• Tidak ada hasil yang ditemukan

Praktek gadai liar sepeda motor dalam perspektif hukum ekonomi syariah di Kelurahan Tiwugalih Kecamatan Praya Kabupaten Lombok Tengah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Praktek gadai liar sepeda motor dalam perspektif hukum ekonomi syariah di Kelurahan Tiwugalih Kecamatan Praya Kabupaten Lombok Tengah"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

i

PRAKTEK GADAI LIAR SEPEDA MOTOR DALAM PERSPEKTIF HUKUM EKONOMI SYARIAH DI KELURAHAN

TIWUGALIH KECAMATAN PRAYA KABUPATEN LOMBOK TENGAH

Oleh:

FAHRURROZI NIM 180201123

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM MATARAM

2022

(2)

ii

PRAKTEK GADAI LIAR SEPEDA MOTOR DALAM PERSPEKTIF HUKUM EKONOMI SYARIAH DI KELURAHAN

TIWUGALIH KECAMATAN PRAYA KABUPATEN LOMBOK TENGAH

Skripsi

diajukan kepada Universitas Islam Negeri Mataram untuk melengkapi persyaratan mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh:

FAHRURROZI NIM 180201123

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM MATARAM

2022

(3)

iii

HALAMAN LOGO

(4)

iv

(5)

v

(6)

vii

(7)

viii

MOTTO



































































Artinya: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegan (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Baqarah [2]: 283)

(8)

ix

PERSEMBAHAN

“Kupersembahkan skripsi ini untuk Ibuku Ma‟nah dan Bapakku Pariawan, semua keluargaku, almamaterku, semua guru dan dosenku”

(9)

x

PEDOMAN TRANSLITERASI

ARAB LATIN ARAB LATIN ARAB LATIN ARAB LATIN

أ

a/‟

د

d

ض

Dh

ك

K

ب

b

ذ

dz

ط

Th

ل

L

ت

t

ر

r

ظ

Zh

م

M

ث

ts

ز

z

ع

ن

N

ج

j

س

s

غ

Gh

و

W

ح

h

ش

sy

ف

F

ه

H

خ

kh

ص

Sh

ق

Q

ي

Y

ا… a (a panjang) Contoh :

ُُكِلَمْلا

: al-Malik ي… i (i panjang) Contoh :

ُُمٌِحَّرلا

: ar-Rahim و… u (u panjang) Contoh :

روُفَغْلا

: al-Ghafur

(10)

xi

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Sebagai pembawa syariat Islam untuk diimami, dipelajari, dan dihayati serta diamalkan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari. Skripsi ini berjudul “Praktik Gadai Liar Sepeda Motor dalam Perspektif Hukum Ekonomi Syariah di Kelurahan Tiwugalih Kecamatan Praya Kabupaten Lombok Tengah”

disusun berdasarkan hasil penelitian di Kelurahan Tiwugalih Kecamatan Praya Kabupaten Lombok Tengah.

Penulis menyadari bahwa proses penyelesaian proposal ini tidak akan sukses tanpa bantuan, motivasi, dan bimbingan dari berbagai pihak.

Oleh karena itu, penulis memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya sekaligus ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu, yaitu mereka antara lain:

1. Dr. Hj. Teti Indrawati P. S.H., M.Hum. sebagai pembimbing I dan Ibu Aisyah Wardatul Janah, S.H., LL.M. Sebaga pembimbing II yang memberikan bimbingan, wajengan, motivasi, dan koreksi mendetail secara terus menerus dan tanpa bosan di tengah kesibukannya dengan suasana pandemi Covid-19 menjadikan proposal ini lebih matang dan selesai.

2. Dr. Syukri, M.Ag selaku Ketua Program Studi Hukum Ekonomi Syariah;

3. Dr. Moh Asyiq Amrulloh, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syariah;

4. Peof. Masnun Tahir selaku Rektor UIN Mataram yang telah memberi tempat bagi penulis untuk menuntut ilmu dan memberi bimbingan selama peneliti menempuh studi;

5. Kedua orang tua, kakak dan adik yang selalu memberikan semangan, motivasi, arahan dan bimbingan dalam keseharian peneliti;

6. Annisa Lutvia Hidayati, S.H, Riadatul Jannah, S.Sos, Fuji Ayu Diana Saputri, S.H, Leni Mei Lamdani, S.H, Baiq Widiantari, S.H,

(11)

xii

Ulpasari, Baiq Nita Purnamasari, S.H, Rispaini, S.H, Abdul Rahman, Wawan Saptaditama, Rendra Haris, Ikhsan Billa, Aminatul Mujahidin, Abdullah, Erwin Khaeril Ansor, S.H, Muh.

Khairil Amri, S.H, Muhammad Ridho, Muh. Rosyid Abdullah dan Sahabat-sahabat yang sudah memberikan semangat dan motivasi serta bimbingan kepada penulis;

7. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu terima kasih atas segala keterlibatan dalam membantu terselesainya skripsi ini.

Demikian sekilas kata pengantar dari penulis. Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih terdapat banyak kekurangannya. Hanya kepada Allah segala kebaikan dikembalikan, karena dialah yang Maha Luas ilmu-Nya lagi Maha sempurna. Semoga skripsi ini senantiasa bermanfaat bagi pembaca, Aamiin.

Mataram, 22 April 2022

Fahrurrozi NIM. 180201123

(12)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN LOGO ... iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

NOTA DINAS PEMBIMBING ... v

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ... vi

PENGESAHAN DEWAN PENGUJI... vii

HALAMAN MOTTO ... viii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... ix

PEDOMAN TRANSLITERASI ... x

KATA PENGHANTAR ... xi

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN... xviii

ABSTRAK ... xix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah... 6

C. Tujuan dan Manfaat ... 6

1. Tujuan Penelitian ... 6

2. Manfaat Penelitian ... 6

D. Ruang Lingkup dan Setting Penelitian ... 7

E. Telaah Pustaka ... 8

F. Kerangka Teori ... 12

1. Hukum Ekonomi Syariah ... 12

(13)

xiv

2. Gadai (Rahn)... 13

a. Pengertian gadai ... 13

b. Dasar hukum gadai ... 14

c. Rukun dan syarat gadai... 16

d. Resiko kerusakan marhun (barang gadaian) ... 17

e. Penyelesaian gadai ... 18

3. Riba ... 19

a. Pengertian riba ... 19

b. Jenis-jenis riba ... 20

c. Sebab-sebab dilarangnya riba ... 23

4. Riba dan Gadai ... 24

5. Sepeda Motor ... 24

a. Pengertian sepeda motor ... 24

b. Sejarah awal ditemukannya sepeda motor... 25

G. Metode Penelitian ... 25

1. Pendekatan Penelitian ... 25

2. Kehadiran Penelitian... 26

3. Lokasi Penelitian ... 26

4. Sumber Data ... 27

5. Prosedur Pengumpulan Data ... 28

6. Teknis Analisis Data ... 30

7. Pengecekan Keabsahan Data ... 31

H. Sistematika Pembahasan... 33

BAB II PRAKTIK GADAI LIAR SEPEDA MOTOR DALAM PERSPEKTIF HUKUM EKONOMI SYARIAH DI KELURAHAN TIWUGALIH KECAMATAN PRAYA KABUPATEN LOMBOK TENGAH ... 34

(14)

xv

A. Gambaran Umum Kelurahan Tiwugalih Kecamatan Praya Kabupaten Lombok Tengah ... 34 B. Pelaksanaan Praktik Gadai Liar Sepeda Motor Perspektif Hukum

Ekonomi Syariah di Kelurahan Tiwugalih Kecamatan Praya Kabupaten Lombok Tengah ... 39 1. Bentuk Akad Perjanjian Gadai Liar Sepeda Motor di Kelurahan

Tiwugalih Kecamatan Praya Kabupaten Lombok Tengah .. 39 2. Mekanisme Praktik Gadai Liar Sepeda Motor di Kelurahan

