sosial masyarakat karena tidak adanya sikap saling tolong menolong, bantu membantu, dan rasa sayang di antara mereka. Ketiga, masyarakat akan terpecah menjadi dua; orang kaya yang hidup bergelimang dengan harta dan orang-orang miskin serta lemah yang diekspoitasi tenaga dan jerih payahnya oleh orang kaya tidak dengan cara yang benar.31

Dokumen terkait