• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ringkasan Perilaku Dukungan Sosial

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

Skema 7 Ringkasan Perilaku Dukungan Sosial

Ringkasan Perilaku Dukungan Sosial

Perilaku

Persepsi homoseksual terhadap dukungan

sosial

Dukungan Emosional - Dihargai pilihannya sebagai homoseksual (informan 1, 2, 3, 4)

- Tidak didiskriminasi menurut orientasi seksualnya (informan 1, 2, 3, 4)

- Diterima orientasi seksualnya (informan 1, 3, 4) - Diberikan semangat ketika informan dalam masalah (informan 2, 3, 4)

- Disapa dengan ramah (informan 1, 4)

Dukungan Instrumental

- Melegalkan pernikahan sesama jenis (informan 1)

Dukungan Informasi

- Diberikan saran ketika ada masalah (informan 1, 2, 3, 4)

Dukungan Pertemanan

- Saling bercerita atau mengobrol (informan 1, 3, 4) - Didengarkan (informan 1, 3)

Dukungan Lain

- Dibiarkan atau dibebaskan untuk menjadi homoseksual (informan 1, 2, 3, 4)

Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat empat perilaku yang dipersepsi semua informan sebagai dukungan sosial. Perilaku tersebut adalah dihargai pilihannya sebagai homoseksual, tidak didiskriminasi menurut orientasi seksualnya, diberikan saran ketika ada masalah dan dibiarkan untuk menjadi homoseksual. Selain itu, terdapat tiga perilaku yang disepakati oleh tiga dari empat informan sebagai dukungan sosial, yaitu perilaku diterima orientasi seksualnya, diberikan semangat dan saling bercerita.

Sebagai hasil tambahan, sumber pemberi dukungan sosial memberikan pengaruh terhadap persepsi informan mengenai perilaku dukungan sosial. Terdapat empat sumber pemberi dukungan sosial bagi informan, yaitu teman, keluarga, teman homoseksual lain dan orang lain. Teman merupakan sumber pemberi dukungan sosial terbanyak dibandingkan sumber-sumber yang lain.

4. Pembahasan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada kesamaan persepsi mengenai dukungan sosial pada keempat informan yang meliputi empat perilaku. Perilaku tersebut adalah dihargai pilihannya sebagai homoseksual, tidak didiskriminasi menurut orientasi seksualnya, diberikan saran ketika ada masalah dan dibiarkan untuk menjadi homoseksual.

merupakan salah satu bentuk dukungan sosial yang dirasakan oleh informan. Hal ini disebabkan karena informan merasa mendapatkan respon positif terhadap orientasi seksualnya yang berbeda. Hal ini ditanggapi oleh Caitlin (2009), dimana menghargai merupakan salah satu bentuk ekspresi dukungan. Dari hasil wawancara dengan informan 4 didapatkan bahwa ketika ia dihargai, ia merasa bahagia dan berusaha untuk membalas penghargaan yang diberikan oleh orang tersebut (S4.W1.B177-180). Kata menghargai sendiri berasal dari bahasa latin

respectare yang berarti melihat lagi atau melihat dengan perhatian (Ury

dalam Arliani, 2012). Menghargai merupakan pemberian harga atau penilaian yang baik sehingga membuat seseorang merasa diperhatikan dan meningkatkan pertumbuhan mentalnya (Nanang dalam Arliani, 2012). Mendapatkan penghargaan bisa mengurangi masalah kesehatan fisik dan mental serta meningkatkan kebahagiaan (well-being) LGBT.