Tiwugalih Kecamatan Praya Kabupaten Lombok Tengah .. 41 3. Tanggungjawab Pemberi dan Penerima Gadai Barang Jaminan

Rusak atau Hilang ... 48 4. Faktor-Faktor Penyebab Gadai Liar Sepeda Motor di

Kelurahan Tiwugalih Kecamatan Praya Kabupaten Lombok Tengah ... 49 5. Danpak Dari Praktik Gadai Liar Sepeda Motor di Kelurahan

Tiwugalih Kecamatan Praya Kabupaten Lombok Tengah .. 54 BAB III TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH TERHADAP

PRAKTIK GADAI LIAR SEPEDA MOTOR DI

KELURAHAN TIWUGALIH KECAMATAN PRAYA KABUPATEN LOMBOK TENGAH ... 55 A. Analisis Bentuk Akad Pperjanjian Gadai Liar Sepeda Motor di

Kelurahan Tiwugalih Kecamatan Praya Kabupaten Lombok Tengah ... 55 B. Analisis Mekanisme Praktik Gadai Liar Sepeda Motor di

Kelurahan Tiwugalih Kecamatan Praya Kabupaten Lombok Tengah ... 58 C. Analisis Tanggungjawab Pemberi dan Penerima Gadai Barang

Jaminan Rusak atau Hilang ... 65 D. Analisis Faktor-Faktor Penyebab Gadai Liar Sepeda Motor di

Kelurahan Tiwugalih Kecamatan Praya Kabupaten Lombok Tengah ... 66

(15)

xvi

E. Analisis Danpak Dari Praktik Gadai Liar Sepeda Motor di Kelurahan Tiwugalih Kecamatan Praya Kabupaten Lombok

Tengah ... 67

BAB IV PENUTUP ... 69

A. Kesimpulan ... 69

B. Saran ... 70

DAFTAR PUSTAKA ... 71

DAFTAR LAMPIRAN... 73 DAFTAR RIWAYAT HIDUP

(16)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Tingkat Pendidikan Masyarakat Miskin, 36.

Tabel 2.2 Jumlah Sarana dan Prasarana Pendidikan, 36.

(17)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Dokumentasi Wawancara, 74.

Lampiran 2 Surat Izin Penelitian, 79.

Lampiran 3 Surat Keterangan Plagiasi, 81.

Lampiran 4 Kartu Konsul Skripsi, 82.

Lampiran 5 Draf Wawancara dengan Pemberi gadai & Penerima Gadai, 84.

Lampiran 6 Daftar Riwayat Hidup, 96.

(18)

xix

PRAKTEK GADAI LIAR SEPEDA MOTOR DALAM PERSPEKTIF HUKUM EKONOMI SYARIAH DI KELURAHAN

TIWUGALIH KECAMATAN PRAYA KABUPATEN LOMBOK TENGAH

Oleh:

Fahrurrozi NIM 180201123

ABSTRAK

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh perhatian peneliti terhadap praktik gadai yang dilakukan oleh beberapa masyarakat Kelurahan Tiwugalih, yang dimana praktiknya adalah dalam pencairan uang dan penyerahan barang jaminan penerima gadai (murtahin) mengurangi 10 % dari harga yang sudah dikesepakati sebagai keuntungan dari pihak penerima gadai (murtahin). Fokus yang dikaji dalam skripsi ini adalah (1) Bagaimana praktek gadai liar sepeda motor di Kelurahan Tiwugalih Kecamatan Praya Kabupaten Lombok Tengah? (2) Bagaimana tinjauan hukum ekonomi syariah terhadap praktek gadai liar sepeda motor di Kelurahan Tiwugalih Kecamatan Praya Kabupaten Lombok Tengah?

Metode penelitian ini menggunakan jenis kualitatif dengan pendekatan normatif sosiologis. Jenis dan sumber dalam pengumpulan data yaitu data primer bersumber dari hasil observasi, dan wawancara.

Data sekunder bersumber dari dokumentasi hasil penelitian terdahulu maupun sumber lain yang berhubungan dengan penelitian. Teknik analisis data yang digunakan adalah pendekatan induktif. Pengecekan keabsahan data dilakukan menggunakan ketekunan pengamatan, triangulasi, pemeriksaan sejawat, dan kecukupan referensi.

Hasil penelitian peneliti menunjukkan bahwa praktik gadai yang dilakukan masyarakat Kelurahan Tiwugalih pertama menggunakan perjanjian lisan dengan melalui beberapa tahapan yaitu tahap penawaran, negosiasi, penyerahan uang, penyerahan barang jaminan, dan pembayaran utang. Ditinjau dari hukum ekonomi syariah praktik gadai liar sepeda motor di Kelurahan Tiwugalih Kecamatan Praya Kabupaten Lombok Tengah dalam praktiknya utang sudah terpenuhi sebagaimana syarat gadai akan tetapi pelaksanaannya tidak sesuai dengan syarat utang karena ada penambahan uang dengan cara pemotongan 10% dari harga yang sudah disepakati oleh penerima gadai (murtahin) sebagai keuntungannya.

Kata Kunci: Gadai, Barang, Jaminan Utang, Sepeda Motor.

(19)

xx

THE PRACTICE OF ILLEGAL MOTORCYCLE PAWNING IN THE PERSPECTIVE OF SHARIA ECONOMIC LAW IN TIWUGALIH VILLAGE PRAYA DISTRICT CENTRAL LOMBOK

REGENCY

By:

Fahrurrozi 180201123

ABSTRACT

This research is motivated by the researchers‟ attention to the practice of pawning carried out by several Tiwugalih Village communities, where the practice is in the disbursement of money and the delivery of collateral for the pledge (murtahin) reducing 10 % of the agreed price as an advantage for the pledge (murtahin). The focus studied in this thesis is (1) How is the practice of illegal motorcycle pawning in Tiwugalih Village, Praya District, Central Lombok Regency? (2) How is the review of sharia economic law on the practice of illegal motorcycle pawning in Tiwugalih Village, Praya District, Central Lombok Regency?

This research method uses a qualitative type with a sociological normative approach. Types and sources of data collection, namely primary data sourced from documentation of previous research results and other sources related to research. The data analysis technique used is an inductive approach. Checking the validity of the data was carried out using persistence of observation, triangulation, peer checking, and adequacy of references.

The results of the research showed that the pawning practice carried out by the people of the first Tiwugalih Village used an oral agreement by going through several stages, namely the offer stage, negotiation, delivery of money, delivery of collateral, and debt payment.

Judging from sharia economic law,the practice of illegal motorcycle pawning in the Tiwugalih Village, Praya District, Central Lombok Regency, in practice the debt has been fulfilled as per the terms of the pawn, but the implementation is not in accordance with the terms of the debt because there is additional money by deducting 10 % of the price that has been agreed upon by thr recipient pawn (murtahin) as profit.

Keywords: Pawn, Goods Debt Guarantee, Motorcycle.

(20)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Pada dasarnya manusia dilahirkan seorang diri, akan tetapi dia tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain, manusia selalu hidup dalam kelompok masyarakat untuk bersama-sama memenuhi kehidupan bermasyarakat. Hal ini menunjukkan saling berhubungan satu sama lain, baik disadari atau tidak yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dalam hidupnya. Pergaulan hidup tempat setiap orang melakukan perbuatan dalam hubungannya dengan orang lain disebut dengan muamalah.1

Muamalah merupakan satu bagian dari syariat Islam yang mengatur kehidupan manusia dalam hubungan dengan manusia lainnya. Kata muamalah sendiri memggambarkan suatu aktivitas seseorang atau beberapa orang dalam memenuhi kebutuhan masing- masing. Adapun di dalam kitab fikih kegiatan muamalah merupakan kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dengan orang lain, baik yang bersifat tabarru‟ (saling tolong menolong tanpa mengharapkan balasan kecuali dari Allah SWT), maupun yang bersifat tijarah (transaksi dengan tujuan mencari keuntungan).2

Adapun contoh dari kegiatan muamalah adalah tolong- menolong berupa tukar-menukar, sewa menyewa, gadai, bercocok tanam atau dengan cara yang lainnya. Bentuk dari tolong menolong ini bisa berupa pemberian dan bisa berupa pinjaman dengan jaminan (gadai/rahn).

