• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ringkasan Cerita dalam Novel De Winst: Sebuah Novel Pembangkit Idealisme

BAB V. Berisi Penutup yang memuat tentang Kesimpulan dan Saran Bagian Terakhir memuat Daftar Pustaka dan Lampiran-Lampiran

ELEMEN WACANA VAN DIJK

C. Ringkasan Cerita dalam Novel De Winst: Sebuah Novel Pembangkit Idealisme

Usai menamatkan sarjana ekonomi dari universitas Leiden sebagai lulusan terbaik di universitas tertua di Belanda itu, Raden Mas Rangga Puruhita memilih kembali ke Hindia Belanda untuk mempraktekkan ilmu yang ia miliki demi kemajuan para pribumi. Walaupun Profesor Johan van De Vondel –salah seorang guru besar Fakultas Ekonomi Rijksuniversiteit (UN) Leiden telah menawarinya beasiswa untuk tetap belajar hingga meraih gelar doktor dan pekerjaan di sebuah bank swasta internasional jika Rangga tetap mau tinggal di negara tempatnya meraih gelar sarjana ekonomi tersebut. Rangga bersikeras untuk kembali ke negerinya. Sebuah negeri yang mungkin jauh dari gemah ripah peradaban manusia modern seperti Nederland tetapi seterbelakang apapun, Indische tetaplah tanah kelahirannya. Apalagi Sang Rama, Kanjeng Gusti Pangeran Haryosuryanegara

seorang pangeran di Keraton Surakarta, telah menyuratinya untuk tidak berlama-lama menetap di negeri Kincir Angin itu.

Dalam perjalanan menuju tanah kelahirannya di sebuah kapal api yang membawanya dari Amsterdam menuju pelabuhan di Tanjung Priok, Rangga berkenalan dengan seorang wanita cantik bermata biru dan berambut bak jagung. Rangga mengenal gadis bernama Everdine Kareen Spinoza itu ketika gadis tersebut meminta pertolongannya dari gangguan dua pemuda bule yang tengah mabuk dan memaksanya berdansa, pada saat pesta dansa yang khusus di selenggarakan untuk penumpang kapal kelas satu dan dua. Sejak itu, Everdine selalu menguntit kemanapun Rangga pergi, antara keduanya pun terjalin interaksi dan perkenalan yang lebih dekat. Hingga ketika pada akhirnya kapal api telah berlabuh, perpisahan pun terjadi. Rangga menyadari bahwa ada rasa rindu bahkan Ia telah jatuh cinta pada gadis bak bidadari itu. Sedangkan Everdine terang-terangan mengakui perasaannya terhadap Rangga, ketika mereka bersua kembali di sebuah penginapan sebelum akhirnya berangkat ke tujuan masing-masing. Berbeda dengan sikap Everdine yang khas gadis barat atau cenderung agresif. Rangga hanya bisa tersipu saat Everdine menyatakan perasaannya. Sesungguhnya Rangga berusaha menjaga jarak dengan gadis berambut jagung itu, maka ketika mereka harus berpisah ada perasaan lega di batin Rangga, karena Rangga memang tak ingin rasa tertariknya terhadap Everdine semakin jauh lagi. Karena ia tahu, akan mendapat kesulitan karenanya. Terlebih lagi pihak Keraton Kesunanan pasti juga akan gempar mendengar Rangga yang seorang dari trah Suryanegara memiliki pasangan seorang bermata biru. Sebuah penentangan pakem yang pasti akan menguras energinya. Dengan perpisahan itu Rangga berpikir cerita

tentangnya dan gadis bak bidadari itu berakhir saat itu juga. Terlebih lagi Rangga telah dijodohkan oleh sang rama dengan Raden Rara Sekar Prembayun yang tak lain putri dari pamannya sendiri, walaupun Rangga tak sepenuhnya setuju dengan perjodohan itu. Karena pada saat itu keduanya masih anak-anak. Begitu juga dengan Sekar, adik sepupunya yang telah dijodohkan dengannya itu ternyata telah memiliki tambatan hati yang lain.

Setelah kepulangannya di tanah kelahirannya itu Rangga menyempatkan dirinya untuk berkeliling mengitari kota Solo, ia begitu antusias untuk mengetahui perkembangan keadaan kota Solo selama delapan tahun sejak kepergiannya ke Belanda. Rangga begitu menikmati menyaksikan keindahan bangunan-bangunan seperti gapura-gapura, dalem-dalem para pangeran dan pangageng parentah serta rumah-rumah loji milik para pejabat gubernemen, administratur perkebunan maupun pengusaha yang berdiri megah dengan arsitektur menawan perpaduan Jawa, Tionghoa, Timur Tengah maupun Eropa. Namun ketika Rangga mulai menyusuri jalan-jalan tak beraspal ke desa-desa pinggiran Solo ia merasakan perbedaan kondisi yang sangat kentara. Aroma kemiskinan mulai ia rasakan dari sosok-sosok sulaya yang tampak kekurangan nutrisi serta rumah-rumah yang tak berdiri kokoh karena hanya dibangun dari dinding-dinding bambu, atap daun rumbia dan beralas tanah..