Perilaku tidak didiskriminasi menurut orientasi seksualnya merupakan perilaku kedua yang dipersepsi keempat informan sebagai dukungan sosial. Perilaku tidak didiskriminasi yang dimaksud informan merupakan perilaku dimana dirinya diperlakukan sama dengan kaum heteroseksual. Sebagai contoh, informan 1 menyatakan bahwa dirinya ingin mendapatkan perilaku yang sama seperti kaum heteroseksual dengan tidak dianggap abnormal oleh masyarakat (S1.W1.B41-45). Menurut informan 3, perilaku diskriminasi ini tidak mungkin dilakukan oleh teman dekat ataupun sesama homoseksual. Hal ini disebabkan

karena informan menganggap bahwa teman dekat dan sesama homoseksual bisa menerima orientasi seksualnya yang sejenis sehingga kata-kata diskriminatif yang diucapkan oleh mereka akan dianggap sebagai bercandaan dan tidak bermaksud untuk menyakiti hati oleh informan (S3.W2.B219-231) Diskriminasi sendiri bisa didefinisikan sebagai pemberian perlakuan yang tidak sama. Brooks (dalam Mayock, Bryan, Carr, Kitching 2008) mengatakan bahwa pengalaman negatif yang disebabkan oleh diskriminasi banyak dirasakan oleh anggota kelompok minoritas. Pada lingkungan yang menstigma dan mendiskriminasi, anggota kelompok minoritas akan mengalami konflik yang berat dengan budaya dominan sehingga meningkatkan distress secara signifikan. Gaya Nusantara dalam webnya di

http://gayanusantara.or.id/personil.html memperkirakan bahwa sekitar

1% dari warga negara Indonesia merupakan LGBT. Dari perkiraan ini, dapat dikatakan bahwa kaum homoseksual merupakan kaum minoritas jika dibandingkan dengan kaum heteroseksual. Perilaku diskriminatif yang diterima oleh informan antara lain adalah dianggap abnormal, dianggap sebagai penyakit menular, dikotak-kotakkan, diberi stigma negatif, dihina secara verbal dan non-verbal, serta dijauhi atau diasingkan karena memiliki orientasi seksual sejenis. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Takacs (2006) yang menyatakan bahwa perilaku diskriminatif terhadap LGBT di Eropa meliputi perilaku keengganan untuk mengakui, penyangkalan, tuntuntan untuk kembali

ke orientasi seksual yang “normal”, bullying, kekerasan fisik, pembebasan berekspresi, pengasingan dan pemberian label negatif seperti, homoseksual adalah penyakit, sebuah dosa dan hal yang tidak lazim dilakukan. Informan 3 menyatakan bahwa efek dari kata-kata yang diskriminatif ini adalah perasaan tidak nyaman dan sakit hati (S3.W1.B56-59). Di dalam berbagai literatur, dijelaskan bahwa perilaku diskriminatif sendiri memiliki efek negatif yang dapat mengurangi self-

esteem, kebahagiaan (well-being), kesehatan mental serta meningkatkan

distress psikologis, depresi dan kecenderungan untuk menyakiti diri sendiri hingga pikiran bunuh diri (Mayock, Bryan, Carr, Kitching, 2008; Munoz-Plaza, Quinn, Rounds, 2002; Kertzner, Meyer, Frost, Stirratt, 2009; Rostosky et al, 2007).

Pemberian saran ketika informan sedang mengalami masalah merupakan salah satu bentuk dukungan informasi dimana saran memiliki sifat informatif dan berkaitan dengan penyelesaian masalah sedang yang dihadapi (Sarafino, 2008). Pemberian informasi atau saran dari orang lain bisa membuat seseorang merasa percaya diri akan persiapan mengenai peristiwa-peristiwa di dalam hidupnya (Philippa, 2005). Pemberian saran yang dimaksud oleh keempat informan merupakan pemberian saran yang khususnya menyangkut relasi romantis informan. Seperti yang dinyatakan oleh informan 1, pemberian saran hendaknya sama seperti jika memberikan saran kepada heteroseksual dan tidak bersifat diskriminatif (S1.W3.B29-35).

Pemberian saran juga merupakan salah satu respon yang mendukung dalam menghadapi kejadian yang menekan (Taylor, Welch, Kim, & Sherman dalam Kim, Sherman & Taylor, 2008). Hal ini dudukung oleh penelitian yang menyatakan bahwa pemberian saran dapat membantu memecahkan masalah dan membantu seseorang untuk melakukan

coping stress (Mattson & Hall, 2011). Pada kaum homoseksual sendiri,

teman merupakan seseorang yang bisa dipercaya ketika mereka membutuhkan dukungan atau saran. Hal ini juga ditemukan dari hasil wawancara dimana informan paling banyak mendapatkan saran dari teman. Teman menjadi sebagai sumber energi positif yang mampu memberikan saran di saat-saat yang menekan bagi kaum homoseksual (Mayock, Bryan, Carn & Karl, 2008).

