• Tidak ada hasil yang ditemukan

RIFAH AL-TAHTAWI (1801-1873 M)

menunjukkan permusuhan terhadap agama Islam. Dan Warga negara wajig

3.SYEH WALIYULLAH AL-DAHLAWI (1702-1762 M)

4. RIFAH AL-TAHTAWI (1801-1873 M)

4. RIFAH AL-TAHTAWI (1801-1873 M)

a. Biografi dan kondisi Sosial Politik Al-Tahtawi

Nama lengkapnya adalah Rifah Badawi Rafi` Al-Tahtawi, di lahirkan pada tahun (1801) di Tahta, di sebuah kota kecil propinsi Suhaq di Mesir Selatan, dan wafat Tahun (1873) di Kairo.

Karirnya di mulai dengan menjadi mahasiswa Al-Azhar, lulus tahun (1822) sekaligus menjadi dosen selama 2 tahun di Saire. Selepas dari Al-Azhar Ia di angkat sebagai salah satu Imam Tentara pada tahun (1824). Dua tahun kemudian Ia dikirim ke Paris untuk menjadi Imam (Pengawas) bagi para mahasiswa yang dikirim oleh Mohamad Ali Pasya, penguasa saat itu. Al-Tahtawi bertugas mengawasi aktivitas para mahasiswa agar tidak keluar dari jalur yang di tetapkan Mohamad Ali Pasya. Hal ini dimaksudkan supaya kedudukan Mohamad Ali Pasya sebagai raja yang absolut bisa bertahan lama. Rifah Al-Tahtawi punya keahlian dibidang penerjemahan karena saat itu buku dari barat perlu di pahami umat Islam, oleh karena itu Ia mendirikan sekolah penerjemahan ((1836) yang meliputi penerjemahan Bahasa Arab, Prancis, Turki, Pasi, Itali dan hampir 1000 buku yang sudah diterjemahkan kedalam Bahasa Arab.

Sedangkan karya yang monumental adalah Manahij Albab al-Misriyah fi al-Manahij al-Adab al-Ashriyah (Jalan bagi orang Mesir untuk mengetahui literatur modern), al-Mursyid al-Amin Li al-Banat wa al-Banin (Petunjuk pendidikan bagi putra-putri), al-Qaul Al-Sadid Fi al-Ijtihad Wa al-Taqlid (Pembicaraan penting tentang taqlid dan ijtihad).

b. Pemikiran Politik dan Kenegaraan Al-Tahtawi

Al-Tahtawi di besarkan dalam kondisi politik yang tergolong keras, karena Muhamad Ali Pasya (1804-1849) penguasa Mesir saat itu menerapkan politik difrensiasi antara politik dan agama bahkan Mohamad Ali Pasya melakukan

serangan- serangan terhadap pengaruh ulama` untuk mendirikan program sekularisasi.171

Mencermati hal yang demikian, Al-Tahtawi berusaha membuat konsep tatanan yang ideal bagaimana tentang negara, sekaligus sebagai antitesa dari kebijakan Mohamad Ali yang absolut. Menurut Al-Tahtawi sistem ketatanegaraan yang baik menurut faham tradisional dalam Islam yaitu kepala negara (Raja/Sultan) harus mempunyai kekuasaan ekskutif yang mutlak. Tetapi kekuasaanya tersebut harus dibatasi oleh Syariat dan Syura (Majelis Permusyawaratan), Syariat harus di junjung tinggi sebagai aturan negara yang harus di laksanakan, dan juga disesuaikan penafsirannya dengan kondisi riil di lapangan. Sedangkan Syura adalah para ulama yang menjadi patner kepala negara dalam mengolah pemerintahan. Oleh karena itu ulama` tidak hanya menguasai Ilmu keagamaan seperti, Tafsir, Fiqh dan lain-lain.Ulama` juga harus menguasai ilmu-ilmu modern Barat. Dalam Syura juga harus dilibatkan para ahli di bidangnya supaya keputusan yang diambil benar-benar obyektif dan sesuai dengan aspirasi rakyat.172 Menurut Al-Tahtawi suatu negara akan berjalan dengan baik dan kokoh jika ia tersusun dari empat golongan masyarakat:

-Raja / Sultan (Politikus), -Ulama` (Intelektual), -Para Ahli (Teknolog),

-Kaum Produsen (Pengusaha).173

Empat golongan tersebut terbagi atas dua elemen; Pertama orang yang memerintah harus bersikap adil, bijak. Kedua rakyat yang diperintah dan harus taat, sepanjang tidak menyalahi syarat yang telah di tetapkan. Golongan yang memerintah (Raja, Ulama`) haruslah orang-orang yang bertaqwa kepada Allah dan selalu mementingkan urursan rakyat, Oleh karena itu perilakunya selain di kontrol oleh Syariat juga di kontrol oleh pendapat Umara`.

171

Harun Nasution, Pembaharuan…….hal. 38

172

John L. Esposito, Islam dan Pembangunan, Trj. S.Simamora (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), hal. 97.

173

Albert Hourani, Arabic Thought in Liberal Age 1798-1939 (London: Oxford Univ.Press, 1963), hal.64.

Lebih lanjut Al-Tahtawi mengatakan, bahwa untuk membuat negara yang tangguh dan tatanan politik yang kuat, maka hal-hal yang harus di tumbuhkan pada seluruh rakyat adalah sikap patriot. Patriotisme menururtnya adalah rasa kecintaan seseorang pada tanah kelahiranya dan bangsanya, kebanggaan pada adat istiadat, sejarah dan kebudayaan, serta sikap pengabdian demi kesejahtraanya. Patriotisme juga bisa bermakna rasa persatuan dan kesatuan terhadap bangsanya.

