• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Valuasi Ekosistem Berdasarkan Tiga Tujuan Utama Efisisensi,

Keadilan ,Dan Keberlanjutan... . ... 13

2. Contoh Nilai Ekonomi Total Ekosistem Terumbu Karang... 16

3. Rincian Wilayah Pulau Ternate ... 37

4. Luas Jarak,dan Waktu Tempuh Ke Pulau–Pulau Kecil Di Kota

Ternate ... 37

5. Sarana Pendidikan Dasar dan Menengah Di Kota Ternate tahun 2004 38

6. Perkembangan Indeks Harga Konsumen Berdasarkan Kelompok

Harga Komoditi Di Kota Ternate Tahun 2000-2004... 39 7. Komposisi Sebaran RTP Di Pulau Ternate... 41 8. Produksi Hasil Perikanan Di Kota Ternate Tahun 1996-2004 ... 41

9. Perkembangan Produksi Perikanan Kota Ternate Dari

Tahun 2002-2004 ... 42

10. Perkembangan Armada Tangkap Nelayan Selama 3 Tahun... 42

11. Jumlah Alat Tangkap Berdasarkan Jenis Di Pulau Ternate... 42 12. Sarana Dan Prasarana Pelabuhan Bastiong ... 44 13. Klasifikasi Umur Responden ... 45 14. Klasifikasi Tingkat Pendidikan Responden ... 45

15. Klasifikasi Responden Menurut Jumlah Tanggungan Keluarga ... 46

16. Asal Responden... 46 17. Lama Domisili Responden... 47 18. Status Kepemilikan Armada ... 47 19. Rincian Estimasi Penerimaan Ikan Karang Nelayan Pancing

Di Pulau Ternate ... 49

20. Rincian Estimasi Manfaat Bersih Nelayan Pancing Di Pulau Ternate 50

21. Nilai Estimasi Ekonomi Aktual Ekosistem Terumbu Karang Di

Pulau Ternate ... 44 22. Nilai Estimasi Manfaat Sekarang Ekosistem Terumbu Karang di

Pulau Ternate ... 51

Halaman

23. Nilai Estimasi Present Value Residual Rent Terumbu Karang Di

Pulau Ternate ... 52 24. Nilai Estimasi Analisis Sensitivitas NPV Dengan Asumsi Produksi Berkurang 25

% menggunakan Pola Pemanfaatan Destruktif ... 54 25. Nilai Estimasi Analisis Sensitivitas NPV Dengan Asumsi Produksi Bertambah

25% Menggunakan Pola Pemanfaatan Dengan Pengaturan ...54 26. Rincian Tindakan dan Penanganan Yang Harus Dilakukan Seluruh

Stake Holders pemanfaat Ekosistem Terumbu Karang ... 55

27. Perbandingan Net Prresent Value Dengan Perubahan Biaya Angkut 56

28. Rekapitulasi Persentase Sebaran Tutupan Karang di Pulau Ternate . 58

29. Rekapitulasi Keanekaragaman dan Kelimpahan Ikan Karang

Konsumsi Masyarakat di Pulau Ternate ... 59

30. Hasil Regresi Antara Ikan Karang Konsumsi Dengan Karang Hidup 57

31. Hasil Regresi Masing-Masing Ikan Karang Konsumsi Denga n

Tutupan Karang Hidup di Semua Stasiun Pengamatan ... 62 32. Perbandingan Produktivitas Terumbu Karang dengan Luasan

Terumbu Karang pada Tahun 1995 dan 2004... 64 33. Proporsi Luasan terumbu Karang tahun 1995 dan 2004... 65 34. Rincian Kehilangan Nilai Manfaat Terumbu Karang dari tahun

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Metode Valuasi Ekonomi... 17 2. Alur Kerangka Pendekatan S tudi... 27 3. Proporsi Rata-Rata Tangkapan Ikan Karang Per Trip Nelayan

Pancing Di Pulau Ternate ... 49

4. Nilai Ekonomi Aktual Ekosistem Terumbu Karang Di Pulau Ternate 51

5. Perbandingan Antara PV Benefit Dan PV Residual Rent Terumbu

Karang Di Pulau Ternate... 52 6. Grafik Analisis Sensitivitas Net Present Value (NPV) Ekosisrtem