Di dalam hasil penelitian juga terdapat perilaku dukungan sosial lain yang tidak termasuk dalam keempat jenis dukungan yang dinyatakan oleh Cutrona & Gardner; Schaefer, Coyne, & Lazarus; Wills & Fegan, (dalam Sarafino, 2008). Perilaku tersebut adalah dibiarkan untuk menjadi homoseksual. Perilaku dibiarkan menjadi homoseksual yang dimaksud informan adalah ketika orang lain tidak ikut campur dan membebaskan informan sepenuhnya untuk memilih dan menjalani orientasi seksual sejenisnya. Hal ini diungkapkan oleh informan 3 dimana ketika orang lain tahu bahwa informan adalah seorang homoseksual, ia ingin dibiarkan untuk menjadi homoseksual (S3.W2.B295-297). Informan 2 menyatakan bahwa ia tidak ingin

dikomentari perihal pilihannya sebagai homoseksual dan dibiarkan menjalani hidupnya (S2.W2.B26-28) serta tidak disuruh untuk menjadi heteroseksual (S2.W2.B13-15). Hal ini disebabkan karena informan tidak ingin ditekan untuk menjadi heteroseksual. Perilaku ini dipersepsi oleh keempat informan sebagai sebuah dukungan terhadap orientasi seksualnya. Hal ini berarti bahwa perilaku ataupun informasi yang diterima dari lingkungan sosialnya, bisa dipersepsi sebagai dukungan sosial selama informan merasa bahwa perilaku tersebut memiliki efek positif, menegaskan dan membantu (Gottlieb dalam, Smet 1994). Pada informan 1, perilaku ini dianggap sebagai dukungan karena ia merasa bahwa ketika orang lain menganggap bahwa dirinya berbeda, maka hal ini akan menjadi beban, sehingga menurutnya ketika orang lain membiarkannya, informan 1 merasakan bahwa dirinya diberi pilihan untuk menjadi seorang homoseksual (S1.W1.B58-64). Selain itu, dalam buku yang ditulis oleh Glassgold et al (2009) menyatakan bahwa salah satu respon terapeutik yang tepat terhadap kaum homoseksual adalah dengan membiarkan atau membebaskan kaum homoseksual untuk mencari, mengeksplor dan menentukan orientasi seksualnya.

Selain keempat perilaku yang dipersepsi oleh keempat informan sebagai dukungan sosial, terdapat tiga perilaku lain yang dipersepsi oleh 75% atau tiga dari empat informan penelitian. Perilaku tersebut adalah diterima orientasi seksualnya, diberikan semangat ketika informan dalam masalah dan saling bercerita atau mengobrol.

Perilaku diterima orientasi seksualnya dipersepsi sebagai dukungan sosial oleh informan 1, 3 dan 4. Pada informan 4 menyatakan bahwa dukungan sosial menurutnya adalah sebuah penerimaan ketika orang lain tahu bahwa dirinya adalah homoseksual (S4.W1.B190). Selain itu informan 3 menyatakan kebutuhannya akan penerimaan orientasi seksualnya dari keluarga. Dengan adanya penerimaan ini, informan mengharapkan bahwa keluarganya tidak lagi menuntutnya untuk menikah dan meneruskan marga. Selain dari keluarga, penerimaan, menurut informan 3, juga penting dilakukan oleh temannya (S3.W2.B258-270). Hal ini sesuai dengan teori Mayock, Bryan, Carr & Kitching (2008) yang menyatakan bahwa kaum homoseksual sangat mengharapkan penerimaan, khususnya dari anggota keluarga dan teman sebaya. Perilaku menerima orientasi seksual merupakan salah satu bentuk aplikatif dari respon terapeutik terhadap LGBT (Judith et al, 2009). Hal ini dibuktikan dari beberapa penelitian yang menemukan bahwa penerimaan dari orang-orang terdekat seperti keluarga dan teman sebaya mampu meningkatkan self-