Rahn (gadai) menurut bahasa berarti jaminan, tetap, kekal.

Perjanjian ini lazim disebut dengan jaminan, agunan, dan rungguhan.

1Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalah (Hukum Perdata Islam), (Yogyakarta: UII Press, 2000), hlm. 11.

2Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014), hlm. 71.

(21)

2

Dalam Islam rahn merupakan sarana tolong menolong bagi umat Islam, tanpa adanya imbalan jasa.3

Menurut istilah syara‟, yang dimaksud dengan rahn ialah menjadikan suatu benda bernilai menurut pandangan syara‟ sebagai tanggungan utang, dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu, maka seluruh atau sebagian utang dapat diterima. Sayyid Sabiq mengemukakan, bahwa rahn menurut syara‟ ialah menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara‟ sebagai jaminan utang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil utang atau bisa mengambil sebagian (manfaat) barangnya itu.4

Pemilik barang yang berhutang disebut rahin (yang menggadaikan) dan orang yang menghutangkan, yang mengambil barang tersebut serta mengikatnya di bawah kekuasaannya disebut murtahin. Serta untuk sebutan barang yang digadaikan itu adalah rahn (gadaian).5

Adapun salah satu bentuk aturan tentang muamalah (gadai) yang terdapat dalam al-Qur‟an surah al-Baqarah [2]: 283:



































“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya). (QS. Al-Baqarah: 283)6

3 Abu Azam Al Hadi, Fikih Muamalah Kontemporer, (Depok: Rajawali Pers, 2017), hlm. 160-161.

4 Sohari Sahrani, Ru‟fah Abdullah, Fikih Muamalah, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), hlm. 157.

5 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 12, (Bandung: PT Alma‟arif, 1987), hlm. 150.

6 QS. Al-Baqarah [2]: 283.

(22)

3

Mengenai dasar hukum gadai, sudah tertera pada buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) pada bab XX pasal 1150 sampai dengan 1160. Pengertian gadai dapat ditemukan dalam pasal 1150 KUH Perdata, yang berbunyi: “gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya, dengan kekcualian biaya untuk melalang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan biaya-biaya mana harus didahulukan”7

Di dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31/POJK.05/2016 tentang Usaha Pergadaian pada bab III pasal 5 yang berbunyi: “bagi pelaku usaha pegadaian yang telah melakukan kegiatan usaha pegadaian sebelum peraturan OJK ini diundangkan, dapat mengajukan permohonan pendaftaran kepada OJK. Usaha gadai merupakan usaha berbadan hukum karena sudah ada peraturan yang mengaturnya yaitu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31/POJK.05/2016 tentang Usaha Pergadaian.”8

Bedasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No 31/POJK.05/2016 tentang Usaha Pegadaian yang menjelaskan bahwa usaha gadai yang tidak memiliki izin atau yang belum mendaftarkan usaha gadainya kepada Otoritas Jasa Keuangan maka usaha tersebut dapat di tindak tegas oleh pihak Otoritas Jasa Keuangan yang dimana memiliki tugas mengawasi dan memberi nasihat kepada pelaku usaha gadai, oleh karena itu pihak Otoritas Jasa Keuangan menghimbau kepada seluruh masyarakat yang telah atau akan menjalankan usaha pegadaian diwajibkan memiliki izin usaha yang didaftarkan pada Otoritas Jasa Keuangan dan bagi masyarakat yang ingin menggadaikan atau menjaminkan barang berharganya pihak Otoritas Jasa Keuangan

7 Buku ke II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Bab XX Pasal 1150-1160.

8 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31/POJK.05/2016 Tentang Usaha Pergadaian Bab III Pasal 5.

(23)

4

menyarankan agar menjaminkan barang berharganya itu pada usaha gadai yang resmi memiliki izin usaha atau ke PT. Pegadaian yang salah satu perusahaan pemerintah.9

Berdasarkan observasi awal peneliti menemukan bahwa di Kelurahan Tiwugalih terjadi praktik gadai liar sepeda motor. Dimana terdapat ada 5 (lima) kasus yang menerapkan praktik gadai sepeda motor. Praktik dari gadai sepeda motor di Kelurahan Tiwugalih sebagai berikut, penerima gadai (murtahin) menerima barang yang akan di gadaikan oleh penggadai (rahin) dengan mentaksir harga untuk barang gadai yang setara dengan uang yang akan dipinjamkan, setelah terjadi kesepakatan antara penerima gadai (murtahin) dan penggadai (rahin) selanjutnya uang diberikan ke penggadai (rahin) dan barang diberikan kepada penerima gadai (murtahin) sebagai barang jaminan yang kemudian barang jaminan tersebut disimpan dalam jangka waktu yang telah di tentukan oleh penerima gadai (murtahin). Dalam penerimaan uang, penerima gadai (murtahin) mengurangi pencairan uang 10% dari harga yang sudah disepakati sebagai keuntungan dari penerima gadai (murtahin). Akan tetapi pada saat pelunasan hutang, penggadai (rahin) membayar sesuai kesepakatan tanpa ada potongan. Keuntungan dari penggadai (rahin) diperuntukan untuk diri sendiri tidak diperuntukan untuk perawatan barang gadai atau pemeliharaan barang gadai.10

Contoh praktik gadai liar sepeda motor yang dilakukan oleh salah satu masyarakat Kelurahan Tiwugali adalah: Bapak Saleh (sebagai penerima gadai) menerima sepeda motor yang akan digadaikan oleh Bapak Fikri (sebagai penggadai) kemudian Bapak Saleh mentaksir harga untuk sepeda motor setara dengan uang yang akan dipinjamkan yaitu Rp 2.000.000, setelah terjadi kesepakatan antara Bapak Saleh dengan Bapak Fikri selanjutnya uang diberikan ke Bapak Fikri dan sepeda Motor diberikan ke Bapak Saleh sebagai barang jaminan tersebut disimpan dalam jangka waktu yang telah ditentukan oleh Bapak Shaleh. Dalam penerimaan uang, Bapak Saleh

9 Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 47.

10 Prendi Gunatim, Wawancara, Tiwugalih, 27 Maret 2022.

(24)

5

mengurangi pencairan uang 10% dari harga yang sudah disepakari (Rp 2.000.000) sebagai keuntungannya. Jadi jumlah uang yang dicairkan oleh Bapak Saleh adalah Rp 1.800.000. akan tetapi pada saat pelunasan utang, Bapak Fikri harus membayar sesuai kesepakatan tanpa ada potongan. Jadi jumlah uang yang harus dikembalikan oleh Bapak Fikri adalah Rp 2.000.000. keuntungan dari Bapak Fikri diperuntukan untuk diri sendiri tidak diperuntukan untuk perawatan sepeda motor atau pemeliharaan sepeda motor.11

Dari pemaparan di atas dapat diketahui permasalahan mengenai praktik gadai yang ada di Kelurahan Tiwugalih Kecamatan Praya Kabupaten Lombok Tengah. Bahwa adanya pemotongan Rp 200.000 (10% dari harga yang sudah disepakati) sebagai keuntungan dari pihak penerima gadai (murtahin). Padahal menurut hukum Islam tidak ada penambahan dalam akad tabbaru‟ yaitu rahn.12

Dengan adanya kejadian seperti itu maka praktik gadai yang dilakukan sebagian masyarakat Kelurahan Tiwugalih Kecamatan Praya Kabupaten Lombok Tengah penulis rasa masih belum menjadi solusi untuk menyelesaikan masalahan keuangan, akan tetapi justru akan menambah masalah baru karena pemberi gadai (rahin) harus mengembalikan uang pinjaman lebih banyak dari uang yang diterimanya. Sedangkan danpak bagi penerima gadai (murtahin) adalah merasa dirugikan misalnya karena inflasi atau pelunasan berlarut-larut sementara barang jaminan tidak laku.