Terumbu Karang Di Pulau Ternate ... 56

7. Kurva Interaksi Antara Persentase Tutupan Karang Hidup Dengan Kelimpahan

Ikan Karang Konsumsi... 59 8. Kurva Interaksi Antara Persentase Tut upan Karang Hidup Dengan

Keanekaragaman Ikan Karang Konsumsi Di Pulau Ternate ... 60

9. Mata Rantai Karang Sehat Dengan Keanekaragaman dan Kelimpahan

Ikan ... 61 10. Rekapitulasi Produksi Perikanan Karang di Pulau Ternate tahun

1995-2004 ... 63 11. Estimasi Degradasi Luasan terumbu Karang di Pulau Ternate Dari

tahun 1995-2004 ... 64 12 Perbandingan nilai manfaat ekonomi antara tahun 1995 dan 2004 65

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Peta Ekosistem Terumbu Karang Pulau Ternate ... 70 2. Analisis Manfaat –Biaya Per Tahun Responden Nelayan Pancing di

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan panjang garis pantai lebih dari 81.000 km serta lebih dari 17.508 pulau dan luas laut sekitar 3,1 juta km2 sehingga wilayah pesisir dan lautan Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan dan keanekaragaman hayati (biodiversity) laut terbesar di dunia dengan memiliki ekosistem pesisir seperti mangrove, terumbu karang (coral reefs) dan padang lamun (sea grass beds) (Dahuri et al. 1996).

Untuk ekosistem terumbu karang World Resource Institute (WRI) (2002)

mengestimasi bahwa luas terumbu karang di Indonesia adalah sekitar 51.000 km2. Angka ini belum mencakup terumbu karang di wilayah terpencil yang belum dipetakan atau yang berada di perairan agak dalam (inland waters). Jika estimasi ini akurat maka 51% terumbu karang di Asia Tenggara atau 18% terumbu karang di dunia berada di perairan Indonesia. Sebagian besar dari terumbu karang ini bertipe terumbu karang tepi (fringing reefs) yang berdekatan dengan garis pantai sehingga mudah diakses oleh masyarakat sekitar. Lebih dari 480 jenis karang batu (hard coral )telah didata di wilayah timur Indonesia dan merupakan 60% dari jenis karang batu di dunia yang telah berhasil dideskripsikan. Keanekaragaman tertinggi ikan karang di dunia juga ditemukan di Indonesia dengan lebih dari 1.650 jenis hanya untuk wilayah Indonesia bagian timur.

Sebagai salah satu ekosistem utama pesisir dan laut, terumbu karang dengan

beragam biota asosiatif dan keindahan yang mempesona, memiliki nilai ekologis dan ekonomis yang tinggi. Selain berperan sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak dan arus kuat, terumbu karang juga mempunyai nilai ekologis antara lain sebagai habitat, tempat mencari makanan, tempat asuhan dan tumbuh besar serta tempat pemijahan bagi berbagai biota laut. Nilai ekonomis terumbu karang yang menonjol adalah sebagai tempat penangkapan berbagai jenis biota laut konsumsi dan berbagai jenis ikan hias, bahan konstruksi dan perhiasan, bahan baku farmasi dan sebagai daerah wisata serta rekreasi yang menarik.

Selanjutnya Hopley dan Suharsono (2000) dalam Burke et al.(2002)

tahunnya sekitar 1,6 milyar US Dollar, selain ituterumbu karang Indonesia juga dikenal sebagai salah satu penyumbang terbesar perikanan laut di dunia yang menyediakan 3,6 juta ton dari produksi perikanan laut secara keseluruhan pada tahun 1997 .

Sebagaimana ciri negara berkembang dengan populasi penduduk yang besar ditambah dengan struktur geografis yang dikelilingi oleh laut, maka laut menjadi tumpuan sebagian besar penduduk Indonesia untuk memenuhi kebutuhan hidup terutama masyarakat di daerah pesisir. Tekanan terhadap sumberdaya laut terutama terumbu karang meningkat seiring dengan bertambahnya populasi secara cepat. Ketergantungan yang tinggi telah menyebabkan penurunan yang besar pada nilai ekologis dan ekonomis akibat degradasi dan kerusakan yang parah. Dari sekitar 51.000 km2 luas terumbu karang di Indonesia, lebih dari 40 % dalam kondisi rusak dan hanya sekitar 6,5% dalam kondisi sangat baik selebihnya dalam kondisi sedang (WRI, 2002).