esteem, meningkatkan perkembangan mental, meningkatkan well-being,

mengembangkan identitas positif, mengurangi stigma tentang orientasi seksual, meningkatkan penyesuaian diri, meningkatkan kepercayaan diri dan kemampuan untuk mengatur emosi negatif dari lingkungan (Mayock, Bryan, Carr & Kitching 2008; Glassgold et al, 2009; Savin- Williams dalam Hancock et al, 2000; Gottschalk; Ryan, 2009). Di sisi

lain, kurangnya penerimaan yang diterima dari keluarga dan teman sebaya merupakan salah satu penyebab meningkatnya depresi dan tendensi bunuh diri pada LGBT (Mayock, Bryan, Carr & Kitching 2008). Menurut Barnecka, Karp dan Lollike (2005) kurangnya penerimaan terhadap homoseksual merupakan ekspresi dari ketidaksukaan terhadap kaum minoritas yang memiliki opini yang berbeda dari orang kebanyakan. Penerimaan dan keterbukaan pikiran dari orang lain bisa menimbulkan rasa tenang yang biasa dihasilkan pada lingkungan terapeutik di sesi konseling (Mayock, Bryan, Carr & Kitching, 2008).

Perilaku diberikan semangat ketika informan berada di dalam masalah dipersepsi oleh informan 2, 3 dan 4 sebagai sebuah dukungan sosial. Pemberian semangat yang dimaksud oleh informan 2 adalah semangat ketika informan memiliki masalah dengan pasangannya (S2.W1.B25-26). Sedangkan pada informan 4, semangat yang dipersepsi sebagai dukungan sosial lebih terasa ketika informan sedang mengalami masa-masa sulit, seperti masa-masa ketika informan akan melakukan coming out pada keluarganya (S4.W1.B96-97). Di dalam

buku Health Psychology dikatakan bahwa pemberian semangat merupakan salah satu bentuk dukungan sosial, khususnya dukungan emosional (Sarafino, 2008). Pemberian semangat bisa dibagi menjadi dua, yaitu verbal dan non-verbal. Pemberian semangat secara verbal meliputi pemberian kata-kata yang dapat memberikan semangat kepada

informan. Di sisi lain, pada pemberian semangat secara non verbal dapat dilakukan dengan kontak mata, sentuhan taktil, dan gerakan tubuh. Pemberian semangat secara verbal dan non verbal bisa meningkatkan performansi dan hasil pekerjaan (Andreacci, LeMura, Cohen, Urbansky, Chelland & Von Duvilla, 2002; Gueguen, 2004). Selain itu, pemberian semangat secara non-verbal pada saat terapi psikologi bisa membuat klien lebih percaya diri dan berbicara lebih banyak mengenai masalah pribadinya (Jourard & Friedman dalam Gueguen, 2004)

Perilaku saling bercerita atau mengobrol dipersepsi oleh informan 1, 3 dan 4 sebagai dukungan sosial. Pada suatu penelitian yang dilakukan oleh Canadian Institute for Health Information (CAHI, 2012) ditemukan bahwa seseorang yang memanfaatkan waktunya untuk berinteraksi dan bercerita dengan orang lain akan mengalami penurunan tingkat distress dibandingkan dengan yang tidak mengalami dukungan sosial seperti ini. Pada informan 3, kegiatan saling bercerita ini biasanya terjadi dengan teman, khususnya jika sedang menceritakan masalah pribadi (S3.W2.B207-213). Sedangkan pada informan 4, kegiatan saling bercerita diwujudkan dengan mencurahkan isi hati kepada teman-teman homoseksualnya (S4.W1.B122). Hal ini terjadi kaarena teman merupakan bagian dari lingkungan yang membuat kaum LGBT merasa bisa berbicara dengan bebas mengenai masalah pribadinya (Munoz-Plaza, Quinn, & Rounds, 2002)