Berdasarkan fakta-fakta yang tersebut di atas peneliti kemudian tertarik mengangkat penelitian dengan judul “Praktik Gadai Liar Sepeda Motor dalam Perspektif Hukum Ekonomi Syariah di Kelurahan Tiwugalih Kecamatan Praya Kabupaten Lombok Tengah”.

11Muhamad Saleh, Wawancara, 27 Maret 2022.

12Aryani Witasari, Junaidi Abdullah, “Tabarru‟ Sebagai Akad yang Melekat pada Asuransi Syariah”, Jurnal Bisnis dan Manajemen Islam, Vol.2, Nomor 1, Juni 2014, hlm. 125.

(25)

6 B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis mengidentifikasikan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana praktek gadai liar sepeda motor di Kelurahan Tiwugalih Kecamatan Praya Kabupaten Lombok Tengah?

2. Bagaimana tinjauan hukum ekonomi syariah terhadap praktek gadai liar sepeda motor di Kelurahan Tiwugalih Kecamatan Praya Kabupaten Lombok Tengah?

C. Tujuan dan Manfaat 1. Tujuan penelitian

Tujuan yang dicapai dalam penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui dan menjelaskan praktik gadai liar sepeda motor di Kelurahan Tiwugalih Kecamatan Praya Kabupate Lombok Tengah.

b. Untuk menjelaskan dan menganalisis tinjauan hukum ekonomi syariah terhadap praktik gadai liar sepeda motor di Kelurahan Tiwugalih Kecamatan Praya Kabupaten Lombok Tegah.

2. Manfaat penelitian

Adapun manfaat yang diperoleh dalam penelitian ini adalah:

a. Secara teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran dalam upaya mengetahui tinjauan hukum ekonomi syariah terhadap praktik gadai liar sepeda motor .

b. Secara praktis 1) Bagi masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu masyarakat untuk memberikan informasi, bahan rujukan/referensi serta memberikan pemahaman terhadap

(26)

7

masyarakat pada umumnya tentang bagaimana danpak dari praktik gadai liar sepeda motor yang terjadi di tengah masyarakat.

2) Bagi akademisi

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu rujukan atau referensi agar mendapatkan hasil penelitian yang maksimal serta komprehensif dalam kajian ilmu ilmu yang sama.

3) Bagi pemerintah

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan analisa dan pertimbangan untuk kedepannya sekiranya ada problematika yang sama.

D. Ruang Lingkup dan Setting Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di Lingkungan Ganti, yang berada di Kelurahan Tiwugalih Kecamatan Praya Kabupaten Lombok Tengah. Adapun yang menjadi alasan peneliti memilih Lingkungan Ganti sebagai lokasi penelitian berdasarkan pertimbangan sebagai berikut:

1. Karena di Kelurahan Tiwugalih Kecamatan Praya Kabupaten Lombok Tengah terdapat beberapa lingkungan yang melakukan praktik yang sangan relevan dengan konteks penelitian, yaitu praktik gadai liar sepeda motor perspektif hukum ekonomi syariah.

2. Karena di tempat ini juga untuk dijadikan sasaran peneliti karena belum ada peneliti yang serupa sebelumnya yang meneliti tentang praktik gadai liar sepeda motor perspektif hukum ekonomi syariah di Kelurahan Tiwugalih Kecamatan Praya Kabupaten Lombok Tengah.

(27)

8 E. Telaah Pustaka

Dalam penelitian ini, peneliti mencantumkan beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh pihak lain sebagai bahan rujukan dalam mengembangkan dan menambah wawasan materi, peneliti mencoba menganalisis atau menganalisa letak perbandingan antara peneliti yang sebelumnya dengan penelitian ini agar mempunyai bobot ilmiah dan dapat dipertanggung jawabkan keasliannya.

Adapun beberapa penelitian terdahulu yang mempunyai kemiripan dengan penelitian ini diantaranya adalah:

1. Sri Wahyuningsih, degan judul skripsi: “Peran Tokoh Agama dalam Memberikan Pemahaman Kepada Masyarakat Tentang Praktik Pemanfaatan Barang Jaminan Gadai Sawah di Desa Ungga Kecamatan Praya Barat Daya Kabupaten Lombok Tengah”.

Skripsi Fakultas Syariah Jurusan Hukum Ekonomi Syariah Universitas Islam Negeri Mataram, 2020.

Analisis temuan dalam penelitia di atas membahas mengenai peran tokoh agama dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang pemanfaatan barang jaminan gadai yakni sawah. Gadai merupakan salah satu praktik yang sering dilakukan oleh masyarakat Desa Ungga, masyarakat Desa Ungga sering menggunakan sawah sebagai barang jaminan gadai, masyarakat melakukan gadai karena ingin memenuhi kebutuhannya. Di dalam kehidupan masyarakat tokoh agama (tuan guru/ustadz) memiliki pengaruh dan peran yang penting, dengan memiliki pemahaman mengenai agama serta perilaku yang baik sehingga menjadi panutan bagi masyarakat. Di dalam praktik gadai yang dilakukan oleh masyarakat Desa Ungga, terdapat persoalan mengenai penerimaan gadai (murtahin) yang mengambil manfaat dari barang jaminan gadai (sawah) dengan hasilnya untuk dirinya sendiri dan akan dikembalikan kepada penggadai (rahin) pada saat penggadai (rahin) sudah mengembalikan uang yang dipinjamnya dari penerima gadai (murtahin). Dalam ajaran Islam, barang jaminan gadai hanya sebagai jaminan saja serta tidak untuk diambil manfaatnya, barang jaminan gadai yang boleh diambil

(28)

9

manfaatnya berupa hewan yang disertai dengan biaya yang dikeluarkan oleh penerima gadai (murtahin).

Adapun persamaan yang terdapat dalam penelitian Sri Wahyuningsi dengan peneliti adalah sama-sama membahas tentang gadai (rahn) dengan jenis penelitian kualitatif. Sedangkan perbedaannya adalah dari segi objeknya Sri Wahyuningsi objek penelitiannya “sawah” sedangkan peneliti objek penelitiannya

“sepeda motor”; dari segi pembahasans kripsi Sri Wahyuningsih membahas “Peran Tokoh Agama dalam Memberikan Pemahaman Kepada Masyarakat Tentang Praktik Pemanfaatan Barang Jaminan Gadai Sawah” sedangkan peneliti membahas “Praktik Gadai Liar Sepeda Motor Perspektif Hukum Ekonomi Syariah”.13

2. Abdu Somad, dengan judul skripsi: “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Rahn dengan Calo di Desa Sesela Kecamatan Gunungsari Kabupaten Lombok Barat”. Skripsi Fakultas Syariah Jurusan Hukum Ekonomi Syariah Universitas Islam Negeri Mataram, 2019.

Analisis temuan dalam penelitian di atas membahas mengenai tinjauan hukum Islam terhadap gadai dengan melibatkan calo. Adapun yang menjadi objek penelitian di atas adalah motor, sedangkan kesimpulan dari hasil penelitian di atas adalah sesuai dengan realita yang terjadi di sebagian masyarakat, ada beberapa pelaku yang terlibat dalam praktik tersebut, diantaranya: pemilik barang gadai (murtahin), penerima barang gadai (rahin), dan calo atau calo gadai (simsarah). Dalam praktik tersebut, terjadi sebuah akad yang menggunakan faktor kebiasaan, dan tanpa kejelasan berakhirnya suatu praktik gadai/jangka waktu. Selanjutnya terjadi praktik pemanfaatan barang gadai, dan pertukaran objek gadai tanpa adanya pembaharuan akad. Selain itu salah satu pihak merasa di rugikan, dan dalam praktik tersebut juga terdapat pertukaran objek gadai, yang mengandung unsur tidak pastinya

13 Sri Wahyuningsih, “Peran Tokoh Agama dalam Memberikan Pemahaman Kepada Masyarakat Tentang Praktik Pemanfaatan Barang Jaminan Gadai Sawah di Desa Ungga Kecamatan Praya Barat Daya Kabupaten Lombok Tengah”, (Skripsi, Fakultas Syariah UIN Mataram, 2020).