Rasa prihatin semakin menghinggapi, ketika Rangga mencoba untuk mampir di sebuah warung kecil berbentuk gubuk di pinggir perkebunan tebu. Warung itu sepi hanya ada penjual seorang wanita jawa setengah baya, serta pembelinya lelaki tua yang sedang menyeruput segelas teh tanpa gula. Ketika Rangga bertanya mengapa tak memakai gula, lelaki tua itu tertawa sedih. Ternyata

harga segelas teh yang pahit hanya 2 sen, sedangkan jika harus memakai gula, harganya bisa tiga kali lipatnya. Rangga menggeleng-gelengkan kepala, apalagi ketika menyadari bahwa di belakang warung itu terbentang puluhan hektar perkebunan tebu, bahan pokok industri gula pasir.

Setelah Rangga di Indonesia, Ia pun lebih memilih untuk menjadi pengusaha, karena baginya dengan menjadi pengusaha ia ingin memperbaiki keadaan perekonomian masyarakat yang tertindas dengan menciptakan peluang kerja untuk kaum pribumi sebanyak mungkin dengan gaji yang layak dan mempersiapkan sendi-sendi ekonomi yang kuat. Karena jika suatu bangsa merdeka maka kemandirian ekonomi menjadi suatu hal yang sangat penting.

Rangga pun mendatangi perusahaan pabrik gula De Winst untuk menanyakan pekerjaan yang dijanjikan oleh administrur pabrik tersebut terhadap ramanya. Beruntungnya Rangga dipersilahkan menemui meneer Edward Biljmer langsung di ruang pribadinya dan mendapat sambutan yang hangat bahkan terkesan berlebihan dalam menghormatinya. Rangga pun mendapat tempat di perusahaan sebagai asisten administratur bagian pemasaran.

Belakangan Rangga tahu mengapa Ia begitu mudah bisa masuk di perusahaan itu, ternyata sang rama memiliki saham sebesar 20%. Namun walaupun dengan saham yang tak seberapa besar, ayahnya sangat berharap Rangga bekerja semaksimal mungkin agar mampu menunjukkan kepada administratur pabrik De Winst lainnya yang semuanya itu Nederlanders, bahwa inlander seperti Rangga mampu bekerja sebaik bahkan melebihi kehebatan para Nederlanders itu. Dengan menjadi bagian dari De Winst ayahnya ingin agar Rangga juga bisa memperjuangkan nasib para buruh yang tertindas. Bisa

memberikan kesejahteraan bagi masyarakat dengan membuka peluang kerja seluas-luasnya.

Namun menjadi bagian di De Winst juga menjadi suatu dilema tersendiri bagi Rangga ketika satu persatu permasalahan muncul. Mulai dari permintaan warga tempat De Winst menyewa tanah sebagai lahan perkebunan tebu untuk menaikkan sewa tanah 10 kali lipat. Awalnya masalah sewa tanah bukanlah hal yang terlalu sulit karena tuan Biljmer seorang yang bisa diajak berkompromi. Mungkin saja perusahaan bisa menaikkan harga sewa walaupun tidak sebesar permintaan warga. Namun masalah yang muncul kemudian adalah ketika tuan Biljmer mengundurkan diri dari perusahaan karena Ia akan melanjutkan studinya dan kembali ke Nederland bersama keluarganya. Saham tuan Biljmer pun telah dijual kepada William Thijsse seorang kerabatnya, dan anaknya yang akan menjadi administratur menggantikan tuan Biljmer. Nama yang mengingatkan Rangga pada peristiwa saat Ia bertemu kembali dengan Everdine Kareen Spinoza di sebuah hotel, saat itu Kareen meminta bantuan Rangga untuk berpura-pura menjadi kekasihnya karena ia tak sudi diikuti terus oleh Thijsse yang begitu menginginkan Kareen. Sejak peristiwa itu Rangga pun yakin bahwa Jan Thijsse membencinya.

Dugaan Rangga ternyata benar, pada pesta penyambutan administratur baru, meneer Thijsse yang dimaksud oleh meneer Biljmer adalah orang yang sama dengan yang ditemuinya saat bersama Kareen. Namun yang membuat Rangga lebih terkejut lagi Kareen datang bersama Thijsse, dari cerita meneer Biljmer, Rangga tahu bahwa Everdine Kareen Spinoza gadis yang selalu hinggap di mimpi-mimpinya kini sudah menjadi nyonya Thijsse.

Setelah pergantian administratur, Rangga begitu terpojok. Karena ia merasa harus memperjuangkan hak-hak rakyatnya yang tertindas, terutama kaum buruh, yang pada saat itu mendapat perlakuan tidak wajar karena hanya digaji dengan upah yang sangat sedikit. Namun Rangga merasa tak berdaya karena harus berhadapan dengan para administratur yang serakah. Akhirnya ia pun memutuskan keluar dari pabrik tersebut.