Daripembahasan di atas, dapat ditemukan bahwa terdapat empat perilaku yang dipersepsi oleh keempat informan sebagai dukungan sosial. Perilaku tersebut adalah dihargai pilihannya sebagai homoseksual, tidak didiskriminasi menurut orientasi seksualnya, diberikan saran ketika ada masalah dan dibiarkan untuk menjadi homoseksual. Selain itu terdapat tiga perilaku yang dipersepsi oleh tiga dari empat informan, yaitu perilaku diterima orientasi seksualnya, diberikan semangat ketika berada di dalam masalah dan saling bercerita atau mengobrol. Jika dibandingkan dengan teori dukungan sosial Cutrona & Gardner; Schaefer, Coyne, & Lazarus; Wills & Fegan (dalam Sarafino, 2008), maka jenis dukungan sosial yang dipersepsi oleh keempat informan adalah dukungan emosional dan dukungan informasi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Cutrona (dalam Sarafino, 2008) dimana dukungan sosial yang paling banyak muncul di dalam masyarakat adalah jenis dukungan emosional dan dukungan informasi. Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa kaum homoseksual memiliki kebutuhan dukungan sosial yang serupa seperti masyarakat pada umumnya.

Terdapat empat sumber dukungan sosial yang muncul dalam penelitian ini, yaitu teman, keluarga, teman homoseksual, dan orang yang tidak bergitu dikenal atau orang asing. Dilihat dari sumber pemberi dukungan sosial, semua informan menyatakan bahwa teman merupakan pemberi dukungan yang paling banyak dibandingkan

dengan sumber yang lain seperti keluarga, teman homoseksual lain dan orang yang tidak begitu dikenal. Hal ini disebabkan karena teman merupakan pemberi dukungan sosial yang paling kuat pada kaum homoseksual (Mayock, Bryan, Carr dan Kithing, 2008). Teman juga merupakan bagian dari lingkungan dimana kaum homoseksual bisa bergantung dalam masalah pemberian dukungan emosional (Munoz- Plaza, Quinn, & Rounds, 2002).

Selain itu, dalam hasil penelitian juga ditemukan bahwa persepsi dukungan sosial ditentukan oleh sumber pemberi dukungan. Hal ini terlihat dari persepsi informan yang berbeda terhadap perilaku dukungan sosial yang sama ketika diberikan oleh sumber yang berbeda. Sebagai contoh, informan 1 mempersepsi bahwa perilaku dukungan sosial lebih berpengaruh ketika diberikan oleh teman atau keluarga dekat dibandingkan oleh orang lain (S1.W3.B133-138). Informan 2 menyatakan bahwa apapun yang diucapkan oleh keluarga merupakan sesuatu yang menekan, sedangkan ucapan dari teman merupakan suatu dukungan (S2.W2.B55-59). Informan 3 menambahkan bahwa teman dianggap bisa menerima orientasi seksual informan dan tidak memiliki tujuan untuk menyakiti hati (S3.W2.B225-227). Dari hasil ini bisa dilihat suatu pola bahwa persepsi dukungan sosial dipengaruhi oleh sumber pemberi dukungan sosial. Semakin dalam ikatan emosional informan dengan sumber pemberi, semakin tinggi tuntutan informan dalam hal dukungan sosial. Seperti yang ditunjukkan pada informan 1

dimana perilaku diam akan dipersepsi sebagai dukungan sosial jika diberikan oleh keluarga dan orang lain, namun informan berharap lebih dari teman, yaitu bisa menerima orientasi seksualnya (S1.W3.B163- 166). Hal ini disebabkan karena informan menginginkan dukungan sosial dari orang-orang yang dekat, memiliki arti dan terlibat dengan erat dengan informan (Goldberger & Breznitz dalam Prawita, 1995).

82

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa perilaku yang dipersepsi oleh keempat informan sebagai dukungan sosial. Perilaku mendukung yang termasuk di dalam dukungan emosional antara lain adalah dihargai pilihannya sebagai homoseksual, tidak didiskriminasi menurut orientasi seksualnya, diterima orientasi seksualnya, diberikan semangat ketika informan dalam masalah dan disapa dengan ramah. Dukungan instrumental meliputi perilaku melegalkan pernikahan sesama jenis dan dukungan informasi meliputi diberikan saran ketika ada masalah. Perilaku mendukung yang termasuk di dalam dukungan pertemanan meliputi saling bercerita atau mengobrol dan didengarkan. Selain keempat jenis dukungan tersebut, terdapat perilaku lain yang tidak dapat dimasukkan kedalam kategori tersebut, yaitu perilaku dibiarkan atau dibebaskan untuk menjadi homoseksual.