(29)

10

dan tidak jelasnya kondisi fisik, kualitas dan kuantitas objek pengganti.

Menurut hukum Islam, sesuai yang di jelaskan dalam al- Qur‟an dan Hadis, yang memberikan aturan tentang, pinjam meminjam uang dengan memberikan jaminan dan menyerahkan barang dan dengan batasan waktu. Terkait dengan larangan dalam pemanfaatan barang gadai, sesuai dengan kaidah-kaidah fiqh,

“setiap pinjaman yang menarik manfaat hukumnya adalah riba”.

Apabila dalam praktiknya terjadi pertukaran objek gadai maka seharusnya terjadi pula pembaharuan akad. Meskipun dalam Islam penggantian barang jaminan gadai sah-sah saja, namun terdapat larangan, ketika penukaran objek gadai tidak sama dengan kondisi dari segi fisik, kualitas, kuantitas, barang yang awal dengan barang pengganti, sehubung dengan makna hadis, “janganlah ia menjualnya sebelum mengetahui takaran dan timbangannya”

Adapun persamaan yang terdapat dalam penelitian Abdu Somad dengan peneliti adalah sama-sama membahas tentang gadai (rahn); objek penelitiannya sama-sama motor; dan sama-sama menggunakan metode penelitian kualitatif. Sedangkan perbedaannya adalah skripsi Abdu Somad memfokuskan penelitiannya kepada praktik gadai yang menggunakan sistem penukaran objek gadai sedangkan peneliti memfokuskan pada praktik gadai liar sepeda motor yang dalam penerimaan uang, penerima gadai (murtahin) mengurangi pencairan uang 10% dari harga yang sudah disepakati sebagai keuntungannya.14

3. Nanik Siskawati, “Tinjauan Hukum Ekonomi Islam Terhadap Praktik Gadai Kendaraan Bermotor dalam Masa Sewa Beli (Studi di Desa Pengadang Kec. Praya Tengah Kab. Lombok Tengah), Skripsi Fakultas Syariah Jurusan Hukum Ekonomi Syariah Universitas Islam Nrgrti Mataram, 2020”

14 Abdu Somad, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Rahn dengan Calo di Desa Sesela Kecamatan Gunungsari Kabupaten Lombok Barat”, (Skripsi, Fakultas Syariah UIN Mataram, 2019).

(30)

11

Analisis temuan dalam penelitian di atas membahas tentang tinjauan hukum Islam terhadap praktik gadai kendaraan bermotor dalam masa sewa beli. Adapun kesimpulan dalam skripsi tersebut adalah praktik gadai kendaraan bermotor dalam masan sewa beli di Desa Pengadang Kecamatan Praya Tengah terbagi menjadi beberapa prosedur tahapan. Pertama, yaitu tahap penawaran barang gadai merupakan tahap dimana pemberi gadai (rahin) mendatangi langsung rumah penerima gadai (murtahin) untuk menawarkan barang gadai motor yang masih sewa beli. Kedua, tahap negosiasi harga yang cocok hingga terjadinya kesepakatan antara kedua belah pihak. Ketiga, tahap pembayaran dan penyerahan barang jaminan. Selanjutnya, yaitu pelunasan hutang kewajiban pemberi gadai sesuai dengan waktu yang telah disepakati. Bentuk perjanjian gadai yang digunakan keseluruhan menggunakan perjanjian lisa termasuk gadai perorangan antar masyarakat sekitar.

Ditinjau dari hukum ekonomi Islam praktik gadai kendaraan bermotor dalam masa sewa beli di Desa Pengadang Kecamatan Praya Tengah dilihat dari rukun dan syarat praktik gadai tersebut tidak sah atau belum memenuhi syarat yaitu karena barang yang dijadikan jaminan gadai masih belum menjadi milik pihak pemberi gadai seutuhnya sebelum selesai masa sewa belinya.

Adapun persamaan yang terdapat dalam penelitian Nanik Siskawati dengan peneliti sama-sama meneliti tentang gadai (rahn) dengan jenis penelitian kualitatif. Sedangkan perbedaannya adalah skripsi Nanik Siskawati memfokuskan pada praktik gadai kendaraan bermotor dalam masa sewa beli di Desa Pengadang Kecamatan Praya Tengah sedangkan peneliti memfokuskan pada praktik gadai liar sepeda motor yang dalam penerimaan uang, penerima gadai (murtahin) mengurangi pencairan uang 10% dari harga yang sudah disepakati sebagai keuntungannya.15

15 Nanik Siskawati, “Tinjauan Hukum Ekonomi Islam Terhadap Praktik Gadai Kendaraan Bermotor dalam Masa Sewa Beli (Srudi Kasus di Desa Pengadang Kec. Praya Tengah Kab. Lombok Tengah)”, (Skripsi, Fakultas Syariah UIN Mataram, 2020).

(31)

12 F. Kerangka Teori

1. Hukum Ekonomi Syariah

Hukum ekonomi syariah merupakan bagian dari hukum Islam (syariah), yang mana syariah menjadi salah satu pilar dari agama islam. Sebagai bagian dari muamalah, maka hukum ekonomi syariah memiliki karakteristik terbuka (open sistem) dengan kaidah dasar berupa kebolehan. Bahwa segala sesuatu di lapangan muamalah adalah diperbolehkan, kecuali di dalamnya terdapat unsur-unsur yang dilarang oleh syariat Islam. Akibatnya pemahaman terhadap syariah di area muamalah menjadi beraneka ragam dan sangat tergantung dari perspektif dan metode yang dipakai oleh ahli hukum dalam menggali dan menafsirkan hukum muamalah dari syariah (al-Qur‟an dan as-Sunnah).16

Berikut ini terdapat beberapa pandangan pakar ekonomi syariah terkait dengan definisi hukum ekonomi syariah adalah:

Menurut Dr. Andri Soemitra terdapat dua konsep yang umum muncul dalam hukum ekonomi syariah, yaitu konsep yang lebih sempit yaitu hukum ekonomi syariah merupakan kumpulan peraturaan yang berkaitan dengan praktik bisnis, seperti jual beli, perdagangan, dan perniagaan yang didasarkan pada hukum Islam sedangkan konsep yang lebih luas lagi yaitu hukum ekonomi syariah merupakan kumpulan peraturan yang berkaitan dengan praktik ekonomi dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia yang bersifat komersial dan tidak komersial yang didasarkan pada hukum Islam.17

Menurut Fathurrahman Djamil, hukum ekonomi syariah ialah keseluruhan kaidah hukum yang mengatur dan mempengaruhi sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan dan kehidupan perekonomian.

16 Jaih Mubarok, dkk, Ekonomi Syariah Bagi Perguruan Tinggi Hukum Strata 1, (Jakarta: Departemen dan Keuangan Syariah-Bank Indonesia, 2021), hlm. 1.

17 Andri Soemitra, Hukum Ekonomi Syariah dan Fikih Muamalah, (Jakarta Timur: Prenamedia Group, 2019), hlm. 2.

(32)

13

Menurut A. Kadir, hukum ekonomi syariah adalah keseluruhan dari peraturan dan ketentuan hukum yang berkaitan dengan praktik bisnis sesuai syariat guna meningkatkan kesejakteraan dan kemaslahatan umat manusia.18

Jadi dapat disimpulkan bahwa hukum ekonomi syariah merupakan keseluruhan kaidah hukum yang mengatur kegiatan yang berkaitan dengan praktik ekonomi dalam rangka memenuhi kebutuhan untuk meningkatkan kemaslahatan umat manusia sesuai dengan syariat.