Setelah Rangga keluar dari De Winst, ia membuat rencana besar antara lain memajukan perusahaan pabrik gula milik pribumi yakni kanjeng Pangeran Mangkunegara yang memang telah meminta kerjasama Rangga untuk membesarkan beberapa pabrik gula miliknya. Usaha perbaikan itu antara lain dengan penambahan modal dan pembenahan infrastuktur serta perluasan produksi dengan menanam kapas, mendirikan pabrik tekstil untuk menopang industri batik yang telah lama berkembang di kalangan pribumi. Rangga telah mendapat bantuan untuk menopang permodalan dari Haji Suranto, seorang pengusaha batik yang sukses. Untuk pembukaan perkebunan kapas itu maka Rangga akan meminta pengalihan sewa tanah warga dari De Winst, dan mengabulkan permintaan sewa tanah 10 kali lipatnya, dengan begitu perang melawan pengusaha asing telah dimulai.

Sekar pun mulai menaruh simpati terhadap Rangga, karena lelaki yang telah dijodohkan dengannya sejak kecil itu tidak seperti dugaan sebelumnya. Selama ini sekar menganggap rangga tak lebih dari seorang bangsawan keraton berpendidikan barat, memiliki watak seperti Belanda dan tidak mempunyai visi dan misi hidup untuk memperjuangkan kesejahteraan bangsanya.

Namun akhirnya Rangga pun ditangkap dengan tuduhan melakukan makar dan ingin menjatuhkan kekuasaan Belanda dengan bersekongkol dengan para pegiat partai terlarang yakni Partai Rakyat. Selain itu aktivitasnya mendirikan perkebunan kapas dan pabrik tekstil dinilai hendak menghancurkan pabrik gula De Winst terkait penyewaan tanah. Ia juga dituduh menghasut para buruh de Winst yang kebanyakan simpatisan Partai Rakyat untuk memboikot pabrik tersebut dengan beramai-ramai meninggalkannya.

Persidangan kasus Rangga pun berlangsung cukup alot, pembelaan Kareen untuk Rangga membuat majelis hakim mengakui bahwa Rangga tidak terbukti bersekongkol menghancurkan De Winst. Namun Rangga tetap dianggap membahayakan kekuasaan ratu Belanda karena simpati yang diberikannya terhadap aktivis partai terlarang itu. Akhirnya Rangga pun tetap dijatuhi hukuman internering. Sebuah keputusan yang diluar dugaan Kareen, karena sebelumnya ia begitu optimis bisa membebaskan Rangga.

Sementara itu, setelah persidangan berakhir Everdine pun memutuskan untuk bercerai, karena usaha ayahnya yang sempat memburuk karena kebiasaan judinya berangsur membaik. Mereka pun segera melunasi hutang-hutangnya terhadap keluarga Thijsse. Sedangkan Thijsse mati di tangan KGPH Suryanegara, ayah Rangga, yang menghunuskan sebilah keris kecil sebagai pembalasan atas perlakuan Thijsse yang telah memperkosa dan nyaris membunuh Pratiwi, yang ternyata anak biologis dari ayah Rangga. Namun sayangnya, sebelum menghembuskan nafas terakhir Thijsse masih bisa bangkit dan menarik pelatuk pistolnya yang melesatkan pelor tajam hingga menembus kepala KGPH Suryanegara dan menewaskannya.

Di akhir cerita sebelum keberangkatan kapal yang membawa Rangga menuju lokasi pembuangannya di Endeh, dua hari sebelumnya Kareen telah menjadi istri sah Rangga dan memutuskan mengikuti agama Rangga, dan merubah namanya menjadi Syahidah. Pernikahan itu memang keputusan Rangga yang sungguh sangat mengejutkan khususnya bagi kareen. Rangga memang telah beriltizam untuk menghilangkan segala kotoran dihatinya, ia tak ingin virus-virus cinta mengotori jiwanya, terutama ketika ia berada di pengasingan.

Kegundahan di hati Rangga begitu kuat membebat, terlebih lagi beban hidupnya terasa semakin berat ketika berita kematian sang ayah sampai di telinganya. Namun yang menjadi pangkal kegelisahannya adalah munculnya sebuah kesadaran bahwa ia telah menjadi Rangga yang berbeda dari sebelumnya. Karena malam sebelum hari keberangkatannya, ia bermimpi aneh, dalam mimpinya ia tengah menjalani prosesi sebuah upacara pernikahan. Ia menjadi pengantin dengan busana kejawen yang membuatnya tampak sebagai ksatria tampan dan memesona. Ia begitu berbahagia dengan pernikahannya itu, namun yang membuatnya terhenyak adalah ketika ia terbangun dan menyadari bahwa pengantin wanita yang ada di mimpinya itu bukanlah Everdine Kareeen Spinoza yang telah mati-matian membelanya di pengadilan, akan tetapi Rara Sekar Prembayun.

Ketika kapal mulai bergerak meninggalkan pelabuhan, air mata Kareen mengalir deras. Ia melambaikan tangan yang dibalas Rangga dengan lambaian serupa. Namun Kareen sama sekali tidak menyadari, bahwa lambaian itu sesungguhnya keluar tanpa energi cinta. Ia tak menyadari bahwa yang tengah

berada di benak sang pemuda bukanlah dirinya, namun justru seraut wajah yang lain.

BAB IV

Dokumen terkait