Hasil penelitian juga menunjukkan kesamaan persepsi mengenai dukungan sosial pada keempat informan yang meliputi empat perilaku, yaitu, dihargai pilihannya sebagai homoseksual, tidak didiskriminasi menurut orientasi seksualnya, diberikan saran ketika ada masalah dan dibiarkan untuk menjadi homoseksual. Selain keempat perilaku tersebut, terdapat tiga perilaku yang disetujui oleh ketiga informan sebagai dukungan sosial, yaitu perilaku

diterima orientasi seksualnya, diberikan semangat ketika dalam masalah dan saling bercerita atau mengobrol.

Selain itu, dapat disimpulkan bahwa kaum homoseksual memiliki kebutuhan dukungan sosial yang serupa seperti masyarakat pada umumnya, yaitu dukungan emosional dan dukungan informasi (Cutrona, dalam Sarafino, 2008). Hal ini didapatkan dari hasil penelitian yang dibandingkan dengan teori dukungan sosial Cutrona & Gardner; Schaefer, Coyne, & Lazarus; Wills & Fegan (dalam Sarafino, 2008). maka perilaku dukungan sosial yang disetujui oleh keempat informan dapat dikategorisasi sebagai dukungan emosional dan dukungan informasi yang sama seperti masyarakat pada umumnya.

Terdapat empat sumber dukungan sosial menurut persepsi informan, yaitu teman, keluarga, teman homoseksual, dan orang yang tidak bergitu dikenal atau orang asing. Dilihat dari sumber pemberi dukungan sosial, semua informan menyatakan bahwa teman merupakan pemberi dukungan yang paling banyak dibandingkan dengan sumber yang lain. Dari hasil ini bisa dilihat suatu pola bahwa persepsi dukungan sosial dipengaruhi oleh sumber pemberi dukungan sosial. Semakin dalam ikatan emosional informan dengan sumber pemberi, semakin tinggi tuntutan informan dalam hal dukungan sosial. Dengan kata lain, informan akan mengharapkan dukungan sosial dari orang-orang yang memiliki ikatan emosional dengannya.

B. SARAN

a. Bagi Masyarakat

Berdasarkan hasil penelitian, peneliti dapat menyarankan kepada masyarakat ataupun psikolog yang peduli dengan kaum homoseksual dan ingin memberikan dukungannya terhadap kaum homoseksual untuk memberikan dukungannya dalam bentuk perilaku menghargai pilihannya sebagai homoseksual, tidak mendiskriminasi menurut orientasi seksualnya, memberikan saran ketika ada masalah dan membiarkan untuk menjadi homoseksual. Selain itu juga diharapkan agar masyarakat yang memiliki kerabat seorang homoseksual, bisa lebih terbuka terhadap adanya orientasi seksual sejenis yang selama ini dianggap tabu. Hal ini bisa mengurangi tekanan dan stigma yang diberikan oleh masyarakat terhadap kaum homoseksual sehingga bisa mengurangi efek dari tekanan dan stigma tersebut.

b. Bagi Peneliti Lain

Saran bagi peneliti selanjutnya adalah untuk memperluas dan memperdalam cangkupan mengenai dukungan sosial, khususnya terhadap homoseksual yang tidak banyak diteliti di Indonesia. Selain itu, peneliti selanjutnya disarankan untuk melakukan studi komparatif secara kuantitatif mengenai persepsi dukungan sosial antara kaum homoseksual dan heteroseksual dengan jumlah informan yang lebih banyak, agar bisa didapatkan hasil yang lebih valid. Peneliti selanjutnya

juga disarankan untuk lebih memperdalam penelitiannya mengenai persepsi dukungan sosial pada kaum homoseksual sehingga bahasan mengenai dukungan sosial pada kaum homoseksual bisa lebih luas dan mendalam.