2. Gadai (rahn)

a. Pengertia Gadai

Rahn (gadai seperti yang sudah berkembang di kalangan masyarakat) menurut bahasa berarti jaminan, tetap, kekal. Perjanjian ini lazim disebut dengan jaminan, agunan, dan rungguhan. Dalam Islam rahn merupakan sarana tolong menolong bagi umat Islam, tanpa adanya imbalan jasa.

Menurut istilah ulama fikih sebagai berikut:

Pertama, menurut ulama Hanafiyah rahn adalah menjadikan barang sebagai jaminan terhadap piutang yang dimungkinkan sebagai pembayaran piutang, baik seluruhnya ataupun sebagiannya.

Kedua, menurut ulama Malikiyah rahn adalah harta pemilik yang dijadikan sebagai jaminan utang yang memiliki sifat mengikat. Menurut mereka, yang dijadikan jaminan bukan hanya barang yang bersifat materi, bisa juga barang yang bersifat manfaat tertentu. Barang yang dijadikan jaminan tidak harus diserahkan secara tunai, tetspi boleh juga penyerahannya secara aturan hukum, sebuah contoh sebidang tanah kosong sebagai jaminan, maka yang dijadikan jaminan adalah sertifikat hak atas tanah tersebut.

18 Fathurrahman Djamil, Hukum Islam: Sejarah, Teori, dan Konsep, (Jakarta:

Sinar Geafika, 2013), hlm. 6.

(33)

14

Ketiga, menurut ulama Syafi‟iyah dan Hanabilah rahn adalah menjadikan barang pemilik sebagai jaminan utang, yang bisa dijadikan sebagai pembayar utang apabila orang yang berutang tidak bisa melunasi utangnya. Pengertin rahn yang dike mukakan ulama Syafi‟iyah ini memberi pengertian bahwa barang yang bisa dijadikan jaminan utang hanyalah harta yang bersifat materi, tidak termasuk manfaat sebagaimana yang dikemukakan ulama Malikiyah, meskipun sebenarnya manfaat itu menurut ulama Syafi‟iyah dan Hanabilah, termasuk dalam pengertian kekayaan.

Dari pengertian yang dikemukakan di atas sapat disimpulkan bahwa rahn (gadai) adalah harta atau barang pemilik yang dijadikan jaminan utang yang memiliki sifat mengikat, yang bisa dijadikan sebagai pembayaran utang apabila orang yang berutang tidak bisa melunasi.19

b. Dasar Hukum Gadai 1) Al-Qur‟an



































































20

“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)

19 Abu Azam Al Hadi, Fikih Muamalah Kontemporer, (Depok: Rajawali Pers, 2017), hlm. 160-161.

20 QS al- Baqarah [2]: 283.

(34)

15

dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian.

dan barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS.

Al-Baqarah [2]: 283).

2) Al-Hadis

ُ ُشَم ْعَ ْلْاُاَنَثَّد َحُِدِحا َوْلاُُدْبَعُاَنَثَّد َحٍُدَسَأُ ُنْبُىَّلَعُمُاَنَثَّد َح

َُلاَقَفُِمَلَّسلاًُِفُ َنْهَّرلاَُمٌِهاَرْبِإَُدْنِعُاَن ْرَكاَذَتَُلاَق

ًُِنَثَّد َح

ًَُِّبَّنلاُ َّنَأُاَهْنَعُُ َّاللًََُّ ِضَرَُةَشِئاَعُ ْنَعُُد َوْسَ ْلْا

ُىَلِإٍُّيِدوُهٌَُ ْنِمُاًماَعَطُىَرَتْشاَُمَّلَس َوُِهٌَْلَعُُ َّاللَُّىَّلَص

ٍُدٌِد َحُ ْنِمُاًع ْرِدُُهَنَهَر َوٍُل َجَأ

“Telah menceritakan kepada kami Mu‟alla bin Asad telah menceritakan kepada kami „Abdul Wahid telah menceritakan kepada kami Al A‟masy berkata; “Kami pernah saling menceritakan di hadapan Ibrahim tentang gadai dalam jual beli As Salam, maka dia berkata, telah menceritakan kepadaku Al Aswad dari „Aisyah radliallahu

„anha bahwa Nabi shallallahu „alaihi wasallam pernah membeli makanan dari orang yahudi (yang pembayarannya) di masa yang akan datang lalu beliau menggadaikan baju besi beliau (sebagai jaminan)”. (HR.

Bukhari No. 2211).

3) Ijma‟

Dasar ijma‟ adalah bahwa kaum muslimin sepakat diperbolehkan rahn (gadai) secara syariat ketika berpergian (safar) da ketika di rumah (tidak berpergian) kecuali Mujahid berpendapat yang berpedapat rahn (gadai) hanya berlaku ketika berpergian berdasarkan ayat di atas. Di

(35)

16

samping itu, peyebutan safar (berpergian) dalam ayat di atas keluar dari yang umum (kebiasaan).21

c. Rukun dan Syarat Gadai

Menurut jumhur ulama rukun rahn (gadai) itu ada 4 (empat), pertama sighat (lafal penyerahan dan penerimaan);

kedua, rahin (yang menggadaikan) dan murtahin (yang menerima gadai); ketiga, marhun (barang yang dijadikan jaminan); keempat, marhun bih (utang). Di antara syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam rukun tersebut yaitu:

1) Sighat (lafal penyerahan dan penerimaan). Syarat ini menurut ulama Haafiyah rahn (jaminan) tidak boleh dikaitkan dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa mendatang karena perjanjian rahn sama dengan perjanjian jual beli.

2) Rahin (yang menggadaikan) dan murtahin (yang menerima gadai). Syarat orang yang berakad harus cakap bertidak hukum, kecakapan bertidak hukum menurut umhur ulama adalah rang yag sudah baligh dan berakal. Sedagkan meurut ulama Hanafiyah, kedua belah pihak tidak disyaratka baligh, tapi cukup berakal sehat. Leh sebab itu, menurut mereka, anak kecil yang mumayyiz (bisa membedakan) boleh melakukan perjanjian rahn, dengan syarat perjanjian rahn yang dilaksanakan anak kecil yang sudah mumayyiz ini dapat persetujuan dari walinya.

3) Marhun (barang yang dijadikan jaminan). Barang yang dijadikan jaminan menurut ulama fikih disyaratkan sebagai berikut:

a) Barang jaminan itu boleh dijual dan nilainya sesuai dengan besar hutangnya, tetapi dengan syarat sudah melalui jatuh tempo yang telah disetujui dalam perjanjian.

21 Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2012), hlm. 290.

(36)

17

b) Barang jaminan itu haru memiliki nilai dan manfaat, boleh dimanfaatkan dengan persetujuan orang yang menggadaikan.

c) Barang jaminan harus jelas tertentu.

d) Barag jaminan adalah milik sah orang yang menggadaikan.

e) Barang jaminan itu bukan milik orang lain (masih dalam sengketa).

f) Barang jaminan boleh diserahkan baik bendanya maupun surat kepemilikannya.

4) Marhun bih (utang). Jumlah utang yang ditanggung oleh orang yang utang disyaratkan:

a) Berkewajiban mengembalikan sejumlah uang/barang yang menjadi tanggungannya.

b) Utang boleh dibayar dengan barang jaminan.

c) Utang itu jumlah dan barangnya harus jelas.22 d. Resiko Kerusakan Marhun (barang gadaian)

Bila marhun hilang di bawah penguasaan murtahin, maka murtahin tidak wajib menggantinya, kecuali bila rusak atau hilangnya itu karena kelalaian murtahin atau karena disia- siakan, umpamanya murtahin bermain-main dengan api, lalu terbakar barang gadaian itu, atau gudang tak dikunci, lalu barang-barang itu hilang dicuri orang. Pokoknya murtahin diwajibkan memelihara sebagaimana layaknya, bila tidak demikian, ketika ada cacat atau kerusakan apalagi hilang, menjadi tanggung jawab murtahin.