Dibeberapa tempat di Indonesia karang batu digunakan untuk berbagai kepentingan seperti konstruksi jalan dan bangunan, bahan baku industri dan perhiasan. Dalam industri pembuatan kapur, karang batu (hard coral) kadang-kadang ditambang sangat intensif sehingga bisa mengancam keamanan pantai. Selain it u karang dan ikan karang Indonesia yang berlimpah tersebut terancam oleh praktek penangkapan ikan yang merusak. Penangkapan ikan menggunakan racun sianida dan bahan peledak telah meluas di Indonesia bahkan di daerah yang dilindungi (WRI, 2002).

Kerusakan terumbu karang yang telah terjadi di beberapa kawasan pantai di Indonesia menjadi keprihatinan banyak fihak akan keberlanjutan fungsi ekosistem tersebut. Kerusakan ekosistem terumbu karang terjadi karena faktor- faktor alam, akan tetapi faktor-faktor antropogenik mempunyai andil yang besar Menurut Garces (1992) sumber-sumber kerusakan karang dapat dikelompokan sebagai aktivitas ekonomi yang terdiri dari kegiatan perikanan, pembangunan di daratan disamping wilayah pesisir dan rekreasi serta pariwisata.

Hasil survei WRI (2002) di wilayah Indonesia bagian Timur menunjukkan sekitar 65% kerusakan ekosistem terumbu karang disebabkan penangkapan ikan secara destruktif. Sebagian besar menggunakan racun dan bom dimana aktivitas ini telah mengakibatkan kerugian ekonomi yang luar biasa. WRI mengestimasi kerugian di Indonesia akibat penangkapan ikan menggunakan bahan peledak selama 20 tahun ke

depan adalah sebesar 570 juta US Dollar. Sedangkan estimasi kerugian dari penangkapan ikan dengan racun sianida secara berkala adalah sebesar 46 juta US Dollar. Dari ekosistem terumbu karang yang rusak hanya diperoleh hasil perikanan rata-rata 5 ton/km2 /tahun sedangkan hasil produktivitas terumbu karang yang sehat bisa mencapai sekitar 20 ton/km2/tahun .

Provinsi Maluku Utara merupakan bagian dari lingkup yang bergerak antara Sangihe Talaut, Minahasa ke Filipina yang merupakan jalur distribusi terumbu karang di Indonesia bagian Timur. Jalur kepulauan Indonesia dan Filipina ini merupakan pusat keragaman terumbu karang dunia dengan jumlah spesies yang telah teridentifikasi sekitar 600 spesies.

COREMAP (2001) melaporkan bahwa dibeberapa daerah di Provinsi Maluku Utara terjadi kerusakan ekosistem terumbu karang. Mulai dari Pulau Ternate, Pulau Bacan, Pulau Obi, Pulau Halmahera sa mpai bagian Utara yaitu pulau Morotai. Di Pulau Halmahera tutupan karang hidup dengan kondisi baik sebesar 29%, 14% dalam kondisi sedang dan selebihnya dalam kondisi buruk. Berdasarkan laporan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) Universitas Khairun (2001) bahwa ekosistem terumbu karang dibeberapa lokasi di Pulau Ternate mengalami kerusakan akibat tindakan destruktif. Penyebab dominan kerusakan adalah kegiatan penangkapan ikan menggunakan muroami, bahan peledak, bahan beracun, pemasangan perangkap, aktivitas transportasi dan wisata bahari.