86

DAFTAR PUSTAKA

Alessi, H.; Ahn, B.; Kulkin, H.; Ballard, M. (2011). An Explanatory Study: Lesbian Identity Development and Attachment Style. Ideas and Research You Can Use. VISTAS. Article 72

Andreacci, J.; Le Mura, L.; Cohen, S.; Urbansky, E.; Chelland, S.& Von Duvillard, S. (2002). The Effect of Frequency of Encouragement on Performance During Maximal Exercise Testing. Journal of Sport Science 20, 345-352. USA

Angelie, C. (2013) Hubungan antara Perceived Social Support dan Self Acceptance pada Gay Dewasa Muda. Jurnal. Fakultas Psikologi. Universitas Bina Nusantara

Anggoro, R. E. N. K. (2011). Hubungan Antara Dukungan Sosial Orang Tua dengan Tingkat Stress pada Siswa kelas Akselerasi. Skripsi. Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

APA committee on Lesbian, Gay, Bisexual, and Transgender Concern (2008).

Answer to Your Question: for Better Understanding of Sexual Orientation & Homosexuality.

Arliani, E. (2012). Mengembangkan Sikap Saling Menghargai Melalui Pembelajaran Matematika: Upaya Memperbaiki Karakter Bangsa. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Negeri Yogyakarta.

Astuti, A. & Budiyani, K.. Hubungan Antara Dukungan Sosial yang Diterima dengan Kebermaknaan Hidup pada ODHA. Jurnal. Fakultas Psikologi, Universitas Mercu Buana Yogyakarta.

87

Barnecka, J.; Karp, K.; Lollike, M. (2005). Homosexuality. Psychology Modul. Roskilde Univerity.

Basrowi & Suwandi (2008). Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT. Asdi Mahasatya

Braun, J.; Linder, D.; Asimov, I. (1979). Psychology Today: An IntroductionI.

New York: Random House

Buntoro, D. (2005). Hubungan Antara Persepsi terhadap Dukungan Sosial dengan Kecemasan Mahasiswa dalam Menghadapi Skripsi. Skripsi. Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Cass, V. C. (1979). Homosexual Identity Formation: A Theoretical Model. Journal of Homosexuality Vol 4. The Haworth Press.

Cresswell, J. W. (2007). Qualitative Inquiry & Research Design. Choosing Among Five Approaches. California: Sage Publications, Inc.

Dessy (2012). Dinamika Pembentukan Identitas Diri Mahasiswa Lesbian. Skripsi.

Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Diamond, G. M.; Jurgensen, E.; White, K. (2007). Adapting Attachment-Based Family Therapy for Depressed and Suicidal Gay, Lesbian, and Bisexual Adolescents. Regional research institute for Human Services, Portland State University.

Ellis, S.J.; Kitzinger, E.; Wikinson, S. (2003). Attitudes Toward Lesbians and Gay Men and Support for Lesbian and Gay Human Rights Among Psychology Students. Journal of Homosexuality 44(1) 14-138. Sheffield Hallam University Research Archive.

88

Glassgold, J. et al (2009). Report of the American Psychological Association Task Force in Appropriate Therapeutic Responses to Sexual Orientation. Washington: American Psychological Association.

Gottschalk, L. Coping with Stigma: Coming Out and Living as Lesbians and Gay Men in Regional & Rural Areas in the Context of Problems of Rural Confidentiality and Social Exclusion. Victoria: University of Ballarat.

Gueguen, N. (2004). Nonverbal Encouragement of Participation in a Course: the Effect of Touching. Netherlands: Kluwer Academic Publisher

Hancock, K. A. et al (2000) Guidelines for Psychotherapy with Lesbian, Gay, Bisexual Client. Washington: American Psychological Association.

Herdiansyah, H. (2013). Wawancara, Observasi dan Focus Group Sebagai Instrumen Penggalian Data Kualitatif. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.

Herek,G. M. Homosexuality. Encyclopedia of Psychology. Washington DC: American Psychological Association & Oxford University Press

Dokumen terkait