Menurut Hanafi, murtahin yang memegang marhun mananggung risiko kerusakan marhun atau kehilangan marhun, bila marhun itu rusak atau hilang, baik karena

22 Ibid, hlm. 161-162.

(37)

18

kelalaian (disia-siakan) maupun tidak. Demikian pendapat Ahmad Azhar Basyir.

Perbedaan dua pendapat tersebut ialah menurut Hanafi murtahin harus menanggung resiko kerusakan atau kehilangan marhun yang dipegangnya, baik marhun hilang karena disia- siakan maupun dengan sendirinya, sedangkan menurut Syafi‟iyah murtahin menanggung resiko kehilangan atau kerusakan marhun bila marhun itu rusak atau hilang karena disia-siakan murtahin.23

Adapun risiko yang mungkin terdapat pada gadai (rahn) apabila diterapkan sebagai produk adalah sebagai berikut:

1) Risiko tidak terbayarnya utang nasabah (wanprestasi).

2) Risiko penurunan nilai aset yang ditahan atau rusak.24 e. Penyelesaian Gadai

Untuk menjaga supaya tidak ada pihak yang dirugkan, dalam gadai tidak boleh diadakan syarat-syarat, misalnya ketika akad gadai diucapkan, “apabila rahin tidak mampu melunasi utangnya hingga waktu yang telah ditentukan, maka marhun menjadi milik murtahin sebagai pembayaran utang”, sebab ada kemungkinan pada waktu pembayaran yang telah ditentukan untuk membayar utang harga marhun akan lebih kecil daripada utang rahin yang harus dibayar yang mengakibatkan ruginya pihak murtahin. Sebaliknya ada kemungkinan juga harga marhun pada waktu pembayaran yang telah ditentukan akan lebih besar jumlahnya daripada utang yang harus dibayar, yang akibatnya akan merugikan pihak rahin.

23 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 109- 110.

24 Sohari Sahrani; Ru‟fah Abdullah, Fikih Muamalah, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), hlm. 162.

(38)

19

Apabila syarat seperti di atas diadakan dalam akad gadai, maka akad gadai itu sah, tetapi syarat-syaratnya batal dan tidak perlu diperhatikan. Apabila pada waktu pembayaran yang telah ditentukan rahin belum membayar utangnya, maka hak murtahin adalah menjual marhun pembelinya (boleh murtahin sendiri atau yang lain), tetapi dengan harga yang umum berlaku pada waktu itu dari penjualan marhun tersebut.

Hak murtahin hanyalah sebesar piutangnya, dengan akibat apabila harga penjualan marhun lebih besar dari jumlahnya utang sisanya dikembalikan kepada rahin. Apabila sebaliknya, harga penjualan marhun kurang dari jumlah utang, rahin maih menanggung pembayaran kekurangannya.

3. Riba

a. Pengertian Riba

Kata riba berasal dari bahasa Arab, yang secara etimologi berarti al-ziyadah (tambahan) atau al-nama (tumbuh). Pertambahan di sini bisa disebabkan oleh faktor intern atau ekstern. Dalam pengertian lain, secara linguistik, riba juga berarti tumbuh dan membesar. Adapun menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Secara istilah syar‟i, menurut A.

Hassan, riba adalah suatu tambahan yang diharamkan di dalam urusan pinjam meminjam. Syabirin Harahap menyatakan bahwa riba adalah kelebihan dari jumlah uang yang dipinjamkan. Shaleh ibn Fauzan berpendapat bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam. 25 Tidak semua tambahan dianggap riba, karena tambahan terkadang dihasilkan dalam sebuah perdagangan dan tidak ada riba didalamnya hanya saja tambahan yang diistilahkan dengan nama “riba” dan al-qur‟an datang menerangkan pengharamannya adalah

25 Idri, Hadis Ekonomi: Ekonomi dalam Perspektif Hadis Nabi, (Jakarta:

Prenadamedia Group, 2015), hlm. 181.

(39)

20

tambahan yang diambil sebagai ganti rugi dari tempo, qaradah berkata: “sesungguhnya riba orang jahiliyah adalah seseorang menjual satu jualan sampai tempo tertentu dan ketika jatuh tempo dan orang yang berhutang tidak bisa membayarnya dia menambah hutangnya dan melambatkan tempo”.26

b. Jenis-jenis Riba

Secara garis besar, riba dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu riba utang-piutang dan riba jual beli. Riba utang piutang terbagi menjadi dua, yaitu riba qardh dan riba jahiliyyah. Adapun riba jual beli terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasi‟ah.

1) Riba qardh

Adalah suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang.

Misalnya, seseorang yang berutang seratus ribu rupiah diharuskan membayar kembali seratus sepuluh ribu rupiah, maka tambahan sepuluh ribu rupiah adalah riba qardh.

Larangan riba ini berdasarkan firman Allah dalam surah ar- Rum ayat 39:













































27



“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah

26 Zaenudin Mansyur, Kontrak Bisnis Syariah dalam Tataran Konsep dan Implementasi, (Lombok: Pustaka Lombok, 2020), hlm. 151.

27 QS ar-Ruum [30]: 39.

(40)

21

orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)”. (Q.S.

ar-Ruum [30]: 39) 2) Riba jahiliyyah

Adalah utang yang dibayar lebih dari pokoknya karena peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditentukan, disebut juga riba yad. Biasanya jika peminjam tidak mampu membayar pada waktu yang ditentukan, maka bunganya akan bertambah dan bertambah sejalan dengan waktu tunggakan. Menurut al-Jashshash, riba yang dikenal dan dikerjakan oleh orang Arab dahulu (masa Jahiliyyah) adalah utang beberapa dirham atau dinar, ketika pengembalian diberi tambahan sesuai perjanjian ketika utang dimulai. Dasar larangan riba kategori ini antara lain firman Allah dalam surah Ali „Imran ayat 130:



























28

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”. ( Q.S. Ali-Imran [3]: 130).

3) Riba fadhl yaitu tukar menukar dua barang yang sama jenisnya dengan kualitas berbeda yang disyaratkan oleh orang yang menukarkan. Adapun contoh yang diangkat adalah tukar menukar emas dengan emas, perak dengan perak, beras dengan beras dan sebagainya. Perkataan fadhl berarti kelebihan yang dikenakan dalam pertukaran atau penjualan barang yang sama jenisnya atau bentuknya. Riba kategori ini dilarang berdasarkan Hadis Nabi, yaitu:

28 QS ali-Imran [3]: 130.

(41)

22

“Dari „Abd al-Rahman ibn Abi Bakrah, katanya: Abu Bakrah r.a. berkata: Rasulullah SAW bersabda,

“Janganlah kalian jual emas dengan emas kecuali yang sama-sama, perak dengan perak kecuali yang sama-sama.

Dan jual belilah emas dan perak atau perak dengan emas sesuai dengan keinginan kalian”. (HR. al-Bukhari)

4) Riba nasi‟ah yaitu riba yang dikenakan kepada orang yang berhutang disebabkan memperhitungkan waktu yang ditangguhkan. Contoh: Aminah meminjam cincin 10 gram pada Ramlan. Oleh Ramlan disyaratkan membayarnya tahun depan dengan cincin emas sebesar 12 gram, dan apabila terlambat 1 tahun, maka tambah 2 gram lagi, menjadi 14 gram dan seterusnya. Ketentuan melambatkan pembayaran satu tahun. Larangan riba nasi‟ah didasarkan pada al-Qur‟an surat Ali Imron ayat 130, yaitui:



























29

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.

Ayat tersebut dengan tegas menjelaskan bahwa kontrak atau perjanjian yang pada prosesnya dilakukan dengan cara mengambil keuntungan secara berlipat ganda maka hukumnya haram. Ayat ini juga menegaskan secara gamblang bahwa sedikit maupun banyak lipatan yang akan diperoleh oleh salah satu pihak dalam kontrak bisnis maka tetap saja hukumnya haram. Bukan berarti lipatan itu dalam jumlah yang banyak baru diklaim sebagai perbuatan riba, namun sedikitpun juga demikian asalkan salah satu pihak ada yang tidak rela dengan hal itu.30

29 Al-Qur‟an Surat Ali Imran [3]: 130.

30 Zaenudin Mansyur, Kontrak…, hlm. 151-153.

(42)

23 c. Sebab-sebab dilarangnya Riba

Baik Al-Qur‟an maupun Hadis Nabi mengharamkan riba, bahkan Hadis dijelaskan bahwa semua pihak yang terlibat dalam riba seperti orang yang mentransaksikan, memakan, mewakili, dan mencatat, serta menjadi saksinya dilaknat oleh Rasulullah. Larangan tersebut bukan tanpa sebab.