Perumusan Masalah

Sebagai sebuah ekosistem, terumbu karang merupakan sumberdaya yang tidak mempunyai nilai pasar (non market base). Salah satu proxy bagi nilai ekonomi terumbu karang adalah melalui Proxy terhadap nilai produktivitas perikanan. Nilai ekonomi terumbu karang didekati dengan nilai proksi yaitu produktivitas perikanan karang. Fungsi terumbu karang sebagai feeding ground, spawning ground dan nursery ground dapat diestimasi dengan nilai output yang dihasilkan oleh ekosistem ini yaitu ikan karang. Terumbu karang dan ikan karang merupakan suatu rangkaian mata rantai dimana keberadaan ekosistem terumbu karang akan menunjang kelimpahan ikan karang. Permasalahan yang timbul adalah dalam mengekstraksi ikan karang dilakukan tindakan

destruktif sehingga ekosistem terumbu karang mengalami kerusakan. Kerusakan itu menyebabkan fungsi- fungsi terumbu karang mengalami gangguan. Gangguan tersebut dapat menjalar secara berantai terhadap fungsi-fungsi ekosistem yang lain dan akhirnya bermuara pada penurunan nilai ekonomi dari sumberdaya.

Pertanyaan yang kemudian timbul dengan mencermati fenomena ekstraksi potensi sumberdaya ekosistem terumbu karang di atas adalah :

1) Bagaimana potensi dan jenis pema nfaatan ekosistem terumbu karang yang dilakukan oleh masyarakat lokal di Pulau Ternate ?

2) Bagaimana dan seberapa besar nilai manfaat ekonomi dari ekosistem terumbu

karang di Pulau Ternate ?

3) Bagaimana pemanfaatan yang berkelanjutan untuk ekosistem terumbu karang ?

Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk

1) Mengidentifikasi potensi dan jenis pemanfaatan terumbu karang oleh masyarakat

lokal di Pulau Ternate.

2) Menganalisis secara ekonomi nilai manfaat dari ekosistem terumbu karang. Kegunaan penelitian, yaitu :

Dari penelitian ini di harapkan diperoleh data dan informasi mengenai nilai estimasi dari manfaat ekonomi suatu ekosistem terumbu karang sehingga kesalahan dalam mengestimasi nilai ekosistem terumbu karang menjadi undervalue atau overvalue tidak terjadi.

TINJAUAN PUSTAKA

Ekosistem Terumbu Karang

Terumbu karang (Coral reef) merupakan masyarakat organisme yang hidup

didasar perairan dan berupa bentukan batuan kapur (CaCO3) yang cukup kuat menahan gaya gelombang laut. Sedangkan organisme–organisme yang dominan hidup disini adalah binatang-binatang karang yang mempunyai kerangka kapur, dan algae yang banyak diantaranya juga mengandung kapur. Berkaitan dengan terumbu karang diatas dibedakan antara binatang karang atau karang (reef coral ) sebagai individu organisme atau komponen dari masyarakat dan terumbu karang (coral reef) sebagai suatu ekosistem (Sorokin, 1993).

Terumbu karang (coral reef) sebagai ekosistem dasar laut dengan penghuni utama karang batu mempunyai arsitektur yang mengagumkan dan dibentuk oleh ribuan hewan kecil yang disebut polip. Dalam bentuk sederhananya, karang terdiri dari satu polip saja yang mempunyai bentuk tubuh seperti tabung dengan mulut yang terletak di bagian atas dan dikelilingi oleh tentakel. Namun pada kebanyakan spesies, satu individu polip karang akan berkembang menjadi banyak individu yang disebut koloni (Sorokin, 1993).

Berdasarkan kepada kemampuan memproduksi kapur maka karang dibedakan menjadi dua kelompok yaitu karang hermatipik dan karang ahermatipik. Karang hermatifik adalah karang yang dapat membentuk bangunan karang yang dikenal menghasilkan terumbu dan penyebarannya hanya ditemukan didaerah tropis. Karang ahermatipik tidak menghasilkan terumbu dan ini merupakan kelompok yang tersebar luas diseluruh dunia. Perbedaan utama karang Hermatipik dan karang ahermatipik adalah adanya simbiosis mutualisme antara karang hermatipik dengan zooxanthellae, yaitu sejenis algae unisular (Dinoflagellata unisular), seperti Gymnodinium microadriatum, yang terdapat di jaringan-jaringan polip binatang karang dan melaksanakan fotosistesis. Hasil samping dari aktivitas ini adalah endapan kalsium karbonat yang struktur dan bentuk bangunannya khas. Ciri ini akhirnya digunakan untuk menentukan jenis atau spesies binatang karang. Karang hermatipik mempunyai sifat yang unik yaitu perpaduan antara sifat hewan dan tumbuhan sehingga arah pertumbuhannya selalu bersifat

fototeopik positif. Umumnya jenis karang ini hidup di perairan pantai /laut yang cukup dangkal dimana penetrasi cahaya matahari masih sampai ke dasar perairan tersebut. Disamping itu untuk hidup binatang karang membutuhkan suhu air yang hangat berkisar antara 25-32 oC (Nybakken, 1982).