Kemudian yang terpenting untuk di pahami, bahwa rakyat Mesir adalah satu keluarga yang saling mencintai dan membangun tanah airnya, tanpa membedakan suku, golongamn dan agama. Setiap putra tanah air , baik putra yang asli maupun pendatang yang telah diakui sebagai warga negara, mempunyai ikatan terhadap tanah air (Bangsanya).174

Dari sikap Patriotisme ini bisa di pahami bahwa bagi orang Islam ada dua bentuk persaudaraan yaitu persaudaraan Islam (Ukhuwah Islamiyah), dan persaudaran tanah air (Ukhuwah Wathaniyah). Dari dua persaudaraan ini diharapkan muncul rasa kewajiban terhadap tanah air, yang meliputi menjaga persatuan, patuh terhadap undang-undang dan wajib membela negara dengan harta dan jiwa.

Lahirnya Patriotisme yang di kembangkan Al-Tahtawi ini semakin mengikis paham lama yang menyatakan bahwa dunia Islam adalah tanah air bagi umat Islam. Dampak dari semangat Patriotisme ini adalah sikap toleransi yang baik dalam membentuk dan mempersatukan existensi dari sebuah negara khususnya Mesir.

Menurut Al-Tahtawi jika suatu negara atau warga negara, rakyat telah kehilangan rasa Patriotisme, rasa memiliki terhadap negara dan bangsanya, maka suatu negara tersebut akan rentan dengan permusuhan dan akan mudah dihancurkan oleh lawan. Sikap seperti ini yang dikemukakan ole Al-Tahtawi dalam kerangka memajukan dan mengembangkan suatu negara Mesir saat itu.

Bila kita cermati konsep Al-Tahtawi tersebut pada dasarnya tidak dikemukakan dalam kerangka negara Mesir semata, tetapi hakekatnta Al-Tahtawi

174

John J.Donohue & John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan (Ensiklopedi Masalah-masalah), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hal.8

mengajak semua negara Islam untuk bersatu mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap eksisitensi negara. Negara dalam kerangka ini adalah negara yang dipimpin oleh seorang khalifah yang menjunjung tinggi nilai syariat Allah. Oleh karena itu negara harus dibela dan dipertahankan oleh seluruh rakyatnya.

Al-Tahtawi melihat kelemahan konsep tersebut jika tidak didukung oleh seluru elemen-element yang ada dalam sebuah negara yang meliputi Raja atau Sultan (Ulama’), Politikus (Umara’), para ahli (Intelektual) dan pengusaha. Komponen ini yang menjadi pilar dari sebuah negara. Jika semua itu sudah terpenuhi maka sebuah negara akan bisa berjalan baik dan maju.

5. SAYYID AHMAD KHAN (1817-1898 M)

a. Biografi dan Kondisi Sosial politik Ahmad Khan

Sayyid Ahmad Khan adalah putra Sayyid Muhamad Muttaki Khan, Ia di lahir di Delhi pada Tanggal 17 Oktober 1817 M. Ia Besar dalam lingkungan keluarga yang taat beragama. Dari piahak ayah Mohamad Muttaki Ahmad Khan masih punya hubungan nasab dengan Husin cucu Nabi. Keluarganya berasal dari Iran yang pindah ke India pada pemerintahan Akbar Syah. Atas dasar ini Muhamad Khan diberi gelar “ Sayyid”.175

Pada umur 22 tahun Ahmad Khan bekerja pada pemerintahan Inggris yang pada saat itu di Inggris dikuasai oleh tiga kekuatan besar, yaitu Inggris, Hindu dan Muslim. Awal karirnya di mulai sebagai juru tulis, kemudian Ia di angkat sebagai wakil Hakim. Selama bertugas Ia berpindah-pindah mulai dari kota Patihpuh Sikri (1841-1846 M), Delhi (1846-1854 M) dan terakhir sampai di Bijmore (1855-1876). Petualangan Ahmad Khan ini sampai pada meletusnya Revolusi Multini (1857) yang merupakan gerakan anti Inggris dibawah panji ulama` Deoband. Sedangkan Ahmad Khan dikenal sebagai ulama` yang pro Inggris.

Gerakan Multini pada akhirnya gagal karena tidak di dukung oleh kekuatan yang memadai serta gerakan itu menjadi brutal karena banyak terjadi pembunuhan di berbagai tempat terhadap perwira Inggris. Saat itu Ahmad Khan mengecam para pemberontak dan berusaha meyakinkan pemerintah Inggris, bahwa orang Islam tidak terlibat gerakan itu.176

Menetralisir hubungan dengan Inggris, Ahmad Khan menulis Buku Pembelaan yag berjudul “ The Causes of The Indian Revolt” yang banyak

175

John L. Esposito, The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World (New York: Oxford Univ.Press, 1995), hal.57

176

Ulama Deoband adalah kelompok tradisionalis yang ada di India yang posisi politiknya bersebrangan dengan Inggris (anti Inggris). Pada tataran selanjutnya ulama’ Deoband ini membentuk gerakan politik dan juga mendirikan institusi pendidikan tahun 1876 sebagai kontinuitas tradisi keilmuan dalam Islam serta respon terhadap tradisi lokal yang ada di India. Kurikulum pendidikan merupakan kombinasi antara ilmu tradisional ( Qur’an, Hadis, Fiqh dll) dan ilmu rasional (Mantiq, Filsafat, sains). Sedangkan misi gerakan Deoband adalah mencetak alumni yang mampu berkiprah untuk mensejahtrakan umat Islam India .