Menurut al-Fahr al-Razi, ada beberapa sebab dilarang dan diharamkannya riba tersebut. Pertama, riba memungkinkan seseorang memaksakan pemilikan harta dari orang lain tanpa ada imbalan. Keuntungan yang diperoleh pihak peminjam masih bersifat spekulasi belum tentu terjadi, sedangkan pemungutan tambahan dari peminjam oleh pemberi pinjaman adalah hal yang pasti tanpa resiko. Kedua, riba menghalangi pemodal ikut serta berusaha mencari rezeki, karena ia dengan mudah membiayai hidupnya, cukup dengan bunga berjangka itu. Karena itu, ia tidak mau lagi mamangku pekerjaan yang berhubungan dengan dipakainya tenaganya atau sesuatu yang membutuhkan kerja keras. Hal ini akan membawa kemunduran masyarakat, sebagaimana dimaklumi bahwa dunia tidak bisa berkembang tanpa perdagangan, seni dan kreasi karya buah tangan. Ketiga, jika riba diperbolehkan, masyarakat dengan maksud memenuhi kebutuhannya tidak segan-segan meminjam uang walaupun bunganya sangat tinggi. Hal ini akan merusak tata hidup tolong-menolong, saling menghormati, dan sifat-sifat baik lainnya serta perasaan berutang budi. Keempat, dengan riba biasanya pemodal menjadi semakin kaya dan peminjam semakin miskin.

Sekiranya riba dibenarkan, orang kaya akan menindas orang miskin dengan cara ini. Kelima, larangan riba sudah ditetapkan oleh nash, di mana tidak seluruh rahasia tuntutannya diketahui oleh manusia. Keharamannya itu pasti, kedati orang tidak tahu persis segi dan sebab pelarangannya.

Menurut Shalih ibn Ghanim al-Sadlan, riba diharamkan karena beberapa faktor berikut. Pertama, riba menyebabkan hancurnya ekonomi masyarakat karena biasanya pemberi utang

(43)

24

malas bekerja, tidak produktif, tinggal menunggu bunga dari peminjam dan itu memberatkannya. Kedua, hancurnya solidaritas sosial masyarakat karena tidak adanya sikap saling tolong menolong, bantu membantu, dan rasa sayang di antara mereka. Ketiga, masyarakat akan terpecah menjadi dua; orang- orang kaya yang hidup bergelimang dengan harta dan orang- orang miskin serta lemah yang diekspoitasi tenaga dan jerih payahnya oleh orang kaya tidak dengan cara yang benar.31 4. Riba dan Gadai

Perjanjian gadai pada dasarnya adalah perjanjian utang- piutang, hanya saja dalam gadai ada jaminannya, riba akan terjadi dalam memberikan tambahan kepada gadai yang ditentukan.

Misalnya, rahin harus memberikan tambahan kepada murtahin ketika membayar utangnya ketika akad gadai ditentukan syarat- syarat, kemudian syarat tersebut dilakukan. Bila rahin tidak mampu membayar utangnya hingga pada waktu yang telah ditentukan, kemudian rahin menjual marhun dengan tidak memberikan kelebihan harga marhun kepada rahin, maka di sisni juga telah berlaku riba.32

5. Sepeda Motor

a. Pengertian Sepeda Motor

Sepeda motor adalah kendaraan roda dua yang dapat digunakan sebagai alat transportasi dengan bantuan mesin.

Letak kedua roda sebaris lurus dan pada kecepatan tinggi sepeda motor tetep stabil disebabkan oleh gaya giroskopik.

Sedangkan pada kecepatan rendah, kestabilan atau keseimbangan sepeda motor bergantung kepada pengaturan setang oleh pengendara. Sepeda motor sendiri menjadi kendaraan yang mudah dijangkau oleh masyarakat karena harganya relatif murah dan bisa dikendarai oleh berbagai kalangan. Penggunaan bahan bakarnya juga dinilai cukup

31 Idri, Hadis…, hlm. 195-196.

32 Sohari Sahrani, Ru‟fah Abdullah, Fikih Muamalah, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), hlm. 62-63.

(44)

25

hemat sehingga memudahkan masyarakat melakukan berbagai kegiatan, seperti halnya bekerja, pengangkutan barang, atau untuk touring.

b. Sejarah Awal ditemukannya Sepeda Motor

Sepeda motor sendiri merupakan pengembangan dari sepeda konvensional yang lebih dulu ditemukan. Sejarah sepeda motor dimulai pada tahun 1868 dimana Michaux ex Cie yang merupakan perusahaan sepeda pertama di dunia mulai mengembangkan mesin uap yang digunakan sebagai tenaga penggerak sepeda. Namun usaha tersebut masih belum berhasil dan kemudian dilanjutkan oleh Edward Butler, seorang penemu asal Inggris. Butler membuat kendaraan roda tiga dengan suatu motor melalui pembakaran dalam. Sejak penemuan tersebut, semakin banyak dilakukan percobaan untuk membuat motor dan mobil. Salah satunya dilakukan oleh Gottlieb Daimler dan Wilhelm Maybach dari Jerman.33

G. Metode Penelitian 1. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif, metode penelitian ini digunakan karena dalem peneliti ini penulisan memaparkan data yang berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yag dapat diamati bukan merupakan angka-angka34. Digunakan metode penelitian kualitatif didasarkan dari beberapa pertimbagan sebagaimana yang dikemukakan berikut ini:

a. Menyangkut analisis terhadap gejala-gejala sosial yang terjadi dalam masyarakat. Adapun gejala sosial yang dimaksud adalah adanya kebiasaan masyarakat melakukan praktik gadai sepeda motor di mana penerima gadai mendapatkan keuntungan dari orang yang menggadaikan motornya yaitu adanya tambahan

33 Rabimam, Pengetahuan Dasar Teknik Otomotif, (Yogyakarta: Liberty, 2017), hlm. 1-2.

34 Nasution S, Metode Peelitian Naturalistik Kualitatif, (Bandug: PT. Tarsito, 2003), hlm. 14.

Referensi

Dokumen terkait

Gambaran Faktor – Faktor Yang Berpengaruh dengan Kejadian Preeklampsi (Umur, Paritas, Jarak Kehamilan, IMT, Riwayat Penyakit, Pekerjaan, Pendidikan, Kepatuhan ANC

 Analisis variansi satu arah hanya dapat dilakukan apabila variansi dari k-populasi adalah

FNCC 0051 Terimobil Pada Berbagai Variasi Konsentrasi Alginat dan Lama Penyimpanan Terhadap Asam Lambung dan Garam Empedu Secara In Vitro.. Indah

Indikator Soal Bentuk Soal No Soa l 3.15 Mendiag nosis kerusakan sistem bahan bakar bensin konvensio nal/karbur ator * Menentukan cara pemeriksaan kerusakan sistem bahan bakar

Penyebab gagal sinkronnya genset 1 dengan genset 2 ialah dari terjadinya RPM dan Frequensi yang tidak stabil yang menyebabkan relay pada genset 1 dan auto charger baterai

Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan norma, standard, prosedur dan

Banyaknya Desa/Kelurahan Menurut Kecamatan di Kabupaten Lombok Tengah Keadaan April 2010.. No Kecamatan

Pengaksesan relasi yang disimpan pada remote side mengakibatkan biaya melewatkan pesan dan untuk menguranginya, sebuah relasi dipartisi atau difragmentasi ke