Menurut Veron (1995) terumbu karang merupakan endapan massif (deposit) padat kalsium (CaCo3) yang dihasilkan oleh karang dengan sedikit tambahan dari alga berkapur (Calcareous algae) dan organisme -organisme lain yang mensekresikan kalsium karbonat (CaCo3). Dalam proses pembentukan terumbu karang maka karang batu (Scleractina ) merupakan penyusun yang paling penting atau hewan karang pembangun terumbu (reef -building corals). Karang batu termasuk ke dalam Kelas Anthozoa yaitu anggota Filum Coelenterata yang hanya memp unyai stadium polip. Kelas Anthozoa tersebut terdiri dari dua Subkelas yaitu Hexacorallia (atau Zoantharia) dan Octocorallia, yang keduanya dibedakan secara asal-usul, morfologi dan fisiologi.

Hewan karang sebagai pembangun utama terumbu adalah organisme laut yang efisien karena mampu tumbuh subur dalam lingkungan sedikit nutrien (oligotrofik).

Menurut Sumich (1992) dan Burke et al. (2002) sebagian besar spesies karang

melakukan simbiosis dengan alga simbiotik yaitu zooxanthellae yang hidup di dalam

jaringannya. Dalam simbiosis, zooxanthellae menghasilkan oksigen dan senyawa

organik melalui fotosintesis yang akan dimanfaatkan oleh karang, sedangkan karang menghasilkan komponen inorganik berupa nitrat, fosfat dan karbon dioksida untuk keperluan hidup zooxanthellae.

Selanjutnya Sumich (1992 ) menjelaskan bahwa adanya proses fotosintesa oleh alga menyebabkan bertambahnya produksi kalsium karbonat dengan menghilangkan karbon dioksida dan merangsang reaksi kimia sebagai berikut:

Ca (HCO3) CaCO3 + H2CO3 H2O + CO2

Fotosintesa oleh algae yang bersimbiose membuat karang pembentuk terumbu menghasilkan deposist cangkang yang terbuat dari kalsium karbonat, kira-kira 10 kali lebih cepat daripada karang yang tidak membentuk terumbu (ahermatipik) dan tidak bersimbiose dengan zooxanthellae.

Veron (1995) dan Wallace (1998) mengemukakan bahwa ekosistem terumbu karang adalah unik karena umumnya hanya terdapat di perairan tropis, sangat sensitif

terhadap perubahan lingkungan hidupnya terutama suhu, salinitas, sedimentasi, eutrofikasi dan memerlukan kualitas perairan alami (pristine). Demikian halnya dengan perubahan suhu lingkungan akibat pemanasan global yang melanda perairan tropis di tahun 1998 telah menyebabkan pemutihan karang (coral bleaching) yang diikuti dengan kematian massal mencapai 90-95%. Suharsono (1999) mencatat selama peristiwa pemutihan tersebut, rata-rata suhu permukaan air di perairan Indonesia adalah 2-3 oC di atas suhu normal.

Selain dari perubahan suhu, maka perubahan pada salinitas juga akan mempengaruhi terumbu karang. Hal ini sesuai dengan penjelasan McCook (1999) bahwa curah hujan yang tinggi dan aliran material permukaan dari daratan (mainland run off) dapat membunuh terumbu karang melalui peningkatan sedimen dan terjadinya penurunan salinitas air laut. Efek selanjutnya adalah kelebihan zat hara (nutrient overload) berkontribusi terhadap degradasi terumbu karang melalui peningkatan pertumbuhan makroalga yang melimpah (overgrowth) terhadap karang.

Meskipun beberapa karang dapat dijumpai dari lautan subtropis tetapi spesies yang membentuk karang hanya terdapat di daerah tropis. Kehidupan karang di lautan dibatasi oleh kedalaman yang biasanya kurang dari 25 m dan oleh area yang mempunyai suhu rata-rata minimum dalam setahun sebesar 10oC. Pertumbuha n maksimum terumbu karang terjadi pada kedalaman kurang dari 10 m dan suhu sekitar 25 o C sampai 29 oC. Karena sifat hidup inilah maka terumbu karang banyak dijumpai di Indonesia (Hutabarat dan Evans, 1984).

Selanjutnya Nybakken (1992) mengelompokkan terumbu karang menjadi tiga tipe umum yaitu :

a.Terumbu karang tepi (Fringing reef/shore reef) b.Terumbu karang penghalang (Barrier reef) c.Terumbu karang cincin (atoll)

Diantara tiga struktur tersebut, terumbu karang yang paling umum dijumpai di perairan Indonesia adalah terumbu karang tepi (Suharsono, 1998). Penjelasan ketiga tipe terumbu karang sebagai berikut :

1) Terumbu karang tepi (fringing reef) ini berkembang di sepanjang pantai dan mencapai kedalaman tidak lebih dari 40m. Terumbu karang ini tumbuh keatas

atau kearah laut. Pertumbuhan terbaik biasanya terdapat dibagian yang cukup arus. Sedangkan diantara pantai dan tepi luar terumbu, karang batu cenderung mempunyai pertumbuhaan yang kurang baik bahkan banyak mati karena sering mengalami kekeringan dan banyak endapan yang datang dari darat.

2) Terumbu karang tipe penghalang (Barrief reef) terletak di berbagai jarak kejauhan dari pantai dan dipisahkan dari pantai tersebut oleh dasar laut yang terlalu dalam untuk pertumbuhan karang batu (40-70 m). Umumnya memanjang menyusuri pantai dan biasanya berputar-putar seakan – akan merupakan penghalang bagi pendatang yang datang dari luar. Contohnya adalah The Greaat Barier reef yang berderet disebelah timur laut Australia dengan panjang 1.350 mil.

3) Terumbu karang cincin (atol) yang melingkari suatu goba (laggon). Kedalaman goba didalam atol sekitar 45m jarang sampai 100m seperti terumbu karang penghalang. Contohnya adalah atol di Pulau Taka Bone Rate di Sulawesi Selatan.

Moberg and Folke (1999) dalam Cesar (2000) menyatakan bahwa fungsi

ekosistem terumbu karang yang mengacu kepada habitat, biologis atau proses ekosistem sebagai penyumbang barang maupun jasa. Untuk barang merupakan yang terkait dengan sumberdaya pulih seperti bahan makanan yaitu ikan, rumput laut dan tambang seperti pasir, karang. Sedangkan untuk jasa dari ekosistem terumbu karang dibedakan :

1.Jasa struktur fisik sebagai pelindung pantai.

2.Jasa biologi sebagai habitat dan dan suport mata rantai kehidupan. 3.Jasa biokimia sebagai fiksasi nitrogen.

4.Jasa informasi sebagai pencatatan iklim.

5.Jasa sosial dan budaya sebagai nilai keindahan, rekrasi dan permainan

Terumbu karang me nyediakan berbagai manfaat langsung maupun tidak langsung. Cesar (2000) menjelaskan bahwa ekosistem terumbu karang banyak meyumbangkan berbagai biota laut seperti ikan karang, mollusca, crustacean bagi masyarakat yang hidup dikawasan pesisir. Selain itu bersama dengan ekosistem pesisir lainnya menyediakan makanan dan merupakan tempat berpijah bagi berbagai jenis biota laut yang mempunyai nilai ekonomis tinggi.

Menurut Munro dan William dalam Dahuri (1996) dari perairan yang terdapat ekosistem terumbu karang pada kedalaman 30 m setiap kilometer perseginya terkandung ikan sebanyak 15 ton. Sementara itu Supriharyono (2000) mengemukakan bahwa tingginya produktivitas primer di perairan terumbu karang, memungkinkan ekosistem ini dijadikan tempat pemijahan, pengasuhan, dan mencari makan bagi banyak biota laut. Menurut Salm (1984) dalam Supriharyono (2000), bahwa 16% dari total hasil ekspor ikan Indonesia berasal dari daerah karang.

Luas terumbu karang di Indonesia diperkirakan sekitar 50.000 km 2 dan

mempunyai kaenekaragaman jenis dan produktivitas primer yang tinggi. Namun dibalik potensi tersebut, aktivitas manusia dalam rangka pemanfaatan potensi sumberdaya alam didaerah pantai, baik secara langsung maupun tidak langsung sering merusak terumbu karang. Menurut Suprihayono (2000) beberapa aktivitas pemanfaatan terumbu karang yaitu :

1) Perikanan terumbu karang

Masalah perikanan merupakan bagian dari ekosistem bahkan keanekaragaman karang dapat mencerminkan keanekaragaman jenis ikan. Semakin beragam jenis terumbu karang akan semakin beraneka ragam pula jenis ikan yang hidup di ekosistem tersebut. Oleh karena itu masalah perikanan tidak bisa diabaikan pada pengelolaan ekosistem terumbu karang. Dengan meningkatnya jumlah penduduk saaat ini maka jumlah aktivitas penangkapan ikan di ekosistem terumbu karang juga meningkat. Apabila hal ini dilakukan secara intensif, maka kondisi ini memungkinkan terjadinya penurunan stock ikan di ekosistem terumbu karang. Keadaan ini akan memakan waktu lama untuk bisa pulih kembali. Pengelolaan yang efektif harus didasarkan pada pengetahuan biologis target spesies, sehingga teknik penangkapan yang tepat dapat ditentukan. Pengelolaan terumbu karang ini cenderung lebih banyak ditekankan pada pengambilan karang atau aktivitas manusia seperti pengeboman ikan karang, dan yang lainnnya secara tidak langsung dapat merusak karang.

2) Aktivitas Pariwisata Bahari

Untuk menjaga kelestarian potensi sumberdaya hayati daerah-daerah wisata bahari, maka di Indonesia telah dibentuk suatu kerja sama pengembangan kepariwisataan (Tourism Development Coorporation) yang modalnya berasal dari dari para investor

lokal, pemerintah lokal dan regional dan masyarakat Badan kerjasama pariwisata dapat dijumpai di Nusa Dua Bali dan Manado. Adapun tugas badan ini diantaranya adalah

• Menjaga daya tarik masyarakat terhadap pengembangan pariwisata .

• Membantu pengusaha menempati kebijaksanaan– pemerintah

• Pengadaaan dana pinjaman untuk pembangunan infra struktur.

• Pemanfaatan taman laut untuk tujuan wisata pada umumnya diperoleh melalui

agen-agen pariwisata dan scuba diving .Namun kedua agen atau arganisasi

tersebut lebih mementingkan profit daripada harapan konservasi yaitu pelestarian sumberdaya alam laut. Sebagai akibatnya aktivitas mereka sering menimbulkan hal- hal yang tidak diinginakan atau bertentangan dengan nilai estetika atau

carrying capacity lingkungan laut.

3) Aktivitas Pembangunan Daratan

Aktivitas pembangunan di daratan sangat menentukan baik buruknya kesehatan terumbu karang. Aktivitas pembangunan yang tidak direncanakan dengan baik di daerah pantai akan menimbulkan dampak terhadap ekosistem terumbu karang. Beberapa aktivitas seperti pembukaan hutan mangrove, penebangan hutan, intensifikasi pertanian, bersama-saa dengan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) yang jelek umumnya akan meningkatkan kekeruhan dan sedimentasi di daerah terumbu karang.

4) Aktivitas Pembangunan di Laut

Aktivitas pembangunan di laut, seperti pembangunan darmaga pelabuhan, pengeboran minyak, penambangan karang, pengambilan pasir dan pengambilan karang dan kerang untuk cinderamata secara langsung maupun tidak langsung akan memebahayakan kehidup an terumbu karang. Konstruksi pier dan pengerukan alur pelayanan menaikkan kekeruhan demikian juga dengan eksploitasi dan produksi minyak lepas pantai, selain itu tumpahan minyak tanker juga membahayakan terumbu karang seperti yang terjadi di jalur lintasan international.

Dokumen terkait